Anda di halaman 1dari 12

PEMIKIRAN MANHAJ AHL AL-FIQH/ USHUL AL-FIQH

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Ahmad Muthohar, M. Ag.

Disusun oleh :
Riyan Andika (2103016061)
Nurul Laely Mahmudah (2103016066)
Ahda Min Ichdal Umamy (2103016067)
Munaim (2103016069)

PAI 6C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2024
PENDAHULUAN

Islam menjadi agama yang sangat memahami bahwa manusia merupakan makhluk
sosial dinamis yang selalu menciptakan perubahan dan perkembangan dalam segala aspek
kehidupan di sekitarnya. Semua hal yang berhubungan dengan perkembangan kehidupan
manusia tidaklah terlepas dari hasil pemikiran akalnya. Karena adanya kecerdasan akal inilah
manusia menjadi makhluk yang paling istimewa di muka bumi. Di dalam Al-Qur’an juga
dijelaskan bahwa Allah memberikan akal kepada manusia agar manusia bisa berpikir. Dengan
potensi akal yang dimilikinya, manusia bisa terus mengembangkan ide, melakukan berbagai
inovasi, kreasi, dan lain sebagainya.

Suatu pemikiran dan aliran hukum yang berkembang di suatu masa tidak bisa dikatakan
berdiri sendiri tanpa dihubungkan dengan masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan masa
sekarang ini sangat berkaitan erat dengan proses sejarah dan keadaan sosio-kultural tempat
dimana aliran-aliran tersebut dilahirkan. Dapat diartikan bahwa hasil pemikiran yang
berkembang tersebut merupakan kelanjutan yang memiliki hubungan erat dari proses sosio-
historis dari tindakan, hasil-hasil, atau produk pemikiran hukum dari masa sebelumnya.
Berbagai aliran hukum Islam yang berkembang kemudian membentuk mazhab yang memiliki
hubungan erat dengan aliran yang berkembang sebelumnya. Berbagai aliran tersebut
merupakan bagian dari proses pembentukan banyak aliran hukum Islam di masa tabi’in. 1

Dalam perkembangannya terdapat dua aliran dalam menginstinbathkan hukum Islam,


yaitu ahlu ra’yu dan ahlu hadist. Ahlu ra’yu yang dikenal dengan aliran Fikih Kufah (Irak) dan
ahlu hadist yang dikenal dengan aliran Fikih Madinah (Hijaz). Dua aliran ini dipengaruhi oleh
guru, kultur sosial, kondisi geografis, dan sebagainya. Ahlu hadist sendiri merupakan
kelompok yang sangat berpedoman pada sunnah Rasulullah saw. Sedangkan kelompok kedua
(ahlu ra’yu) lebih mendasarkan pada persoalan yang akan datang kemudian didasarkan pada
pemikiran atau ijtihad sendiri. 2

Menurut Noel (2001) aliran Fikih Madinah (Hijaz) terkenal dengan berpegang kepada
nash-nash Sunnah dan memahaminya secara literal (dhahir), serta menganggap bahwa fatwa
sahabat juga sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan aliran Fikih

1
Nurul Fathikhin, dkk, Pola Pemikiran Ahlu Hadist dan Ahlu Ra’yu dalam Pembentukan Hukum Islam
pada Masa Tabi’in, Artikel Research Gate, 2021, hlm. 2.
2
Muttaqin Choiri, Evolusi Ra’y dalam Pembentukan Hukum Islam, Jurnal, (Al-A’dalah: Fakultas Syariah
UIN Raden Intan Lampung, 2015), Vol. 12, No. 2, hlm. 743.

1|P ag e
Kufah lebih menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan menganggap hukum syariat
sebagai suatu takaran rasionalitas. Aliran ini cenderung lebih menggunakan qiyas (analogi). 3

Dari uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat diperoleh adalah: 1) Bagaimana
Model Berpikir Madzhab Kufah (Ahlu Ra’yu) yang Dikembangkan oleh Imam Hanafi?, 2)
Bagaimana Model Berpikir Madzhab Madinah (Ahlu Hadist) yang Dikembangkan oleh Imam
Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbali?, 3) Bagaimana Sintesis Model Berpikir antara
Madzhab Kufah (Ahlu Ra’yu) dan Madzhab Madinah (Ahlu Hadist)?

