MAKALAH
Disusun Oleh :
Septiani 17230037
Navida Azizah 17230081
M. Panji Anom 17230110
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4
B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran Politik Islam Ibnu Abi Rabi’ ................ 5
PENUTUP ............................................................................................................. 19
A. Kesimpulan ................................................................................................... 19
i
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin selain mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan masalah agama, mengatur hal-hal tentang hubungan antara manusia
dengan Allah, namun juga mengatur masalah antara manusia dengan sesamanya.
Bahkan Islam juga mengatur masalah kehidupan bernegara. Meskipun tidak
secara langsung dijelaskan pengaturannya dalam Al-Qur’an, namun Islam secara
jelas telah memberikan rambu-rambu bagi umat manusia ketika mereka
mengemban amanah untuk memimpin suatu negara. Islam secara langsung juga
telah menyajikan teladan yang bisa dijadikan pedoman dalam melaksanakan
kehidupan bernegara yaitu pada masa kepemimpinan Rasulullah Muhammad
SAW., dan para Khulafaur Rasyidin. Bahkan pada masa awal kejayaannya, salah
satu karakteristik Islam yang paling menonjol adalah dalam hal kejayaan
politiknya.
Pada fase pasca wafatnya Rasulullah SAW., perpolitikan dan tata negara
mengalami berbagai perubahan, seperti yang terjadi pada masa kekhalifahan
khulafaur rasyidin yang menggunakan sistem negara berpola khilafah, kemudian
pada awal berkuasanya daulah Umayyah sistem ketatanegaraan yang diterapkan
berubah menjadi sistem monarki atau kerajaan.1 Berangkat dari hal tersebut,
kemudian penerapan sistem monarki dalam sistem ketatanegaraan pada masa itu
berlanjut ketika berkuasanya daulah Abbasiyah yang juga menggunakan sistem
monarki dalam menjalankan pemerintahannya. Bahkan, sebagian besar negara
Islam saat ini juga menerapkan sistem negara yang berpola kerajaan/monarki
dalam menjalankan pemerintahannya.
1
Triono, "Corak Pemikiran Politik Dalam Islam: Zaman Klasik, Pertengahan, dan Kontemporer,"
Jurnal TAPIs, Vol. 7, No. 12 (Januari-Juli 2011), 32.
1
dengan periodisasi sejarah tersebut yang terbagi menjadi 3 periode, yaitu periode
klasik, periode pertengahan, dan periode modern.2 Dari masing-masing periode,
terdapat perbedaan dalam hal pemikiran politik Islam pada masa itu. Setiap
periode memiliki karakteristiknya masing-masing yang tidak luput dari pengaruh
kondisi sosial-budaya, dan faktor-faktor lain yang ada pada setiap periode.
Adanya keragaman pemikiran politik Islam pada masa itu juga melahirkan
berbagai tokoh pemikir politik Islam, seperti Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi, al-
Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan lain sebagainya. Dari
berbagai pemikir politik Islam tersebut juga memiliki perbedaan antara yang satu
dengan yang lainnya. Pada makalah ini, penulis akan memaparkan hal-hal terkait
pemikiran politik Islam dari salah satu tokoh pemikir politik Islam yang masyhur
pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah, yaitu Ibnu Abi Rabi’. Penulis akan
menjelaskan segala hal terkait pemikiran politik Islam Ibnu Abi Rabi’, dimulai
dari biografi singkat Ibnu Abi Rabi’, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan
singkat terkait keadaan sosial-budaya pada masa itu yang menjadi latar belakang
lahirnya pemikiran politik Islam Ibnu Abi Rabi’, dan yang terakhir akan dibahas
tentang seperti apa pemikiran politik Islam dari Ibnu Abi Rabi’ dan bagaimana
prakteknya dalam sistem ketatanegaraan Islam pada masa itu.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer (Depok: KENCANA, 2010), 1.
2
3. Untuk memberi pengetahuan tentang karakteristik dan implementasi
pemikiran politik Islam Ibnu Abi Rabi’ dalam praktik sistem
ketatanegaraan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’ atau yang lebih
dikenal dengan nama Ibnu Abi Rabi’ adalah salah satu pemikir politik Islam pada
masa klasik yakni tepatnya pada masa kepemimpinan daulah Abbasiyah.3 Biografi
tentang Ibnu Abi Rabi’ tidak banyak tercatat dalam sejarah, bahkan masa hidup
atau tanggal lahir dan wafat Ibnu Abi Rabi’ tidak tertulis dalam sejarah Islam.4
Ibnu Abi Rabi’ hidup di Baghdad pada masa pemerintahan Mu’tasim Billah,
Khalifah Daulah Abbasiyah ke delapan dan putra Khalifah Harun al-Rasyid, yang
menggantikan saudaranya, al-Makmun.5 Informasi ini diperoleh dari keterangan
yang terdapat pada kitab karangannya yang berjudul Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-
Mamalik. Berdasarkan cataan sejarah yang ada disebutkan bahwasannya Ibnu Abi
Rabi’ menuliskan kitab ini atas permohonan dari salah satu khalifah pada masa
pemerintahan daulah Abbasiyah, yang akan dijadikan pedoman dalam
menjalankan pemerintahan pada masa itu. Karena terbatasnya informasi terkait
Ibnu Abi Rabi’, terdapat berbagai pendapat terkait kapan tepatnya buku karangan
Ibnu Abi Rabi’ ini ditulis, dan kepada siapa khalifah tepatnya yang menjadi tujuan
dituliskannya kitab ini.
