Anda di halaman 1dari 9

HARMONISASI ILMU: PARADIGMA KEILMUAN

UIN KH ABDURRAHMAN WAHID

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Harmonisasi

Sains dan Agama

Dosen pengampu: Azkiya khimatiar,M.Ag

Disusun oleh:

1. Rizky Aulia Aqila (30622038)


2. Fifi Afifah (30622062)
3. Iman Fathurrohman (30622034)

Kelas MD B

PRODI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI K. H. ABDURRAHMAN WAHID
PEKALONGAN
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagasan terkait model integrasi ilmu keislaman di antara para cendekiawan muslim
di Indonesia hingga saat ini terlihat masih terserak, jika diperhatikan, secara umum
masih tidak terumuskan dalam suatu pola pemikiran yang memiliki
kekhasan/keunikan, terstruktur, juga runtut. Selain itu, perubahan sebagian perguruan
tinggi keislaman negeri (PTKIN) yaitu Institistut Agama Islam Neger (IAIN) dan
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi Universitas pun dianggap
belum memberikan gambaran mapping atau pemetaan pemikiran keilmuan dalam
Islam, hal ini bias dilihat terjadi tidak hanya di Indonesia sendiri namun di dunia
Islam secara umum; baik di masa klasik maupun kini. Itulah sebabnya banyak
gagasan terkait integrasi keilmuan, termasuk juga yang bermuara pada perubahan
bentuk IAIN maupun STAIN menjadi UIN menjadi sangat niscaya dalam rangka
untuk memembangun sebuah tipologi integrasi keilmuan Islam.
Gagasan integrasi keilmuan dilatarbelakangi lahirnnya dikhotomi keilmuan antara
ilmu-ilmu keagamaan di satu sisi dan ilmu-ilmu umum di sisi yang lain. Dikhotomi
tersebut di antaranya terlihat dalam dikhotomi lembaga pendidikan, yaitu adanya
dikhotomi antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan, yang hal tersebut
telah terjadi sejak negara ini mengenal pola pendidikan modern. Dikhotomi ilmu
keislaman tersebut berdampak besar pada sisi-sisi dan bidang kependidikan di
lingkungan umat Islam, hal ini baik yang terkait cara pandang umat terhadap ilmu dan
pendidikan, kurikulum pendidikan, institusi pendidikan, maupun juga psikologi umat
secara umum. Gagasan penyatuan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama atau
paling tidak membuka ruang dialog antar bidang keilmuan ini meninggalkan jejak
problem filosofis yang cukup serius, terkhusus menyangkut tidak jelasnya dasar
ontologis juga epistemologisnya, sekaligus menyangkut penggunaan term ‘dialog’
dalam integrasi- interkoneksi. Meng-amini apa yang pernah menjadi kegelisahan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Paradigma keilmuan dalam Islam