Adapun tujuan dari penulisan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan
mengungkapkan model berpikir Madzhab Kufah dan Madzhab Madinah, serta dapat
membandingkan model berpikir antara keduanya.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan penelitian kepustakaan (library research)


sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Ciri khusus yang
digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan pengetahuan penelitian antara lain: penelitian
ini dihadapkan langsung dengan data atau teks yang disajikan, bukan dengan data lapangan
atau melalui saksi mata berupa kejadian, peneliti hanya berhadapan langsung dengan sumber
yang sudah ada di perpustakaan atau data bersifat siap pakai, serta data-data sekunder yang
digunakan (Synder, 2019).
Penulis memilih metode kepustakaan karena beberapa hal. Pertama, penelitian ini tidak
harus berasal dari data lapangan. Bisa melalui literatur buku, jurnal, atau berbagai sumber lain
yang bersifat non lapangan. Kedua, studi kepustakaan masih berperan besar dalam menjawab
berbagai persoalan penelitian. Ketiga, penelitian kepustakaan mampu menyumbangkan
konsep-konsep hasil temuan yang bisa menjadi solusi dari permasalahan penelitian yang
sedang diteliti. 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Model Berpikir Madzhab Kufah (Ahlu Ra’yu)


Madzhab Kufah, yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah (700-767 M), adalah
salah satu dari empat madzhab utama dalam fikih Islam. Madzhab ini memiliki akar yang kuat

3
Noel J. Coulson, Konflik dalam Yurispendensi Islam, (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm. 2.
4
Krisna Wijaya, Epistemologi Islam sebagai Worldview Asas Ilmu, Iman, dan Amal Bagi Seorang
Pendidik, Jurnal (At Turots: STIT Madani, 2021), Vol. 5, No. 3, hlm. 288.

2|P ag e
di kota Kufah, Irak, pada abad ke-8 M. Nama Imam Hanafi adalah Nu’man bin Tsabit bin
Zauthi (80-150 H). Beliau merupakan Bangsa Persia. Ia mengalami masa Daulah Bani
Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Ada yang mengatakan beliau termasuk kalangan tabi’in,
tetapi ada juga yang mengatakan beliau termasuk kalangan tabi’ tabi’in. 5 Ia pernah bertemu
dengan Annas bin Malik (sahabat) dan meriwayatkan hadist terkenal, “mencari ilmu itu wajib
bagi setiap muslim”
Nu’man bin Tsabit bin Zauthi dilahirkan tahun 80 H di Kufah. Di kala muda ia
mempelajari fikih dari Hammad bin Abu Sulaiman pada permulaan abad II. Ia banyak belajar
dari ulama tabi’in seperti ‘Atha’ bin Abu Rabah dan Nafi’ maula Ibn Umar. Abu Hanifah
mengalami perpindahan kekuasaan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam peralihan ini
Kufah merupakan pusat pergerakan yang besar.6 Dikatakan bahwa Yazib bin Hubairoh wali
Iraq dari pihak Marwan bin Muhammad menawarkan kepadanya untuk menjadi hakim, tapi ia
enggan, oleh karena itu ia di pukul.
Setelah Hammad bin Sulaiman meninggal pada tahun 120 H, beliau duduk
menggantikan sang guru dalam majlis kajiannya. Madzhab ini diawali oleh Abu Hanifah yang
dikenal sebagai ahli ra’yu serta faqih dari Iraq yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di
zamannya. Madzhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas dan istihsan. Dalam
memperoleh suatu hukum yang tidak terdapat di dalam nash, kadang-kadang ulama madzhab
ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Alasannya, kaidah qiyas
tidak dapat diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Akan tetapi, ia mendahulukan qiyas
apabila menemui hadist ahad.
Gaya pengajaran Imam Abu Hanifah adalah dengan cara dialog dan tidak hanya bersifat
penyampaian, tetapi terkadang beliau memberikan beberapa pertanyaan seputar fikih kepada
murid-muridnya. Kemudian beliau memberikan beberapa dasar untuk menjawab masalah
tersebut, lalu mereka berdialog. Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya. Terkadang
mereka setuju, terkadang tidak dan sesekali mereka bersuara keras. Apabila mereka sudah
mencapai kata sepakat dalam satu masalah, utusan sang imam akan mendiktekannya kepada
para murid atau ada murid yang menuliskan untuk sang imam.
Tekadang pula terdapat perbedaan diantara mereka dan tidak menemukan kata sepakat,
lalu ditulislah semua pendapat yang ada. Dengan cara inilah berdiri Madzhab Imam Abu

5
A. M. Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’. (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 67.
6
Muhammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Tasyri, (Indonesia: Daarul Ihya, 1980), hlm. 100.

