Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Pembentukan Madzhab Pada Periode Mujtahidin


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Dosen Pengampu:
Drs. Sudianto, MA.

Disusun oleh:
Kelompok 06
Semester III/Jinayah IIIB
Ilham Nazarsyah Simbolon (0205192043)
Muhammad Yoggie Ramadhan Sahputra (0205192080)
Rini Andriani butar-butar (0205192057)

PROGRAM STUDI TARIKH TASYRI`


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUMATERA UTARA MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Swt, Rabb semesta alam. Tidak ada
daya dan upaya selain dari Nya. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia
Nya dalam mengarungi kehidupan ini. Shalawat dan salam selalu dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang
mengikutinya sampai akhir zaman di manapun mereka berada.

Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari Allah SWT, sehingga makalah
ini dapat kami selesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pengampu yaitu Drs. Sudianto, MA. yang telah memberikan gambaran tentang
materi yang harus diselesaikan dan juga semua pihak yang turut membantu
menyelesaikan makalah ini.

Terakhir, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun


untuk lebih menyempurnakan makalah ini, agar makalah ini lebih sempurna pada
masa yang akan datang.

Medan, 30 November 2020

Kelompok 06

Halaman | i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .............................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH ......................................................................... 1
BAB II ISI PEMBAHASAN .................................................................................. 2
A. Pengertian madzhab ................................................................................. 2
B. Latar Belakang Munculnya Madzhab ...................................................... 3
Faktor penyebaran madzhab ........................................................................... 5
C. Pemikiran Empat Madzhab ...................................................................... 5
1. Madzhab Hanafi (Imam Abu Hanifah) ................................................. 5
2. Madzhab Maliki (Imam Malik) ............................................................ 8
3. Madzhab Syafi’i (Imam Syafi’i) ........................................................... 9
4. Madzhab Hanbali (Imam Ahmad Ibn Hanbali) .................................. 11
Bab III Penutup ..................................................................................................... 14
Kesimpulan ....................................................................................................... 14
Daftar Pustaka ................................................................................................... 15

Halaman | ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara
amat dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan
Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah
kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya
menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.

Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang
dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, dikhususkan pada
empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab
Hanbali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab
tersebut. dan penjelasan madzhab lain selain madzhab empat tersebut,

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu madzhab?
2. Bagaimana latar belakang timbulnya madzhab?
3. Faktor apa saja penyebaran madzhab?
4. Bagaimana Pemikiran empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi`I Dan Hanbali)?

Halaman | 1
BAB II
ISI PEMBAHASAN

A. Pengertian madzhab
Menurut bahasa Arab, “madzhab” (‫)مذهب‬berasal dari shighah masdar mimy
(kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan keterangan tempat) dari akar
kata fiil madhy “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara
bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).

Sedangkan menurut istilah ada beberapa rumusan:

1. Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat


mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-
dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan
(ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu
sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang hukum suatu masalah atau tentang hukum suatu
masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbathnya.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud


dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam
mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini
bisa disimpulkan pula bahwa mazhab mencakup; (1) Sekumpulan hukum-hukum
Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) Ushul fiqh yang menjadi jalan
(thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-
dalilnya yang rinci.

Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-


hukum syariat (fiqh), yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum
Islam dari dalil-dalilnya yang rinci harus dipahami bahwa mazhab itu
sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah
al-istinbath) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita

Halaman | 2
mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam
Syafi’i.

B. Latar Belakang Munculnya Madzhab


Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman sahabat.
Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas'ud ra, mazhab Ibn Umar. Masing
masing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur'an Al-Karim dan
sunnah, sehingga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan
pendapat Ibn Mas'ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan
karena masing-masing sudah melakukan ijtihad.

Di masa tabi'in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh
orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad,
Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk juga
Nafl' maula Abdullah ibn Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-Qamah ibn
Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'r guru al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan di kota
Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri.

Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal: Ikrimah Maula
Ibn Abbas dan Atha' ibn Abu Rabbah. Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin.
Al-Awwal ihn Yazid, Mastug ibn al-A'raj. Alqamah an Nakha'i, Sya'by, Syuraih.
Said ibn Jubair. Makhul ad Dinmasygy, Abu ldris al-Khaulani.

Di awal abad 1l hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupakan fase


keemasan bagi ijtihad fiqh, yakni dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah
Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H. Pada masa ini, macul 13 mujtahid
yang madzhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah Sufyan ibn
Uyainah (w.1981) dari Mekah, Malik ibn Anas (w.179H) di Madinah, Hasan Al
Basri (w.110H) di Basrah, Abu Hanifah (w.150H) dan Sufyan Ats Tsaury (w.160H)
di Kufah, Al-Auza'i (157 H) di Syam, asy-Syafi'i (w.204H), Laits ibn Sa'ad
(w.175H) di Mesir, Ishaq ibn Rahawaih (w.238H) di Naisabur, Abu Tsaur
(w.240H), Ahmad ibn Hanbal (w.241H), Daud Adz Dzhahiri (w.270H) dan Ibn
Jarir At Thabury (w. 310 H)", keempatnya di Baghdad.

Halaman | 3
Keberadaan berbagai mazhab dalam Islam tentu tidak lepas dari berbagai
faktor yang menjadi latar belakang lahirnya mazhab-mazhab dalam Islam. Materi
pemikiran Islam sempat menjadi perdebatan dan secara garis besar, kita dapat
membedakan tiga bidang pemikiran Islam, yaitu aliran kalam (teologi), aliran fiqh
dan aliran tasawuf. Semua tiga bidang pemikiran dibahas dengan pendekatan
kronologis yang terdapat dalam sejarah Islam dan salah satunya adalah aliran fiqh.

Dalam catatan sejarah, pusat kekuasaan politik Islam berpindah- pindah.


Madinah di masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, dianggap sebagai awal
pertumbuhan madrasah fiqh dan beberapa kalangan sahabat menukilkan berbagai
hukum dari tujuh sahabat yang punya kompetensi dalam fiqh, di antaranya adalah:
Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.

Kemudian perkembangannya di berbagai wilayah kekuasaan Islam, namun


tetap mendasarkan pada fiqh dari ketujuh sahabat di Madinah. Dimana pondasi ilmu
penduduk Madinah didasarkan kepada Ibnu Umar dan Zaid dan sebagian besar ilmu
penduduk Makkah dari Ibnu Abbas serta mayoritas ilmu penduduk Iraq didasarkan
dari Abdullah ibnu Mas’ud yang diutus Umar ke Iraq sebagai seorang pengajar dan
pada akhirnya pondasi keilmuan Abdullah ibnu Mas’ud beralih ke Abu Hanifah.

Adapun perbedaan mengenai teologi atau ilmu kalam, perbedaan yang terjadi
tidak keluar dari paradigma Islam meskipun akhirnya membentuk berbagai
kelompok. Kalaupun mazhab teologi danggap keluar dari Islam maka dalam hal ini
sudah dianggap membentuk agama atau kepercayaan lain sebagaimana agama-
agama lainnya yang ada dalam sejarah kehidupan manusia.

Berbagai mazhab fiqh dalam Islam ditinjau dari cara mengistinbatkan


hukumnya yaitu perbedaan yang terjadi karena adanya perbedaan dalam
mengistinbatkan hukum dari sumber-sumbernya yang syar’i sehingga membentuk
terjadinya aliran-aliran fiqh. Pemikiran ulama besar karena bukan produk legislatif
dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Hasil pemikirannya cenderung bersifat
sebagai fatwa. Mengikuti fatwa sifatnya sukarela namun karena ulama biasanya
orang kepercayaan maka mereka disegani oleh banyak orang dan adanya banyak

Halaman | 4
pengikut. Kesetiaan inilah didasarkan dengan sukarela justru biasanya
menimbulkan fanatisme yang kuat.

Faktor penyebaran madzhab


Lahirnya berbagai aliran atau madzhab dalam ilmu fiqih dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor antara lain disebabkan oleh:

1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash.


2. Perbedaan Dalam Masalah Hadits.
3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash.
4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan (ta’rudl al-
adillah).
5. Perbedaan Tentang Qiyas.
6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum.
7. Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum.
8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh.

C. Pemikiran Empat Madzhab


1. Madzhab Hanafi (Imam Abu Hanifah)
Imam Hanafi (Imam Abu Hanifah) bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn
Tsabit Al-Kufi, lahir di Irak (Kufah) pada tahun 80 Hijrah (699 M). Ia hidup pada
dua masa, yaitu pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan
dan masa kekhalifahan Bani Abbas. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus) karena
sesungguhnya sejak kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa dan keji.

Abu Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia


dinamai an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia
yang bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang
ke V). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada Zaman Umayah dan 18 tahun pada
zaman ‘Abasiyah.

Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya, Imam Hanafi


telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang

Halaman | 5
berkaitan dengan hukum Islam. Kendati anak seorang saudagar kaya, ia sangat
menjauhi hidup yang bermewah-mewah. Begitupun setelah menjadi seorang
pedagang yang sukses . hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk
kepentingan sendiri, misalnya memberi kebutuhan makan dan menguatkan pasukan
Imam Zaid ketika memberontak khalifah Bani Umayah.

Perhatian Abu Hanifah yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan,


menyebabkan dirinya menjadi seorang imam yang besar dan terkenal pada saat itu
(sampai sekarang, penulis), dan ketenarannya itu didengar Yazid ibn Umar ibn
Hubairah (seorang Gubernur Irak), sehingga Yazid meminta Abu Hanifah untuk
menjadi qadhi. Karena menolak tawaran tersebut, Abu Hanifah ditangkap,
dipenjarakan, dan dicambuk. Tetapi atas pertolongan juru cambuk, Abu Hanifah
berhasil meoloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Setelah Umayah
berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan Abasiyah dengan rasa
gembira.

Sikap politik Abu Hanifah berpihak pada keluarga ‘Ali (ahl a-Bait). Hal itu
digambarkan oleh Abdurrahman Asy-Syarqawi sebagai berikut: “Kecintaan kepada
Ahlul Bait telah demikian telah demikian melekat dalam hati Abu Hanifah sejak ia
berkenalan dengan para imam Ahlul Bait dan menimba pengetahuan dari mereka.
Ditambah lagi setelah ia menyaksikan bentuk-bentuk penganiayaan yang dialami
oleh Ahlul Bait dengan sangat getirnya, baik siang maupun malam...” sementara
itu, pada masa Bani Abasiyah berbagai fitnah telah melanda keturunan Ali, namun
Abu Hanifah berfatwa, “Bani Ali adalah para pemegang kebenaran.”

Penguasaan terhadap berbagai ilmu seperti ilmu fikih, ilmu tafsir, hadits,
bahasa Arab dan ilmu hikmah, telah mengantarkannya sebagai ahli fiqih dan
keahliannya itu diakui oleh para ulama pada zamannya. Keahlian tersebut bahkan
dipuji oleh Imam Syafi’i bahwa “Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh
ulama fiqih”. Imam Abu Hanifah kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di
dalamnya berkecimpung para ahli fikih untuk bermusyawarah tentang hukum Islam
serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-
undangan dan ia sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang

Halaman | 6
telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya bekaitan
dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.

Akibat siksaan di penjara, kesehatan Abu Hanifah menurun. Ia meninggal


dunia tahun 150 H dengan diantar oleh lima puluh ribu penduduk Irak. Khalifah
“terpaksa” menshalati Imam Abu Hanifah dan dengan penuh penyesalan ia berkata,
“Siapakah yang dapat memaafkanku terhadap Abu Hanifah, baik ketika ia hidup
maupun setelah meninggal.” Ia meninggal dunia seperti matinya orang-orang
shiddîq dan para syuhadâ’.

Adapun pemikiran madzhab ini, maka mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam
Ahlu ar-ra’yi serta fikih dari Irak. Ia dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan
istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-
kadang ulama dalam madzhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan
kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan karakteristik manhaj
Hanafi, bahwa fikih Hanafi membekas kepada ahli Kufah (negeri Imam Abu
Hanifah dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan.
Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni
apabila tidak ada nash, ijma’, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya
buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan
apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa
yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam,
begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah.

Alasannya: kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi


kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadist mereka nilai
sebagai hadist ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam
(fikih) di kalangan madzhab Hanafi adalah: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Fatwa
sahabat, Qiyas, Istihsan, ‘Ijma’.

Dalam analisis Muhammad Said Tanthowi, dasar atau prinsip ijtihad Hanafi
menyandarkan kepada, “kemudahan, toleransi, menghargai martabat manusia,
kebebasan berpikir, dan kemaslahatan umat.”

Halaman | 7
Berbagai pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain:
Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir yang dibukukan oleh Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi (w. 344 H), Al-Mabsut (syarah al-Kafi dan
dianggap sebagai kitab induk mazhab Hanafi) yang dibukukan pada abad ke-5 oleh
Imam as-Sarakhsi, Al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, yang
dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh
madzhab Hanafi.

Madzhab Hanafi sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal


sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/logika dalam mengupas masalah
fikih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah
karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak
terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak
menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak
formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil
nash syar’i. Selain itu, karena kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi
keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits
palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa
beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum
era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.

2. Madzhab Maliki (Imam Malik)


Imam Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn
Abi Amir ibn Amr ibn Haris ibn Gaiman ibn Kutail ibn Amr ibn Haris Al-Asbahi.
Ia lahir di Madinah pada tahun 93-179 H/712-796 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada
Asbah salah satu kabilah di Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah
dan ia tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan
mengikuti perang bersamanya kecuali perang Badar. Imam Maik dilahirkan pada
zaman Khalifah Walid bin Abdul Muluk dan meninggal pada zaman Harun ar-
Rasyid di Madinah.

Halaman | 8
Kakek dan ayah Imam Malik termasuk ulama hadist terpandang di Madinah.
Maka ia mencari ilmu di kota kelahirannya dan ia merasa di Madinah adalah kota
sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besarnya. Kecintaannya
terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia
pendidikan. Tidak kurang empat khalifah (khalifah al-Mansur, al-Mahdi, Harun ar-
Rasyid, dan al-Makmun).

Perjalanan hidup Imam Malik tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hanifah,
ia pernah disiksa, diseret sampai bahunya terlepas, bahkan dipenjara karena sering
menjelaskan hadist-hadist sehingga masyarakat terdorong untuk memberontak dan
tidak mau membaiat khalifah. Pada masa akhir tuanya, ia menderita sakit dan
sakitnya bertambah parah. Banyak orang yang tidak tahu sakit yang diderita Imam
Malik. Ia meninggal di Madinah (179 H) pada usia 86 tahun.

Dalam pemikirannya, prinsip dasar madzhab Maliki adalah: Al-Qur’an,


Sunnah Nabi SAW, ‘Ijma, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan
sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa sahabat, Al-maslahah al-mursalah, ‘urf,
Istihsân, Istishâb, Sad adz-dzarî’ah, Syar’u man qoblana.

Kemudian Imam Asy-Syatibi menyederhanakan dasar fikih madzhab Maliki


tersebut dalam empat hal, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Rasio.

Alasannya: menurut imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk


Madinah di zamannya merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk
rasio adalah al-maslahah al-mursalah, sadd adz-dzar’iah, istihsan, ‘urf, dan istishab.
Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan mazhab Maliki. Bahkan
mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.

3. Madzhab Syafi’i (Imam Syafi’i)


Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn al-
‘Abbas ibn Ustman ibn Syafi ibn as-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim
ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf. Ia lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150
H (767-820M), berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh

Halaman | 9
Rasulullah SAW dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek
ketiga Rasulullah SAW).

Pada usia 30 tahun, Imam Syafi’i menikah dengan seorang wanita dari Yaman
bernama Hamidah binti Nafi’ yang merupakan seorang puteri keturunan khalifah
Ustman bin Affan (sahabat dan khalifah yang ke dua). Dari pernikahannya, ia
mendapat tiga orang anak, satu anak laki-laki (Muhammad bin Syafi’i yang menjadi
qâdhi di Jazirah Arab), dan 2 anak perempuan. Kecerdasan Imam Syafi’i telah
terlihat ketika berusia 9 tahun. Saat itu ia telah menghafal seluruh ayat al-Qur’an
dengan lancar, bahkan sempat 16 kali khatam Al-Qur’an dalam perjalanannya dari
Mekah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab al-Muwaththa’ karangan Imam
Malik yang berisikan 1.720 hadist pilihan dihafalnya di luar kepala. Imam Syafi’i
juga menekuni bahasa Arab di Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun,
kemudian kembali ke Mekah dan belajar fiqih dari seorang ulama besar (Imam
Muslim bin Khalid Azzanni) yang juga mufti kota Mekah pada saat itu. Kecerdasan
inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk
di kursi mufti kota Mekah.

Meskipun ia menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’i lebih


dikenal sebagai ahli hadist dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua
cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia
digelari Nâshiru Sunnah (pembela/penolong sunnah Nabi). Ia meninggal dunia
setelah 6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan mazhabnya dengan jalan lisan
dan tulisan serta sudah mengarang kitab ar-Risâlah (dalam ushul fikih) dan
beberapa kitab lainnya. Rab’i bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata.” Imam
Syafi’i berpulang ke rahmatullah sesudah shalat maghrib, pada usia 54 tahun,
malam jum’at, bertepatan dengan 24 Juni 819 M.

Keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fikih dan hadist pada zamannya
diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup pada zaman
meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlul hadist dan Ahlul ra’yi, Imam Syafi’i
berupaya untuk mendekatkan kedua aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada

Halaman | 10
Imam Maliki sebagai tokoh Ahlul hadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-
Syaibani sebagai tokoh Ahlul ra’yi.

Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’i menggunakan: Al-Qur’an,


Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ sahabat, Qiyas (tetapi dalam pengguanaannya tidak
luas).

Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan


hukum syara’. Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi’i diawali melalui kitab
ushul fiqhnya ar-Risâlah dan kitab fikihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan
dikembangkan oleh para muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H)
seorang ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H),
dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).

4. Madzhab Hanbali (Imam Ahmad Ibn Hanbali)


Imam Hanbali bernama lengkap Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal
ibn Asad asy-Syaibani al-Marwazi al-Baghdadi, lahir di Mirwa (Baghdad) pada
tahun 780-855 M, bertepatan pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 H. Julukan Abu
Abdullah ini berasal dari bangsa Arab kabilah an-Najjar. Nasabnya bertemu dengan
Nabi SAW pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran
sang ayah meninggal dunia pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya
yang besar membuatnya belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada
ulama yang ada di Baghdad. Setiap kali mendengar ada ulama yang terkenal di
suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu yang cukup lama untuk
menimba ilmu dari sang ulama.

Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadist tak diragukan lagi putera
sulungnya, Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa Imam Hanbali telah hafal
700.000 hadist di luar kepala. Hadist sebanyak itu kemudian diseleksinya secara
ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 hadist
berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan
kepandaiannya mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan

Halaman | 11
melahirkan banyak ulama dan pewaris hadist terkenal semisal Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan Imam Abu Daud.

Perjalanan hidup Imam Hanbali yang penuh dengan derita dan luka tak
menggentarkan ia untuk mencari ilmu dan membuat karya. Ahmad ibn Hanbal
meninggal pada hari Jum’at pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M dalam
usia 77 tahun, dimakamkan di pemakaman Bab Harb di kota Baghdad.

Imam Ahmad adalah seorang pakar hadist dan fiqh. Imam Syafi’i berkata
ketika melakukan perjalanan ke Mesir, “Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya
tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu
Hanbal,”

Dasar mazhab Hanbali adalah Al-Quran, Sunnah, fatwa sahahabat, Ijma’,


Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, sadd adz-dzarai’.

Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun
pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan,
jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis
“Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadist. Beliau memiliki kukuatan hafalan
yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadist mursal dan hadis dlaif yang derajatnya
meningkat kepada hasan bukan hadis bathil atau munkar.

Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak
terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Shalih bin Ahmad lebih
menguasai fikih dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadits. Murid yang
adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad,
Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran, Abu Bakr Al-Khallal, Abul Qasim yang
terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fikih madzhab Ahmad. Salah satu
kitab fikih madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.

Prinsip dasar Madzhab Hanbali adalah: An-Nushush, yaitu Al-Qur’an,


Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’, fatwa Sahabat, jika terdapat perbedaan pendapat
para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat
yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, Hadits mursal atau

Halaman | 12
hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’, dan
apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas.
Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat
terpaksa. Prinsip dasar Madzhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits
Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Madzhab Hanbali
pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zarî’ah, ‘urf;
istishâb, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam.

Para pengembang Madzhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad


bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin
Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-
Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim
Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama
besar Madzhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal,
dan masing-masing menyusun buku fikih sesuai dengan prinsip dasar Madzhab
Hanbali di atas.

Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan


Madzhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun
kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fikih Imam Ahmad bin
Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Madzhab Hanbali.
Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan
penyebarluasan Madzhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Madzhab
Hanbali menjadi madzhab resmi Kerajaan Arab Saudi

Halaman | 13
Bab III
Penutup

Kesimpulan
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid
dalam memecahkan masalah atau mengistinbathkan hukum Islam. Di mana mazhab
mencakup:(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu
untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil dalilnya yang rinci.

Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan hukum


islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi'in, hingga mencapai masa keemasaan
pada khilafah Abbasiyah, (walau pasca itu akhimya terjadi kemande kan /taklid),
akan tetapi harus diakui telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam
penetapan hukum fiqh Islam. Sebagai rujukan bagi umat islam hingga kini.

Faktor penyebaran madzhab: Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang


Lafadz Nash, Perbedaan Dalam Masalah Hadits, Perbedaan dalam Pemahaman dan
Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash, Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil
yang berlawanan (ta’rudl al-adillah), Perbedaan Tentang Qiyas, Perbedaan dalam
Penggunaan Dalil-dalil Hukum, Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum,
Perbedaan dalam Masalah Nasakh.

Halaman | 14
Daftar Pustaka

Ayang Utriza Yakin, Sejarah hukum Islam, (Bandung: Grafika Intermedia,2014)


Hasan Mahmud, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Pustaka al-Iman, 2009)
Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, (Jakarta: Pustaka
Lentera Iman, 2013)
Muniroh Mukhtar, Madzhab dan Sejarahnya, (Pustaka Mghfiroh: 2008)
Abas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, (Jakarta: Pustaka Bintang
Pelajar:2013)
Ahmad Izzuddin, Sejarah Tarikh Tasyri, (Jakarta: Pustaka al-Bayyinah, 2015)
https://malaelfihry.wordpress.com/2014/12/20/perkembangan-fiqih-di-masa-
mujtahid/
https://stisalmanar.ac.id/artikel/imam-ahmad-madzhab-dan-metodologinya.html
https://stisalmanar.ac.id/artikel/imam-syafii-madzhab-dan-metodologinya.html
https://stisalmanar.ac.id/artikel/metode-madzab-fikih-imam-malik.html
https://stisalmanar.ac.id/artikel/madzhab-abu-hanifah-dan-methologi-
istinbathnya.html
https://ilmukamu.wordpress.com/2011/10/11/sejarah-perkembangan-fiqh-pada-
masa-imam-mujtahid/

Halaman | 15

Anda mungkin juga menyukai