Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum islam merupakan hukum yang begitu dinamis, fleksibel dan lentur menyesuaikan
dengan tempat dan waktu. Interaksi Rasulullah dengan sahabat dalam mengatasi realitas
sosiologis tidak mengalami problematika metodologis. Hal ini disebabkan dinamika
perkembangan hukum Islam langsung bisa bertanya jawab dengan Rasulullah. Kemudian ini
berubah setelah Rasulullah wafat, sahabat banyak dihadapkan persoalan baru yang perlu
mendapatkan legalitas syari’ah. Problem solving yang mereka lakukan adalah ijtihad melalui al-
Qur’an dan al-Sunnah serta tindakan normatif Rasulullah yang pernah mereka saksikan dan
alami bersamanya.
Dalam bukunya Amin Abdullah (2002:85) “Mazhab Jogja” menyatakan pemahaman
sumber hukum Islam setelah nabi dikategorikan dengan peringkat pertama mujtahid yang
langsung menafsirkan hukum dari sumbernya, kemudian diikuti oleh muttabi’, orang yang
mengikuti mutahid dengan mengetahui sumbernya. Peringkat yang paling akhir adalah Muqallid
yaitu orang yang mengikuti secara membabi buta terhadap pendapat seseorang tanpa meneliti
ulang kebenarannya.
Dalam pembahasan di atas, penulis hendak menelusuri bagaimana ketepatan respon
masyarakat terhadap pemahaman mazhab, apakah mazhab dipahami akan membawa
pengikutnya terpaku dengan mengkaji kitab-kitab warisan mazhabnya, tanpa telaah kritis apa
yang terjadi pada zamannya, atau dengan mazhab tersebut memberi arti besar bagi umat Islam.
Bagaiman aspek epistemologis-metodologis Imam-Imam Mazhab menela’ah sumber hukum
Islam dengan kontinuitas metodologi baru, tanpa harus ada istilah terkungkung.

1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian mazhab?
2. Bagaiman biografi Imam-Imam mazhab beserta karyanya?
3. Bagaimana terjadinya ikhtilaf di antara Imam-Imam Mazhab?
4. Bagaimana contoh ikhtilaf menurut para Imam mazhab?
5. Bagaimana perkembangan mazhab di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian mazhab.
2. Untuk mengetahui biografi Imam-Imam mazhab beserta karyanya.
3. Untuk mengetahui terjadinya ikhtilaf di antara Imam-Imam Mazhab.
4. Untuk mengetahui contoh ikhtilaf menurut para Imam mazhab.
5. Untuk mengetahui perkembangan mazhab di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Madzhab
Madzhab berasal dari kata sighot mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata) yang
menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “zahaba”, yazhabu, zuhuban, mazhaban
yang berarti pergi. Berarti juga al- ra’yu (pendapat), view (pandangan), kepercayaan, ideologi,
doktrin, ajaran, paham, dan aliran.
Sementara pengertian madzhab menurut istilah meliputi dua hal:
1) Madzhab adalah jalan pikiran atau metode yang di tempuh oleh seorang Imam Mujtahid
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
2) Madzhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan Hadist.
Dari dua pengertian tersebut disimpulkan madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum
Islam.1 Disini bisa disimpulkan pula bahwa mazhab mencakup;
 Sekumpulan hukum-hukum islam yang digali seorang mujtahid
 Ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali
hukum-hukum islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan demikian, mazhab itu berupa hukum-hukum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa
mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian untuk
melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya
adalah fiqh dan ushul fiqh menurut imam Syafi’i.2

B. Biografi Imam-Imam Mazhab dan Karyanya

1
Nafiul Lubab dan Novita Pancaningrum, “Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka Metodologis”,
diakses dari http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/1462/1340 pada tanggal 10
Oktober,2018
2
Nanang Abdillah,”MADZHAB DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERBEDAAN”, diakses dari
http://ejournal.kopertais4.or.id/pantura/index.php/fikroh/article/view/2098/1561 pada tanggal 2 Desember,2018

3
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Madzhab yang cukup dikenal di
Indonesia oleh sebagian besar umat Islam, yaitu :
1. IMAM HANAFI (80H – 150H)
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Nama beliau sejak kecil
ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa Persi (Kabul
Afganistan) yang sudah menetap di Kufah.3

Pemikiran Hukum Imam Hanafi


Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum adalah:
a. Al- Kitab
Al- Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam yang memberi sinar pembentukan Hukum
Islam sampai akhir zaman.
b. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat
umum (global).
c. Aqwalush Shahabah (Perkataan Sahabat)
Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu menyampaikan risalah Allah,
mereka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an (walaupun tidak semua sahabat
mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana
kaitan Hadist Nabi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan itu.
d. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang teguh kepada Qiyas, apabila ternyata dalam al-Qur’an, Sunnah
atau perkataan Sahabat tidak beliau temukan. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada
hukumnya kepada nash yang ada setelah memperhatikan illat yang sama antara keduanya.
e. Al-Istihsan
Al-Istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari al-Qiyas. Istihsan menurut bahasa
berarti “menganggap baik” atau “mencari yang baik”. Menurut istilah Ulama Ushul Fiqh,
Istihsan ialah meninggalkan hukum yang bersifat umum dan berpegang kepada hukum yang
bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya.
f. ‘Urf
3
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 184

4
‘Urf menurut bahasa berarti apa yang biasa dilakukan orang, baik dalam kata-kata maupun
perbuatan. Dengan perkataan lain adat kebiasaan. Contoh ‘urf ialah kebiasaan dalam perkataan,
yaitu perkataan Walad yang biasa diartikan untuk anak laki-laki, bukan untuk anak perempuan.
Contoh kebiasaan dalam perbuatan ialah jual beli dengan jalan serah terima, tanpa menggunakan
ijab kabul.4

2. IMAM MALIKI BIN ANAS (93 H – 179 H)


Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M).
Nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah lalu
berdiam di sana. Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala
peperangan Nabi selain perang Badar.5 Ibunya bernama Siti al-‘Aliyah binti Syuraik bin
Abdullah Rahman bin Suraik al Azdiyah, ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik
berada dalam kandungan rahim selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tiga tahun.
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan khalifah Sulaiman bin
Abdul Malik dari Bani Umayah VII. Pada waktu itu, di kota tersebut hidup beberapa golongan
pendukung Islam antara lain golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para pendidik ahli
hukum Islam. Imam Malik belajar ilmu agama pada ulama Madinah yaitu Imam Abdurrahman
bin Hurmuz, dan juga belajar ilmu hadits pada Nafi Maulana bin Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri
dalam ilmu fikih beliau belajar pada Rabiah bin Abdirrakhman yang terkenal dengan Rabiatur
Ra’yi6