3|P ag e
Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi. 7 Dari sini kemudian lahirlah
murid-murid sang imam yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan ijtihad,
padahal mereka masih dalam tahap belajar dan menuntut ilmu.
Fikih dikalangan Madzhab Abu Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah, Fatwa Sahabat,
Qiyas, Istihsan dan Ijma’. Sumber asli yang digunakan adalah Al-Qur’an dan Sunnah,
sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam mengistinbatkan hukum Islam dari
kedua sumber tersebut. Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa imam Abu
Hanifah menulis sebuah buku fikih. Akan tetapi, pendapatnya masih dapat dilacak secara utuh
melalui murid-muridnya yang berupaya menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan
maupun tulisan.
Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani dengan judul Zhahir al-Riwayah dan Al-Nawadir. Buku
Zhahir Al-Riwayah ini terdiri atas enam bagian, yaitu Al-Mabsuth, Al-Jami’ Al-Kabir, Al-Jami’
Al-Shagir, Al-Syiar Al-Kabir, Al-Syiar Al-Shagir, dan Al-Ziyadah. Keenam bagian ini
ditemukan dalam kitab Al-Kafi yang disusun oleh Abu Al-Fadi
Muhamad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi (wafat 334 H). Kemudian pada abad V
Hijriyah muncul Imam Al-Sarkhasi yang mensyarah Al-Kafi tersebut dan diberi judul Al-
Mabsuth. Al-Mabsuth inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Madzhab Hanafi.
Di samping itu, Madzhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid beliau yaitu Imam Abu
Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar Ushul Fikih Madzhab Hanafi. Ia menuliskannya
atara lain dalam kitab Al-Kharaj, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya
yang tidak dijumpai lagi saat ini. Ajaran Abu Hanifah juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudzail
bin Qais Al-Kufi (110-158 H). Zufar bin Hudzail semula termasuk salah seorang ulama ahli
hadist. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Abu Hanifah secara langsung, ia kemudian
kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh Madzhab Hanafi yang banyak sekali
menggunakan qiyas. Sementara itu, Ibnu Al-Lulu juga salah seorang ulama Madzhab Hanafi
yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf, dan Imam
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani.

2. Model Berpikir Madzhab Madinah (Ahlu Hadist)


Madzhab Madinah merupakan istilah yang merujuk pada pendekatan hukum Islam
yang didasarkan pada tradisi dan amalan umat Islam di kota Madinah pada masa awal Islam

7
R. H. Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2020), hlm. 77.

4|P ag e
yang digali dari ayat Al-Qur'an atau hadis yang dapat diijtihadkan. Madzhab Madinah
merupakan konsep yang mengacu pada prinsip-prinsip hukum Islam yang berkembang di kota
Madinah pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya.

Untuk menjelaskan model berfikir Jurisprudensi Islam yang dikembangkan oleh Imam
Malik, Imam As-Syafii, dan Imam Ahmad ibn Hanbal, berikut tinjauan masing-masing imam
tersebut:

a) Imam Malik
Imam Malik adalah salah satu dari empat imam besar dalam Islam. Ia lahir di
Madinah pada tahun 93 H/713 M dan meninggal pada tanggal 10 Rabiul Awal 179 H/798
M, di masa pemerintahan Abbasiyah di bawah Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya adalah
Abu Abdillah Malik bin Anas As Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu Amir bin Harits.
Dia dikenal sebagai sosok yang berbudi luhur, cerdas, pemberani, dan teguh dalam
mempertahankan kebenaran. Kedalaman ilmunya membuatnya sangat tegas dalam
menetapkan hukum syariah.
Pada masa remajanya, Imam Malik mempelajari dan menghafal Al-Qur'an. Ibunya
mendorongnya untuk mempelajari fikih dari Imam Rabi'ah al-Ra'yu, seorang ulama dari
Madinah, serta dari ulama lainnya seperti Yahya bin Sa'id. Selain fiqih, Imam Malik juga
mempelajari hadits dari berbagai guru. Koleksi hadits yang diterimanya akhirnya disusun
dalam kitab yang terkenal dengan nama al-Muwattha.8 Dalam fiqih Madzhab Maliki yang
membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam pengembangan
Madzhab Maliki dan menjadikannya tampil beda di antara beliau dan ulama lainnya
yaitu:9
Pertama, Madzhab Maliki berpegang pada amal Ahli Madinah karena Madinah
merupakan tempat Rasulullah berhijrah. Di Madinah banyak diturunkan ayat-ayat
Al-Qur’an, jadi asumsinya semua orang mengikuti tradisi Madinah terdahulu.
Imam Malik menganggap bahwa praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk
sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata.
Bagi Imam Malik, perbuatan Penduduk Madinah itu lebih kuat karena perbuatan mereka

