Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

METODE IJTIHAD IMAM MAZHAB


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perbandingan Mazhab fiqih
Dosen Pengampu: Taufid Hidayat Nazar, Lc., M.H.

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Nurul Aini 2002021018
Riska Safitri 1802091036

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO LAMPUNG
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan ...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Karakteristik Metode Ijtihad dan Istinbath Mazhab Zahiri..........................3
1. Sejarah Lahirnya Mazhab Zahiri.................................................................3
2. Metode Ijtihad Mazhab Zahiri.....................................................................4
3. Metode Istinbath Mazhab Zahiri.................................................................5
4. Karya Karya dan Murid Daud Zhahiri......................................................8
B. Karakteristik Metode Ijtihad Mazhab Syiah....................................................9
1. Sejarah Mazhab Syiah...................................................................................9
2. Kelompok Usuliyah.......................................................................................11
3. Ijtihad Usuliyah dan Marja’ Taqlid...............................................................12
4. Metode Istinbath Mazhab Syiah.................................................................14
5. Akidah dan Ajaran Syiah............................................................................15
6. Kesistimewaan Mazhab Syiah....................................................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................20
B. Saran dan Penutup.............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan pedoman umat manusia dalam menjalani
kehidupan, di dalamnya terkandung aturan - aturan hukum, akidah dan akhlak,
sehingga mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya (Hablumminallah) dan
interaksi sesama manusia (Hablumminannas), disamping itu ada Hadits
Rasulullah SAW untuk menginterpretasi lebih lanjut terhadap makna yang
dikandung oleh Al–Qur’an itu sendiri, sehingga sepanjang hidup Rasulullah
SAW selalu ada solusi hukum langsung terhadap problema atau kasus yang
terjadi ditengah umat.
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, segala persoalan yang dialami umat
Islam bisa langsung ditanyakan kepada beliau, dan sebagai mubayyin atau
pemberi penjelasan, Rasulullah SAW memang selalu bersikap kooperatif dan
terbuka menerima beragam persoalan yang diajukan umatnya. Setiap pertanyaan
dijawab secara tegas dan memuaskan, walaupun ada sebagian jawaban yang
masih bersifat umum. Para sahabat pun bersikap taat, mengikuti, serta
melaksanakan apa yang disampaikan Rasulullah SAW, namun dikala Rasullah
wafat para sahabat mau tidak mau harus berijtihad untuk memecahkan beragam
persoalan yang mereka hadapi. Semakin kompleksnya permasalahan yang
dihadapi dan tidak pernah ada pada masa 2 sebelumnya mengharuskan mereka
berijtihad agar diketahui hukumnya, sebab Rasulullah sebagai rujukan hukum
sudah tidak ada lagi.
Peristiwa dan kejadian itu mendorong mereka untuk melakukan ijtihad
dengan berpedoman kepada al-Qur`an dan Sunnah. Rasulullah telah
menyediakan cara-cara berijtihad bagi mereka, melatih, dan meridhai mereka,
serta menetapkan pahala ijtihadnya.Mereka mencurahkan segenap kemampuan
yang dimiliki dalam upaya mencari jawaban hukum terhadap kasus-kasus baru.
Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu beralih kepada para tokoh tabi’in ,
kemudian kepada tabi’ tabi’in, dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari
generasi berikutnya. Para ulama ini menjadi sentral tumpuan umat saat itu
dalam memberikan jawaban hukum.

1
Saat ini mulai kembali banyak orang yang mengkaji lebih mendalam
tentang permasalahan Islam melalui jalur pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri. Hal
ini terjadi karena madzhab al-Zhahiri adalah salah satudiantara madzhab fiqh
kalangan ahlusunnah wal jamaah yang didirikanoleh Abu Sualiman Daud Al-
Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun 202H di Kufah Iraq dan wafat di tahun
270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat menjadi Daud al-Zhahiri. Ibnu
Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab Zhahiriyah berkembang
pesat di dunia Barat.Ibnu Hazam menulis berbagai karya dan mengkader
beberapa orang muridnya sebagai upaya mengembangkan dan memperjuangkan
mazhab Zhahiriyah, sehingga menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (w.
1394 H) seorang faqih kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di Spanyol yang
tidak bermazhab Zahiriyyah, dan tidak ada di pelosok Spanyol yang tidak
menganut mazhab Zahiriyah.Oleh sebab itulah, melaluitulisan ini penulis ingin
mencoba untuk mengkaji secara mendalam dansitematis tentang fiqh Daud al-
Zhahiri ini
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Lahirnya Mazhab Zahiri ?
2. Bagaimana Karakteristik metode Ijtihad dan Istinbath Mazhab Zahiri ?
3. Apa Saja Karya dan Murid Daud Zhairi ?
4. Bagaimana Sejarah Lahirnya Mazhab Syiah ?
5. Bagaimana Karakteristik Metode Ijtihad dan Istinbath Mazhab Syiah ?
6. Keistimewaan Mazhab Syiah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Sejarah Lahirnya Mazhab Zahiri
2. Mengetahui Karakteristik metode Ijtihad dan Istinbath Mazhab Syiah
3. Mengetahui Apa Saja Karya dan Murid Daud Zhairi
4. Mengetahui Sejarah Lahirnya Mazhab Syiah
5. Mengetahui Metode Ijtihad dan Istinbath Mazhab Syiah
6. Mengetahui Keistimewaan Mazhab Syiah