3
Moh. In'amuzzahidin, "Etika Politik Dalam Islam," Wahana Akademika, Vol. 2, No. 2 (Oktober
2015), 95.
4
Nurrohman, "Dimensi Etik Dalam Pemikiran Politik: Studi Terhadap Pemikiran Politik Ibn Abi
Rabi' dalam Kitabnya Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik," MS, Vol.XVI, No. 63 (Desember 1994),
62.
5
Sirojuddin Aly, Pemikiran Politik Islam: Sejarah, Praktik, dan Gagasan (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2017), 373.
4
pembahasan fiqh atau ilmu kalam.6 Dari keterangan tersebut dapat kita pahami
bahwasannya pada masa pemerintahan Islam sebelum-sebelumnya belum pernah
ada kitab yang secara khusus membahas tentang masalah politik Islam yang
dalam hal ini dijadikan sebagai pedoman dalam urusan pemerintahan.
Kendati demikian, Ibnu Abi Rabi’ tidak serta merta menulis kitabnya ini
hanya karena diminta oleh khalifah yang berkuasa pada masa itu. Ibnu Abi Rabi’
memiliki beberapa pertimbangan mengapa beliau akhirnya menulis kitab tersebut.
Pertama, di kalangan cerdik pandai dan di kalangan orang-orang yang
berkecimpung dalam ilmu hakikat terdapat keyakinan bahwasannya jiwa lebih
mulia daripada badan sehingga memelihara jiwa serta mensucikan badan dengan
ilmu dan amal akan meningkatkan kualitas akhlak adalah sesuatu yang
diutamakan; kedua, di kalangan orang-orang yang karena posisinya memiliki
kewenangan yang berpengaruh dalam masyarakat diperlukan adanya studi tentang
jiwa manusia, dengan adanya buku yang beliau tulis ini dhirapkan bisa digunakan
sebagai sarana untuk mengajak mereka para penguasa untuk senantiasa
meningkatkan kualitas akhlaknya meskipun posisi mereka sudah menjadi
pemimpin, namun alangkah lebih baik jika sebagai seorang pemimpin bisa
sekaligus menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.7 Ibnu Abi Rabi’
membagi kitabnya menjadi 4 pasal yaitu pasal pertama menjadi muqaddimah,
pasal kedua membahas masalah akhlak dan pembagiannya, pasal ketiga
membicarakan tentang pelbagai jenis perilaku yang menurut pertimbangan akhlak
perlu diikuti dan dilaksanakan, dan pasal keempat yaitu membahas tentang
macam-macam siyasat (pengaturan) beserta ketentuan-ketentuannya.
6
Nurrohman, "Dimensi Etik Dalam Pemikiran Politik: Studi Terhadap Pemikiran Politik Ibn Abi
Rabi' dalam Kitabnya Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik," MS, Vol.XVI, No. 63, 62.
7
Nurrohman, "Dimensi Etik Dalam Pemikiran Politik: Studi Terhadap Pemikiran Politik Ibn Abi
Rabi' dalam Kitabnya Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik," MS, Vol.XVI, No. 63, 62.
5
luas.8 Namun, pasca kekhalifahan khulafaur rasyidin terjadi pergeseran konsep
khalifah, dimana pada masa khulafaur rasyidin khalifah hanya berperan sebagai
khadim al-ummah atau pelayan umat yang lebih mengutamakan pelayanan
kepentingan umat Islam dan tidak dipilih berdasarkan garis keturunan, sedangkan
pada masa setelah itu khalifah berubah menjadi zhill Allah fi al-ardh atau bayang-
bayang Allah di muka bumi dan diangkat secara turun temurun.
8
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 1.
9
Amin Suyitno, "Konsepsi Negara Menurut M. Natsir: Tinjauan Dari Perspektif Pemikiran Politik
Islam," Intizar, Vol. 21, No. 2 (2015), 239.
10
A. Najili Aminullah, "Dinasti Bani Abbasiyah; Politik, Peradaban dan Intelektual," Jurnal Ilmiah
Bidang Pendidikan, Vol. 3, No. 2 (2017), 20.