8
Danu Aris Setiyanto, Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan Sejarah Sosial), Jurnal,
(Al-Ahkam: UIN Raden Mas Said Surakarta, 2016), Vol. 1, No. 2, hlm 106.
9
Abdurrohman Kasdi, Menyelami Fiqih Madzhab Maliki (Karakteristik Pemikiran Imam Maliki dalam
Memadukan Hadits dan Fiqih), Jurnal, (Yudisia: Fakultas Syariah dan Ekonomi IAIN Kudus, 2017), Vol. 8, No. 2,
hlm. 321-324.

5|P ag e
berkedudukan sebagai riwayat mereka dari Rasulullah dan riwayat jama’ah dari jama’ah
itu lebih utama didahulukan daripada riwayat individu dari individu. Namun
Imam Malik tidak mengharuskan orang-orang dari negeri lain mengikuti pekerjaan
orang-orang Madinah, beliau hanya menganjurkan untuk menjadi pilihan dalam
berijtihad.
Kedua, dijadikannya mashalih al-mursalah (istishlah) sebagai sumber hukum.
Mashalih al-mursalah adalah hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia, tetapi
tidak disebutkan oleh syari’ah secara khusus. Kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak
diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan
dikembalikan pada pemeliharaan maqâshid syari’ah. Keadaan yang dimaksud dapat
diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan tidak diperselisihkan mengikutinya
kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka dalam kondisi
seperti ini Imam Malik mendahulukan beramal dengannya.
Ketiga, Imam Malik berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat (qaul sahabi)
karena mereka adalah orang yang terdahulu dari golongan orang yang hijrah
(Muhajirin) bersama Rasulullah atau dari golongan penolong (Ansor). Mereka itu
orang yang bersahabat dengan Rasulullah, orang yang melihat dan mendengar ajaran-
ajaran Rasulullah, serta mempelajari dari beliau. Qaul sahabi dijadikan hujjah apabila
shahih sanadnya keluar dari sahabat terkemuka, dan tidak menyalahi hadits marfu’
yang baik.
Keempat, Imam Malik menggunakan Istihsan dalam berbagai masalah, seperti
jaminan pekerja, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi
bagi semua orang itu sama, dan pelaksanaan qisas yang harus menghadirkan
beberapa orang saksi dan sumpah.
Kelima, kedudukan sunnah di hadapan Imam Malik, beliau tidak mensyaratkan
dalam menerima hadits itu mesti masyhur dalam masalah umum sebagaimana
disyaratkan Madzhab Hanafi. Beliau juga tidak menolak khabar ahad karena
berselisihan dengan qiyas atau karena bertentangan dengan perbuatan perawinya,
tidak mendahulukan qiyas daripada khabar ahad, dan ia menggunakan hadits mursal.
Dalam khabar ahad disyaratkan tidak berselisihan dengan amal/perbuatan penduduk
Madinah dan sandaran Malik dalam hadits adalah apa yang diriwayatkan para
ulama Madinah.

