dengan Tuhan [Syaikh Ahmad Sirhindi dalam Maktubat, Vol I:266, halaman 589]
Pelatihan rohani dan pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan syari'at adalah
Syaikh Ahmad Sirhindi dapat dikatakan termasuk pembaharu Islam [mujaddid], karena besarnya
pengabdian yang diberikannya. Beliau adalah seorang penganut Tariqat Naqsabandiyah. Pada
masa hidup beliau, kala itu masyarakat Islam di anak benua India tengah melewati tahap kritis
kehidupan Islaminya. Akbar sang penguasa Mughal di Delhi, baru saja mengesahkan kebijakan
baru yang sangat mempengaruhi Islam. Menurut Akbar, ajaran yang pernah diturunkan Rasul
sudah tidak sesuai, sehingga perlu diganti dengan ajaran baru, dan sebagai gantinya ia
mendorong munculnya ajaran elektik (kumpulan cuplikan) yang merupakan hasil karyanya
sendiri. Sementara itu, di bawah selubung sufisme, kaum sufi menyebarkan berbagai keyakinan
dan mala-praktek (mal-practice) di kalangan massa yang memang telah tercemar oleh berbagai
bentuk perilaku syirik yang bermuasal dari keyakinan politeistik India. Para ulama (cendekiawan
praktek non Islami, padahal seharusnya mereka menjadi penjaga ajaran agama. Oleh sebab itu,
upaya Syaikh Ahmad untuk memerangi kemungkaran tersebut dapat dikatakan sebagai kerja
besar. Dengan bantuan para muridnya, yang ditugaskan ke berbagai kota penting di India. Ia
berupaya memugar kembali hukum dan lembaga-lebaga Islam, serta meningkatkan status ummat
Islam.
Hal terpenting yang pernah dilakukan Syaikh Ahmad adalah pada level gagasan. Sekelompok
ulama di Mahkamah justru merupakan penentang Islam. Mereka mempertanyakan arti penting
suffiency) nalar. Syaikh Ahmad kemudian menjawab dan banyak menanggapi hal tersebut.
(nalar) dalam masalah imani, dibelanya hukum syari'ah, dan ditegaskannya perlu nubuwwah.
Tantangan yang dilontarkan oleh para tokoh sufisme terhadap Islam juga tidak kalah bahayanya.
Mereka telah mengembangkan pandangan yang salah tentang sufisme, serta kaitannya dengan
syari'ah. Mereka menganggap bahwa syariah telah kosong lantaran kenyataan yang mereka
temukan lewat jalan sufi (tariqah). Mereka tidak sungkan untuk menukar wahyu dengan intuisi
(kasyaf), atau mereka tidak dapat melepaskan doktrin tauhid (keesaan Allah) dari doktrin
wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Ibnu Al-Arabi. Pengaruh dan filsafat ini, bahkan
sampai membuat mereka berani berpandangan, bahwa perbedaan antara Islam dengan kekafiran
itu amat sedikit. Syaikh Ahmad memandang semua itu dengan penuh selidik. Dikatakannya
bahwa syariah bukan semata-mata sekedar system aturan lahiriah (eksoterik) belaka. Ia juga
bahwa para sufi yang mencoba mencari kebenaran di luar kerangka syari'ah sebenarnya sedang
mengejar impian kosong. Dikritiknya doktrin Wahdatul Wujud, dan ditunjukkannya bahwa hal
Syaikh Ahmad Sirhindi mengkritisi praktek sufi yang menyelisihi sunnah, beliau menyuruh
untuk berpegang teguh pada sunnah. Beliau mengingkari adanya acara musik
(sama') atau tarian darwisy (raqhs), atau pula dzikir dengan suara keras.
Beliau juga menyagkal faham wihdatul wujud yang menyatu dengan Tuhan atau berpartisipasi
dalam sifat Tuhan. Beliau meluruskan bahwa keyakinan tersebut adalah keliru, yang benar
adalah semata-mata hanya berserah diri pada syari'at Allah dan sunnah Rasul, dan menyakinkan
diri seyakin-yakinnya sebagai hamba Allah. Dan tidak ada tingkatan yang lebih tinggi
Beliau mengajak ummat manusia menjauhi kepercayaan yang salah dan bid'ah, melaksanakan
syariah serta mentaati Sunnah Rasul. Syaikh Ahmad Sirhindi tidak membedakan antara bid'ah
yang baik (hasanah) dan bid'ah yang buruk (dhalalah). Baginya setiap bid'ah adalah sesat.
Hal tersebut dapat dilihat dari isi surat beliau kepada para pengikutnya :
"Kalian telah bertanya, bagaimana saya melarang dzikir dengan suara keras, dan menghukuminya
sebagai bid'ah.
Untuk hal-hal yang dilakukan sebagi ibadah, suatu pengabdian kepada Allah namun menyimpang dari
contoh Rasul, jelas sangat terkutuk, karena dihukumi bid'ah dalam agama. Oleh karena itu harus
dikutuk. [Syaikh Ahmad Sirhindi dalam Maktubat, Vol I:29, halaman 95-96]
Beliau sangat menentang kasyaf. Ia mengabaikan atau menentang kasyaf sebagai sumber pengetahuan
" Kriteria kesahihan gagasan mistikal ('ulum laduniyyah) adalah kesesuaianya dengan ilmu syariah,
apabila ada penyimpangan walau selebar sehelai rambut, maka hal tersebut adalah produk mabuk
(sukr). Kebenarannya hanyalah ada pada apa yang telah ditetapkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Selain itu adalah produk penghinaan kepada Tuhan (zandaqah), bid'ah, dan hasil mabuk dan
ektase" [Syaikh Ahmad Sirhindi dalam Maktubat, Vol I:31, halaman 100]
Syaikh Ahmad Sirhindi sangat mengutuk sekelompok sufi yang berpendapat bahwa mereka hanya diwajibkan
menaati syariat agama sampai mereka mencapai derajat ma'rifat. Ketika mereka mencapai ma'rifat , maka
kewajiban mereka terhadap syariat tidak berlaku lagi. Sirhindi mengutuk anggapan ini, dan menganggap
Demikian saya tulis secara ringkas, selengkapnya silahkan membaca buku tersebut. Semoga bermanfa'at.
