SISTEM BERMADZHAB
Ditunjukkan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PAI III
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Namun tidak semua dari mereka yang benar-benar tahu dan memahami islam
secara hakikat. Parahnya, ada sebagian dari mereka yang belum tahu tentang
bermazhab. Pada akhirnya mereka lebih memilih sekedar ikut-ikutan dengan
orang yang lebih pintar (menurut mereka).
Selain itu, banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti
sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecahnya umat lain dalam sekte-sekte.
Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab,
bahkan ada yang sampai anti mazhab.
Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan
kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya
sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari
perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang
dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya
untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang
bermazhab. Perkembangan madzhab-madzhab itu tidak sama. Ada yang mendapat
sambutan dan memiliki pengikut yang mengembangkan serta meneruskan, namun
ada kalanya suatu madzhab kalah pengaruhnya oleh madzhab-madzhab lain yang
datang kemudian, sehinga pengikutnya menjadi surut. Mereka hanya disebut saa
1
pendapatnya di sela-sela lembaran kitab-kitab para imam madzhab, bahkan ada
yang hilang sama sekali. Madzhab yang berkembang terus sampai sekarang serta
diikuti oleh umat islam diseluruh dunia, hanya empat madzhab yaitu: (1) Madzhab
Hanafi, (2) Madzhab Maliki, (3) Madzhab Syafi’i, (4) Madzhab Maliki.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu
Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur,
Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di
Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i,
salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan
permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak
hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengetian dari madzhab ?
2. Apa tujuan bermadzhab ?
3. Berapa macam-macam madzhab aswaja ?
4. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad ?
5. Apa saja fungsi ijtihad ?
6. Apa saja jenis-jenis ijtihad ?
7. Berapa tingkatan-tingkatat ijtihad ?
8. Bagaimana sejarah perkembangan madzhab al-asy’ari ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Jadi, madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum islam.
4
2.2 Tujuan Bermazhab
Bermazhab sering disebut bertaklid atau lebih lumrahnya “Ro’ Nuro
Ulama’”. Namun bermazhab bukanlah tingkah laku orang awam saja, tetapi
merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling
terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermazhab Syafi’i. Jadi, ada
tingkatan bermazhab atau bertaqlid. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin
tinggi pula tingkat bermazhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan
mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar.
Ada yang alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada yang
awam (yang kurang mengerti dan memahami suatu permasalahan). Sudah tentu
yang tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqih, hal ini
dikenal dengan istilah taqlid atau ittiba’. Menurut Muhammad Sa’id al-Buthi
mendefinisikan taqlid sebagai berikut : “Taqlid adalah mengikuti pendapat orang
lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut,
walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah itu sendiri”. Taqlid itu
hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan
mujtahid. Berdasarkan firman Allah SWT (QS.Al- Anbiya’ 7)
Dengan demikian, taqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja.
Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun masih dalam kategori seorang
muqallid, Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka tetap wajib
bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan , tidak
sampai kepada proses, metode dan seluk-beluk dalam menentukan suatu hukum.
Perlu digaris bawahi, tidak semua taklid itu tercela. Yang tidak terpuji
hanyalah taqlid buta yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa
mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Sedangkan taqlidnya orang
5
alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan
dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik dari pada memaksakan diri untuk berijtihad
padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Memilik nama lengkap An-Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahmuli
Taymillah bin Tsalabah. Dilahirkan pada tahun 80 H. Beliau termasuk Tabiit
Tabi’in ( yang mengikuti Tabi’in ). Belaiu orang Persia yang menetap di Kufah.
Yang menonjol dari fiqih Abu Hanifah ini antara lain adalah:
Imam Abu Hanafi meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H. Meskipun Abu
Hanafi seorang ulama besar, beliau tidak merasa memonopoli kebenaran. Hal itu
terbukti dari pernyataan: “saya mengambil pendapat ini, karena pendapat ini
benar, tapi mengandung kemungkinan salah. Dan saya tidak mengambil
pendapat itu, karena pendapat itu salah, tapi mengandung kemungkinan benar”.
Imam Malik dilahirkan di Madinah. Nama lengkapnya Malik bin Anas bin
‘Amar. Abu Hanafi tiga belas tahun lebih tua dari Malik bin Anas. Beliau adalah
6
seoang yang saleh, sangat sabar, ikhlas dalam berbuat, mempunyai daya ingat dan
hafalan yang kuat, serta kokoh dalam pendiriannya. Beliau ahli dalam ilmu fiqih
dan Hadits, yang diterima dari guru-gurunya di Madinah. Dalam mengajar, Imam
Malik sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi fatwa. Oleh karena itu,
untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedangkan beliau belum yakin betul
akan kebenaran jawabannya, sering menjawab “la adri” (saya tidak tahu). Beliau
meninggal di Madinah pada tahun 173 H. Kitab yang dinisbatkan kepada Imam
Malik adalah kitab Muwatho’ yang merupakan kitab Hadits tapi juga sekaligus
kitab Fiqih.
Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin
Usman bin Syafi’i bin as-sai’ib bin Ubaid Yaziz bin Hasyim bin Murhalib bin
Abdu Munaf. Beliau termasuk suku Quraisy. Dilahirkan di Ghaza, salah satu kota
Palestina pada tahu 150 H. Beliau pergi ke Kabilah Hudzail untuk mempelajari
dan mendalami sastra Arab serta mengikutu saran hidup Muhammad SAW, pada
masa kecilnya. Disana beliau sampai hafal sepuluh ribu bait syair-syair Arab.