6|P ag e
b) Imam Syafi’i
Imam Syafi'i, nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Syafi'i bin
al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Mutholib bin Abdi Manaf, berasal
dari suku Quraisy. Ayahnya melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah untuk mencari
nafkah. Kemudian ke Gaza, di mana Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H/767 M. Setelah
ayahnya meninggal, Imam Syafi'i diasuh oleh ibunya dan belajar Al-Qur'an sejak usia 9
tahun. Ia melanjutkan studinya di berbagai bidang, termasuk bahasa Arab, hadis, dan fikih.
Imam Syafi'i belajar dari Imam Malik, hingga akhirnya belajar kepada Muhammad
ibn al-Hasan al-Syaibaniy, murid Abu Hanifah, di Baghdad. Setelah beberapa tahun belajar
di berbagai tempat, ia menetap di Mesir hingga wafatnya pada tahun 204 H. Dalam kajian
fikihnya, Imam Syafi'i menekankan pentingnya Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma' sebagai
sumber hukum Islam. Jika ketiga sumber tersebut tidak memberikan jawaban yang jelas,
ia kemudian mempertimbangkan pendapat sahabat Nabi dan melakukan ijtihad dengan
menggunakan qiyas dan istishab. 10
Imam Syafi’i mengatakan dalam Muhammad Kamil Musa 11 bahwa; ilmu itu
bertingkat-tingkat: 1) Tingkat pertama adalah Al-Qur’an dan Sunnah, 2) Tingkat kedua
ialah ijma’ terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, 3) Tingkat
ketiga adalah qaul sebagian sahabat tanpa ada yang menyalahinya, 4) Tingkat keempat
adalah pendapat sahabat Nabi saw. yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda
(ikhtilaf), 5) Tingkat kelima adalah qiyas. Dengan demikian, dalil hukum yang digunakan
oleh Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Sedangkan teknik ijtihad yang
digunakan adalah qiyas dan takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya.
Ikhtilaf antara madzhab ahlu ra’yu dan madzhab ahlu ḥadits sebenarnya telah
berakhir pada masa Imam Syafi’i karena beliau telah menggabungkan dua metodologi
dalam mengistinbatkan hukum Islam. Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Syafi’i
memiliki dua qaul, yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Pemetaan istilah tersebut dengan
melihat dimana tempat beliau memutuskan hukum. Pendapat Imam Syafi’i yang
difatwakan dan ditulis di Irak (195-199 H) dikenal dengan qaul qadim. Sedangkan hasil
ijtihad Imam Syafi’i yang digali dan difatwakan selama ia bermukim di Mesir (199-204
H) dikenal dengan qaul jadid.

10
Rohidin, Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'I, Jurnal, (Hukum Ius Quia Lustum: Universitas
Islam Indonesia, 2004), Vol. 11, No. 27, hlm. 98.
11
Muhammad Kamil Musa, Al-Madkhal Ila Al-Tasyri’ Al-Islami. (Beirut: Muassasah Al-Risalah,
1989),hlm. 254.

7|P ag e
Kebanyakan pendapat Imam Syafi’i sewaktu menetap di Irak banyak dituliskan
dalam al-Risalah al-Qadimah dan al-Hujjah, yang populer dengan sebutan al-Kitab al-
Qadim. Sedangkan qaul jadid yang dirumuskan Imam Syafi’i setelah beliau berdomisili di
Mesir diabadikan dalam beberapa kitab, yaitu: al-Risalah al-Jadidah, al-Umm, al-Amali,
al-Imla', dan lain-lain. Itulah pendapat Imam Syafi’i tentang qaul qadim dan qaul jadid
yang sering dijadikan alasan oleh pembaharu untuk memodifikasi fikih Islam. Selain itu
juga ada pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang dicantumkan dalam kitab yang sering
dikenal dengan kitab al-‘Umm. Di dalam kitab ini menjelaskan pendapat-pendapat imam
Syafi’i tentang hukum-hukum Islam.
c) Imam Hanbali
Imam Ahmad ibn Hanbal al-Syaibani lahir di Baghdad, tepatnya di kota
Maru/Merv, pada bulan Robi'ul Awwal tahun 164 H atau November 780 M. Ia adalah
keturunan Arab dari suku Bani Syaiban, sehingga dikenal dengan laqab Al-Syaibani. Imam
Hanbal dibesarkan di Baghdad dan mendapatkan pendidikan awalnya di sana hingga usia
19 tahun. Dia mulai menghafal Al-Qur'an sejak usia 16 tahun dan belajar hadis pertamanya
kepada Abu Yusuf, salah satu sahabat Abu Hanifah. Kemudian, dia belajar fiqih kepada
Imam Syafi'i, yang banyak menggunakan Sunnah sebagai rujukan.12
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, 13 Imam Ahmad ibn Hanbal terkenal sebagai ulama
fiqih dan hadis yang masyhur di kalangan masyarakatnya. Ia melakukan analisis terhadap
hadis-hadis Nabi dan menyusunnya berdasarkan sistematika isnad, yang kemudian dikenal
sebagai kitab Musnad. Dalam ijtihadnya, Imam Hanbal menggunakan lima dasar, antara
lain:
1) Mengacu pada Al-Qur'an dan Sunnah.
2) Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, ia merujuk pada fatwa sahabat,
memilih yang disepakati oleh sahabat lainnya.
3) Jika fatwa sahabat berbeda, ia memilih yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
4) Menggunakan hadis mursal dan dhaif jika tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma' yang
menyalahinya.
5) Jika hadis mursal dan dhaif tidak ditemukan, ia menggunakan qiyas, yang dianggapnya
sebagai dalil dalam keadaan darurat.