Sumber : Buku "Merajut Tradisi Syari'ah Dengan Sufisme" Menggagas Gagasan Mujaddid Syaikh Ahmad
1. SYARIAT
ُ ع – يَ ْش َر
Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata ع – ش َْرعًا َ ش ََرyang berarti
membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam bukunya “Studi Tentang Ushul
Fiqih”[4] memberi definisi bahwa Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah
sumber air yang tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan
demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman sumber
pedoman.[5]
Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik (penempuh jalan ruhani) menuju
Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang diusahakannya. Berkaitan dengan ini
pemakalah mengambil pandangan Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang
diambil dari buku “Sufism and Shari‘ah” yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari.
Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat, yaitu makna umum yang
biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan penyembahan dan ibadah-ibadah, moral
dan kemasyarakatan, ekonomi dan kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama.
Makna kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan
baik secara langsung (wahyu) maupun melalui nabi-Nya itulah yang disebut syariat.
Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan. Syariat bukan hanya
tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah aturan kehidupan
yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan
dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak
Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju makrifat dan
ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat, karena menurut mereka syariat itu
hanya untuk orang awam. Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat
bahwa antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir
dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan bahwa
syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka mereka telah melakukan
‘Mereka yang lebih maju (dalam sufisme) membutuhkan ibadah sepuluh kali lipat ketimbang
pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada pengabdian dan perolehan mereka
Adapun ketika seseorang mencapai kasyf (penyingkapan), maka kasyf itu tidak bisa disejajarkan
dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang baru. Kasyf bisa
membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa
mengetahui mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan
oleh Nabi atau sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini memproduksi syariat
baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide yang didapat dari kasyf itu
kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan mabuk dan dianggap tidak benar.
Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya memuat syariat itu penuh
dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah melalui kasyf, begitu juga
dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf bisa disejajarkan dengan wahyu. Menurut hemat
pemakalah, walaupun kasyf itu bisa menguak makna-makna dari wahyu, namun kedudukan
2. TAREKAT
َّ الjamaknya ط ُرق
Tarekat secara bahasa berasal dari kata طري ُْق ْ َ اyang bermakna jalan,
ُ dan ط ُرق
Istilah tarekat ini menunjuk pada metode penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-
hukum syariat. Semua muslim wajib menerapkan syariat, namun ada sebagian muslim yang
hanya berfokus pada kewajiban-kewajiban ibadah dan ada sebagian lagi yang selain fokus pada
kewajiban-kewajiban ibadah juga memperhatikan adab, akhlak, dan sisi batin dari syariat itu,
Dalam Mystical Dimensions Of Islam, Annemarie Schimmel memberikan definisi tarekat yaitu:
“The tariqa, the “path” on which the mystics walk, has been defined as “the path which comes
out of the sharia, for the main road is called shar‘i, the path, tariq.” This derivation shows that the
Sufi’s considered the path of mystical education a branch of that high -way that consists of the
God-given law, on which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main
road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the binding
injunctions of the shar’ia are not followed faithfully first. The path , tariqa, however, is narrower
and more difficult to walk and leads the adept—called salik, “wayfarer”—in his suluk,
“wandering,” through different stations (maqam) until he perhaps reaches, more or less slowly,
his goal, the perfect tauhid, the existential confession that God is One.”[8]
Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus bagi salik (penempuh
jalan ruhani) untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh
para sufi berasal dari jalan utama, syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit
Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan, sehingga perlu
adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam keteraturan dan menghargai hak-
hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran
tarekat kesadaran tentang milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih
dominan, milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat
Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat punya tiga bagian,
yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni (ikhlas). Setiap salik harus mengetahui apa
yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah.
Ketika ia sudah mengetahui, maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata
perbuatan itu ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah ikhlas,
dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan karena manusia cenderung
memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan
Allah larang. Selain itu manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka
diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam setiap tindakannya
(mukhlis), sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya (mukhlas), metode itulah yang disebut
tarekat.
Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga kesempurnaan
tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui adalah tahapan taubat, yaitu
berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan melakukan apapun yang Dia syariatkan dan
memurnikan tujuan dari tujuan-tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada
juga yang mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada banyakan
tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari ikhlas dan berakhir pada sikap
Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat, yaitu mujahadah,
secara gigih dan berusaha dengan giat dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan
syetan, agar hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu.[9] Yang kedua adalah
riyadhah. Riyadhah (Olah Ruhani) bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan tugas dan
kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap
diri, keluarga, dan masyarakat sosial.[10] Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah.
Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses yang ketiga adalah
menetapkan dengan membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan apa
yang disukai-Nya.[11] Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang akan datang.
Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah menunaikan kewajiban-kewajiban yang
Allah perintahkan dan apakah kita sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan
datang telah ditentukan oleh al-Qur’an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah adalah
dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan).
Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul pada abad 11. Awalnya merupakan gerakan
bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang sepaham pada awal-awal masa Islam,
akhirnya tumbuh menjadi suatu kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar
masyarakat Muslim.[12] Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-
murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid (yang dibimbing) menuju hakikat
sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang dinisbahkan pada mursyid tertentu yang
dianggap punya metode tersendiri yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs
as-Suhrawardi, Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah
para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran dan praktik-praktik
tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi
lingkaran kelompoknya.[13]