Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ALIRAN AZ-ZAHIRIYYAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah studi Teologi islam

Dosen pengampung :

Dr.Ita Rahmania kusumawati S.S.,S.Si.,M.A

Muhammad fachri fahrezi

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI

TEBUIRENG JOMBANG

2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah yang maha kuasa lagi maha penyayang, yang telah memberi kami
kesehatan dan kemudahan dalam melakukan aktifitas, khususnya dalam menyelesaikan makalah
ini dengan tepat waktu. Atas rahamat dan karunianya tanpa pertolngan-nya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik

Shalawat dan salam tercurah limpahkan kepada baginda besar, pemimpin umat manusia,
pemimpin dari seluruh alam, pemimpinnya para pemimpin, yakni habibana, wanabiyyana,
warasulana, wamaulana, Muhammad SAW

Menyusun makalah memang tidak lah mudah. Sebab, makalah ini merupakan makalah yang
pertama kelompok kami buat. Adapun penyusunan makalah ini kiranya masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kami menghaturkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam
makalah ini. Kami pun berharap makalah ini dapat dapat memberikan kritik dan saranya kepada
kami agar di kemudian hari kami bisa membuat makalah yang lebih sempurna lagi.

Akhir kata, kami ucapan terima kasih kepada segala pihak yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu atas bantuannya dalam penyusunan makalah ini.

Jombang, 12 Desember 2021

Muhammad Fachri Fahrezi

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................ 2

DAFTAR ISI................................................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................. 4

1.1 Metode Ringkasan.................................................................................................... 4

BAB 2 PEMBAHASAN................................................................................................. 5

1.1 Sejarah Pertumbuhan Aliran Zahiriyah.................................................................... 5


1.2 Sejarah dan Perkembangan Aliran Zahiriyyah......................................................... 7
1.3 Pokok Ajaran Aliran Zahiriyyah…………………………………………………... 11
1.4 Profil Para Tokoh Dan Penganutnya......................................................................... 13

BAB 3 PENUTUP.......................................................................................................... 17

1.1 Kesimpulan............................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

Metode Ringkasan

Dalam mengerjakan makalah ini saya pribadi menggunakan metode outline ( garis besar ) yang
mana sesuai namanya , pada metode ini kita akan merangkum pelajaran kita dengan
menggunakan cara menuliskan secara garis besar materi yang akan kita terangkan. Kita mulai
dari judul awal , lalu dipecah menjadi beberapa subjudul penting dibawahnya . dan apabila kita
merasa kurang spesifik , kita juga bisa menambahkan sub-judul dibawahnya subjudul , dan
setelah itu kita bisa menambahkan keterangan secara lebih spesifik dibawahnya

Misalnya adalah materi pada pelajaran biologi dengan judul mahluk hidup makakita juga bisa
memberikan subjudul seperti contohnya , `monera,`animal,`fungi dan lain sebagainya , lalu pada
subjudul `fungi` kita dapat memberikan contoh karakteristiknya, dan cara bagaimana
mengembangbiakan , dan lain sebagainya

Dan keuntungan dalam menggunkan metode ini adalah kita bisa membuat rangkuman pelajaran
yang sangat ringkas dan juga sedrhana namun dapat mencangkup semua detailnya , dan
kekurangan dalam metode ini adalah rangkuman kita terlihat lebih kaku dan juga begitu
membosankan

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pertumbuhan Aliran Az-Zahiriyyah


Sebagian ulama ada yang mendefinisikan kata `dzahir` yaitu : apa yang tersingkap dana
pa yang jelas maknanya , baik dia sebagai seorang pembaca maupun seorang pendengar
dan ataupun objek lainnya. Di dalam Mu`jam al-Wasith , kata `zhahir` bermakna ` jelas
dan terang setelah tersingkapnya suatu makna. ( Syauqi Dhaif : 2007 )

Akan tetapi Ulama zahiriyyah sendiri mengartikan kalimat `zhahir` adalah zhahirnya
lafadz dari segi Bahasa atau juga mengambil suatu pemahaman lain yang lebih dekat dari
perkataan itu tanpa mengalihkannya kepada sesuatu pemahaman lain kecuali dengan nash
yang lebih kuat ataupun ijma. Selain dikenal sebagai aliran az-Zahiriyyah aliran ini juga
dikenal sebagai madzhab Al-Daudi , hingga sampai saat ini aliran ini juga masih dapat
ditemukkan , bahkan seringkali menjadi bahan bahan perbandingan ketika melakukan
pembahasan pembahasan yan kontemporer , dan mazhab ini lahir dari bagian belahan
timur negri arab , dan pada tahun ke 3 Hijriyyah , sebagaimana elah disebutkan
sebelumnya bahwa mazhab ini di pelopori langsung oleh seseorang yang bernama Daud
al-zahiri , Kemudian bertolak ke bagian belahan barat atau Eropa. ( Qodry Azizy : 2003 )

