Anda di halaman 1dari 2

2.

3 Kehujjahan Istishab
Metode istishab merupakan dalil syara’ terakhir yang dijadikan sebagai
rujukan oleh mujtahid di dalam menetapkan hukum.
Metode istishab dijadikan sebagai dalil yang boleh digunakan dalam
menetapkan hukum syara’ oleh sebagian mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal.
Menurut ulama Hanafiyah, istishab dapat dijadikan hujjah dalam hal menolak
bukan dalam hal menetapkan hukum. Maksudnya ia menjadi hujjah atas
berlakunya hukum yang telah ada, dan menolak dari segala yang menentangnya
sampai ada dalil yang menetapkan kebenaran adanya sesuatu yang menentangnya
itu.1
Dari perbedaan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama
mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa istishâb merupakan
hujjah untuk mempertahankan (daf’i) dan menetapkan sesuatu (itsbat), sedangkan
ulama Muta’akhirin dari mazhab Hanafi menegaskan bahwa istishâb merupakan
hujjah dalam mempertahankan sesuatu, sementara mayoritas ulama mazhab
Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa istishâb bukan
merupakan hujjah. Perbedaan pandangan ulama ini ternyata menyebabkan
perbedaan dalam hukum Islam, seperti dalam kasus hukum waris orang hilang. Di
samping itu, keberadaan istishâb menjadi solusi penetapan hukum Islam
kontemporer, seperti dalam asas praduga tak bersalah dan ketidakadaan hak dan
kewajiban bagi laki-laki dan perempuan selama tidak ada bukti perkawinan
mereka.
Para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga jenis istishâb yang disebutkan
pertama, yaitu: istishâb al-ibahah al-ashliyyah, istishâb albara’ah al-asliyyah, dan
istishâb al-hukm, sekalipun mereka berbeda dalam sebagian penerapannya dalam
hukum Islam. Sedangkan istishâb keempat yaitu istishâb al-wasf, para ulama
berbeda pendapat tentang kehujjahannya. Menurut ulama Syafi’iyyah dan
Hanabilah, istishâb al-wasf dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam
menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu
yang sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah

1
Abdullah Safe’i, Ushul Fiqh Metodologi Ijtihad (Bandung: Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN
SGD Bandung, 2019), hlm. 161
menganggap istishâb al-wasf sebagai hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang
sudah ada (daf’i) saja, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).
Adapun nilai kehujjahan istishâb secara umum, para ulama berbeda pendapat.
Pertama, mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan
bahwa istishâb merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan
sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada
(itsbat). Mereka menggunakan Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan Akal, untuk
memperkuat pandangannya.2

2
Husnul Haq, “Penggunaan Istishab dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama”, Jurnal
Hukum Islam Al-Hurriyah Volume 2 Nomor 1, Edisi Januari-Juni 2017, hlm.17-25

Anda mungkin juga menyukai