Pemikiran Hukum Imam Malik bin Anas


Dasar-dasar hukum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Maliki dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata
berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah
4
Hasan, M. Ali, PerbandinganMazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm188-194
5
, Hasan, M. Ali, PerbandinganMazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm195
6
Danu Aris Setiyanto,”PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM MALIK BIN ANAS”, diakses dari
http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-ahkam/article/download/177/149 pada tanggal 2 Desember,2018

5
d. Qiyas
e. Istihlah (Mashalihul Mursalah)
f. Istihlah adalah mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini.
Adapun Mashalihul Mursalah ialah memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.7
Karya-karya Imam Malik
Karya-karya dari Imam Malik diantaranya: al-Muwatta’, Kitab Aq-diyrah, Kitab Nujum,
Hisab Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar, Kitab Manasik, Kitab Tafsir Li Gharib al-Qur’an,
Ahkam al-Qur’an, al-Mudawanah al-Kubra, Tafsir al-Qur’an, Kitab Masa Islam, Risalah Ibn
Ma’ruf Gassan, Risalah ila al-Lais, Risalah ila Ibn Wahb. Namun dari beberapa karya-karya
tersebut yang sampai pada kita hanya dua yakni al-Muwattu dan al-Mudawanah al-Kubra yang
berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.8

3. IMAM SYAFI’I (150 H-204 H)


Biografi Imam Syafi’i
Nama lengkap al-Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin
Syafi’i bin al-Saib bin Abd Yazid bin Hasyim bin Al-Muthalib bin Abd Manaf al-Qurasyi al-
Muthallibi. Nama ibu beliau adalah Fathimah bin Abd Allah bin al-Hasan bin al-Hasan bin Ali
bin Abi Thalib. Nasab Imam Syafi’i dari jalur ibu tersebut disanggah oleh Ahmad Amin dengan
mengatakan bahwa ibu beliau berasal dari suku Azad yakni daerah yang ada di wilayah Yaman.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa ayah sang Imam bernasab Quraish. Dengan demikian,
Imam Syafi’I bernasab Quraish dan silsilah beliau bertemu dengan Nabi Muhammad saw.pada
Abd Manaf bin Qurasyi (Qushay).
Imam Syafi’i dilahirkan di Guzzah suatu kampung dalam jajahan Palestina, masih wilayah
Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaan dengan wafatnya Imam Hanafi. Kemudian beliau
dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan disana.
Diantara guru beliau adalah Muslim bin Khalid al-Zanji, Malik bin Anas, Ibrahim bin
Sa’ad dan masih banyak lainnya. Sedang murid beliau diantaranya adalah Sulaiman bin Dawud
al-Hasyimi, Abu Bakar Abd Allah bin al-Zubair al-Humaidi, Ahmad bin Hanbal, Abu Ya’qub
7
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm199
8
Nur Aisyah, Abdul Ghofur,”KONTRIBUSI METODE MASLAHAH MURSALAH IMAM MALIK TERHADAP
PENGEMBANGAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH KONTEMPORER”, diakses dari
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam/article/download/1349/10604 pada tanggal 2 Desember, 2018

6
Yusuf bin yahya al-Buwaithy, al-Rabi bin Sulaiman al-Marady, al-Rabi bin Sulaiman al-jiziy dan
lainnya.9
Karya-karya Imam Syafi’i
Diantara kitab-kitab Imam Syafi’I yang terkenal dan sampai kepada kita antara lain, 1. Ar-
Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fikih dan merupakan buku pertama
yang ditulis ulama dalam bidang usul fikih . Di dalamnya Syafi’I menguraikan dengan jelas cara-
cara mengistinbatkan hokum. 2. Kitab al-Umum, sebuah kitab fikih yang komprehensif. Kitab al-
Umum yang ada sekarang terdiri dari tujuh jilid dan mencakup isi beberapa kitab al-Syafi’i yang
lain seperti Siyar al-Auza’I Jima al-Ilm, Ibthal al-Istihsan, dan al-Radd ala Muhammad bin
Hasan. 3. Kitab al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis Nabi yang dihimpun dari kitab al-umm. 4.
Ikhtilaf al-Hadis, suatu kitab hadis yang menguraikan pendapat Syafi’I mengenai perbedaan-
perbedaan yang terdapat dalam hadis. Terdapat pila buku-buku yang memuat ide-ide dan
pikiran-pikiran Imam al-Syafi’I, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti kitab al-Fiqh, al-
Mkhtsar al-kabir, al-Mukhtasar al-Sagir dan al-Faraid.

Pemikiran Hukum Imam Syafi’i


Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya
termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Ijmak dalam arti, bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya.
d. Qiyas: Imam Syafi’i memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas tidak
tercantum,juga dalam keadaan memaksa.
e. Istidlal (Istishhab), Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi mengatakan
bahwa Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Dua

9
Hairul Hudaya,”MENGENAL KITAB AL- UMM KARYA AL-SYAFI’I (DARI METODE ISTIDLAL HUKUM
HINGGA KEASLIANNYA)”, diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/317346604_MENGENAL_KITAB_AL-UMM_KARYA_AL-
SYAFI’I_DARI_METODE_ISTIDLAL_HUKUM_HINGGA_KEASLIANNYA pada tanggal 2 Desember,2018

7
sumber utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat kebiasaan dan undang-
undang agama yang diwahyukan sebelum Islam.1011

4. IMAM AHMAD BIN HAMBALI (164 H – 241 H)


Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hilal Addahili
as-Syaibani al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahandanya bernama
Muhammad as-Syaibani, sedangkan ibu beliau bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul
Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari
golongan terkemuka kaum bani Amir.12
Dengan kata lain, beliau adalah keturunan arab dari suku Bani al-syaibani. Ketika beliau
masih kecil, ayahnya meninggal dunia dengan meninggalkan harta pas-pasan untuk menghidupi
keluarganya. Ahmad merupakan anak tunggal, semenjak kematian sang ayah ibunya tidak
menikah lagi, msekipun ia masih muda dan banyak lelaki yang melamarnya hal itu dilakukan
dengan tujuan agar memfokuskan perhatian terhadap Ahmad. Sejak kecil imam Ahmad
disekolahkan kepada seorang ahli Qira’at, pada umur yang masih relatif kecil ia sudah dapat
menghapal al-qur’an. Sejak usia 16 tahun Ahmad juga belajar hadis untuk pertama kalinya
kepada Abu Yusuf, seorang ahli Ra’yi dan salah satu sahabat Abu Hanifah.13
Pada tahun 183 H Ahmad Ibn Hanbal pergi ke beberapa kota dalam rangka mencari ilmu.
Dia pergi ke kuffah pada tahun 183 H, kemudian ke Basrah pada tahun 186 H, ke mekkah pada
thuan 187 H, dilanjutkan ke madinah, yaman, Syria, dan Mesopotamia pada tahun 197 H.
Selama perjalanan Ahmad Ibn Hanbal memusatkan perrhatiannya untuk mencari hadis. Imam
Ahmad adalah salah seorang terkemuka dalam sejarah islam yang menguasai ilmu hadis
sekaligus hukum. Ahmad Ibn Hanbal menikah dan memiliki dua orang putra yang terkenal