Daud al-Zhahiri sendiri telah belajar dari ulama hadis, dan belajar fiqih dari mazhab
Imam Syafi’i, baik membaca langsung kitab-kitabnya maupun belajar dari murid-
muridnya dan sahabat-sahabatnya. Akan tetapi dia tidak mengambil manhaj Imam Syafii’
kecuali hanya sedikit. Kemudian lambat laun meninggalkannya dan mempunyai manhaj
sendiri dalam mengistinbathkan hukum. Dia berpendapat bahwa sumber hukum dari nash
saja, dan tidak ada ilmu dalam Islam kecuali bersumber dari nash, beliau menggugurkan
kedudukan qiyas (analogi) dan tidak mengambilnya sebagai sumber hukum. ( Joseph
Schacht : 1995 )

Para ulama telah menyelidiki dan meneliti sebab-sebab munculnya mazhab ini dan para
pengikutnya yang berperan penting dalam memajukannya. Mereka meyakini adanya

5
hubungan langsung antara ulama hadis dan ulama Zhahiriyah di balik kemunculannya.
Hal ini bisa diketahui ketika ulama hadis merupakan bagian yang yang berperan penting
dan ikut andil dalam kancah pertumbuhannya. Kita dapat mengetahui hal ini sebagai
berikut: pertama, golongan Zhahiri adalah adalah para muhaddits dan merupakan jebolan
dari madrasah-madrasah ulama hadis. Sedangkan imamanya sendiri (Daud) telah belajar
kepada ulama-ulama hadis. Dari dasar ini Ibnu Hazm berani dengan lantang menisbatkan
golongan Zhahiri kepada golongan ahli hadis. Beliau berkata: “Ahlussunnah yang kami
maksudkan adalah mereka yang benar, sedangkan selainnya adalah ahli bid’ah. Ahlu as
Sunnah adalah para sahabat, kemudian golongan ahli hadis, dan para pengikut mereka
dari para fuqaha’ hingga sekarang ini. ( Joseph Schacht : 1995)

Kedua, para muhaddits telah memberikan mata pelajaran kepada mereka dalam
masalah fiqih yang pada intinya membenci qiyas, dan memperingati untuk tidak
mempergunakannya kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini terus berjalan hingga pada
akhirnya Zhahiriah mengingkari qiyas secara utuh. Oleh karena itu Imama Ahmad lebih
mengutamakan hadis dhaif dari pada ra’yu. Dari sini kita mengetahui ada kemiripan
dalam masalah hadis antara mazhab Hanbali dengan Zhahiriah.( Joseph Schacht : 1995 )

Di samping itu, pada abad kedua Hijriyah bermunculan berbagai aliran dalam rangka
memahami sumber hukum Islam. Aliran Muktazilah yang lebih menonjol dalam bidang
teologi terkenal dengan kemampuan akal, sementara aliran al-Bathiniyah yakni salah satu
sekte aliran Syi’ah terkenal sebagai sekte yang menta’wilkan ayat al-Qur’an al-Karim
secara berlebihan. Kedua aliran tersebut menurut Daud al-Zahiri sudah melampaui
batasan dalam menggunakan akal dalam memahami nash. Ketika akan diperlakukan
sebagai sesuatu yang memliki kekuatan yang begitu tinggi, termasuk oleh penganut
mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi, Daud al-Zahiri menanggapinya dengan mendirikan
mazhab baru, suatu mazhab yang justru membatasi secara ketat intervensi akal terhadap
wahyu. Aliran ini menggali hukum dari nash al-Qur’an al-Karim sebatas yang dapat
ditangkap secara lahiriyah saja, sementara makna yang tidak jelas artinya ditolak.
Penta’wilan hanya dilakukan ketika ada indikasi atau dalil yang mendukung penta’wilan
tersebut. Namun demikian, bukan berarti mazhab Zhahiriyah menolak kehadiran akal

6
dalam memahami nash, hanya saja sikap kehati-hatian mereka lebih dominan. ( Joseph
Schacht : 1995 )

B. Sejarah Perkembangan aliran Zahiriyyah


Sebab lahirnya dan berkembangnya mazhab Zhahiri di tanah Arab dan bagian timur,
dan kemudian menyebar ke barat (Eropa) sebagai berikut: pertama, Daud al-Zhahiri
mendeklarasikan mazhabnya di Bagdad. Kemudian menyusun beberapa kitab yang
kesemuanya berisi hadis dan atsar yang mengokohkan mazhabnya dan pendapat-
pendapatnya dalam berbagai cabang fiqih yang telah dikemukakannya. Seperti kitabnya
yang menolak qiyas (Ibthal al-Qiyas) serta kitabnya (al-Mufassir dan al-Mujmal). Beliau
menerangkan status hukum dari berbagai cabang tersebut yang diperlukan oleh seorang
Muslim dalam mendapati permasalahan- permasalahan baru dalam kehidupannya. Dari
kitab-kitab inilah yang secara langsung maupun tidak berusaha mempengaruhi para
pembacanya untuk masuk ke dalam mazhabnya, hingga kemudian secara berangsur-
angsur tumbuhlah mazhab ini lalu berkembang menjadi mazhab besar dan terkenal.
Kedua, sekelompok pengikut-pengikut mazhab Daud al-Zhahiri mengusung panji
mazhabnya yang dikepalai langsung oleh putranya sendiri Abu Bakar Muhammad bin
Daud al-Zhahiri (w. 297 H). Ia telah memperjuangkan berlangsungnya mazhab warisan
bapaknya yang berisi ajaran-ajaran sunnah secara tekstual. Kemudian secara langsung
mereka menyerukan ajaran mazhabnya ini dan mengajak orang-orang untuk
mengikutinya, hingga melahirkan pengikut-pengikut baru yang di kemudian hari juga
menyusun kitab yang membela mazhabnya ( Joseph Schacht : 1995 )

Dari sebab tersebut menyebarlah mazhab Zhahiriyah di timur Arab pada abad ketiga dan
keempat Hijriyah, bahkan di antara ulama ada yang mengatakan bahwa mazhab Zhahiri
adalah mazhab keempat yang terkenal. Mazhab tiga sebelumnya yang terkenal adalah
mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Malik. Pada waktu itu mazhab
Zhahiri sangat terkenal dan lebih menyebar luas serta lebih banyak pengikutnya dari pada
mazhab Ahmad bin Hanbal. Akan tetapi setelah memasuki abad kelima, muncul seorang

7
tokoh ulama pengikut Ahmad bin Hanbal seorang hakim yang bernama Abu Ya’la bin
Farra’ al-Hanbali (w. 458 H), yang telah menggembor-gemborkan kembali ke mazhab
Hanbali yang berhasil menggeser ketenaran mazhab Zhahiri serta mengunggulinya
hingga kembali mendudukli posisi keempat dari mazhab yang masyhur. ( Joseph
Schacht : 1995 )

Adapun yang mendukung penyebaran mazhab Zhahiri antara lain adalah: pertama,
Daud al-Zhahiri menulis pendapatnya dengan dalil-dalil yang cukup kuat. Kedua, murid-
muridnya berfungsi sebagai penyebar dan penerus ajarannya, antara lain: Ibnu Hazm,
Abu Yahya Zakaria bin Yahya bin Abdullah Saji’ (w. 307 H), Ibrahim bin Naftawaih
(244-323 H) dan Abu Hasan Abdullah bin Ahmad bin al-Mugallas (w. 324). Ketiga, dari
pengikut aliran Zhahiriyah, terdapat orang-orang yang berpengaruh pada pemerintahan
Bani Umayyah seperti Qadhi Abu al-Qasim Ubadilillah bin Ali al-Nakha’i yang
membawahi wilayah kehakiman Khurasan dan Iran. Pada abad keempat hijriyah, aliran
ini tidak hanya berkembang di Irak dan Iran tapi juga meluas hingga ke Oman dan Sind. (
Wahab Afif : 1992 )

Di dunia Timur, mazhab Zahiriyah masih memiliki penganut hingga pertengahan abad
kelima hijriyah. Pada saat itu muncul Muhammad bin Husain bin Muhammad Abu Ya’la
al-Farra’ al-Hanbali (w. 458 H), beliau adalah seorang tokoh dari aliran Hanbali,
menguasai Ushul Fiqih, mendalami al-Qur’an dan hadis. Beliau juga merupakan seorang
qadhi. Dalam kapasitasnya sebagai qadhi, ia berhasil menggeser posisi mazhab
Zhahiriyyah dan sejak itu pamornya menurun dan digantikan oleh mazhab Hanbali.
Namun pada abad kelima tersebut, yakni di saat mazhab Zhahiriyah mulai mundur di
belahan dunia timur, akan tetapi sebaliknya di belahan dunia barat, tepatnya di Spanyol
justru muncul Ibnu Hazm yang menyebarkan dan membangun mazhab Zhahiriyyah,
sehingga mazhab Zhahiriyyah menjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.
Munculnya Ibnu Hazm di Barat bukan berarti mazhab Zhairiyah baru dikenal di Spanyol
pada priode Ibnu Hazm tersebut. Pada akhir abad ketiga, Baqi bin Bukhalat (200-276 H),
Ibnu Waddah (w. 286 H) dan Qasim bin Asbagh (w. 340 H) ketiganya ahli fiqih dari
Spanyol. Sekembalinya menuntut ilmu dari dunia timur, mereka membawa ajaran

8
mazhab Zhahiriyah ke Spanyol. Bahkan terdapat ulama fiqih dari Iraq yang berkunjung
ke Spanyol dengan membawa mazhab Zhahiriyah tersebut. Mereka yang dimaksud antara
lain: Abdullah bin Qasim bin Qasim al- Sayyar (w. 272 H) dan Mundzir bin Sa’id al-
Balluthi (273-335 H). Setelah priode Mundzir bin Sa’id, tampil pula Mas’ud bin
Sulaiman bin Muflih Abu al-Khayyar (w. 426 H). Tokoh yang disebut terakhir ini
merupakan seorang mujtahid yang memiliki kebebesan berfikir dan yang menjadi guru
utama Ibnu Hazm dalam mempelajari dan mendalami ajaran mazhab Zahiriyyah.
( Wahab Afif : 1992 )

Ibnu Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab Zhahiriyah berkembang pesat
di dunia Barat. Ibnu Hazam menulis berbagai karya dan mengkader beberapa orang
muridnya sebagai upaya mengembangkan dan memperjuangkan mazhab Zhahiriyah,
sehingga menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) seorang faqih
kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di Spanyol yang tidak bermazhab Zahiriyyah,
dan tidak ada di pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab Zahiriyah. Daerah-
daerah, selain Spanyol yang sempat dijangkau oleh murid-murid Ibnu Hazm dalam
rangka mengembangkan dan mengajarkan mazhab Zhahiriyah antara lain adalah:
pertama, Maroko atau Maghribi. Di daerah ini yang berperan menyebarkan dan
mengembangkan mazhab Zhahiriyah adalah Muhammad bin Suraih (392-476 H) di
Maroko. Pada waktu itu dikenal adanya kelompok al-Hazmiyyah, yaitu sekelopok ulama
fiqih yang menganut secara sungguh-sungguh ajaran Ibnu Hazm. Mazhab Zhahiriyah
pernah menjadi mazhab resmi rakyat Maroko, yaitu pada masa pemerintahan Abu Yusuf
Ya’qub dan al-Manshur (seorang Sultan Dinasti Muwahhidun) yang memerintah pada
tahun 580-595 H. ( Wahab Afif : 1992 )
Kedua, Baghdad. Di sini, mazhab Zhahiriyah tumbuh dan dikembangkan oleh
Muhammad bin Nashr Futuh bin Abdullah al-Asadi al- Humaidi (420-488 H) ahli dalam
bidang sejarah dan periwayatan hadis dan diteruskan oleh Abu al-Fadhl Muhammad bin
Thahir al-Maqdisi (488-507 H). Ketiga, Iskadariyah. Di daerah ini mazhab Zahiriyyah
dilanjutkan dan dikembangkan oleh Muhammad bin al-Walid al-Fikhri (w. 502 H).
Sementara itu di Spanyol sendiri sepeninggal Ibnu Hazm, mazhab Zhahiriyah
dikembangkan dan diteruskan oleh Abu Rafi’ bin Fadhal bin Ali bin Sa’id bin Hazim

9
(salah seorang putera Ibnu Hazm yang tidak diketahui kelahiran dan tahun wafatnya),
Abdul Baqi bin Muhammad bin Sa’id bin Biryal al-Anshari (416-502 H). Kempat,
Suriah. Perkembangan mazhab Zhahiriyah di Suriah tidak hanya terbatas pada sisi ajaran
keagamaan saja, tetapi juga dalam masalah politik praktis. Pada tahun 788 H, sebagian
dari tokoh mazhab ini di bawah pimpinan Syihabuddin Abu Hasyim Ahmad bin
Muhammad bin Isma’il bin Abdurrahman bin Yusuf (704-792 H) melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Mamluk yang berkuasa saat itu, tetapi
pemberontakan itu dapat digagalkan oleh pemerintah yang berkuasa dan pelaku. Akan
tetapi tidak semua tokoh mazhab Zhahiriyah ikut dalam pemberontakan tersebut, di
antaranya adalah Musa bin Amir Syafaruddin al-Zanji (w. 788 H) dan Ahmad bin
Muhammad bin Manshur bin Abdullah Syihabuddin al-Asymuni (w. 809 H). ( Wahab
Afif : 1992 )

Pada akhir abad ke-8 awal abad ke-9 H, mazhab Zahiriyyah mengalami kemerosotan
jumlah pengikut. Penyebab kemerosotan ini antara lain munculnya buku al-Khuttat
(catatan-catatan sejarah yang memuat informasi negatif tentang mazhab Zhahiriyyah).
Buku itu ditulis oleh Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Abu al-Abbas al-Husain al-Ubaidi
Taqiyuddin al-Maqrizi (w. 845 H) ahli Sejarah dari Persia ( Huzaemah Tahido Yanggo :
Pengantar Perbandingan Mazhab, hal. 149 )

Ada satu pertanyaan timbul di benak kita, mengapa mazhab Zhahiri yang diusung oleh
Daud dapat dikalahkan kembali oleh mazhab Hanbali di timur Arab? Padahal mazhab
Zhahiri juga mempunyai pengikut dan karangan-karangan kitab. Di antara penyebabnya:
pertama, meskipun Daud mempunyai banyak pengikut bahkan anaknya sendiri, namun
Mazhabnya tidak didukung oleh golongan politik, sehingga berangsur-angsur
pengikutnya berkurang dan kemudian meninggalkan mazhabnya. Kedua, kurangnya
ulama yang meriwayatkan kitab-kitabnya. Walaupun Daud dikenal dengan kekuatan
ibadahnya dan ketsiqahannya karena ada dua penyebab: (1) Pengingkaran Daud kepada
qiyas secara mutlak yang kontraversi dengan pendapat mayoritas ulama, termasuk
Ahmad bin Hanbal, Ishak bin Rahawaihi, dan lain-lain. (2) Pendapat beliau yang
mengatakan al- Qur’an sebagai makhluk dan bolehnya orang yang junub dan haid

10
memegangnya. Pendapat ini juga bersebarangan dengan pendapat jumhur ulama yang
mengatakan al-Qur’an bukan makhluk, dan terlarangnya orang yang junub dan haid
memegangnya. Beliau mengungkapkan pendapatnya tersebut di saat mayoritas ulama
telah mengikrarkan bahwa orang yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, mereka
sebenarnya telah masuk dalam golongan ahli bid’ah.( Ibid : hal 149-150 )

C. Pokok Dari Ajaran Aliran Zahiriyyah


Seperti disebutkan di atas, bahwasanya Imam Daud al-Zhahiri yang sempat mengagumi
Imam Syafi’i akhirnya menolak ijtihad beliau tentang qiyas, kemudian Daud al-Zhahiri
mengemukakan teori kajian hukum yang lebih menekankan pada pengalaman literaris
untuk diaplikasikan pada kenyataan kehidupan mukallaf, dan itulah menurutnya yang
disebut istidlal. Dengan demikian, menurutnya sumber hukum itu adalah al-Qur’an dan
al- Sunnah. Kemudian menurutnya ijtihad hanya dapat dilakukan untuk mengaplikasikan
pesan ayat pada kehidupan dan perbuatan mukallaf.( Muhammad Abu Zahra : 1409 )

Pemikiran hukum mazhab Zhahiri pada pokoknya dapat kita ketahui melalui tulisan-
tulisan Ibnu Hazm. Ajaran pokok Mazhab Zhahiri bertumpu pada dua hal; pertama,
bahwa pemahaman terhadap nash harus berdasarkan pada makna yang zhahir saja. Al-
Qur’an dan sunnah menurut Mazhab Zhahiri mampu menjelaskan maknanya sendiri, di
mana zhahir lafaz langsung menunjukkan makna yang diinginkan oleh Allah, tanpa perlu
proses penggalian makna di belakang teks. Kedua, dalam masalah yang tidak ditemukan
jawabannya dari nash secara eksplisit, mazhab Zhahiri menggunakan konsep yang
mereka sebut dengan dalil, yaitu ber-istidlal dengan bersandarkan pada zhahir teks pula.
( Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Hazm : 1403 )

Selain itu, untuk memecahkan persoalan-persoalam yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an
al-Karim, sunnah, serta ijma’, mazhab Zhahiri mengembangkan konsep al-istishab, yakni
menghukumkan atau menetapkan hukum mubah sebagai hukum asal bagi segala sesuatu.
Hal ini, menurut penganut mazhab Zahiriyyah berdasarkan petunjuk dalam surah al-
Baqarah:

11
`Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.... (QS. Al-Baqarah
[2]: 29).

Mengenai ra’yu dalam pandangan mazhab Zhahiri menreka mengatakan bahwa tidak
ada ra’yu dalam agama. Seseorang tidak berhak berijtihad dengannya dan tidak sah
mengistinbathkan hukum dengannya, karena nash adalah hukum Allah Swt, sedangkan
apa yang dihasilkan oleh ra’yu berarti telah membuat hukum sendiri dan bukan hukum
Allah Swt. Seseorang juga tidak berhak berpendapat dengan membawa nama Allah
kecuali hanya Rasul-Nya. Barang siapa yang berbicara dengan ra’yu-nya dalam agama
sungguh dia telah mengada-ada dan berbohong kepada Allah Swt ( Muhammad Abu
Zahra, Ibnu Hazm Hayatuhu wa Ashruhu, wa Ara’uhu wa Fiqhuhu: Hal-527 )

Adapun dalil-dalil yagn dipergunakan sebagai rujukan yaitu dalil al- Qur’an:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al- Qur’an) dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. Al-Nisa’ [4]: 59).

Ayat ini secara jelas membatasi hukum-hukum syariat itu hanya kepada al-Quran,
hadis, dan ijma’ saja. Maka ketika ditemukan perselisihan seharusnya dikembalikan
kepada keduanya, dan tidak boleh merujuk kepada yang lain. Sekiranya ra’yu itu adalah
tempat untuk diizinkan atau diperbolehkan, pastilah akan ada nash yang menyinggung hal
itu. Firman Allah yang lain :

Artinya: Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun
terhadap kebenaran. (QS. Al- Najm [53]: 28).

12
Ibnu Hazm mengambil ayat ini sebagai dasar peniadaannya terhadap hukum yang
berlandaskan dugaan. Beliau berkata: “Tidak sah pengambilan hukum yang berlandaskan
dugaan secara mutlak. Ibnu Hazm berkata: Inilah agama tidak ada agama selain ini.
Adapun ra’yu dan qiyas adalah dugaan, dan dugaan itu adalah batil.” ( Ibid – Hal.224 )

Mengenai perangkat hukum lainnya yang disepakati jumhur ulama seperti qiyas dan
yang juga menjadi perselisihan ulama seperti; istihsan, istishab, mashlahah al-mursalah,
‘urf, dan lain-lain, maka mazhab ini tidak memasukkannya sebagai sumber hukum,
bahkan tidak membolehkan untuk mengambilnya. Kita dapat mengetahui hal ini
sebagaimana telah disebutkan bahwa mazhab ini sangat anti terhadap ra’yu dan hanya
mengambil hukum dari zhahir nash saja. Sedangkan perangkat-perangkat hukum di atas
sangat erat kaitannnya dengan ra’yu. ( Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Hazm, al-
Ihkam fi Ushul al-Ahkam – Hal.221 )

D. Profil Para Tokoh Dan Penganutnya


1) Dawud bin Khalaf azh-Zhahiri; Imam dari mazhab ini
Dawud azh-Zhahiri (816-883 M) ialah seorang ulama ahlussunnah, Imam dan
pemuka dari mazhab Zhahiri. Ia banyak dianggap orang sebagai pendiri mazhab
Zhahiri meskipun ia sendiri dan para pengikutnya tidak menganggap demikian.
Imam Dawud azh-Zhahiri sendiri pada awalnya adalah pengikut mazhab Syafi'i.
Keluarganya berasal dari Isfahan, ia dilahirkan di Kuffah dan tinggal di Baghdad.
Ia meninggal di Baghdad pada bulan Ramadhan dan dikuburkan disana. Di
antaramurid-muridnya yang ternama adalah putranya sendiri
bernama Muhammad bin Dawud, Abdullah putra Imam Ahmad, Imam Ibnu Jarir
ath-Thabari, Niftawaih dan Ruwaim

2) Muhammad bin Dawud; putra Dawud bin Khalaf


Abu bakar Mugammad bin Daud adalah putra dari imam Daud , seorang fakih
sastrawan dan penyair handal yang memiliki keilmuan tinggi dan meimpin
mazhab sepeninggalan ayahnya

13
3) Ibnu Abi Ashim; Ahli hadis dari masa awal.

Abu Bakar bin Abi 'Ashim Ahmad bin 'Amru bin Dhahhak bin Makhlad asy-
Syaibani atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi Ashim (822-900 M/206-
287 Hijriah) adalah ahli hadits kelahiran Bashrah, Irak dan meninggal di Isfahan.
Ia merupakan seorang imam ahlus sunnah yang berpengaruh pada abad ke-3
hijriah/ 9 Masehi, dan ia dikenal karena karya-karyanya di bidang ilmu hadits.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Imam Bukhari dan Abu Hatim ar-Razi. Ia


diangkat menjadi Qadi di Asfahan selama tiga belas tahun hingga tahun 282 H. Ia
meninggal lima tahun kemudian dan prosesi pemakamannya dihadiri oleh 200
ribu orang

4) Ibnu Hazm; Ulama dari Al-Andalus, kitabnya Al-Muhalla adalah salah satu kitab


fikih utama dari mazhab Zhahiri.

Ibnu Hazm (bahasa Arab: ‫ )ابن حزم‬adalah seorang sejarawan, ahli fikih, dan
imam Ahlus Sunnah di Spanyol Islam.[1] Ia dikenal karena produktivitas
keliteraturannya, luas ilmu pengetahuannya, dan kepakaran dalam bahasa Arab. Ia
adalah seorang pendukung dan ahli fikih yang terkemuka dari Mazhab Zhahiri,
 dan disebutkan telah menghasilkan karya tulis sebanyak 400 judul, meski kini
[2]

yang masih dapat ditemui hanya 40 judul saja, yang mencakup berbagai topik
seperti hukum Islam, sejarah, etika, perbandingan agama, akidah dan lain-lain.
 Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm.
[3]

Ia dilahirkan pada 7 November 994 M di Córdoba, Kekhilafahan Kordoba dan


wafat pada 15 Agustus 1064, di Mantha Lisha, dekat Sevilla.

5) Ibnu Jarir ath-Thabari, yang kemudian memulai mazhabnya sendiri

Ath-Thabari (bahasa Arab: ‫الطبري‬, 838 M / 224 H- 923 M / 310 H) adalah seorang


sejarawan dan pemikir muslim dari Persia, lahir di daerah Amol atau
Amuli, Thabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia).[2] Nama lengkapnya

14
adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali
ath-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau ath-Thabari. Semasa hidupnya,
ia belajar di kota Ray, Baghdad, kemudian Syam dan juga di Mesir. Para ahli
sejarah mencatat bahwa beliau semasa hidupnya tidak pernah menikah.[2]

Ath-Thabari adalah cendekiawan yang suka berkelana. Banyak kota-kota yang


beliau singgahi salah satunya yaitu Baghdad. Di Bagdad beliau
mengambil Mazhab Syafi'i dari Hasan Za'farani, kemudian Basra, Di sini ia
belajar dengan Abu Abdullah as-Shan’ani. Di Kufah ia belajar dengan Tsa'lab.[2]

Di antara karyanya yang terkenal adalah Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah


Para Nabi dan Raja),[3] atau lebih dikenal sebagai Tarikh ath-Thabari. Karya
beliau ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi 40 jilid, berjudul
The History of al-Tabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga tahun 915, dan
terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim.

Karya lainnya yang juga terkenal berupa Tafsir Quran bernama Tafsir ath-


Thabari, yang sering digunakan sebagai sumber oleh pemikir muslim lainnya,
seperti Al-Baghawi, as-Suyuthi dan juga Ibnu Katsir.

6) Al-Humaidi; Ahli hadis

Imam al-Humaidi, nama lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Zubair bin Isa bin
Usamah Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Humaidi Al-Makki. Ia adalah
seorang hafizh dan faqih, Syeikhnya kota Makkah al-Haram dan termasuk salah
satu ulama besar dalam Mazhab Syafi’iyah. Ia meninggal di Mekah tahun 219 H
(834 M). Pada masa hidupnya ia duduk belajar dalam majlisnya Imam Syafi'i. Di
antaragurunya yang lain adalah Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid, Fudhail
bin Iyadh, Ibrahim bin Sa’ad, dan Ad-Darawurdi. Beberapa muridnya yang
menonjol seperti Imam Bukhari (yang meriwayatkan 75 hadis dari Al-
Humaidi), Imam Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, At-Turmudzi, Abu Zur’ah, Abu
Hatim, dan banyak ulama lainnya.[1][2][3]

15
Mengenai Al-Humaidi, Imam Ahmad mengatakan, “Al-Humaidi, bagi kami,
adalah ulama besar.” Al-Fashwah mengatakan, “Saya belum pernah bertemu
seseorang yang lebih (memiliki sifat) nasihat untuk Islam dan pemeluknya selain
Al-Humaidi.”

7) Ibnu Arabi, Mistikus sufi dari Al-Andalus

Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdullah Hatimi at-Ta'i (bahasa Arab:  ‫أبو عبد هللا محمد بن علي بن محمد بن عربي الحاتمي‬
‫الطائي‬, translit. Abū ʿAbdullāh Muḥammad bin ʿAlī bin Muḥammad bin ʿArabī al-
Ḥātimī aṭ-Ṭāʾī (14 Agustus 1165-16 November 1240) atau lebih dikenal
sebagai Ibnu Arabi adalah seorang Sufisme terkenal dalam
perkembangan tasawuf di dunia Islam

8) Ibnu Tumart; Pendiri dinasti Al-Muwahhidun,

Abu Abdullah Muhammad Ibnu Tumart (bahasa Berber: Amghar ibn


Tumert, bahasa Arab: ‫أبو عبد هللا محمد ابن تومرت‬, sekitar 1080–1130 atau 1128[4]),
adalah seorang sarjana muslim Berber, guru, dan pemimpin politik, yang berasal
dari selatan Maroko.

Dia mendirikan dan bertugas sebagai pemimpin militer spiritual pertama Dinasti


Muwahhidun, sebuah gerakan reformasi puritan yang diluncurkan oleh
kaum Berber Masmuda dari Pegunungan Atlas. Ibnu Tumart melakukan
pemberontakan terbuka terhadap Dinasti Murabithun yang berkuasa pada tahun
1120-an. Setelah kematiannya, para pengikutnya yaitu para Muwahhidun, terus
menaklukkan sebagian besar Afrika Utara dan sebagian dari Spanyol.

16
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Daud al-Zhahiri sendiri telah belajar dari ulama hadis, dan belajar fiqih dari mazhab Imam
Syafi’i, baik membaca langsung kitab-kitabnya maupun belajar dari murid-muridnya dan
sahabat-sahabatnya. Akan tetapi dia tidak mengambil manhaj Imam Syafii’ kecuali hanya
sedikit. Kemudian lambat laun meninggalkannya dan mempunyai manhaj sendiri dalam
mengistinbathkan hukum. Dia berpendapat bahwa sumber hukum dari nash saja, dan tidak ada
ilmu dalam Islam kecuali bersumber dari nash, beliau menggugurkan kedudukan qiyas (analogi)
dan tidak mengambilnya sebagai sumber hokum

Seringkali mazhab Zhahiri mendapat kritik dari mazhab-mazhab yang lain dalam pengambilan
hukum yang mengharuskan mengambil makna literal dari setiap nash yang ada. Kritik keras
kebanyakan datang dari ulama mazhab Maliki dan Syafi'i. Imam Abu Bakr Ibnul Arabi, yang
ayahnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri menganggap beberapa kaidah hukum mazhab
Zhahiri sebagai hal yang tidak dapat diterima. Imam Ibnu Abdil Barr yang awalnya adalah
seorang pengikut mazhab Zahiri bahkan tidak memasukkan Dawud az-Zahiri dalam daftarnya
mengenai para ahli fikih Sunni terbesar. Imam Nawawi dikatakan menyalahkan metode mereka
secara keseluruhan. Imam Adz-Dzahabi dan Ibnu ash-Shalah meski tidak setuju dengan metode
Zhahiri namun mereka tetap membela legitimasi Zhahiri sebagai mazhab yang memiliki
landasan ilmiah dalam menetapkan hukum sebagaimana mazhab-mazhab yang lain. Dari
kalangan ulama mazhab Hanbali, Ibnul Qayyim meski juga memiliki kritik terhadap mazhab
Zhahiri, ia tetap membela legitimasi mazhab tersebut, dengan menyatakan sebuah retorika bahwa
satu-satunya "dosa" mereka adalah "Mengikuti kitab Tuhan mereka dan meneladani Nabinya".
Hubungan yang paling pelik adalah antara Zahiri dengan Sufi (Tasawuf), sepanjang sejarahnya,
pengikut Zhahiri terus mengkritik dengan keras terhadap ajaran Tasawuf maupun para
penganutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Syauqi Dhaif, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Maktabah Shurouq al-Dauliyyah, 1430 H/ 2007 M),
hal. 409

Qodri Azizy,Reformasi Bermazhab, (Jakarta: Terajau, 2003), hal. 61

Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Oxford at The Clarendon Press, 1995), hal.
86.

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Op. Cit, hal. 149

Adz-Dzahabi,   Siyar a`lam al-nubala'., v.13, Entry 55, pg.97-108

Camilla Adang, This Day I have Perfected Your Religion For You: A Zahiri Conception of
Religious Authority, pg. 16. Taken from Speaking for Islam: Religious Authorities in Muslim
Societies. Ed. Gudrun Krämer and Sabine Schmidtke. Leiden: Brill Publishers, 2006

Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of Law: 9th-10th Centuries C.E., pg.
190. Leiden: Brill Publishers, 1997.

Mohammad Sharif Khan and Mohammad Anwar Saleem, Muslim Philosophy And Philosophers,
pg. 34. New Delhi: Ashish Publishing House, 1994

Paul M. Cobb, "The Lineaments of Islam: Studies in Honor of Fred McGraw Donner." Pg.
181. Leiden: 2012. Brill Publishers.

Encyclopædia Britannica. "'''"Ibn Hazm."''' Encyclopædia Britannica. 2006. Encyclopædia


Britannica Online. Oct 23. 2006". Britannica.com. Diakses tanggal  2010-09-12.

18
R. Arnaldez, Ibn Ḥazm. Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Brill Online, 2013. Reference.
09 Januari 2013

Joseph A. Kechichian, A mind of his own. Gulf News: 21:30 December 20, 2012.

Ibnu Hazm, Ihbar Al-Ulama bi Ahbar Al-Hukama (‫)إخبار العلماء بأخيار الحكماء‬, 2011

Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm Hayatuh wa ‘Atsaruhu wa Ara’uh wa Fiqihuh, (Kairo: Dar al-
Fikr al-‘Arabi, 1409 H/ 1989 M), hal. 275

Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al- Fikr,
1403 H/ 1983 M), juz. 1, hal. 186.

Muhammad Abu Zahra, Ibnu Hazm Hayatuhu wa Ashruhu, wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, Op. Cit,
hal. 527.

19

Anda mungkin juga menyukai