Islam adalah agama pengetahuan dan peradaban. Ayat pertama yang diturunkan
Allah (surat al-'Alaq: 1-5) dengan tegas memerintahkan manusia untuk membaca ayat
Allah. Para mufassir membagi makna ayat-ayat Allah itu menjadi dua kategori: ayat-
ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Ayat qawliyah adalah ayat Tuhan yang
terkandung dalam Alquran, sedangkan ayat-ayat kawniyah adalah alam ciptaan Tuhan
dengan berbagai fenomenanya. Ayat-ayat Alquran menyinggung fenomena alam
secara mujmal (global) dan biasanya dibarengi dengan seruan agar manusia berpikir.
Misalnya dalam sebuah ayat Allah menyatakan bahwa dalam pergantian siang dan
malam merupakan tanda bagi orang-orang yang berakal (QS: 3190) Seruan untuk
memperhatikan alam semesta adalah motivasi agar manusia mengembangkan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini Azyumardi Azra menyatakan Alquran juga Hadits
menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan sikap
inklusifnya.
Pernyataan di atas bukanlah sekedar sebuah utopia. Generasi Islam awal telah
membuktikan bahwa dengan paradigma keilmuan yang benar maka apa yang
dikatakan Alquran itu terbukti kebenarannya. Pada masa dinasti Abbasyiah, ilmu
pengetahuan berkembang pesat di dunia Islam. Berbagai kitab karya filosof-filosof
Yunani tentang filsafat dan berbagai disiplin ilmu yang lain diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab agar orang Islam mudah memahaminya. Meski pengaruh tradisi
keilmuan Yunani tidak terelakkan, namun dengan kekuatan rohaniahnya maka para
ilmuwan Islam berhasil mengubah substansi ilmu-ilmu Yunani itu menjadi baru,
demikian kata Seyyed Hossein Nashr. Paradigma keilmuan yang inklusif tersebut
telah melahirkan para filosof Islam yang tangguh seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-
FarabiIbn Rusyd, al-Razi, dan lain-lain, yang menguasai bukan hanya filsafat tetapi
juga berbagai ilmu-ilmu terapan seperti ilmu kedokteran, optikageografi, astronomi,
dan sejarah.
Sayangnya, paradigma inklusif pada abad pertengahan ini tidak berlangsung lama,
lebih kurang hanya terjadi pada masa pemerintahan empat khalifah Abbasyiah
(Harunal-Rasyid, al-Makmun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq) yang mendukung aliran
Mu'tazilah yang rasionalFaktor politik dan teologi berpengaruh besar terhadap
paradigma keilmuan sejak abad pertengahan sampai sekarang. Sepanjang sejarah
Islam praktis hanya dua sistem teologi yang mendominasi kekuasaan Islam, teologi
Sunni dan teologi Mu'tazilah. Aliran Mu'tazilah adalah aliran yang rasional dan
menekankan kebebasan manusia Sebaliknya aliran kalam bersifat anti-rasional dan
menekankan kepada kehendak Allah. Implikasinya, aliran Mu'tazilah memberikan
penghargaan kepada kemampuan akal lebih daripada penghargaan aliran Sunni/al-
Kalam.

B. Konsep Visi Keilmuan Uin K. H. Abdurrahman Wahid

Sebagaimana dalam pergantiannya IAIN Pekalongan menjadi UIN kh Abdurrahman


Wahid menyusun Visi Visi Keilmuan UIN Abdurrahman Wahid dengan tema: “Gus
Dur, Genealogi Pemikiran, Kebangsaan, dan Transformasi Sosial” pada 29 November
2021 secara virtual melalui zoom meeting. Dr. Ngatawi al-Zastrouw, M.A., dalam
paparannya mengutarakan bahwa dalam melihat genealogi pemikiran Gus Dur
sebagai seorang agen, bisa dilihat pada jejak sosial (proses habituasi) yang
membentuk habitus sorang Gus Dur, sehingga dapat ditarik benang merah kesimpulan
visi keilmuan beliau. “Untuk melacak genealogi pemikiran Gus Dur terkait dengan
kebangsaan dan transformasi sosial, kami menggunakan kerangka teori Habitus dari
Piere Bourdieu. Visi keilmuan Gus Dur adalah menyatukan rasionaitas dan
spiritualitas sebagai kesatuan yang tak terpisahkan (affinity). Artinya spiritualitas
harus diakui sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang memiliki kerangka
metodologis. 

Kemudian Ngatawi menambahkan, UIN sebagai bagian dari lembaga


pendidikan atau institusi yang melakukan proses habituasi terhadap
mahasiswa, perlu mempertimbangkan habitus model seperti apa yang ingin
dikembangkan, metodologi berfikir yang dibangun dan kerangka filosofi yang
ingin ditanamkan sehingga menjadi pegangan dalam menghadapi keadaan
dengan perspektif keIslaman ala Gus Dur. Sementara itu, Dr. Ahmad Suaedy,
M.A., memberikan pandangan bahwa konstruksi pemikiran Gus Dur memiliki
kebaruan dan kekhasan yang spesifik dalam problematik, kontiunitas serta
penyelesaiannya. Terpenting adalah banyak distingsi yang dapat diambil dari
dalam diri Gus Dur dan komprehensifitas dari pemikiran itu, baik secara
religius maupun metodologis bahkan berujung pada sejumlah pemikir barat.
Selain itu, adanya kedinamisan pemikiran seorang Gus Dur yang mencoba
menjawab tantangan-tangan baru, yang kemudian perlu kita kembangkan hari
ini. Ketiga, pemikiran Gus Dur bukan hanya tentang nasional tetapi
kapasitasnya internasional, mulai dari soal Amerika, China, Israel. Melihat hal
tersebut maka pemikiran yang dibawa UIN kedepan tidak hanya skala lokal
dan nasional tetapi juga ke arah Internasional. Gus Dur
menjadi trendsetter pluralisme di tengah-tengah gemuruhnya isu perselisihan
agama dan ras budaya. Beberapa tahun belakangan isu ras dan agama masih
hangat diperbincangkan di beberapa sektor. Baik sektor sosial, budaya,
ekonomi, dan politik. Setelah beberapa peristiwa penistaan agama dan
pelecehan perbedaan ras mengakibatkan beberapa orang ‘dibuikan’. Hal ini
seolah menggambarkan kondisi di tengah-tengah masyarakat yang masih
mengalami disharmonisasi. Pada awal kehadiran pemikiran Gus Dur masih
menimbulkan banyak kontroversi di tengah pola pikir masyarakat. Namun,
seiring berjalannya waktu pandangan Gus Dur telah menjelma menjadi
pandangan baru yang pada akhirnya menyadarkan seluruh lapisan masyarakat
tentang pentingnya menjaga toleransi beragama dan budaya.

Manusia dan agama bagai dua sisi mata uang yang apabila satu tiada
maka sama dengan ketiadaan keduanya. Budaya dan manusia memiliki
hubungan sangat erat. Manusia lahir di tengah budaya sehingga kehadirannya
ikut serta dalam membentuk pola prilaku. Hal inilah yang menjadikan
manusia, agama, dan budaya merupakan satu lingkungan yang sulit terpisah.
Gus Dur memandang bahwa fitrah manusia dengan manusia lain ialah saling
memahami dengan akal dan menjaga persaudaraan dengan budi. Akal manusia
tanpa budi maka tidak akan mampu melahirkan keluhuran jiwa. Agama
berperan penting dalam menentukan corak, polarisasi peran, dan pelapisan
sosial dalam masyarakat. Meski perdebatan agama membentuk masyarakat
atau sebaliknya masih belum menemukan titik akhir. Meski demikian, tidak
banyak orang mampu mewujudkan harmonisasi dalam beragama dan
berbudaya di tengah hiruk pikuk kehiduapan yang semakin berkembang.
Degradasi moral akal budi ini semakin hari kian terasa. Bisa saja hal ini terjadi
karena manusia disibukkan dengan menata ulang dunianya dalam isu
keterbaruan sistem informasi, ketercepatan melahirkan teknologi baru dan
penerapannya, kualitas pendidikan yang dipaksa bertukar nilai menjadi jasa
dan ekonomi sehingga dapat mampu hidup dalam kurun waktu lama di tengah
persaingan yang ketat. Kesibukan ini mengakibatkan keangkuhan manusia
pada ranah kepekaan etis, manusia lebih nampak menonjolkan akal tanpa
menyandarkan pada budi luhur.
Gus Dur menjelaskan bahwa sebagai manusia yang lahir ditengah
lingkungan multibudaya harus mampu menghidupkan budaya dengan agama
dan mempraktikkan ajaran agama melalui budaya. Dengan demikian, tujuan
membangun kebinekaan dalam naskah proklamasi Indonesia dapat terwujud
dan bukan sekadar sebagai janji tulis yang tercantum pada naskah 1 Juni 1945.
Ialah manusia menjadikan pancasila sebagai pedoman hidup dan dasar negara
yang dihidupkan oleh seluruh masyarakat. Pandangan Budi luhur Gus Dur
mendorong terwujudnya manusia yang mampu melaksanakan nilai pancasila
tanpa syarat. Sebenarnya rakyat ini telah dididik sejak dini baik dalam kultur
budaya lingkungan maupun lembaga pendidikan. Di dunia pendidikan sejak
dini, anak-anak dididik untuk saling toleransi dalam berperilaku dan berucap
dengan menerapkan nilai-nilai pancasila. Seperti saling menjaga dan
menghormati perbedaan agama, berucap baik agar tidak menyinggung ras
yang berbeda, menunjukkan sikap saling menghargai di segala lini perbedaan
kehidupan. Namun, ternyata hal ini tidak cukup. Selain pendidikan kultural,
sepertinya ranah pendidikan menjadi wadah paling tepat untuk membangun
pola pikir dan perilaku masyarakat. Dunia pendidikan efektif untuk
menyuntikan ideologi-ideologi baru kepada generasi penerus. Agar praktik-
praktik penistaan agama dan pelecehan atas perbedaan suku dan ras tidak
terjadi lagi.Ajaran Gus Dur tentang akal budi mendorong manusia senantiasa
sadar bahwa bermasyarakat di tengah multikulturnya memerlukan ajaran
agama sehingga mendorong akal lebih berbudi. Akal manusia tanpa agama
dapat mendorong terjadinya kejahatan, seperti mencemooh, membuli,
menistakan, dan memprovokasi. Apalagi, era sekarang ini adalah masa
digitalisasi percepatan informasi semakin menjadi. Suntikan pola pikir dan
perilaku dapat segera disebarkan dan ditiru oleh siapapun tanpa sekat umur
dan takar suku.Akal yang didasarkan pada nilai agama menurut Gus Dur akan
meuwujdkan cinta kasih. Cinta kasih manusia sesungguhnya sangat tepat
untuk melindungi kehidupan manusia di segala masa kehidupan. Budi
merupakan serangkaian kemampuan kognitif yang memungkinkan kesadaran,
persepsi, pertimbangan, dan ingatan pada manusia atau dalam bahasa Gus Dur
ialah alat batin yang mampu mendorong manusia berperilaku baik dan
menghilangkan yang buruk. Indonesia dengan segala perbedaan agamanya
sangat riskan terdampak konflik. Oleh karena itu, pandangan Gus Dur tentang
akal budi manusia ini perlu dikaji ulang di dunia pendidikan sehingga
menghasilkan mata pelajaran  yang memiliki ruh-ruh  nilai etis agama dan
budaya baik science/sains maupun sosial. Di ranah pendidikan agama terutama
Islam dipandang perlu untuk membangun sikap toleransi terhadap setiap
perbedaan baik pandangan maupun praktik.Saat Clifford Geertz datang ke
Mojokerto (Pare, Kediri Jawa Timur) tahun 1950-an, dia menjumpai Islam
tidak tunggal melainkan lahir dengan tampilan tiga wajah yang kemudian
terklasifikasi sebagai santri, abangan, dan priyayi.
Meski banyak yang mengkritik klasifikasi tersebut, temuan Geertz
telah mengkonfirmasi bahwa agama Islam cenderung memiliki banyak wajah.
Dengan demikian, keragaman tersebut jika tidak terkonfimasi secara langsung
hadir di tengah-tengah masyarakat pada beberapa wilayah di Indonesia akan
menjadi sumbang nilai agamanya.Apalagi ilmuwan-ilmuwan besar seperti
Geertz menjadi referensi penting dalam keilmuan-keilmuan di perguruan
tinggi. Dengan demikian, wajah agama Islam memerlukan pandangan luas
agar tidak terjadi kesalah pahaman. Belum lagi, Indonesia tidak hanya
memiliki satu suku, ras, dan bentuk praktik budaya. Kehadiran diri di tengah
lingkungan yang berbeda juga memerlukan akal budi. Menerima perbedaan
tanpa memojokkan perbedaan harus tetap menjadi ruh setiap orang yang
berkerakyatan. Terutama anak didik dan mahasiswa yang akan menjadi
generasi penerus. Kesadaran perbedaan praktik dan pandangan keagamaan
serta budaya, suku, dan ras harus dijunjung dan hal ini bukan hanya sebatas
teori dalam mata pelajaran saja tetapi benar-benar dipraktikkan pada perilaku
dan bahasa. Mahasiswa yang merupakan rumpun terkahir untuk mengabdikan
dirinya kepada masyarakat harus siap membawa diri dan melebur di tengah-
tengah kondisi masyarakat. Peran mahasiswa sebagai agent sosial of
change bukan sekadar pada saat mereka menjadi mahasiswa, tetapi juga
setelah mereka lulus dari kuliah dan hidup ditengah masyarakat. Agent sosial
of change bukan perkara mudah, mengubah paradigma masyarakat yang buruk
menjadi baik, mengubah kebiasaan hidup buruk menjadi baik, dan membantu
masyarakat memahami kondisi Indonesia yang multikultural dan multiagama
ini harus dilaksanakan dengan mengembalikan ajaran agama pada akal budi
yang mampu melahirkan keluhuran jiwa.
 
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas dapatlah diambil simpulan bahwa bangunan Filsafat
keilmuan UIN GUSDUR adalah; pertama secara Ontologis realitas alam semesta ini
bersifat hetereogen namun berasal dari Yang Satu yaitu Allah SWT. Dalam hal ini
konsep tauhid mamainkan peran pentingnya, sehingga secara Epistemologis sumber
pengetahuan baik yang bersifat social-kealaman dan pengetahuan spiritual yang
bersifat transenden (wahyu) adalah berasal dari Allah. Dari aspek ini bisa
disimpulkan untuk tidak perlu terjadinya dikotomi pengetahuan. Sebagai implikasi
dari pemahaman tersebut maka, secara aksiologis manusia yang ingin dihasilkan dari
proses akademik tersebut adalah manusia yang berisi, yaitu yang memiliki sisi
Intelektualitas, Spiritualitas, dan Integritas yang baik sebagai manifestasi insane kamil
(manusia sempurna).
Pernyataan di atas bukanlah sekedar sebuah utopia. Generasi Islam awal telah
membuktikan bahwa dengan paradigma keilmuan yang benar maka apa yang
dikatakan Alquran itu terbukti kebenarannya. Pada masa dinasti Abbasyiah, ilmu
pengetahuan berkembang pesat di dunia Islam. Berbagai kitab karya filosof-filosof
Yunani tentang filsafat dan berbagai disiplin ilmu yang lain diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab agar orang Islam mudah memahaminya. Meski pengaruh tradisi
keilmuan Yunani tidak terelakkan, namun dengan kekuatan rohaniahnya maka para
ilmuwan Islam berhasil mengubah substansi ilmu-ilmu Yunani itu menjadi baru,
demikian kata Seyyed Hossein Nashr. Paradigma keilmuan yang inklusif tersebut
telah melahirkan para filosof Islam yang tangguh seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-
FarabiIbn Rusyd, al-Razi, dan lain-lain, yang menguasai bukan hanya filsafat tetapi
juga berbagai ilmu-ilmu terapan seperti ilmu kedokteran, optikageografi, astronomi,
dan sejarah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, 1996, “Muhammad Arkoun: Perintis Penerapan


Teori Ilmu-ilmu Sosial Era Post-Positivis Dalam studi Pemikiran Keislaman”,
dalam Muhammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan
Post Modernisme, Drs. Masyhur Abadi (penerj.), Al-Fikr, Surabaya.
2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi.
Pendekatan Integratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
“Al-Ta’wil al-‘Ilmî”; Ke arah Perubahan.
Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, Al-Jami’ah, Volume 39, Number 2 Juli-
Desember 2001, h. 359-391 ke arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab
Suci”, Al-Jami’ah, Volume 39, Number 2 Juli-Desember 2001.

Anda mungkin juga menyukai