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 211-212
10

11
Hairul Hudaya,”MENGENAL KITAB AL- UMM KARYA AL-SYAFI’I (DARI METODE ISTIDLAL HUKUM
HINGGA KEASLIANNYA)”, diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/317346604_MENGENAL_KITAB_AL-UMM_KARYA_AL-
SYAFI’I_DARI_METODE_ISTIDLAL_HUKUM_HINGGA_KEASLIANNYA pada tanggal 2 Desember,2018

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 221
12

13
Abdul Karim,”MANHAJ IMAM AHMAD IBN HANBAL DALAM KITAB MUSNADNYA”, diakses dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/download/1808/1584 pada tanggal 2 Desember, 2018

8
dalam bidang hadis yaitu Salih dan Abdullah. Kedua putranya banyak menerima hadis dari sang
ayah dan memasukkan sejumlah hadis kedalam kitab musnad ayahnya.14

Pemikiran Hukum Imam Ahmad Bin Hambali


Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-
dasar berikut:
a. Nash al-Qur’an dan Hadist
b. Fatwa sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati sesuatu
pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau
berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan
ijmak.
c. Pendapat sebagian sahabat
d. Hadist Mursal atau Hadist daif. Hadist Mursal atau Hadist daif akan tetap dipakai, jika
tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
e. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya
pada sumber-sumber yang disebutkan pada point 1-4 di atas.15

Karya-karya Imam Ahmad Bin Hambali


Karya-karya dari Imam Malik diantaranya: kitab al-‘ilal, al-tafsir, an- Nasikh wa al-
Mansukh, az-zuhd, al-imam, al-Asyribah, Tha’at al-rasul, ar-ra’d ala al-jahmiyyah dan kitabnya
yang paling agung dan termasyhur yaitu musnad ahmad Ibn Hanbal.16

C. Ikhtilaf di antara Para Imam Mazhab


1. Pengertian
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa
arab yang asal katanya adalah : khalafa-yakhlifu, khilafan.

14
Abdul Karim,”MANHAJ IMAM AHMAD IBN HANBAL DALAM KITAB MUSNADNYA”, diakses dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/download/1808/1584 pada tanggal 2 Desember, 2018
15
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 230
16
Abdul Karim,”MANHAJ IMAM AHMAD IBN HANBAL DALAM KITAB MUSNADNYA”, diakses dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/download/1808/1584 pada tanggal 2 Desember,2018

9
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap
suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainanitu dalm bentuk “tidak sama” ataupun
“bertentangan secara diametral”.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat
diantara ahli hukum islam dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyah,
bukan ushuliyah, disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan
hukum suatu masalah dan lain-lain.17
Secara etimologis fiqhiyah, ikhtilaf merupakan term yang diambil dari bahasa Arab yang
berarti: berselisih, tidak sepaham, sedangkan secara terminologis fiqhiyah, ikhtilaf adalah
perselisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqih sebagai hasil ijtihad untuk
mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Dengan demikian masalah ikhtilaf merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari
pemahaman terhadap sumber hukum Islam.
2. Daerah Tempat Terjadi Ikhtilaf
Menurut teori hukum Islam yang dibuat ulama pada zaman pertengahan, struktur hukum
Islam dibangun atas empat dasar yang disebut sumber-sumber hukum. Keempat sumber itu
adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijmak dan Qiyas, sebagai dalil-dali syara’ yang sudah disepakati.
Sedangkan Istihsan, Mashalihul Mursalah, ‘Urf, Istishab, Syariat sebelum umat Islam dan
mazhab sahabat dinamakan dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati. Malahan ada yang
berpendapat bahwa sumber hukum yang disepakati hanya dua saja, yaitu al-Qur’an dan
Sunnah.18

3. sebab-sebab perbedaan(ikhtilaf) pendapat di antara para imam mazhab

Para Imam Mazhab sependapat bahwa sumber ajaran Islam yang tidak dapat ditinggalkan
dan harus dijadikan pedoman, tidak boleh perpindah kepada yang lain, dan menetapkan hokum
adalah Kitabullah, kemudian sunah Rasulullah. Karena itu mereka berupaya keras untuk dapat
memahami petunjuk-petunjuk Al-qur’an. Sunah atau keduanya sekaligus. Hanya saja, dalam
proses pemahaman dan upaya penyimpulan hokum dari kedua sumber tersebut tidak sedikit
muncul perbedaan pendapat diantara para imam.

17
Nanang Abdillah,”MADZHAB DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERBEDAAN”, diakses dari
http://ejournal.kopertais4.or.id/pantura/index.php/fikroh/article/view/2098/1561 pada tanggal 2 Desember,2018
18
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 114

10
Penyebabnya pertama terletak pada masalah kebahasaan. Salah satu khususiyah atau ciri
khas bahasa Arab ialah adanya kata-kata musytarak, yakni kata-kata yang mempunyai dua arti
atau lebih, dan kata-kata yang dimusytarakkan (dipersukutukan) antara arti hakiki dan arti majazi
(kiasan), atau antara arti bahasa dengan arti syara’. Contoh yang dapat menggambarkan dengan
jelas bagaimana proses lahirnya khilaf diantara para ulama yang timbul dari khususiyah-
khususiyah tersebut.

a. Lafaz yang memungkinkan untuk diartikan dua arti hakiki.


b. Sebuah lafaz (kata) yang memungkinkan untuk diberi arti hakiki dan majazi.
c. Sebuah kata yang dimusyatarakkan (dipersekutukan) antara arti secara bahasa dengan arti
menurut syara’.
d. Perbedaan pendapat yang timbul dari isytirak atau persekutuan makna, yang terjadi
lantaran penggunaan kata perang kedalam merangkaikan kata-kata satu dengan yang lain.

Penyebab kedua terdapat dalam as-sunnah atau hadis. Sebab-sebab ini kembali kepada tiga
aspek-aspek penukilan dan periwayatan, aspek perbuatan Rasul dan kaitannya dengan umat, dan
aspek nasikh-mansukh dalam hadis. Sebuah hadis sampai kepada salah seorang imam, namun
pada saat yang sama ia tidak sampai kepada imam yang lain. Atau sampai kepada mereka
melalui jalan periwayatan yang berlainan. Atau hadis tersebut sampai kepada mereka dari satu
jalur sanad, tetapi salah seorang imam melihat bahwa pada sebagian perawi terdapat kelemahan
yang tidak dilihat oleh imam yang lain. Atau ia sampai kepada mereka dari satu jalur sanad dan
semua sifat para perawinya pun telah mereka sepakati. Hanya saja, untuk mengamalkan hadis
tersebut salah seorang imam menetapkan beberapa persyaratan tertentu dan tidak disyaratkan
oleh imam yang lain.