12
Abdul Karim, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya, Jurnal, (Riwayah: Fakultas
Ushuluddin IAIN Kudus, 2015), Vol. 1, No. 2, hlm. 353.
13
Thaha Jabir Fayadi Al-‘Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, (Washington: The International Institute of
Islamic Thought, 1987), hlm. 96

8|P ag e
Imam Hanbal juga menerapkan prinsip sadd al-dzara'i, yaitu melakukan
tindakan pencegahan terhadap hal-hal yang negatif. Ia sangat mengedepankan fatwa
sahabat sebagai rujukan kedua setelah hadis dalam memahami agama dan hukum
syariah. Imam Hanbal cenderung tidak menggunakan qiyas, dan pemikirannya lebih
fundamentalistik dalam memegang teguh hadis.
Pemikiran fiqih Imam Ahmad ibn Hanbal didasarkan pada penggunaan fatwa
sahabat sebagai rujukan kedua setelah hadis dan keteguhannya dalam memegang
prinsip ini menjadi indikator bahwa pemikirannya terbentuk dari jalur ini. Imam
Hanbal berusaha untuk mengembalikan pemahaman agama yang dianggap telah
mengalami distorsi oleh kepentingan politik dan aliran pada zamannya, menuju
pemahaman komprehensif para sahabat.

3. Sintesis Model Berpikir antara Madzhab Kufah (Ahlu Ra’yu) dan Madzhab
Madinah (Ahlu Hadist)
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa antara model berfikir ahlu ra’yu
dan ahlu hadits/hijaz mempunyai corak yang berbeda. Ahlu ra’yu sifatnya menyelami keadaan
masyarakat dan meniliti illat-illat kausalita hukum. Sedangkan ahlu hadits/hijaz sifatnya
membatasi diri dengan sekedar yang ada dalam nash. Model berfikir sintesis antara ahlu ra’yu
dan ahlu hadits/hijaz merupakan metode gabungan antara pemikiran golongan ahlu
hadits/hijaz dengan ahlu ra’yu. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengkombinasikan
kedua aliran tersebut. Mereka memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan
dalil-dalil atas kaidah itu, juga memperhatikan penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah
dan relevansinya dengan kaidah-kaidah itu.14

Jadi, dalam mengistinbat hukum bukan hanya berdasarkan nash atau rasio saja, tetapi
dipadukan antara rasio dan nash. Bagaimana hukum permasalahan tertentu jika ditinjau
menggunakan akal/rasio kemudian disesuaikan dengan nash yang berkaitan. Dengan begitu
hukum yang ditetapkan berdasarkan keduanya akan lebih kuat kedudukannya untuk dijadikan
hujjah. Apa saja yang dianggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok
hukum syariat islam baik sesuai masalah furu’ dalam berbagai madzhab.

Imam Syafi’i selain sebagai ulama ahlu hadits/hijaz, beliau juga merupakan ulama yang
mempraktikkan sintesis antara ahlu ra’yu dan ahlu hadits/hijaz (Kufah dan Madinah). Di

14
Ahmad Muthohar, Perkembangan Pemikiran Islam: Uoata Membangun Peradaban Islam ke Depan,
(Semarang: Penerbit Karya Abadi Jaya, 2019), hlm. 91.