Di Mekkah beliau berguru pada Sufyan bin Uyainah dan kepada Muslim bin
Khalid. Setelah itu pergi ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik. Pada saat
itu beliau berumur 20 tahun dan belajar di sana selama tujuh tahun.
Bagi Imam Syafi’i ibadah itu harus membawa kepuasan dan ketenagan dalam
hati. Untuk itu diperlukan kehati-hatian. Inilah yang menyebabkan
konsep Ikhyat (kehati-hatian) mewarnai pemikiran Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i menyebut Al-Quran dan Sunnah adalah sebagai dua dasar
(sumber) dan menetapkan Ijma’ dan Qiyas sebagai dasar (sumber) pembantumya.
Didirikan oleh Imam Ahmad Hanbal, dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awal
tahun 164 H, di Baghdad. Beliau belajar hadits di Baghdad, Basrah, Kufah,
Mekkah, madinah, dan Yaman. Beliau selalu menuliskan hadits-hadits dengan
perawinya dan cara ini pun diharuskannya kepada muridnya.
7
Beliau memilik daya ingat yang kuat, sabar, ulet, memiliki keinginan yang
kuat dan teguh dalam pendirian. Dan beliau sangat ikhlas dalam perbuatannya.
Beliau pernah menantang pendapat muktazilah sehingga dijatuhi hukuman dan
dipenjara oleh khalifah al-Makmum yang menganut paham muktazilah. Ketika
khalifah al-Ma’mum wafat, beliau masih tetap dalam penjara dimasa Mu’tashim
Billah. Sesudah kelaur dari penjara beliau sakit-sakitan dan akhirnya wafat pada
tahun 241 H.Imam Ahmad adalah ulama yang tidak percaya dengan Ijma’
“Siapa yang menyatakan terdapat Ijma’, maka dia adalah pendusta”. Dauh
beliau. Menurut Dr, Abu Zahrahijma yang ditentang oleh Imam Ahmad adalah
Ijma’ sesudah masa sahabat. Adapun Ijma pada masa sahabat tetap diakui
keberadaannya.
8
2.4 Ijtihad
Ijtihad (bahasa Arab: ادFF( اجتهadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh,
yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari
ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran
maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya
hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah
disuatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Orang yang melakukan
ijtihad disebut mujtahid.
9
dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan
dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyas
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu
hukum atau suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya
namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek
dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan
Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
10
dengan masalah-masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab
imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam
mazhab tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan
masyarakat. Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan
menjadi tiga tingkatan ini:
Ijtihad at-Takhrij yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara' yang
tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan
berpegang kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam
mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan ijtihad terbatas hanya pada
masalah-masalah yang belum pernah difatwakan imam mazhabnya,
ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam
mazhabnya.
Ijtihad at-Tarjih yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah
pendapat yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat
imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-
murid imam mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan
pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan ulama pada tingkatan ini
hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak melakukan istinbath
hukum syara'.
Ijtihad al-Futya yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-
beluk pendapat-pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab
yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat-pendapat terebut kepada
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini
terbatas hanya pada memfatwakan pendapat-pendapat hukum mazhab
yang dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan
tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.
11
Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok
Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi
pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu
Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur,
Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di
Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i,
salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan
permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak
hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab
tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada
waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat
yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan
tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam
menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode
akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan
aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus
kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan
dasar Muktazilah di mata Al-Asy’ari adalah bahwa mereka begitu
mempertahankan hubungan Tuhan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi
Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul
Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan
untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah
perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan
ashlah (kemaslahatan).
12
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia
bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan
Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada
sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan
keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar
menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-
keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-
karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah,
Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia
berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid
dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum islam.
Mazhab yang sampai saat ini masih eksis dikalangan masyarakat adalah:
1. Imam Hambali
2. Imam Hanafi
3. Imam Malik
4. Imam Syafi’i
Bermazhab bukanlah tingkah laku orang awam saja, tetapi merupakan sikap
yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari
masih tergolong orang yang bermazhabSyafi’i. Jadi, ada tingkatan bermazhab atau
bertaqlid. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi pula tingkat
bermazhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya
berijtihad sendiri. Pertanyaan mengapa kita bermazhab akan terjawab dengan
sendirinya dengan penjelasan taqlid dan Ijtihad dibawah ini.
14
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus
kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan
dasar Muktazilah di mata Al-Asy’ari adalah bahwa mereka begitu
mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan
3.2 Saran
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan
sumber yang diperoleh. Sehingga isi dari makalah ini masih bersifat umum, oleh
karena itu saya harap agar pembaca bisa mencari sumber yang lain guna
membandingkan dengan pembahasan yang dibuat, guna mengoreksi bila terjadi
kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Sebelum dan sesudahnya saya haturkan
banyak terima kasih.
15
DAFTAR PUSTAKA
“Ushul Fiqh”, oleh Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., BAB VIII Cetakan
pertama 2010, halaman 354-356
https://himaprodiesystais.wordpress.com/2017/01/06/makalah-seputar-tentang-
mazhab/
16