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Metode Ijtihad dan Istinbath Mazhab Zahiri
1. Sejarah Lahirnya Mazhab Zahiri
Ulama ada yang mendefinisikan kata “zhahir” yaitu: apa yang
tersingkap dan jelas maknanya, baik dia sebagai pendengar, pembaca
ataupun objek lainnya. Di dalam Mu’jam al-Washit, kata “zhahir” bermakna
“jelas dan terang setelah tersingkapnya maknanya.” Sedangkan ulama
Zhahiriyah sendiri mengartikan kata “zhahir” adalah zhahirnya lafaz dari
segi bahasa atau mengambil pemahaman yang lebih dekat dari perkataan itu
tanpa mengalihkannya kepada pemahaman lain kecuali dengan nash yang
lebih kuat ataupun ijma’. Selain nama Zahiriyyah, aliran ini juga dikenal
dengan nama mazhab al-Daudi. Hingga sekarang, pemikiran-pemikiran
aliran ini masih bisa ditemukan, bahkan sering menjadi bahan perbandingan
ketika melakukan pembahasan-pembahasan kontemporer. Mazhab Zhahiri
lahir dari belahan timur negeri Arab, pada abad ke-3 H. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya mazhab ini dipelopori langsung oleh Daud al-
Zhahiri. Kemudian bertolak ke belahan bumi bagian barat (Eropa).
Daud al-Zhahiri sendiri telah belajar dari ulama hadis, dan belajar fiqih
dari mazhab Imam Syafi’i, baik membaca langsung kitab-kitabnya maupun
belajar dari murid-muridnya dan sahabat-sahabatnya. Akan tetapi dia tidak
mengambil manhaj Imam Syafii’ kecuali hanya sedikit. Kemudian lambat
laun meninggalkannya dan mempunyai manhaj sendiri dalam
mengistinbathkan hukum. Dia berpendapat bahwa sumber hukum dari nash
saja, dan tidak ada ilmu dalam Islam kecuali bersumber dari nash, beliau
menggugurkan kedudukan qiyas (analogi) dan tidak mengambilnya sebagai
sumber hukum
Para ulama telah menyelidiki dan meneliti sebab-sebab munculnya
mazhab ini dan para pengikutnya yang berperan penting dalam
memajukannya. Mereka meyakini adanya hubungan langsung antara ulama
hadis dan ulama Zhahiriyah di balik kemunculannya. Hal ini bisa diketahui
ketika ulama hadis merupakan bagian yang yang berperan penting dan ikut

3
andil dalam kancah pertumbuhannya. Kita dapat mengetahui hal ini sebagai
berikut: pertama, golongan Zhahiri adalah adalah para muhaddits dan
merupakan jebolan dari madrasah-madrasah ulama hadis. Sedangkan
imamanya sendiri (Daud) telah belajar kepada ulama-ulama hadis. Dari dasar
ini Ibnu Hazm berani dengan lantang menisbatkan golongan Zhahiri kepada
golongan ahli hadis. Beliau berkata: “Ahlussunnah yang kami maksudkan
adalah mereka yang benar, sedangkan selainnya adalah ahli bid’ah. Ahlu as
Sunnah adalah para sahabat, kemudian golongan ahli hadis, dan para
pengikut mereka dari para fuqaha’ hingga sekarang ini.
Kedua, para muhaddits telah memberikan mata pelajaran kepada
mereka dalam masalah fiqih yang pada intinya membenci qiyas, dan
memperingati untuk tidak mempergunakannya kecuali dalam keadaan
darurat. Hal ini terus berjalan hingga pada akhirnya Zhahiriah mengingkari
qiyas secara utuh
2. Metode Ijtihad Mazhab Zahiri
Kecenderungan Ibn Hazm pada pendekatan Zhahiriah dalam
ijtihadnya, agaknya tidak terlepas dari kerangka pandangannya secara umum
tentang konsep bayan (penjelasan maksud al-Syari') yang menjadi misi
Alqur'an dan sunnah. Bayan memimpin mengandung makna bahwa kedua
sumber ajaran Islam itu memiliki pengertian yang sedemikian rupa, sehingga
kandungannya dapat diketahui dan dipahami oleh setiap orang yang tahu
dan memahami bahasa Arab sesuai dengan makna permainan itu. Pengertian
semacam ini terdapat pada zhahir nash. Oleh karena itu, Ibn Hazm
mengemukakan suatu prinsip “Firman Allah harus dibawa pada pengertian
lahiriahnya, selama tidak terhalang oleh nash lain,nijma atau kepastian
perasaan”.
Adapun penegrtian zhahir, Ibn Hazm menyamakannya dengan al-nas,
sedangkan al-nas didalam padangannya ialah “ Lafadz yang terdapat dalam
Al-qur’an atau Sunnah yang dipergunakan untuk menumjuki hukum segala
sesuatu. Nash adalah Zhahir itu sendiri”
Dari kutipan tersebut jelaslah bahwa menurut Ibn Hazm, nash sama
dengan zhahir, yakni suatu lafaz yang menunjukkan pengertian yang