Adapun ikhtilaf yang penyebabnya timbul dari aspek tindakan atau perbuatan Rasul. Rasul
mempunyai sifat sifat-sifat khususiyah, yakni hal-hal yang berlaku bagi beliau secara khusus,
tidak bagi umatnya. Penyebab ikhtilaf yang timbul dari aspek nasikh-mansukh ialah bahwa jika
ada dua buah hadis sahih sanad dan matannya, mengenai sesuatu hal, yang berlawanan, maka
salah satu hadis tersebut menasakh (menghapus, membatalkan) terhadap hadis yang lain dan
hadis yang datang akhirlah yang menasakh kepada yang dating terdahulu .

11
Perbedaan pendapat dikalangan para imam ini bukan disebabkan mengikuti hawa nafsu,
tetapi merupakan hasil ijtihad dan penyelidikan yang serius dalam rangka mengungkapkan dan
upaya mendapatkan kepastian hukum.19

D. Contoh Ikhtilaf

1. Shalat Fardhu Menurut Empat Mazhab

Waktu-waktu yang Haram dan Makruh melakukan Shalat

A. Haram melakukan salat pada tiga waktu, selain waktu yang dikecualikan oleh sebagian
Mazhab, yaitu :
1. Ketika Matahari terbit sampai naik, baik salat fardhu maupun sunnah, salat secara ada’
(pada waktunya ) maupun secara qada’ ( bukan pada waktunya ). Hal ini berdasarkan
hadis yang diterima dari ‘Uqbah bin Amir, ia berkata :
“ Ada tiga saat dimana Rasulullah melarang kita melakukan salat dan menguburkan
mayat, yaitu ketika matahari terbit dengan cahaya terang sampai ia naik tinggi, ketika
ia tepat berada di tengah langit dan ketika ia condong hendak terbenam sampai
terbenam.” ( Hadis jama’ah selain bukhari).20
Dikecualikan dari itu, subuh dan asar pada hari itu maksudnya bukan qada’. Maka jika
seseorang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit, hendaklah ia meneruskan
salatnya. Demikian menurut ulama Maliki dan Syafi’i. Sedang menurut Hanafi dan
Hanbali, jika matahari terbit dan ia sedang salat,batal lah salatnya. Tetapi jika ia
mendapatkan satu rakaat dari salat asar sebelum matahari terbenam, maka hendaklah
salat itu diteruskan dan sah, menurut semua mazhab.
2. Ketika matahari berada tepat di tengah langit. Berdasarkan hadis uqbah diatas. Ulama
maliki dan Syafi’i mengecualikan salat pada hari jumat dan salat di tanah haram
mekkah. Ulama Hanbali juga sependapat dengan mereka dalam hal bolehnya
melakukan salat Tahiyat masjid pada hari jumat, demikian pula Abu yusuf dari
golongan mazhab Hanafi. Hal itu berdasarkan keterangan dari Qatadah, bahwa

19
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatu alal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab(Bogor:Pustaka Literasi AntarNusa,2008) hlm 14-19
20
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatu alal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin
dengan judul Salat Empat Mazhab(Bogor:Pustaka Literasi AntarNusa,2008) hlm 176

12
Rasulullah tidak menyukai salat di tengah hari kecuali pada hari jumat. Mengenai
kebolehan melakukan salat di kota Haram mekah pada istiwa’, mereka beralasan
dengan hadis dar jubair bin Mat’am, bahwa Nabi bersabda:

“ Hai keluarga Abdu Manaf! Janganlah kamu larang seseorang melakukan tawaf dan
salat di rumah ini (baitullah) pada saat kapan pun, baik malam maupun siang.” (Hadis
Ashabus Sunan, dan disah kah oleh Ibn Khuzaimah dan Tirmizi).21

3. Ketika matahari menguning hendak terbenam sampai ia terbenam, berdasarkan hadis


uqbah diatas. Dikecualikan dari itu, salat Asar hari itu sebagaimana telah dikemukakan
di atas. Dan ulama Syafi’iah mengecualikan salat di kota Haram Mekah pada semua
waktu yang mereka perbolehkan, sebagai pengamalan hadis jubair bin Mat’am diatas.
B. Waktu-waktu yang dimakruhkan melakukan salat ialah :
1. Setelah salat subuh sampai matahari naik.
Ulama Hanafi berpendapat, Makruh mengerjakan salat sesudah terbit fajar kecuali salat
sunah subuh, berdasarkan hadis yasar, bekas sahaya yang dibebaskan oleh Ibnu Umar,
ia berkata : ibnu umar melihatku sedang melakukan salat setelah terbit fajar, maka
katanya: Rasulullah pernah keluar mendapatkan kami dan waktu itu kami sedang salat
seperti pada saat ini, lalu sabdanya: “Hendaklah orang yang hadir di antara kamu
menyampaikan kepada yang tidak hadir, bahwa tak ada salat setelah subuh kecuali
hanya dua rakaat.”( Hadis Ahmad dan Abu Daud ). Dikecualikan dari itu semua, salat
yang tertinggal. Maka salat tersebut sah dilakukan pada waktu-waktu yang makruh.
2. Setelah salat asar sampai matahari terbenam.
Demikian juga, kalangan Syafi’i memandang boleh melakukan salat sunah yang
mempunyai sebab pada waktu-waktu ini, seperti Tahiyat Masjid, sunah wudu, dua
rakaat fajar dan sunah asar jika belum dilakukan sebelum salat fardhu karena ada
halangan. Misalnya karena mengejar salat berjemaah atau lainnya, begitu juga salat
sunah Tawaf. Ulama Hanafi juga sependapat dengan mereka dalam hal yang terakhir.
Demikian ini karena Rasulullah pernah mengerjakan salat dua rakaat sesudah asar.

21
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal Mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin
dengan judul Salat Empat Mazhab (Bogor:Pustaka Literasi AntarNusa,2008) hlm 177-178

13
Mengenai dalil tentang kebolehan mengerjakan salat di kota Haram Mekah ialah hadis
Jubair bin Mat’am yang lalu, dan hadis yang diriwayatkan dari Abu Zarr, bahwa suatu ketika ia
naik di atas tangga Ka’bah dan katanya: barang siapa telah mengenal saya, berarti ia telah kenal
dengan ku dan barang siapa belum kenal, maka aku adalah jundub. Saya dengar Rasulullah
bersabda: “tidak boleh salat sesudah subuh sampai terbit matahari, begitupun sesudah salat asar
sampai ia terbenam, kecuali di Mekah, kecuali di Mekah, kecuali di Mekah,”(Diriwayatkan Oleh
Razin).22