9|P ag e
Kufah, Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani yang
merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah beliau belajar
kepada Imam Maliki yang mana terkenal sebagai tokoh ahlu hadits/hijaz. Sehingga dalam
sejarah manhaj fikih, pendapat Imam Syafi’i dibagi menjadi dua, yaitu Qaul Qadim dan Qaul
Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan
Qaul Jadid adalah pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan mengenai pemikiran manhaj fikih/ushul fikih
disimpulkan bahwa dalam perkembangan pemikiran Islam terdapat dua aliran dalam
menginstinbathkan hukum Islam, yaitu ahlu ra’yu dan ahlu hadist. Ahlu ra’yu yang dikenal
dengan aliran Fikih Kufah (Irak) dan ahlu hadist yang dikenal dengan aliran Fikih Madinah
(Hijaz). Ahlu hadist sendiri merupakan kelompok yang sangat berpedoman pada sunnah
Rasulullah saw. Sedangkan kelompok kedua (ahlu ra’yu) lebih mendasarkan pada persoalan
yang akan datang kemudian didasarkan pada pemikiran atau ijtihad sendiri.

Ahlu ra’yu dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah di Kota Kufah pada abad ke-8 M.
Gaya pengajaran Imam Abu Hanifah adalah dengan cara dialog dan tidak hanya bersifat
penyampaian, tetapi terkadang beliau memberikan beberapa pertanyaan seputar fikih kepada
murid-muridnya. Sedangkan ahlu hadist dikembangkan oleh Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan
Imam Hanbali. Ahlu hadist atau Madzhab Madinah merupakan istilah yang merujuk pada
pendekatan hukum Islam yang didasarkan pada tradisi dan amalan umat Islam di kota Madinah
pada masa awal Islam yang digali dari ayat Al-Qur'an atau hadis yang dapat diijtihadkan.
Madzhab Madinah merupakan konsep yang mengacu pada prinsip-prinsip hukum Islam yang
berkembang di kota Madinah pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw. dan para
sahabatnya.

Meskipun ahlu ra’yu dan ahlu hadist memiliki corak pemikiran yang berbeda, keduanya
bisa digabungkan. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengkombinasikan kedua aliran
tersebut. Dalam menetapkan hukum dalam mengistinbat hukum bukan hanya berdasarkan nash
atau rasio saja, tetapi dipadukan antara rasio dan nash. Bagaimana hukum permasalahan
tertentu jika ditinjau menggunakan akal/rasio kemudian disesuaikan dengan nash yang
berkaitan.

10 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Ulwani,Thaha Jabir Fayadi. 1987. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. Washington: The


International Institute of Islamic Thought.

Choiri, Muttaqin. 2015. Evolusi Ra’y dalam Pembentukan Hukum Islam. Jurnal. Al-A’dalah:
Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung. Vol. 12. No. 2.

Coulson, Noel, J. 2001. Konflik dalam Yurispendensi Islam. Yogyakarta: Navila.

Fathikhin, Nurul dkk. 2021. Pola Pemikiran Ahlu Hadist dan Ahlu Ra’yu dalam Pembentukan
Hukum Islam pada Masa Tabi’in. Artikel Research Gate.

Karim, Abdul. 2015. Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya. Jurnal.
Riwayah: Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus. Vol. 1. No. 2.

Kasdi, Abdurrohman. 2017. Menyelami Fiqih Madzhab Maliki (Karakteristik Pemikiran Imam
Maliki dalam Memadukan Hadits dan Fiqih). Jurnal. Yudisia: Fakultas Syariah dan
Ekonomi IAIN Kudus. Vol. 8. No. 2.

Khalil, R., H. 2020. Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Amzah.

Khon, A., M. 2015. Ikhtisar Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.

Musa, Muhammad Kamil. 1989. Al-Madkhal Ila Al-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Muassasah Al-
Risalah.

Muthohar, Ahmad. 2019. Perkembangan Pemikiran Islam: Uoata Membangun Peradaban


Islam ke Depan. Semarang: Penerbit Karya Abadi Jaya.

Rohidin. 2004. Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'I. Jurnal. Hukum Ius Quia
Lustum: Universitas Islam Indonesia. Vol. 11. No. 27.

Setiyanto, Danu Aris. 2016. Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan
Sejarah Sosial). Jurnal. Al-Ahkam: UIN Raden Mas Said Surakarta. Vol. 1. No. 2.

Wijaya, Krisna. 2021. Epistemologi Islam sebagai Worldview Asas Ilmu, Iman, dan Amal Bagi
Seorang Pendidik. Jurnal. At Turots: STIT Madani. Vol. 5. No. 3.

Zuhri, Muhammad. 1980. Tarjamah Tarikh Tasyri. Indonesia: Daarul Ihya.

11 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai