Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Memahami Fikrah Nahdiyyah

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“ ASWAJA”

Dosen pengampu :Akhamad Sirojuddin,M.Pd.I

Disusun oleh:

Ulfia Arifaturrosyida (202117001260

Suci Wulan Sari (20211700126031)

Sonia Ika Kharisma (202117001260

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS PESANTREN KH. ABDUL CHALIM

MOJOKERTO

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufiq, dan
Hidayah serta Inayah-Nya, sehingga penulisan makalah yang berjudul “ASWAJA” dapat terselesaikan.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA. Sebagai pengasuh Institut Pesantren KH.
Abdul Chalim.
2. Bapak Dr. H. Mauhiburrohman, Lc.MIRKH. Selaku Rektor Institut KH. Abdul Chalim.
3. Ibu Yhasinta Agustyarini, M.Pd. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah.
4. Bapak Akhmad Sirojuddin,M.Pd.I Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Aswaja yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan sampai selesainya penulisan makalah ini.
5. Serta seluruh yang berkecimpun dalam proses pembuatan karya tulis ilmiah ini yang berbentuk
makalah.

Tidak dapat dipungkiri, keterbatasan penulis dalam Menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna,
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritikan dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kepentingan dan kemajuan dunia Pendidikan.
Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jam'iyah Nahdlatul Ulama adalah ormas yang mana dilatarbelakangi oleh dua factor yaitu pertama,
kekhawatiran dari sebagian umat Islam yang berbasis pesantren terhadap kaum modernis yang bertolak
belakang. Kedua, untuk mendapatkan respon dari para Ulama-ulama. Gerakan dari kaum reformasi
yang membuat isu-isu yang membuat Ulama-ulama yang berbasis Pesantren melakukan konsolidasi
untuk melindungi dan menjaga nilai-nilai tradisional bangsa Indonesia yang menjadi karakteristik
kehidupan mereka.
Para Ulama yang berbasis Pesantren memutuskan untuk membentuk organisasi masyarakat Islam
yaitu Ahlussunnah wal jama'ah yang bernama Nahdlatul Ulama yang bertujuan untuk mengimbangi
gerakan kaum reformasi yang sering kali tidak memperhatikan tradisi-tradisi yang sudah tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Dalam kurunnya waktu Nahdlatul Ulama berinteraksi dengan organisasi-organisasi lain yang
mempunyai perbedaan karakter dan cara berfikir. Banyak umat manusia yang secara formal
mengatasnamakan warga Nahdliyyin, namun mempunyai cara berfikir yang berbeda jauh dari
karakteristik Nahdlatul Ulama. Hal tersebut disebabkan belum adannya "fikrah Nahdliyah" yang
seharusnya menjadi landasan bagi setiap warga Nahdliyah dalam berperilaku.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Latar Belakang Fikrah Nahdiyyah?
2. Apa Yang Dimaksud Manhaj Fikrah Nahdhiyyah?
3. Apa Yang Dimaksud Dengan Khasais Fikrah Nahdhiyyah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Latar Belakang Dari Fikrah Nahdhiyyah.
2. Untuk Mengetahui Apa itu Manhaj Fikrah Nahdhiyyah.
3. Untuk Mengetahui Apa Itu Khasais Fikrah Nahdhiyyah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang

B. FIKRAH NAHDLIYAH
Nahdlatul Ulama memiliki metode berpikir sebagai berikut: Yang dimaksud dengan Fikrah
Nahdliyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah yang
dijadikan landasan berpikir Nahdlatul Ulama (khithah nahdliyah) untuk menentukan arah
perjuangan dalam rangka islah alummah (perbaikan umat).
Dalam perjalanan sejarah, NU mengalami berbagai dinamika yang tidak saja membuat
organisasi ini tampak matang dalam bersikap, melainkan juga semakin optimis menyongsong
usia satu abad. Dalam istilah KH. Achmad Shiddiq, NU itu seperti kereta api yang sudah jelas
relnya, bukan taksi yang mudah disewa kesana kemari. Oleh karena itu, pijakan ideologis NU
sudah jelas dan telah menjadi panduan sikap dan pedoman karakteristik para anggotanya. Aspek
terakhir ini terangkum dalam konsep besar bernama Fikrah Nahdliyyah. Ide dan konsep Fikrah
Nahdliyyah ini pertama kali diajukan oleh KH. Achmad Shiddiq pada tahun 1969, yang
selanjutnya menjadi embrio gerakan kembali ke khittah NU pada tahun 1984, saat Muktamar di
Situbondo. Selain menjadi acuan komisi Bahtsul Masa'il Maudlu 'iyah dalam muktamar-
muktamar selanjutnya, Fikrah Nahdliyyah ini seringkali dijadikan sebagai "rel ideologis" dalam
konteks berbangsa dan bernegara, dalam menjaga implementasi nilai-nilai multikulturalisme di
Indonesia.
1. Manhaj Fikrah Nahdliyah (Metode berpikir ke-NU-an)
Dalam merespon persoalan, baik yang berkenaan dengan persaoalan keagamaan maupun
kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama memiliki manhaj Ahli sunnah wal Jama'ah sebagai
berikut:
a) Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj dan pemikiran Abu
Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah Saw., masih hidup Namun waktu itu setiap kali persoalan muncul, para
sahabat dapat segera memecahkannya dengan jalan Rasulullah Muhammad Saw. Apabila
ada ayat-ayat yang kurang bisa dipahami, Sahabat akan menanyakannya langsung kepada
Rasul, dan segera mendapatkan jawabannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat,
Rasulullah Saw. akan menengahi dan selesailah masalah. Namun begitu, setelah
wafatnya Baginda Rasulullah Muhammad Saw., seiring dengan berjalannya waktu,
berbagai permasalahan keagamaan terus bermunculan. Al-Qur'an dan Hadist yang
menjadi pondasi utama umat Islam dalam beraqidah dan beribadah ditafsirkan secara
berbeda-beda. sehingga niscaya menimbulkan pemahaman yang berbeda.
Sesungguhnya persengketaan akidah pada mulanya diakibatkan oleh pertentangan
masalah imamah. Dari persoalan tersebut, kemudian merambah ke wilayah agama,
terutama seputar hukum seorang muslim yang berdosa besar dan bagaimana statusnya
ketika ia meninggal; mukmin ataukah sudah kafir. 1 Dari situ, pembicaraan tentang akidah
kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan manusia baik menyangkut perbuatan
dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan Tuhan, sampai pada persoalan apakah Al-
Qur'an termasuk makhluk atau bukan.
Sampai kemudian lahirlah paham-paham akidah, seperti Qadariyah, Jabbariyah,
Mu'tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah yang mengambil
sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya Ahlusunnah wal Jamaah.
Disebut Asy'ariyah karena madzhab tersebut didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-
Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.
b) Dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermazhab secara qauli dan
manhaji kepada salah satu Al- Madzahib Al-'Arba'ah (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali).
Sumber hukum Islam (Fiqh) yang utama adalah Al- Qur'an dan hadist. Sementara
kita tahu bahwa ayat-ayat al- Qur'an tidak bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan
permasalahan-permasalahan baru terus muncul seiring perkembangan zaman. Maka,
dibutuhkan upaya penggalian hukum, atau yang lebih sering disebut dengan istilah
ijtihad.
Ijtihad sendiri sebenamya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., ketika Sahabat
menjumpai suatu persoalan yang harus segera diputuskan sementara mereka tidak sedang
bersama Rasulullah. Pada masa Khulafarurrashidin, khalifah kerap mengumpulkan para
Sahabat untuk membahas suatu masalah dan menentukan hukumnya, lalu lahirlah ijma'
atau kesepakatan. Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi'in,
dan tabi'ut tabi'in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid
mustaqil). Bukan hanya mampu berijtihad sendiri tetapi juga mampu menciptakan pola
pemahaman (manhaj) tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam, yakni al-Qur'an
dan Hadis.
Hal tersebut dibuktikan dengan metode ijtihad yang mereka rumuskan sendiri,
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa'idul ahkam, qawa'idul fiqhiyyah dan

1
Tim PWNU Jawa Timur , Aswaja An-nahdhiyyah,Cet.II (Khalisa: Surabaya, 2007). Hal. 11
sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri tersebut
mendandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu penunjang
dalam berijtihad lainnya telah mereka miliki dan kuasai.
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah fiqih memang tidak bisa dicegah, tetapi
bukan berarti setiap orang bebas untuk berijtihad (menjadi mujtahid). Bagi orang awam,
mengikuti para imam madzhab adalah wajib, demikian pendapat ulama Nahdhiyyin.
Madzhab sendiri berarti jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dalam masalah
keagamaan. Pada hakikatnya, semua orang pasti bermadzhab. Kalau tidak bermadzhab
pada madzhab-madzhab lama, mereka bermadzhab kepada madzhab yang baru. Taqlid
(mengikuti) pada imam madzhab bukanlah suatu kemunduran, tetapi justru sebagai
sarana melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Dengan bermadzhab, pewarisan
dan pengamalan ajaran Islam menjadi terpelihara, ajaran Islam terjamin kemurniannya
Para imam madzhab adalah orang-orang yang sudah terkenal kealimannya dan sangat
menguasai ilmu-ilmu al- Qur'an dan hadist. Jadi, apabila dikatakan bahwa bermadzhab
bukanlah jalan yang diajarkan oleh Rasulullah, sesungguhnya hal tersebut tidak berdasar.
Sebab para Imam madzhab adalah orang-orang yang ketaatannya pada al-Qur'an dan
sunnah sudah teruji. Bermadzhab berarti mengikuti apa yang sudah menjadi pegangan
imam madzhab.
Dalam ranah fiqh, NU bermadzhab kepada madzhab empat yang masyhur, yakni,
Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Pertanyaan yang krap muncul adalah, kenapa NU
hanya memilih empat madzhab untuk dijadikan pijakan dalam berfiqh? Dalam buku
Aswaja an-Nahdliyah, sebagaimana dikutip K.H Busyairi Harist, 2 adalah karena:
Pertama, kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka
hampir dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi
menjelaskan secara detail tentang keilmuan mereka. Kedua, keempat Imam madzhab
tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu imam mujtahid yang mampu
secara mendiri menciptakan manhaj al-fiqr (metode berpikir), pola, proses dan prosedur
istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Ketiga, Imam madzhab itu
mempunyai murid-murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan
madzhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjalin keasliannya hingga saat
ini. Keempat, jika ditelusuri ternyata para Imam madzhab tersebut mempunyai mata
rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.

2
Drs. K.H. Busyairi, M.Ag, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya, 2010) hal. 7-8
c) Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al Junaid al Baghdadi
(w.297H.) dan Abu Hamid al Ghazali (450- 505 H./1058-11 11 M.). Dasar utama tasawuf
Aswaja tidak lain adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu, jika ada orang yang
mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-Qur'an dan sunnah,
maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan- tingkatan
kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan
dengan al-Qur'an dan as- Sunnah. Imam Malik pernah mengatakan, "Orang yang
bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah merusak imannya sedangkan orang yang
memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang
yang memadukan keduanyalah yang akan menemukan kebenaran. 3 "Sudah sepantasnya,
para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah
dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya.
Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan
oleh tabi'in, tabi'ut tabi'in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami
sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat
dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-
an (kesederhanaan duniawi), wara' (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir
yang dilakukan mereka. Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan
berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan
semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia
lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya
adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari'at. Karena itu, kaum
Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari
kewajiban-kewajiban syari'at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan
pernyataannya "ana al-haqq" atau tasawuf Ibnu 'Arabi (ittihad; manunggaling kawula
gusti). Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang
moderat, yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari'at dan Aqidah.

B. Khashaish (Ciri-ciri) Fikrah Nahdliyah

1. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat)

3
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ikhsan: Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman, (Serambi: Jakarta,
2007). Hal. 63
artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan itidal (moderat) dalam
menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath. Fikrah pertama ini
mengedepankan sikap moderat yang telah mendarah daging dan menjadi identifikasi NU sebagai
"anak pertama" di Indonesia. Organisasi ini memiliki modal sosial budaya yang bisa diterima oleh
berbagai kalangan, kecuali kelompok teroris, dalam upaya menjaga kerukunan beragama dan
kerukunan berbangsa. Dalam perjalanan sejarah, NU menghindari sikap radikal, karena sikap ini
hanya menimbulkan resiko jangka panjang dan lebih banyak nilai negatif dibandingkan nilai
positifnya. NU tidak bersikap reaktif dan keras, karena keduanya hanya akan membuat NU mudah
"dijebak" dan terpancing. NU juga tidak bersikap sebagaimana avonturir yang pragmatis, melainkan
menjalankan prinsip-prinsip yang factual dan realistis.

Melalui penggunaan aspek al-tawassuth ini dalam konteks berbangsa dan bernegara, NU mampu
berlayar di antara karang ekstremisme dan liberalism, kedua kata yang memang dicurigai sebagai
penyebab kehancuran sebuah peradaban. Melalui rel tawassuth ini, NU diharapkan mampu menjadi
jangkar Islam Indonesia agar tidak mudah terseret kepada pusaran konflik global yang rumit. Hal ini
disebabkan fakta bahwa yang menjadikan organisasi NU tetap eksis hingga hari ini adalah sikap
moderat dalam banyak hal, meskipun sering dituding sebagai oportunis, avonturir dan cari aman.
Tuduhan-tuduhan semacam ini muncul karena, dalam batas tertentu, pihak penuduhnya belum mampu
memahami cara pandang NU yang khas terhadap "sesuatu" maupun peristiwa.

Dalam konteks pemahaman seperti ini, sangat menarik kalimat yang telah disampaikan oleh KH. A.
Wahid Hasyim berikut ini: "Saya berkata demikian (kegembiraan berdirinya PTAIN-pen) bukanlah
karena saya seorang muslim yang kebetulan berbangsa Indonesia, akan tetapi sebagai seorang putra
Indonesia yang beragama Islam. Melalui ungkapan di atas, terlihat bahwa Kiai Wahid menolak
identifikasi diri sebagai seorang muslim yang tinggal di sebuah wilayah.... Kiai Wahid bahkan dengan
tegas melakukan upaya peneguhan sebagai ...seorang Indonesia yang beragama Islam. Dengan
demikian, Kiai Wahid saat itu telah memulai wacana kepercayaan diri sebagai Indonesia yang
beragama Islam dan bukan muslim yang kebetulan tinggal di Indonesia Kiai Wahid telah berusaha
menghindarkan umat Islam agar tidak menjadi tamu di negeri sendiri, melainkan menjadi umat Islam
Nusantara sebagai tuan di rumah sendiri.

Kiai Wahid, dalam berbagai kesempatan, selalu menandaskan keniscayaan bagi para pemuda
Indonesia agar percaya diri saat menyuarakan pendapat maupun bersikap percaya diri sebagai seorang
muslim Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan bangsa lain. Dalam buku Pentingnja Terdjemah
Hadis Pada Masa Pembangunan, Kiai Wahid juga menegaskan: "Maksud saya ialah tidak menyetujui
meng-Arab-kan angkatan (generasi) kita yang akan beda dari pada bahasa dan adat istiadat Indonesia.
Pendapat Kiai Wahid di atas merupakan representasi gagasan Islam Pribumi maupun Islam
Nusantara. Islam corak ini berurat nadi dengan entitas ke-Indonesia-an. Secara konsepsional,
sebenarnya tidak ada yang salah dalam mengadaptasi kebudayaan Arab untuk mengekspresikan
keberagamaan atau ke-Islam-an seseorang. Permasalahan akan muncul saat menggunakan ekspresi ke-
Arab-an sebagai ekspresi tunggal dan dianggap paling sah dalam beragama, sehingga ekspresi Arab
menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi lain. Dalam bahasa KH. Abdurrahman
Wahid, Arabisasi atau proses pengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah
"...tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri." Lagipula, demikian lanjutnya, Arabisasi belum
tentu cocok dengan kebutuhan.

2. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran),


artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun
aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda meskipun memiliki akidah, cara pikir dan budaya
berbeda. NU menyadari bahwa membangun dan mempertahankan Indonesia tidak bisa dilakukan
kecuali dengan cara menggandeng tangan pihak lain. Peradaban mustahil dibangun dengan
egosentrisme sektarian, karena peradaban hanya bisa diwujudkan oleh mereka berjiwa besar yang
memahami hakikat multikulturalisme, pluralisme dan sikap koeksistensi. Bangsa Indonesia sejak
dulu memang kuat dalam hal watak toleransi. Budhaisasi, Hinduisasi sampai Islamisasi Nusantara
terjadi dengan jalan damai, kecuali Kristenisasi yang didukung VOC. Watak demikian merupakan
mindset yang menghargai keberadaan perbedaan dan hidup berdampingan dengan orang lain.
Al-tasamuh masih merupakan sesuatu yang absurd saat tidak diwujudkan dalam kehidupan
nyata. Dalam hal ini, masyarakat Indonesia bisa belajar dari para kiai di masa lampau yang
mendirikan pesantren dengan cara khas tanpa pertumpahan darah. Al-tasamuh juga menjadi
parameter dakwah di masyarakat, karena dengan toleransi ini keberhasilan dakwah bisa dibuktikan.
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif),
artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik
(al-ishlah ila ma huwa al-ashlah). Fikrah ketiga ini menempatkan NU selalu mengupayakan
perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al- ashlah). Dalam beberapa hal,
manhajini terbukti menjadi salah satu poros pergerakan NU saat menyikapi perkembangan jaman.
Artikulasi sikap reformis di sini, misalnya, terdapat dalam berbagai jawaban atas persoalan yang
diajukan di dalam forum muktamar melalui bahtsul masa il.
Secara organisatoris, NU selalu mendorong perubahan ke arah lebih baik dan realistis. Dua
kali pergantian rezim, misalnya, NU selalu mendukung. Hal ini tidak melihat pihak yang akan
berkuasa, melainkan mengawasi proses pergantian rezim ini agar berjalan dengan tepat dan
mencegah agar tidak ada konflik horisontal berkepanjangan. Dalam konteks lebih nyata, secara
personal KH. Ahmad Sahal Mahfudh, Rais Aam Syuriah PBNU 1999-2014, telah memberikan
contoh realisasi sikap ini. Kiai Sahal melalui gagasan Figh Sosial telah melakukan pemberdayaan
masyarakat sekitar pesantren melalui beberapa terobosan sosial-ekonomi yang berpusat di
pesantren.
Kiai Sahal menjadikan pesantren sebagai penggerak agar masyarakat lebih berdaya dalam
bidang ekonomi melalui pengem bangan usaha kerupuk tayammum, yang digoreng menggunakan
pasir, tepung tapioka maupun pengembangan pertanian kacang dengan cara bekerjasama dengan
salah satu produsen kacang kemasan skala internasional. Kiai Sahal juga merintis dan
mengembangkan sebuah bank yang kini asetnya mencapai puluhan miliar rupiah dan memiliki
beberapa cabang. Ada wujud lain, di tahun 1980-an, Kiai Sahal melalui forum bahtsul masa 'i/
mempelopori penolakan Tebu Insentif Rakyat (TIR) yang dipaksakan pemerintah kepada para
petani tebu. Bagi Kiai Sahal, konsep TIR sangat merugikan petani. Meskipun keputusan ini lahir
dari bahtsul masa il skala kecamatan atau MWC, namun keputusan yang "membela rakyat kecil"
itu cukup menghebohkan dan menginspirasi aksi pembelaan para kiai terhadap rakyat kecil.
Dalam wujud personal lain, Gus Dur gigih mendampingi dan memperjuangkan masyarakat yang
menjadi korban pembangunan waduk Kedungombo pada tahun 1990-an, hingga mendampingi
sebagian penduduk desa di Jepara yang tanahnya "dijual paksa" dengan alasan untuk
pembangunan PLTN yang hingga kini rencana pembangunannya masih kontroversi.
Gus Dur juga mendampingi masyarakat korban sengketa tanah di Grati Pasuruan yang
terintimidasi oleh militer pada pertengahan tahun 2000-an silam. Di samping itu, tentu masih
banyak kiprah Gus Dur dalam mendampingi rakyat kecil yang tidak berdaya menghadapi
kebijakan pemerintah yang seringkali memihak korporasi besar. Sikap reformis ini bukan semata
ideologi yang diperjuangkan melalui cara-cara revolusioner. Hal ini disebabkan dalam banyak
peristiwa, NU memilih cara evolutif jika mampu menjadi parameter mewujudkan kebaikan
bersama (mashlahah).
Dalam konteksnsejarah, terhitung dua kali NU menggerakkan semangat revolusi. Pertama,
saat menyongsong kedatangan Inggris dan pasukan Sekutu dalam Perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya melalui Resolusi Jihad. Kedua, saat Peristiwa G/30/S/PKI terjadi di tahun 1965 lalu.
Kedua peristiwa besar itu, secara tidak langsung, merupakan reaksi atas aksi
4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis),
artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai
persoalan. Fikrah keempat ini mendorong NU agar selalu melakukan kontekstualisasi dalam
merespon berbagai persoalan. Tradisi bahtsul masa 'il yang tidak terpisahkan dari komunitas
NU dan pesantren adalah wadah tepat untuk merespon setiap dinamika perkembangan jaman.
Setiap kasus dan permasalahan yang muncul senantiasa dicari jawaban dan solusi melalui
perangkat fikih. Pola pikir dinamis ini juga tampak sejak pendirian NU, saat Ibnu Suud
sebagai penguasa Nejd dan Hijaz yang didukung paham radikal-ekstrem Gerakan Wahabi
memulai razia ideologis dan mengontrol secara ketat tata cara peribadatan umat Islam. Saat
itu para ulama langsung membentuk Komite Hijaz sebagai respon dan perwakilan umat Islam
tradisional di Indonesia untuk melakukan lobi agar penguasa Hijaz tersebut bersedia
menghormati pluralisme bermadzhab, melindungi peninggalan bersejarah Nabi Muhammad
Saw dan para sahabatnya serta beberapa tuntutan lain.
Dalam konteks kenegaraan, fikrah tathawwuriyah juga tampak saat NU melihat negara
Indonesia yang baru saja lahir digoncang kisruh internal. Pemberontakan merajalela di daerah
dan ini tentu saja membahayakan situasi negara Indonesia yang baru dirintis. Musyawarah
Nasional Alim Ulama yang diprakarsai NU pada tahun 1954 memberikan gelar waliyyul amri
al-dharuri bi al-syaukah kepada Bung Karno adalah langkah strategis sekaligus berani.
Disebut strategis karena langkah ini secara tidak langsung mengukuhkan Bung Karno sebagai
penguasa RI yang sah. Langkah ini secara langsung juga mendelegitimasi klaim sebagai
imam yang dilakukan Sekarmadji Marijan Kartosuwirjo dengan DI/TII-nya. Disebut berani,
karena terdapat kata al-dharuri yang berarti menilai Bung Karno belum memenuhi syarat
sempurna, baik secara agama dan politik, sebagai waliyyul amr, mengingat Bung Karno saat
itu belum dipilih melalui jalur pemilu yang sah. Sedangkan secara fiqh, keputusan ini juga
berpengaruh kepada tatanan hukum Islam.
Sebagai contoh adalah dalam soal penyerahan perwalian bagi perempuan yang kawin dan
tidak memiliki wali nasab (tauliyah). Menurut madzhab Syafi'i, wali hakim harus
memperoleh kuasa dari sulthan atau pemerintah. Dalam posisi yang belum "sempurna" ini,
karena masih dharuri, Bung Karno dikukuhkan sebagai waliyyul amri, se hingga status ini
memiliki pengaruh signifikan dalam beberapa nomenklatur fikih. dari umat Islam Indonesia
yang selalu memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (al- tasamuh),
kebersamaan dan hidup berdampingan, baik dengan sesama warga negara yang memiliki
keyakinan atau agama lain, untuk bersama-sama mewujudkan citacita persatuan dan kesatuan
bangsa yang kokoh dan dinamis.
5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis),
artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu pada
manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama. Fikrah keempat ini mendorong NU agar
selalu melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. Tradisi bahtsul masa
'il yang tidak terpisahkan dari komunitas NU dan pesantren adalah wadah tepat untuk
merespon setiap dinamika perkembangan jaman. Setiap kasus dan permasalahan yang muncul
senantiasa dicari jawaban dan solusi melalui perangkat fikih. Pola pikir dinamis ini juga
tampak sejak pendirian NU, saat Ibnu Suud sebagai penguasa Nejd dan Hijaz yang didukung
paham radikal-ekstremGerakan Wahabi memulai razia ideologis dan mengontrol secara ketat
tata cara peribadatan umat Islam.
Saat itu para ulama langsung membentuk Komite Hijaz sebagai respon dan perwakilan
umat Islam tradisional di Indonesia untuk melakukan lobi agar penguasa Hijaz tersebut
bersedia menghormati pluralisme bermadzhab, melindungi peninggalan bersejarah Nabi
Muhammad Saw dan para sahabatnya serta beberapa tuntutan lain. Menghidupi diri sendiri,
berkembang dengan cara sendiri dan tidak bergantung kepada bantuan pemerintah. Meskipun
demikian, tetap ada beberapa pondok pesantren yang berafiliasi secara politis dengan partai
penguasa dan secara otomatis memperoleh fasilitas melimpah, namun mayoritas pondok
pesantren saat itu memilih berkreasi secara mandiri dan tidak berkenan menyetorkan
pengajuan pendanaan bersumber dari dana negara.
Namun saat Orde Reformasi bergulir dan kemudian banyak warga NU menduduki
jabatan strategis, saat itu pula kultur kemandirian mulai runtuh berganti dengan tradisi
bergantung kepada dana bantuan pemerintah. Independensi secara ekonomi yang dibangun
selama puluhan tahun kemudian runtuh secara perlahan- lahan. Fikrah manhajiyyah ini,
dalam konteks berbangsa dan bernegara, bisa dirujuk dari tradisi besar dan sejarah panjang
paham Sunni. Mereka seringkali menghindari jalan terabas revolusioner karena selain
memiliki resiko besar "diberangus" dengan cepat, revolusi seringkali "memakan" anak
kandungnya sendiri, sebagaimana yang disampaikan Bung Karno.
Sunni selalu mendahulukan cara persuasif, gradual dan evolutif, namun cara revolusi
akan menjadi langkah alternatif terakhir untuk mewujudkan cita-cita kemaslahatan. Dalam
konteks historis di Indonesia, NU menggunakan aspek manhajiyyah ini sebagai salah satu
metode meredam gejolak radikalisme. Secara manhajiy, pijakan epistemologis dan ideologis
NU sudah tepat, apalagi secara genealogi keilmuan, mata rantai para ulama pendiri NU sudah
terkoneksi dengan Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, fikrah manhajiyyah perpspektif
NU yang bisa dirumuskan melalui fomasi 4-2-2 mampu menjadi penopang agar tetap
berpijak pada relnya sesuai dengan garis besar Sunni.4

4
Rijal Mumazziq Zionis Fikrah Nahdliyyah Sebagai Pondasi Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. pdf
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
DARTAR PUSTAKA

Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nahdliyyah Sebagai Pondasi Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. Pdf

Tim PWNU Jawa Timur. 2007. Aswaja An-nahdhiyyah, Surabaya; Khalista.

Anda mungkin juga menyukai