4
ditunjuk langsung oleh lafaz yang diucapkan (manthuq). Kemudian dari
penegasan Ibn Hazm di atas jangkauan, bahwa pendekatan zhahiriah
merupakan suatu metode ijtihad atau istimbat hukum yang mengacu pada
pengertian lahiriah lafaz yang terdapat dalam Alqur'an dan sunnah secara
tekstual. Kedua sumber hukum itu dipahami berdasarkan pengertian
kebahasan dengan bertumpu kepada norma dan ketentuan bahasa yang
berlaku pada masyarakat pengguna bahasa Arab itu sendiri. Pengertian
kebahasaan itu diketahui secara otomatis (badihi) karena merupakan makna
yang segera ditangkal dari manthuq atau lafaz itu sendiri, bukan dari sesuatu
di luar nash. Sebagaimana Ibn Hazm jumhur ulama juga memanfaatkan
pendekatan kebahasaan. Perbedaan yang mendasar antara keduanya terletak
pada takwil.
Menurut pemahaman zahiriah, menurut Ibn Hazm, suatu lafaz tidak
boleh ditakwilkan pengalihan dari makna hakiki kepada makna majazi
kecuali jika tergantung pada nash Alqur'an, sunnah, ijma', atau hal
Berdasarkan yang ditangkap di dalam secra mudah; dan makna
ketakwilannya harus tercakup oleh pengertian lafaznya secara bahasa. Ibn
Hazm memasukkan makna semacam ini dalam kategori pengertian zahiriah
(zhahir al-lafzh), bukan takwilannya. Misalnya istilah-isatilah syar'i seperti
shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya merupakan istilah yang telah dialihkan
dari makna kebahasaannya kepada makna istilah syara', tetapi masih tetap
berada di dalam lingkup pengertian lahiriah lafaz dan karena itu masih
termasuk dalam kategori zahir lafaz. Hal ini berbeda dengan jumhur fukaha
yang memasukkan bentuk ini ke dalam kategori lafaz muawwal, karena
makna kebahasaannya telah dialihkan kepada makna istilah syara'.
3. Metode Istinbath Mazhab Zahiri
Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri
berkisar pada persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam memahami sumber tersebut.Konsekuensi logis dari
pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam masalah
fikihnya.

5
Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan
mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Dalam cara mempertegas
ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata :

ُ ‫سنَّةُ َو ْاِإل ْج َما‬


‫ع‬ ُ ‫ َأ ْل ِكت‬: ‫ص ْو َل‬
ُ ‫َاب َو ال‬ ُ ُ‫اِنَّ ْاال‬
“Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur’an, Sunnah, Ijmak.”
Bagi penganut az-Zhahiri keumuman nash al-Qur’an sudah cukup menjawab
semua tantangan dan masalah.
Imam Daud al-Zhahiri yang sempat mengagumi Imam Syafi’i akhirnya
menolak ijtihad beliau tentang qiyas, kemudian Daud al-Zhahiri
mengemukakan teori kajian hukum yang lebih menekankan pada
pengalaman literaris untuk diaplikasikan pada kenyataan kehidupan
mukallaf, dan itulah menurutnya yang disebut istidlal. Dengan demikian,
menurutnya sumber hukum itu adalah al-Qur’an dan al- Sunnah.Kemudian
menurutnya ijtihad hanya dapat dilakukan untuk mengaplikasikan pesan
ayat pada kehidupan dan perbuatan mukallaf.
Pemikiran hukum mazhab Zhahiri pada pokoknya dapat kita ketahui
melalui tulisan-tulisan Ibnu Hazm. Ajaran pokok Mazhab Zhahiri bertumpu
pada dua hal; pertama, bahwa pemahaman terhadap nash harus berdasarkan
pada makna yang zhahir saja. Al-Qur’an dan sunnah menurut Mazhab
Zhahiri mampu menjelaskan maknanya sendiri, di mana zhahir lafaz
langsung menunjukkan makna yang diinginkan oleh Allah, tanpa perlu
proses penggalian makna di belakang teks. Kedua, dalam masalah yang tidak
ditemukan jawabannya dari nash secara eksplisit, mazhab Zhahiri
menggunakan konsep yang mereka sebut dengan dalil, yaitu ber-istidlal
dengan bersandarkan pada zhahir teks pula.
Adapun al-dalil dari ijma’ menurut Ibnu Hazm ada empat macam
yaitu:
1) Tetap pada hukum semula (Istihab hal)
Berdasarkan pada ketentuan dalil ini, maka jika ada suatu dalil yang
mewajibkan suatu perbuatan dan oleh seseorang dinyatakan bahwa
hukum sesuatu telah berubah, maka yang bersangkutan harus
mendatangkan dalil lain yang kualitasnya dapat mengubah hukum.

6
Sepanjang tidak terdapat dalil yang memadai untuk mengubah hukum
yang ada, maka hukum yang lama tetap berlaku. Menurut Ibnu Hazm,
keharusan berpegang pada hukum semula selama tidak ada dalil baru,
itulah yang paling meyakinkan. Keyakinan tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan kayakinan lain.
2) Batas minimal suatu jumlah atau ukuran (aqallu ma qila)
Contohnya, orang dianjurkan bersedekah.Jika ada orang bersedekah
sekecil apapun nilainya, yang bersangkutan telah berhak disebut “orang
yang bersedekah.”Demikian juga apabila terjadi perbedaan antara ulama
mengenai suatu jumlah, maka jumlah yang terendah merupakan batas
minimal dan kedudukan inilah yang merupakan ijma’, karena diakui oleh
semua pihak yang berselisih.
3) Ijma’ untuk meninggalkan suatu pendapat
Seandainya terjadi perbedaan pendapat di antara beberapa ulama
mengenai satu masalah, dan mereka sepakat untuk meninggalkan salah
satu pendapat-pendapat tersebut, maka kesepakatan tersebut merupakan
dalil bahwa pendapat dimaksud telah batal.
4) Ijma’ bahwa satu hukum pada dasarnya berlaku untuk semua ummat
Islam
Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa setiap manusia sama
kedudukannya di depan hukum. Oleh karena itu, jika ada hukum yang
pada mulanya hanya tertuju hanya pada sebagian orang saja, maka
berdasarkan ketentuan ini, hukum tersebut harus berlaku juga bagi orang
lain. Mengenai konsep al-dalil ini, menurut berbagai ulama, termasuk
Abu Bakar Ahmad al-Khatib al-Baghdadi (1002-1071 H), ahli sejarah dari
desa Darzijan di wilayah Baghdad, Daud bin Ali bin Qalab bin Isfahani al-
Zahiri yang menolak qiyas sesungguhnya hanya secara teoritis,
sedangkan secara praktis Daud al-Zahiri juga mengamalkan 63 qiyas
sekalipun diberi nama lain, yakni al-dalil. Akan tetapi, terhadap penilaian
tersebut, Ibnu Hazm membantahnya dengan tegas dengan mengatakan
bahwa sebagian dari orang-orang yang tidak mengerti mengatakan
bahwa qiyas dan dalil adalah sama. Oleh karena itu mereka telah keliru.

7
4. Karya-karya dan Murid Daud Zhahiri
Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits dari
para muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang
bermukim di Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan
meriwayatkan hadits dari para muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun
hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika
berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan
kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri.
Untuk membangun madzhabnya, Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya,
antara lain :
1) Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).
2) Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).
3) Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal
khusus dan umum).
4) Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak
jelas pengertiannya).
5) Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap
kias).
6) Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan
bertaklid).
7) Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi
yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun
buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud
al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun
semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif
al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi.Akan tetapi dari jalan
madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan
ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh
yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”
dalam masalah ushul fiqh
Adapun murid-murid Imam Daud al-Zhahiri adalah:

8
a) Ibrahim bin Muhammad (244-323 H) yang bergelar Nafthawaih
b) Zakaria bin Yahya al-Sajiy (w. 307 H)
c) Abbas bin Ahmad ibn al Fadhl al Quraisyiy
d) Abdullah bin Muflis (w. 324 H)
e) Muhammad bin Daud al-Zhahiry (255-297 H)
f) Muhammad bin Ishaq al-Qasyaniy
g) Yusuf bin Ya’qub bin Mahran
Sedangkan para pendukung dan pengembang mazhab Zhahiri setelah
Daud al-Zhahiri meninggal dunia adalah:
a) Ahmad bin Muhammad al-Qadhiy al-Manshuriy
b) Abdullah bin Ali al-Husain ibn Muhammad al-Nakha’i al-Daudiy
c) Abd Aziz Ahmad al-Jaziri al-Ashfahaniy
d) Ibnu al-Khalal yang terkenal dengan sebutan Abu Thayyib
e) Ali bin Hazm al-Zhahiriy (384-456 H), dialah yang banyak
mengembangkan mazhab Zhahiri ini.

B. Karakteristik Metode Ijtihad dan Istinbath Mazhab Syiah


1. Sejarah Mazhab Syiah
Secara etimologi kata Syi’ah dalam bahasa Arab: ‫ شيعة‬dan bahasa Persia
‫ ش یعه‬ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi’ah
mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-
nya. Syi’ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti
juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi’ah. Kelompok Syi’ah bependapat
bahwa bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi
Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir
Khum.
Syiah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau
kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslimin
keturunan Nabi Muhammad SAW.atau orang yang disebut sebagai ahlul bait.
Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk
agama itu bersumber dari ahlul bait. Mereka menolak petunjukpetunjuk
keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.

9
Menurut Thabathabai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditunjukkan pada
para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahlul bait pada masa Nabi
Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di antaranya
adalah Abu Dzar Al- Ghiffari, Miqad bin AlAswad, dan Ammar bin Yasir.
Pengertian etimologi dan terminologi di atas hanya merupakan dasar yang
membedakan Syi’ah dengan kelompok Islam yang lain.
Mengenai kemunculan Syiah dalam sejarah, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul
pada 1 Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN,
PTAIS Bandung: Pustaka Setia, 2007, hlm. 89 2 Thabathabai, Islam Syi’ah:
Asal-Usul dan Perkembangannya. Terj. Djohan Effendi Jakarta: Grafiti Press,
1989, hlm.37 - 71 32 masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian
tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Thalib. Adapun
menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung
peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Siffin.
Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase
yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua,
satu kelompok mendukung sikap Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain
menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Perpecahan dan perbedaan pemahaman kembali muncul dalam Syiah
ketika kepergian (ghaib) Imam kedua belas Syiah yaitu Muhammad bin
Hassan Al-Asykari. Syiah mengalami krisis keagamaan dan secara praktis
kehilangan sosok penentu kebijakan religius mereka dan 52 Konsep Ijtihad
dalam Aliran Syiah Akademika, Volume 15, Nomor 1, Juni 2021 pada
akhirnya memunculkan perdebatan seputar peran para faqih, (ahli hukum)
yang berdiri mewakili posisi para Imam, terutama soal boleh-tidaknya
mereka menyimpulkan hukumhukum agama. Perpecahan dan krisis
keagamaan Syiah juga dilatarbelakangi oleh adanya khilafiyah
berkepanjangan di dalam interen ulama Syiah antara dua madhab besar,
madhab Usuliyah dan madhab Akhbariyah.Masing-masing madhab secara
temporal mempunyai pengaruh kuat di dalam wacana publik. Terdapat
beberapa perbedaan pandangan fundamental antara ulama madhab Usuliyah

10
dan ulama madhab Akhbariyah bahkan perselisihan yang terjadi antara
ulama madhab Akhbariyah dan ulama Usuliyah ini sampai ke tingkat
pengkafiran di antara mereka
2. Kelompok Usuliyah
Kubu Usuliyah adalah kelompok ulama yang memiliki kecenderungan
bersandar pada serangkaian proses rasional. Kelompok ini hadir, diterima
dan berkembang dalam komunitas Syiah dan bahkan mendominasi struktur
pemikiran hukum Syiah selama berabad-abad. Kelompok yang dimotori
antara lain oleh Syaikh al-Mufid (w.1022) ini menolak pandangan lawan-
lawan tradisionalisnya, Akhbariyah yakni kelompok yang memiliki
kecenderungan tradisionalis dalam yurisprudensi Syiah.
Para Usuliyun adalah terdiri dari ahli kalam dalam usuluddin dan
para Usulian dalam ilmu fiqih yang mewakili dari mayoritas ulama Syiah
Itsna Asyariyah yang bermula dari sejak zaman syeh Mufid Muhammad bin
Muhammad bin Nu’man beserta murid muridnya sampai zaman sekarang
yang diwakili syekh usuli Al-majdad Murtadho Bin Muhammad Amin Al
Ansori yang terus menghidupkan periode pembaharuan pada zaman
sekarang yang berada di Negara Iran Irak, Libanon, daerah teluk Arab, India,
Pakistan, asia tengah dan Negara Negara yang disana terdapat kelompok
minoritas Syiah Isna Asyariyah.
Madhab Ushuliyah ini bisa juga dinamakan sebagai "Madrasah ar-
Ra`‟yi watTa`‟wil". Di antara tokoh ulama yang terkenal aliran ini adalah ath-
Thusi, pengarang kitab "al-Istibsar wat-Tahdzib", al-Murtadha yang
dinisbahkan kepadanya kitab "Nahj alBalaghah", syaikh al-Mufid, pengarang
kitab "Awa`il al-Maqalat", dan yang lainnya. Waheed Behbahani (1791) secara
luas dianggap sebagai tokoh penting pendiri atau pemulih dari Madhab
Usuliyah Syiah Imamiyah dan tokoh yang memainkan peran penting dalam
mempersempit bidang ortodoksi di Syiah Imamiyah, Behbahani memimpin
tantangan intelektual ushuli yang di dominasi Akhbari di Karbala di tahun
1760-an. Dengan kekalahan Safawi berikut invasi Afghanistan pada tahun
1722 dan munculnya generasi baru ulama Akhbariyah di Bahrain.

11
Ulama Bahrain yang paling berpengaruh saat itu adalah Yusuf Al
Bahrani di mana dia memimpin sebuah serangan intelektual pada Usuliyah
pada pertengahan abad kedelapan belas. Peran Behbahani di tahun 1760-an
pada awalnya hanya menantang Al Bahrani sebelum membangun dukungan
kepercayaan diri dan akhirnya memimpin kebangkitan Usuliyah setelah
kematian Al Bahrani di tahun 1772. Ulama Usuliyah lebih mengedepankan
rasionalitas hukum. Mazhab ini berpendapat bahwa di samping
mendasarkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah, hukum harus juga
mendapat legitimasi dari al ijma‟ (konsensus) dan al-„aqlu (akal).Tingkat
rasionalitas yang dijadikan ukuran adalah apakah hukum bertentangan
dengan akal atau tidak.Peran para Usuliyah adalah untuk mengelaborasi
lebih jauh hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
3. Ijtihad Usuliyah dan Marja’ Taqlid
Pada masa dinasti Qajar (1796-1834) ulama menempati posisi sangat
strategis sehingga lebih mudah dalam mengembangkan dan menjalankan
pemikiran-pemikiran mereka secara praktis.Di masa ini pula, institusi Marja'
taqlid berdiri.Ia merupakan sebuah konsep yang relatif baru sebagai
pengembangan dari doktrin ijtihad versi Usuliyah. Institusi ini memberikan
pengaruh yang sangat signifikan di masa selanjutnya, terutama tentang
peranan ulama dalam sebuah komunitas sosial dan hubungannya dengan
masyarakat.
Secara umum persoalan keberhasilan revolusi-revolusi yang
dilancarkan kaum Syiah Iran dikarenakan adanya jiwa keaktifan mereka
dalam merespon adanya perkembangan politik yang selalu dicarikan
solusinya lewat ijtihad. Ijtihad dalam mazhab Usuliyah selalu ditekankan,
sebaliknya berbeda dengan Syiah madhab Akhbariyah yang lebih terkesan
pasif dan anti-ijtihad karena kehati-hatiannya dalam memelihara fatwa imam
dua belas
Ijtihad dalam Usuliyah, seperti juga dalam pemahaman Sunni, tidak
boleh sembarangan dilakukan. Seseorang dikatakan mujtahid karena ia telah
mampu memenuhi kualifikasi-kualifikasi untuk berijtihad. Mereka yang
tidak mampu berijtihad dinamakan muqallid. Oleh karena itu, untuk

12
memenuhi kebutuhan spiritual para muqallid ini dibuat institusi Marja‟
taqlīd sebagai solusinya
Dengan demikian struktur hirarki masyarakat Syiah sangat
meninggikan status fuqaha dan berpengaruh mendalam bagi perjalanan
sejarah dan masyarakat Syiah. Kondisi inilah yang agaknya kemudian layak
dipandang sebagai ajang dan membuka jalan bagi aktivisme politik ulama
Syiah di sepanjang abad 19 dan 20, dan juga dipandang sebagai embrio
revolusi Islam Iran tahun 1978-1979, sebuah revolusi yang dipimpin oleh
seorang Marja' taqlid yang terkenal dan populis, yakni Ayatullah Ruhullah al-
Khomaeni. Karena dengan sikap taqlidnya, muqallid (sebutan lain dari
mukallaf yang bukan Usuli atau 'awam, mereka memiliki kewajiban mentaati
ulama/pemimpinnya, dan karena mereka sebelumnya terlatih hidup dalam
marginalisasai politik mulai dari era Khalifah al-rasyidin, Umayyah dan
bahkan Abbasiyah, maka mereka memiliki militansi yang tinggi dan
karenanya mereka cukup kuat untuk dijadikan aset demi kepentingan politik
pemimpinnya.
Konsep Marja' taqlid secara resmi terinstitusi pada tahun 1846 ketika
Muhammad Hasan Najafi menjadi satu-satunya sumber rujukan bagi
komunitas Syiah.10 Bahkan, Najafi mengikrarkan diri sebagai marja‟ absolut
(mutlaq) dan sempurna yang berarti posisi hirarkis tertinggi dari para marja'
taqlid Konsep ini tidak pernah dikenal sebelumnya, atau lebih tepatnya tidak
mengandung arti penting di masa sebelum dinasti Qajar.Konsep marja' taqlid
sebelumnya hanya dikenal sebagai kumpulan tradisi/ riwayat seperti yang
diistilahkan oleh Astarabadi sebagai marja‟ al-Syi‟a.
4. Metode Istinbath Mazhab Syiah
Dalam bidang pemikiran hukum, kalangan Syi’ah punya Usul Fiqh
tersendiri dan kaidah-kaidah istinbat yang banyak perbedaannya dari
kalangan mazhab-mazhab Sunni yang sudah ada.Mazhab Syi’ah ini terdiri
dari beberapa golongan yang dalam beristinbat ada perbedaannya.Sehingga
dalam bidang usul mereka menolak segala dasar yang tidak sesuai dengan
mazhab mereka.

13
Syi’ah Imamiyah terdiri dari dua belas imam yang menjadi marja’
(panutan) mereka dalam hal yang berkaitan dengan urusan ajaran
agama.Umumnya kalangan Syi’ah Imamiyah mempunyai dasar tersendiri
dalam melakukan istinbat hukum, yaitu berpijak pada Al-Kitab, Al-Sunnah,
AlIjma’ dan Al-Aql.
Al-Kitab atau al-Qur’an dalam pandangan Imamiyah tidak jauh beda
dengan ulama lainnya. Al-Qur’an adalah sumber utama dari segala corak
pemikiran Islam. Al-Qur’anlah yang memberikan kesahan dan kewenangan
kepada segala sumber keagamaan yang lain dalam Islam. Oleh karena itu
harus dipahami oleh semua orang
Sunnah bagi Syi’ah Imamiyah berbeda dengan apa yang difahami oleh
kalangan jumhur ulama Sunni. Tentang Sunnah yang dimaksudkan oleh
Syi’ah Imamiyah adalah segala sesuatu yang diucapkan, dikerjakan oleh
orang-orang yang mempunyai sifat ma’sum yang berhubungan dengan
penetapan hukum serta penjelasan-penjelasannya.Yang mereka maksudkan
dengan sifat ma’sum disini ialah Nabi Muhammad dan para imam mereka,
yaitu imam dua belas.
Adapun cara kaum Syi’ah dalam mengikuti Hadits yaitu Hadits yang
langsung didengar dari Nabi atau dari salah seorang imam. Mengenai Hadits
yang diterima melalui perantara, kebanyakan orang-orang Syi’ah
menerimanya apabila sanad atau mata rantai penyampaiannya meyakinkan,
atau ada bukti yang pasti mengenai kebenarannya.Sedangkan yang
dimaksudkan dengan ijma’ sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah
ijma’ yang berasal dari imam-imam mereka yang ma’sum.
Menurut Ali Kasyiful Ghita’, golongan Syi’ah Imamiyah berpegang
pada akal, apabila tidak ada nas dan ijma’, dan mereka tidak menerima atau
menolak qiyas. Dan golongan Syi’ah Imamiyah mengatakan, bahwasanya
pokok pemikiran imam Ja’far dalam menetapkan suatu hukum, merujuk
pada al-Qur’an dan al- Sunnah.Jika mendapat masalah yang tidak ada nasnya
dalam kedua sumber di atas, imam Ja’far menggunakan ra’yu dengan
menekankan al-Maslahah dan tidak menerima qiyas.

14
Di dalam mazhab Imamiyah sendiri, ditemukan adanya perbedaan
pandangan dalam menanggapi masalah penggunaan ”Akal” sebagai dasar
penetapan hukum Islam, yaitu:
1) Golongan Usuliyah
Dalam menetapkan hukum menggunakan usul al-fiqh dan
kaidahkaidahnya.Melakukan penelitian al-Hadits yang terdapat di dalam
kitab yang empat.Adapun dalam bidang keyakinan, Syi’ah tidak
menggunakan istilah rukun iman, tetapi dengan istilah usuluddin. Yaitu
terdiri atas lima poin, diantaranya; tauhid, kenabian, imamah, keadilan
dan hari akhir.
2) Golongan Akhbariyyah
Dalam menetapkan hukum Islam itu hanya berpegang pada al-Qur’an
dan al-Hadits yang terdapat dalam kitab pokok yang empat (kitab al-Kafi,
kitab Man Yahduruhu al-Faqih, kitab al-Tahdzib, kitab alI’tibar, karena
semua al-Hadits di dalamnya dianggap sahih.Sekalipun demikian, masih
ditemukan dari mereka yang mau mempelajari dan mempergunakan usul
al-fiqh dan kaidah-kaidahnya, hanya saja jumlahya sangat terbatas.
5. Akidah dan Ajaran Syiah
Mereka sepakat bahwa para nabi dan imam Syiah adalah ma’sum
(terhindar dari perbuatan dosa), baik dari dosa kecil maupun dosa besar.
Selain itu, mereka juga sepakat bahwa tawalli (menolong para imam) dan
tabarri (meninggalkan musuh-musuhnya) adalah wajib hukumnya, baik
dilakukan dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun keyakinan.21 Dalam hal
ini, sebagian pengikut kelompok Syiah Zaidiyyah tidak sependapat dengan
mereka.
Kaum Syiah berkeyakinan bahwa keduabelas orang Imam tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Ali bin Abi Thalib
2) Hasan bin Ali
3) Husain bin Ali
4) Ali bin Husain
5) Muhammad bin Ali

15
6) Ja‟far bin Muhammad
7) Musa bin Ja‟far
8) Ali bin Musa
9) Muhammad bin Ali
10) Ali bin Muhammad
11) Husain bin Ali
12) Muhammad bin al-Hasan (al-Mahdi)
Ayatullah Khumaini (ulama Syiah) mengatakan sesungguhnya imam
mempunyai kedudukan yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpinan
yang mendunia, di mana seisi alam ini tunduk di bawah wilayah dan
kekuasaannya. Dan termasuk hal yang pasti bahwa imam kita mempunyai
kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin ataupun nabi
yang diutus. Bagi siapa yang tidak percaya kepada keduabelas imam mereka
dianggap kapir atau masuk neraka.
Sementara mereka mendakwakan bagi imam mereka yang ke-12 apa
yang para imam itu sendiri tidak mengakuinya, yaitu mengetahui hal yang
gaib, dan bahwa para imam itu menduduki tingkat yang paling atas diantara
umat manusia, kaum Syiah mengingkari apa yang Allah wahyukan kepada
Nabi Muhammad saw tentang masalah metafisika seperti soal penciptaan
langit dan bumi, sifat-sifat surga dan neraka.
Aneh sekali imam-imam mereka ini. Mereka begitu lancang berkata
bahwa para imam itu mengetahui segala hal yang gaib, padahal hal itu tidak
merupakan sesuatu yang pasti dan dapat dibuktikan. Tetapi mereka
beranggapan tidak wajib mempercayai dan mengakui berita-berita yang gaib
dan metafisik, yang dapat dibuktikan dari Rasulullah saw. Secara otentik dan
dalil-dalil yang demikian kuat, seperti ayat-ayat qur-an dan hadits-hadits
sahih, tentang kejadian di langi dan bumi, dan tentang surga neraka. Padahal
kita meyakini bahwa semua yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw. tidaklah
merupakan ungkapan yang didorongan oleh hawa nafsu melainkan firman
yang diwahyukan.
Kitab-Kitab Syiah diantaranya yaitu:
1) Al-Aqo‟id al-Islamiyah

16
2) Al-Fiqh ala al‟Madhahib al-Khamsah
3) Al-Halaqat
4) Fiqh Istidlali
5) Al- Mantiq
6) Bidayah al-Hikmah
6. Keistimewaan Mazhab Syiah
Keunggulan mazhab Syiah adalah disebabkan oleh “kebenarannya”.
Di setiap masa agama yang benar masa hanya terbatas pada satu agama.
Allah Swt pada setiap masa memiliki satu syariat.  Adapun agama-agama
lainnya apakah mereka secara asasi merupakan agama yang batil atau pun
tidak memiliki dasar, telah punah atau telah dianulir oleh agama yang datang
setelahnya.. Banyak jumlah mazhab-mazhab dan agama-agama samawi yang
hingga kini diturunkan untuk manusia. Bilangan agama tersebut adalah
bilangan vertikal bukan horizontal. Artinya bahwa agama baru adalah agama
yang menganulir dan menyempurnakan agama sebelumnya. Seiring dengan
datangnya agama baru maka masa pakai agama lama sudah kadaluarsa dan
tidak laku lagi. Lantaran sudah expired (masa pakainya sudah usai) maka
agama lama tersebut memberikan tempatnya kepada agama baru dan semua
penganutnya harus mengikuti dan beriman kepada ajaran baru tersebut. Atas
alasan ini, dalam teks-teks suci agama menyebut orang-orang yang tidak
beriman kepada agama yang baru disebut sebagai “kafir.”
Abu Dzar Ghiffari salah seorang sahabat besar dan tsiqah (dipercaya)
Rasulullah Saw menukil: “Aku mendengar dari Nabi Saw sesungguhnya
beliau bersabda: “Perumpamaan Ahlubaitku di tengah kalian laksana
bahterah Nuh bagi kaum Nuh, barangsiapa yang menaiki bahtera akan
selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan karam.
Asas dan fondasi mazhab Syiah adalah tauhid, keadilan, kenabian,
imamah dan ma’ad. Syiah adalah mazhab yang meyakini terhadap adanya 12
imam maksum sebagai khalifah Rasulullah Saw dimana Imam Pertama
mazhab Syiah adalah Ali bin Abi Thalib dan Imam Pamungkas (Imam
Keduabelas) adalah Imam Mahdi Ajf.

17
Dalam riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dijelaskan jumlah
bilangan dan bahkan nama-nama para Imam Maksum As. Suatu hari
Abdullah bin Mas’ud duduk di tengah sekumpulan orang-orang tiba-tiba
datang seorang Arab Badui dan bertanya siapa di antara kalian yang bernama
Abdullah bin Mas’ud? Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Saya adalah
Abdullah bin Mas’ud. Orang Arab itu bertanya: Apakah nabi kalian
menjelaskan bagi kalian berapa jumlah khalifah setelahnya? Abdullah bin
Mas’ud berkata: Iya. Dua belas orang sejumlah bilangan pemimpin Bani
Israel.
Dalil klaim kami atas kebenaran Syiah adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Allah Swt dalam al-Qur’an memerintahkan kepada kita untuk mentaati Allah
Swt, Rasulullah Saw dan Ulil Amri – Ulil Amri yaitu para Imam Syiah sesuai
dengan penegasan Rasulullah Saw. Pada banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
menyinggung masalah imamah dan wilayah. Ayat-ayat seperti, “Wa anzhir
asyiratakal aqrabin;” “Innama waliyyukumuLlah wa rasulah wa al-mu’minun
alladzina yuqimuna al-shalat yuthu’na al-zakat wa hum raki’un.” “Ya ayyuharrasul
balligh maa unzila ilaik min Rabbik wa inlam taf’al fama ballaghta risalatah.” “Al-
Yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa radhitu lakum al-
Islama Dina.” “Innama yuriduLlah liyudzhiba ‘ankum al-rijs Ahlalbait,“dan
sebagainya.
Nabi Saw juga sesuai dengan bukti-bukti tegas sejarah dan riwayat
senantiasa menyebut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As sebagai washi
dan khalifahnya. Sebagaimana Thabar dalam Tarikh-nya menukil bahwa
tatkala ayat “wa andzir asyiratakal aqrabin” turun, Nabi Saw berkata kepada
kaumnya: Allah Swt menitahkan kepadaku supaya Aku mengajak kalian
kepada-Nya. Barang siapa di antara kalian yang membantuku dalam hal ini
maka ia akan menjadi saudara, washi dan khalifahku. Ali berkata: “Saya
wahai Rasulullah Saw akan membantumu di jalan ini. Rasulullah Saw
menaruh tangannya di pundak Ali As dan bersabda: “Sesungguhnya ini (Ali)
adalah saudara, washi dan khalifaku di antara kalian. Dengarkan dan
patuhilah ia. Kerabat Rasulullah Saw berdiri sembari mencemooh kepada

18
Abu Thalib: “Dia memerintahmu untuk mentaati anakmu dan melaksanakan
perintahnya.”
Hal ini merupakan dalil-dalil keunggulan dan kebenaran Syiah secara
global atas mazhab-mazhab lain menurut pandangan internal (sesama
mazhab Islam) agama dengan bersandar pada ayat-ayat dan riwayat. Akan
tetapi hal ini juga dapat ditinjau dari sudut pandang eksternal (luar) agama
dan membandingkan antara ajaran-ajaran Syiah dan non-Syiah yang
menandaskan keunggulan mazhab Syiah. Akan tetapi pembahasan ini akan
kami ketengahkan pada kesempatan mendatang.

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
walaupun Ibn Hazm seorang yang literalis dengan menolak semua model ijtihād
bi al-ra’yi, namun ketika meng-istinbath-kan hukum ia tetap tidak bisa
melepaskan diri dari unsur logika di dalam ijtihād-nya. Hal ini dapat dilihat dari
pengembangan konsep al dalīl terhadap permasalahan tertentu yang tidak
terjawab di dalam naṣ.Meskipun menurut Ibn Hazm konsep al dalīl ini belum
keluar dari jalur naṣ, namun penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan
penguasaan ilmu mantīq (logika).
Selain al dalil, Ibn Hazm juga menggunakan teori istishab guna
menetapkan hukum pada permasalahan baru.Istiṣhāb yang dilakukannya
merupakan pengembangan dari metode al dalīl.Ibn Hazm justru menyatakan
bahwa yang menjadi sandaran istiṣhāb adalah naṣ. Naṣ menunjukkan prinsip
ibāhah aṣliyah bagi segala sesuatu sampai ada naṣlain yang memalingkannya
dari prinsip itu baik berupa larangan atau kewajiban. Apa yang telah ditetapkan
oleh naṣ mengenai status hukumnya maka status hukum itu berlangsung terus
hingga ada dalil lain yang mengubahnya.
Ulama Syi’ah yang kuat berpegang kepada dalil-dalil nash, baik al-Quran
maupun Sunnah. Dalam ijtihad-ijtihadnya ia lebih mendahulukan pemahaman
zhahir ayat-ayat al-Quran daripada hadis-hadis yang dipandangnya ahad
Ijtihadnya dalam masalah hukum mengikuti metode istinbath ulama Syi’ah yang
mengambil Sunnah dan ijma’ sesuai dengan terminologi Syi’ah.
B. SARAN DAN PENUTUP
Penulis menghimbau agar metode-metode istinbāṭ dan fikih dari mazhab
yang ada maupun yang pernah agar terus dikaji, diteliti serta dianalisa demi
kepentingan umat Islam di masa sekarang ini dan masa yang akan datang.
Karena sesungguhnya studi terhadap naskah-naskah fikih ini merupakan suatu
studi yang amat penting guna dapat mengembangkan fikih yang dinamis agar

20
bisa menjawab berbagai pertanyaan yang terus muncul seiring perubahan
zaman.

21
DAFTAR PUSTAKA
haq Abdul dkk. 2005. Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya : Khalista) komunitas kajian
Aprilianto Dw dan Ahmad Suyuthi. 2021. Konsep Ijtihad dalam Aliran Syiah:
Membedah Perdebatan antara Madzhab Ushuliyah dan Akhbariyah. Jurnal
Akademika.ISSN(e) 2621-8828 | Vol. 15 No. 1 (2021)51-62ilmiah lirboyo hal 21
al-Sayis Muhammad ‘Ali. 2003. Sejarah Fikih Islam, (Terjm: Nurhadi AGA), Judul
Asli: Tarekh al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,), h. 60
Fadlallah Muhammad Husain. 1979, Al-Islam wa al-Mantiq al-Quwwa (Beirut;1979),
175-6.
A.K. Moussavi, The Struggle for Authority in the Nineteenth Century Shi‟ite
Community; The Emergence of the Institution of Marja‟i Taqlid., 151.
Zaid Minna Abu. 2008. Mausu’a al-Firaq wa al-Mazhahib fi al-Islami, (Kairo: Wizara al-
Auqaf al-Majlis al-A’la li al-Syu’ni al-Islamiyah, 1430 H), hal. 42.

22

Anda mungkin juga menyukai