3. Ketika Qamat salat telah di mulai. Maka dimakruhkan mengerjakan salat sunah,
sekalipun sunah rawatib, jika belum dikerjakan satu rakaat penuh. Jika telah dikerjakan
satu rakaat lalu salat berjamaah dimulai maka hendaklah ditambahkan lagi satu rakaat,
yaitu rakaat kedua, dan sempurnakanlah salat tersebut. Tetapi jika belum mendapat satu
rakaat, artinya belum melakukan ruku’, tetapi baru membaca fatihah, hendaklah ia
membaca salam dan memutuskan salatnya lalu ikut berjamaah.
Dalam pada itu, golongan Hanafi berpendapat, jika seseorang datang ke mesjid hendak
salat subuh, tetapi salat itu telah dibacakan qamatnya, maka ia boleh mengerjakan salat
sunah subuh di luar mesjid jika ia merasa yakin akan dapat ikut berjamaah. Tetapi jika
ia tidak yakin, hendaklah ia bergabung ikut berjamaah dan tinggalkan salat sunahnya.23
2. Tentang Najis Menurut Empat Mazhab
Najis adalah kotoran yang bagi setiap Muslim wajib menyucikan diri daripadanya dan
membasuh segala apa yang terkena oleh-nya.24
Macam-macam Najis
1. Bangkai
Adalah binatang yang mati dengan sendirinya, tanpa disembelih menurut ketentuan
agama, termasuk juga ke dalam kategori bangkai ialah bagian yang dipotong dari
binatang hidup kecuali :
 bangkai ikan dan belalang keduanya adalah suci,

22
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualalmazahibilarba’ah, Terj.ZeidHusein Al-Hamid
danDrs.M.HasanudindenganjudulSalatEmpatMazhab(Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008)hlm 178-179
23
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualalmazahibilarba’ah, Terj.ZeidHusein Al-Hamid
danDrs.M.HasanudindenganjudulSalatEmpatMazhab(Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008)hlm 180
24
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualalmazahibilarba’ah, Terj.ZeidHusein Al-Hamid
danDrs.M.HasanudindenganjudulSalatEmpatMazhab(Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008)hlm 30

14
 bangkai binatang yang tidak berdarah mengalir seperti semut,lebah, kumbang, dan
sebagainya maka ia juga suci. Hanya saja ulama Syafi’i berpendapat jika bangkai
jenis ini jatuh ke dalam air oleh tindakan manusia atau bangkai itu banyak hingga
merubah air/benda cair tersebut, maka air itu najis,
 bangkai dari rambut, bulu domba, bulu unta, dan bulu unggas, sementara itu
Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa semua itu (bulu domba dan
seterusnya) adalah najis, tetapi boleh dimanfaatkan, dan tidak boleh dipakai dalam
salat atau dijadikan tempat/alas bershalat. Ulama Hanafi menambah pengecualian
itu, dia berkata: semua bagian bangkai yang tidak mengandung unsur air adalah
suci, seperti kuku, paruh, cakar, teracak (kuku kuda dan sejenisnya), tanduk, susu
dan sejenisnya, demikian juga urat besar jika tidak berlemak. Hal itu berdasarkan
sabda Nabi mengenai kambing milik Maimunah yang mati: “Yang diharamkan
ialah memakannya.” (Hadist Jama’ah selain Ibn Majah).
 Telur termasuk suci dengan syarat kulitnya keras. Tetapi ulama Maliki
berpendapat bahwa telur adalah najis meskipun kulitnya keras.

2. Darah
Baik darah yang mengalir, darah haid atau lainnya, adapun kenajisan darah haid,
berdasarkan hadis Asma’ binti Abu Bakar Siddiq, Rasul bersabda mengenai darah haid
yang mengenai/menodai kain: “Hendaklah menggaruk-garuknya kemudian mengucek-
uceknya dengan air (lalu dibasuh), dan setelah itu dapatlah dipakai untuk shalat.” (Hadist
Muttafaq ‘alaih).
Dikecualikan dari hukum darah ialah darah yang tersisa pada urat atau bekas sembelihan,
berdasarkan keterangan Aisyah: “Kami makan daging, sedang darahnya terlihat bagai
benang-benang, dalam periuk.”
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat, bahwa darah yang sedikit itu dimaafkan. Hal ini
berdasarkan pada keterangan al-Hasan: “Kaum Muslimin tetap melakukan salat dengan
luka-luka mereka.”(Diriwayatkan oleh Bukhari). Sementara itu Abu Hurairah
berpendapat, tidak apa-apa dibawa salat kalau darah itu hanya setetes atau dua tetes.

15
Demikian juga, dimaafkan darah nyamuk, ikan, kutu, dan sebangsanya. Hanya saja ulama
Maliki berpendirian najisnya darah ikan bila ia mengalir.25
3. Nanah dan nanah yang telah bercampur darah
Keduanya adalah najis, dikiaskan kepada darah. Tetapi bila sedikit, dimaafkan, sebab
sulit dihindari.
4. Muntah
Muntah manusia maupun binatang adalah najis, hanya saja ulama Hanafi mensyaratkan
muntah tersebut hanya sepenuh mulut sementara itu ulama mazhab Maliki mensyaratkan
hendaknya ia telah berubah dari sifat makanan semula meskipun hanya berubah rasa,
seperti kecut.
5. Kencing dan kotoran manusia
Keduanya adalah najis. Ulama Syafi’iah dan Hanbaliah berpendirian bahwa kencing bayi
laki-laki yang belum diberi makanan, untuk menyucikannya cukup dengan hanya
memercikkan air padanya, tidak wajib membasuhnya.
6. Kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya yang termasuk jenis binatang berdarah
mengalir. Seperti bagal, keledai dan lainnya26
7. Anjing, babi, dan keturunan masing-masing dalam tunggal jenis atau berkawin dengan
binatang lain.
Sementara itu ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa setiap binatang hidup adalah
suci zatnya, meskipun anjing atau babi. Ulama Hanafiah sependapat dengan mereka
dalam hal kesucian anjing selama masih hidup, hanya saja liurnya adalah najis.
8. Kotoran hewan yang dimakan dagingnya
Termasuk najis menurut ulama mazhab Syafi’i dan Hanafi, tetapi ulama Hanafi
mengecualikan jenis burung yang membuang kotorannya di udara seperti burung merpati
dan sebangsanya dimana tahinya adalah suci. Ulama mazhab Maliki dan Hanbali
berpendapat kotoran dan kencing binatang yang halal dimakan dagingnya adalah suci

25
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab( Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008) hlm 33

26
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab( Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008) hlm 34

16
kecuali bila ia memakan najis. Jika memakan najis, seperti binatang jalalah- jenis
binatang pemakan kotoran – maka tahinya adalah najis.
9. Mani
Menurut ulama Hanafi dan Maliki ia adalah najis. Ulama Hanafi berpendapat jika mani
itu kering cukuplah membersihkannya dengan mengeriknya, sementara itu ulama mazhab
Syafi’i dan Hanbali berpendapat mani adalah suci kecuali mani anjing dan babi. Ulama
mazhab Hanbali menambahkan mani hewan yang tidak dimakan dagingnya semua itu
adalah najis.27
10. Mazi dan wadi
Mazi ialah cairan encer bergetah atau lengket yang keluar sewaktu bercanda (dengan
perempuan) dan sebagainya. Sedangkan wadi ialah cairan putih kental yang keluar
mengiringi kencing. Keduanya adalah najis.
Sementara itu, mazhab Hanafi berpendapat mazi dan wadi adalah suci bila berasal dari
hewan yang halal dimakan dagingnya atau dari manusia.28
11. Cairan yang memabukkan, seperti khamar, arak
12. Telur busuk
Yang sudah bau busuk, berubah menjadi darah atau telah terbentuk anak yang mati.
Sementara itu ulama Hanafi berpendapat telur tidaklah najis kecuali bila berubah menjadi
darah jika tidak maka ia adalah suci.
13. Susu binatang hidup yang tidak halal dagingnya seperti keledai betina
Menurut golongan Syafi’iah dan Malikiah ia adalah najis, tetapi menurut ulama mazhab
Hanafi dan Hanbali ia adalah suci.
14. Abu dan asap yang dibakar api
Keduanya adalah najis, sesuai dengan asalnya tetapi menurut ulama Maliki keduanya
adalah suci.29
Menyucikan Najis

27
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab( Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008) hlm 33-36

28
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab( Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008) hlm 37

29
Ar-Rahbawi,Abdul Qadir,As-salatu alal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin
dengan judul Salat Empat Mazhab(Bogor:Pustaka Literasi AntarNusa,2008) hlm 38

17
1. Menyucikan pakaian dan badan
Bila pakaian dan badan terkena najis wajiblah di cuci dengan air hingga hilang bila
asalnya dapat dilihat, apabila najis itu hukmiyah, tidak kelihatan, seperti kencing yang
sudah kering cukuplah mencucinya dengan cara mengalirkan atau menyiramkan air
walaupun hanya satu kali, demikianlah mazhab Maliki dan Syafi’i. Namun menurut
ulama Hanafi minimal mencucinya tiga kali, sedangkan menurut ulama Hanbali, harus
tujuh kali.
Bila najis itu berasal dari najis anjing dan babi, haruslah mencucinya sebanyak tujuh
kali salah satunya dicampur dengan tanah. Demikianlah mazhab Syafi’i dan Hanbali.
Sementara itu, ulama Hanafi dan Maliki berpendirian bahwa najis anjing sama dengan
najis-najis lainnya.30
2. Menyucikan tanah
Tanah yang terkena najis hendaklah disucikan dengan menumpahkan air padanya
setelah benda najis itu hilang.31
3. Menyucikan mentega dan sebangsanya
Mentega dan minyak samin yang membeku, dibersihkan dengan cara membuang najis
yang mengenainya dan yang terletak di sekelilingnya. Apabila yang terkena najis itu
benda cair, maka ia tak bisa disucikan kembali tetap menjadi najis. Akan tetapi ulama
Malikiah berpendapat benda cair itu hukumnya sama dengan air. Jadi, bila nampak
pengaruh najis padanya ia menjadi najis. Tetapi jika benda cair itu sedikit, maka ia
makruh dipakai. Sementara itu, ulama Hanafi berpendapat benda cair tersebut bisa dan
mungkin disucikan kembali. Yaitu dengan cara menumpahkan air padanya lalu air itu
dibuang, cara ini diulangi sampai tiga kali. Atau dengan cara benda itu digerak-
gerakkan, minyak pun mengambang, setelah itu bolongan tersebut di buka sampai air
keluar semua. Maka ketika itu, sucilah benda cair tersebut.32
30
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab( Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008) hlm 39

31
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab( Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008) hlm 40

32
Ar-Rahbawi,AbdulQadir,As-salatualal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin dengan
judul Salat Empat Mazhab( Bogor:PustakaLiterasi AntarNusa,2008) hlm 41

18
4. Menyucikan kulit bangkai binatang
Kulit bangkai disucikan dengan jalan menyamaknya. Golongan Hanbali berkata, kulit
tidak dapat disucikan tetapi boleh dipakai bila kering. Sementra itu ulama mazhab
Hanafi memandang kulit anjing sama dengan kulit hewan lain, mereka berkata bila
disamak ia menjadi suci dan boleh dipakai salat.
5. Menyucikan kaca
Semua benda mengkilap yang tidak ada lobang-lobangnya seperti cermin, pisau, kuku,
tulang, kaca, dan setiap bejana yang berkilat, cara menyucikannya ialah dengan
menyucikannya dengan air. Tetapi menurut ulama mazhab Hanafi dengan jalan
menggosoknya sampai najis hilang.
6. Menyucikan sandal (alas kaki)
Terumpah dan jenis alas kaki yang lain, yang terkena najis dapat menjadi suci kembali
dengan membasuhnya dengan air, begitu juga dengan cara menggosokkannya ke tanah,
berdasarkan hadist dari Abu Hurairah: Nabi bersabda: “Bila salah seorang di antara
kamu menginjak kotoran dengan terumpahnya, maka tanah dapat menyucikannya.”
(Hadis Abu Daud).33

3. Tentang Wudhu Menurut Empat Mazhab


Wudhu mempunyai beberapa fardu, sunah, makruh,dan hal-hal yang membatalkannya,
sebagaimana akan di uraikan dalam pembahasan berikut :
Fardu atau Rukunnya
1. Niat. Maksudnya ialah sengaja melakukan sesuatu perbuatan ( dalam hal ini
wudu). Tempat niat adalah Hati; maksudnya bahwa ia hanyalah perbuatan hati
yang tak ada sangkut pautnya dengan lisan. Ia dikerjakan pada permulaan
membasuh bagian muka. Ulama Hanbali berpendapat bahwa niat adalah syarat,
sehingga bila dilakukan sebelum pekerjaan wudu, maka sahlah wudu itu. Dasar
bagi kefarduan niat ini ialah hadis riwayat Umar bin Khattab: Rasullullah
bersabda:
“Semua Amal perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan setiap orang akan
mendapat sekedar apa yang diniatkannya.” (Hadis Jama’ah).
33
Ar-Rahbawi,Abdul Qadir,As-salatu alal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin
dengan judul Salat Empat Mazhab(Bogor:Pustaka Literasi AntarNusa,2008) hlm 41-42

19
Sementara itu mazhab hanafi berpendirian, niat adalah sunah, kecuali bila
berwudu dengan air bekas/sisa minum keledai atau dengan air perahan kurma dan
ketika bertayamum, maka niat adalah fardu.
2. Membasuh muka satu kali, yakni mengalirkan air ke atasNya; karena arti
membasuh ialah mengalirkan. Batas-batas muka itu panjangnya ialah dari ujung
dahi bagian atas sampai kedua tulang dagu sebelah bawah, sedang lebarnya dari
pinggir telinga sampai telinga satunya. Hal itu berdasarkan firman Allah: “maka
basuhlah mukamu.”(al-Maidah [5]:6).
3. Membasuh kedua tangan sampai dengan siku.Siku ialah persendian yang
menghubungkan lengan dengan tangan. Kedua siku itu termasuk yang wajib
dibasuh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ayat Qur’an, di samping
berdasarkan pula hadis riwayat Jabir, ia berkata: “Rasulullah senantiasa
mengalirkan air pada kedua sikunya.”(Hadis Tabarani).
4. Menyapu Kepala. Hal ini didasarkan pada penegasan (nas) Qur’an. Para Imam
Mazhab tidak sependapat mengenai kadar yang harus di sapu. Ulama mazhab
Maliki dan Hanbali berpendapat, wajib menyapu seluruh kepala. Hal ini
berdasarkan hadis riwayat Abdullah bin Zaid;
“Bahwasanya Nabi menyapu kepalanya dengan belah tangannya, maka ditariknya
dari sebelah belakang, dimulainya dari bagian depan kepala lalu tangan itu
disapukannya sampai dengan kuduknya, kemudian dikembalikannya ke tempat
semula,”(Hadis Jama’ah).
5. Membasuh dua kaki berikut kedua mata kaki. Demikianlah penegasan ayat
Qur’an dan itulah pula ketentuan pasti yang di riwayatkan secara tawatur dari
perbuatan maupun perkataan Rasulullah. Abdullah bin Umar berkata;
“Dalam sebuah perjalanan Rasullullah tertinggal dari kami. Kemudian beliau
dapat menyusul kami, sedang waktu asar sudah sempit.Kami pun segera berwudu
dan menyapu kaki kami. Maka beliau berseru dengan suara keras dua atau tiga
kali: Celakalah tumit kaki di sebabkan api neraka.” (Muttafaq ‘alaih).
6. Menertibkan fardu-fardu di atas sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an.
7. Muwalah, artinya berturut-turut dalam membasuh anggota demi anggota wudu,
sehingga antara memabasuh satu anggota dengan anggota lainnya tidak terselang

20
jarak waktu, yang dalam tenggang waktu itu basuhan anggota pertama telah
kering kembali.
8. Ulama mazhab Maliki dan Hanbali telah menambahkan beberapa fardu wudu.
Yaitu menggosok anggota wudu menurut ulama Malikiah. 34
E. Perkembangan Mazhab di Indonesia

1. SejarahMasuk Islam ke Indonesia


Menurut sebagian ahli sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 17 Hijrah atau
tahun 638 Masehi.Catatan ini berbeda dengan penulis-penulis Belanda yang mengatakan , bahwa
agama islam masuk ke Indonesia baru sekitar abad ke-13 Masehi. Mungkin hal ini disengaja
dengan tujuan memperkecil peranan agama Islam masuk ke Indonesia.
Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad lahir, yaitu sebelum
tahun 571 M, orang-orang Persia dan India sudah banyak berada di Indonesia, khususnya di
daerah-daerah pantai rute perjalanan dagang antara Persia dan India dengan Tiongkok.
Pada tahun 17 H, kaum mslimin dibawah pimpinan Khalifah Umar bin Khattab menguasai
Persia, sesudah mengadakan pertempuran di Qadisiyah dan Madain.Orang-orang Persia sesudah
itu berbondong-bondong masuk Islam.Hal ini berpengaruh kepada orang-orang Persia yang ada
di pantai Persia sehingga mereka menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi di negeri mereka
dan berbondong-bondong pula masuk Islam. Dengan demikian masuk pula lah agama Islam di
Indonesia.35
Ada lagi keterangan dari sumber India, pada tahun 1956 M, kedutaan besar India di
Jakarta mengeluarkan buku yang berjudul; Islam di India dan Hubungan-hubungan dengan
Indonesia ,karangan Profesor Muhammad Husain Naynar, dan dalam buku itu dikatakan “India
Selatan telah mempunyai hubungan dengan Indonesia sejak dahulu. Orang-orang India Selatan
yang pertama membawa kabar tentang agama baru itu telah mengenal cara-cara damai didalam
ajaran agama. Orang-orang Arab telah menggunakan cara itu terhadap mereka, mula-mula
membawa paham Islam ke India Selatan, mereka menggunakan cara yang sama di Indonesi, dan
pada waktu itu India Selatan menganut paham Syafi’i, akibat pengaruh yang dibawa oleh para
pedagang dan para mubaligh Arab yang menyiarkan ajaran Islam, sehingga Indonesia(Pasai)
yang menjadi tempat persinggahan para pedagang Arab dan India, juga berpaham Syafi’I.
34
Ar-Rahbawi,Abdul Qadir,As-salatu alal mazahibil arba’ah, Terj.Zeid Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin
dengan judul Salat Empat Mazhab(Bogor:Pustaka Literasi AntarNusa,2008) hlm 59-63
35
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 107

21
Sebagai bukti Sultan al-Malikus Sahir raja pertama menganut paham Syafi’I diantara raja-raja
Samudera Pasai. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, paham Syafi’I banyak berkembang
di seluruh pelosok Indonesia yang dibawakan oleh parawali di Indonesia yang terkenal dengan
“walisongo”, mereka pun di dalam pengejarannya berpedoman kepada mazhab Syafi’i.
Dari jasa parawali yang gigih di dalam mengajarkan Islam dengan berbagai cara yang
sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu, maka lahirlah ulama-ulama Jawa yang duduk
di Pesantren dan berperan serta dalam perjuangan bangsa dan agama, dengan gayanya yang khas
pesantren ala Syafi’I dengan bukti, bahwa hampir seluruh kitab-kitab fiqh yang bermazhab
Syafi’i.36

2. Perkembangan Mazhab Fiqh Di Indonesia

Awalnya, Islam yang diajarkan oleh Wali Songo adalah bermazhab Syafi’i yang diajarkan
melalui pesantren-pesantren dengan cara yang sesuai dengan apa yang mereka anut sebelumnya,
sehingga Islam berbaur dengan ajaran Hindu dan mistik. Tetapi para wali tidak sempat lagi untuk
memperbaiki ajaran yang terlanjur mereka berikan kepadanya.

Sedangkan di Arab, tengah genjar-gencarnya diadakan gerakan pembaharuan Islam yang


dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang terkenal dengan “GerakanWahabi”.

Salah seorang ulama Indonesia ada yang tinggal disana dan menjadi muridnya. Ia adalah
Ahmad dahlan yang kelak sekembalinya dari sana ke Indonesia menerapkan gerakan yang
diperoleh darinya, karena hatinya tertarik ingin memberantas bentuk-bentuk ritual yang telah
berbaur dengan Hinduisme. Gerakan ini pada akhirnya membentuk paham baru yaitu dengan
nama “Muhammadiyah” yang dimaksudkan sebagai orang yang menganut ajaran Muhammad.

Paham ini semula diajarkan oleh Wahabi yang bermazhab Hambali, akan tetapi
perkembangan selanjutnya (di Indonesia) mereka menyatakan tidak menganut kepada salah satu
Mazhab yang empat, meskipun dalam pelaksanaannya tidak lepas dari pendapat Imam Mazhab
itu.Mereka membentuk majlis Tarjih untuk mengkaji hukum Islam.

Sedangkan disisi lain dari kalangan ulama keluaran pesantren selalu jadi tumpuan
penduduk dalam menghadapi kekejaman kaum penjajah yang bercokol dan berurat berekar
36
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 108

22
sampai beberapa keturunan lamanya. Ketika itu belum tumbuh pemikir-pemikir Indonesia
seperti sekarang ini, sehingga mau tidak mau Ulama Pesantren bangkit dan bergerak melawan
colonial Belanda dengan ditandai ada pasukan gerilyawan. Setelah bangkit para Ulama Syafi’i
ini, kemudian dibentuklah organisasi dengan nama “Nahdatul Ulama” yang dipelopori oleh Kiai
Haji Asy’ari dari Tebuireng Jawa Timur.

Gerakan dan organisasi ini, kemudian berkembang menjadi paham baru yaitu golongan
“ahlussunah Waljamaah” yang dinisbatkan dari Hadist Nabi. Golongan ini yang banyak dianut
oleh ummat Islam di Indonesia yang cenderung kepada mazhab Syafi’i.37

3. PerselisihanAntarMazhab di Indonesia

Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa masalah mazhab akan tetap menjadi masalah
dikalangan ummat Islam. Oleh sebab itu ummat Islam diharuskan mengetahui permasalahannya
agar jangan saling bertengkar, yang diakibatkan karena kurang pengetahuan, sehingga
menimbulkan perpecahan yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya dan berbahaya bagi
perkembangan agama.

Sesudah perang dunia pertama meratalah kesadaran dan kebangunan di kalangan ummat
Islam Indonesia. Tetapi sayang hal ini diiringi oleh cakar-cakaran antara partai-partai politik
yang ada di saat itu.Tidak kecuali partai-partai politik yang berdasarkan Islam dan
memperjuangkan tegaknya agama Islam di Indonesia. Namun pertentangan dan perselisihan itu
tidak sampai kepadahal-hal yang pokok dari agama (Ushuluddin) seperti :RukunIman, Rukun
Islam, dan tidak mengenai hal-hal besar seperti Khalifah dan Imamah sebagaimana yang terjadi
di Negara-negara Islam yang lain.

Perselisihan ummat Islam di Indonesia mengenai hal-hal yang sederhana sekali, yaitu
hanya mengenai soal-soal furu’ saja dalam ilmu fiqh (hukum agama atau syariat) yang amat
terbatas sekali, karena tidak keluar dari Aqwaal (perkataan-perkataan) dari mazhab yang ada.

Perselisihan dan pertengkaran itu hanya terjadi dalam kalangan yang amat terbatas pula,
yaitu hanya di kalangan ulama-ulama yang membaca kitab-kitab fiqh tertentu saja dan amat
terbatas. Setelah membaca kitab-kitab tertentu itu mereka tidak berkesempatan membaca dan

37
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 108-109

23
menelaah kitab-kitab fiqh lainnya, karena kalau mereka melihat atau mendengar seseorang
memberikan fatwa atau pendapat lain dari apa yang mereka telah baca itu, lalu mereka bantah
dan mereka tentang.38

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

38
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2003, hlm 109-110

24
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa madzhab adalah pokok pikiran
atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid ( orang yang melakukan ijtihad) dalam
memecahkan masalah atau mengistinbatkan/menetapkan hukum islam. Ada banyak madzhab
yang dibuat tetapi yang masih bertahan sampai sekarang ini yakni madzhab imam Hanafi,
madzhab Imam Maliki, Madzhab Imam Syafi’i, dan Madzhab Imam Hambali. Metode fiqhnya
pun berbeda satu sama lain berdasarkan dilihat dari perbandingan madzhab dalam penetapan
hukum.

B. Saran

Perbedaan adalah hal yang lumrah terjadi mengingat begitu banyaknya dalil-dalil dan
hadist-hadist. Serta begitu banyaknya kaum intelektual islam(mujtahid). Akan tetapi dalam
menyikapi perbedaan ini kita sebagai kaum akademisi harus mampu menengahi masyarakat
dalam perbedaan pendapat ini. Jangan sampai perbedaan kecil menjadi penyebab perpecahan
umat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nafiul Lubab dan Novita Pancaningrum. 2015. MAZHAB: KETERKUNGKUNGAN


INTELEKTUAL ATAU KERANGKA METODOLOGIS (Dinamika Hukum Islam) di
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/1462/1340 (di akses 10
Oktober).

25
2. Abdillah Nanang. 2014. MADZHAB DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA
PERBEDAAN di
http://ejournal.kopertais4.or.id/pantura/index.php/fikroh/article/view/2098/1561 (di akses 5
Desember).
3. Hasan,M.Ali. 2003. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
4. Setiyanto Danu Aris. 2016. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM MALIK BIN ANAS
(Pendekatan Sejarah Sosial) di http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-
ahkam/article/download/177/149 (di akses 5 Desember).
5. Nur Asiyah, Abdul Ghofur. 2017. KONTRIBUSI METODE MASLAHAH IMAM MALIK
TERHADAP PENGEMBANGAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH KONTEMPORER di
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/album/article/download/1349/10604 (di akses 2
Desember).
6. Hairul Hudaya. 2017. MENGENAL KITAB AL-UMM KARYA AL-SYAFI’I (DARI
METODE ISTIDLAL HUKUM HINGGA KEASLIANNYA) di
http://www.researchgate.net/publication/317346604_MENGENAL_KITAB_AL-
UMM_KARYA_AL-
SYAFI’I_DARI_METODE_ISTIDLAL_HUKUM_HINGGA_KEASLIANNYA (di akses 2
Desember).
7. Abdul Karim. 2015. MANHAJ IMAM AHMAD IBN HANBAL DALAM KITAB
MUSNADNYA di http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/download/1808/1584
(di akses 2 Desember).
8. Abdurrahman Kasdi. 2014. METODE IJTIHAD DAN KARAKTERISTIK FIQIH ABU
HANIFAH di http://andridm72.files.wordpress.com/2014/12/fiqih-thaharah-ahmad-sarwat.pdf
(di akses 9 Desember).
9. Ar-Rahbawi, Abdul Qadir.2008. Salat Empat Mazhab. Edisi ke 2. Diterjemahkan oleh: Zeid
Husein Al-Hamid dan Drs.M.Hasanudin. Bogor: PT. Pusaka Litera AntarNusa.
LAMPIRAN

26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Anda mungkin juga menyukai