6
maupun Turki, hal tersebut dibuktikan dengan adanya wazir, al-hajib, dan
beberapa birokrasi istana yang pada masa sebelumnya jabatan-jabatan tersebut
tidak ada.11 Mengingat rentang waktu kekuasaan dari daulah Abbasiyah yang
sangat lama mengakibatkan adanya perbedaan pola pemerintahan yang diterapkan
pada masing-masing periode. Setiap periode pada masa daulah Abbasiyah ini pola
pemerintahannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya perubahan
politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Adapun sistem politik yang diterapkan
oleh daulah Abbasiyah antara lain yaitu penggunaan kota Baghdad sebagai ibu
kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial, dan
kebudayaan; dalam hal penyelenggaraan negara, pada masa daulah Abbasiyah
terdapat jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala departemen; pemakaian
gelar tahta oleh para khalifah; para khalifah tetap keturunan dari Arab, sedangkan
para menteri, panglima, Gubernur dan paa pegawai lainnya dipilih dari keturunan
Persia dan Mawali; para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk
menjalankan tugasnya dalam pemerintah.12
11
Munawir Haris, "Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah," TASAMUH
JURNAL STUDI ISLAM, Vol. 10, No. 2 (September 2018), 402 - 403.
12
Abdullah Manshur, "Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Dinasti Abbasiyah,"
Jurnal STIMED Nusa Palapa Makassar (2014), 28 - 29.
13
Ajat Sudrajat, "Sejarah Pemikiran Politik Islam," Jurnal Pendidikan UNY (2000), 8 - 9.
7
Abbasiyah ditambah dengan penulisan kitabnya juga atas dasar permintaan dari
salah satu khalifah yang berkuasa pada masa daulah Abbasiyah. Selain itu,
sebagian pemikiran politik Islam yang dituangkan dalam buku Suluk al-Malik fiy
Tadbir al-Mamalik yang menganggap bahwasannya penerapan sistem monarki
dalam suatu pemerintahan merupakan sistem yang paling baik tidak lepas dari
adanya pengaruh khalifah yang berkuasa pada saaa itu. Pada saat penulisan buku
ini, yang berkuasa adalah al-Mu’tashim, dimana Islam mencapai banyak
kemajuan pada masa itu. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan Ibnu Abi
Rabi’ berpendapat bahwasannya model pemerintahan dengan sistem monarki
adalah sistem yang terbaik dan tidak terlalu banyak memberikan kritikan terkait
sistem monarki itu sendiri. Mungkin ketika Ibnu Abi Rabi’ hidup dan menuliskan
bukunya pada masa setelah itu mungkin akan berbeda penilaiannya terkait
masalah sistem kepemimpinan yang baiknya diterapkan dalam suatu negara.
14
Mahmuda, "Konsep Negara Ideal/Utama (Al-Madinah Al-Dadhlah) Menurut Al-Farabi," Al-Lubb,
Vol. 2, No. 2 (2017), 289.
15
Triono, "Corak Pemikiran Politik Dalam Islam: Zaman Klasik, Pertengahan, dan Kontemporer,"
Jurnal TAPIs, Vol. 7, No. 12, 36.
8
adalah seorang pelayan umat, dimana tugas utamanya adalah untuk melayani
umat dan dipilih dengan cara musyawarah.
Secara umum, pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’ dibagi menjadi beberapa
pokok pembahasan, diantaranya adalah sebagai berikut.
Negara
Asal-Usul Negara
Menurut pandangan Ibnu Abi Rabi’ setidaknya terdapat 3 butir alasan
pokok dari lahirnya suatu negara, diantaranya yaitu:16
- Kecenderungan manusia untuk berkumpul dan bermasyarakat
merupakan sifat alami yang Allah ciptakan kepada manusia.
- Allah telah meletakkan peraturan-peraturan tentang hak dan kewajiban
bagi masing-masing anggota masyarakat sebagai suatu dasar yang
harus dipatuhi, dimana seluruh peraturan-peraturan tersebut termaktub
dalam Al-Qur’an.
- Allah telah mengangkat penguasa-penguasa yang memiliki tugas untuk
memastikan berlakunya peraturan-peraturan di kalangan masyarakat
dan mengelola masyarakat berdasarkan petunjuk dari Allah.
16
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 378.
9
pemimpin yakni raja yang pemilihannya berdasarkan warisan turun-
temurun dari penguasa sebelumnya. Dalam konteks ini Ibnu Abi Rabi’
berpendapat juga bahwasannya apabila sebuah negara dipimpin oleh
banyak pemimpin, maka perpolitikan akan kacau dan akan banyak muncul
konflik yang menyebabkan negara tidak stabil, sehingga dalam
pandangannya, warga masyarakat membutuhkan satu pemimpin tunggal
dalam menjalankan pemerintahannya.17
Kekuasaan kepala negara, berdasarkan pemikiran politik Ibnu Abi
Rabi’, berasal langsung dari Allah.18 Disini Ibnu Abi Rabi’ beranggapan
bahwasannya Allah telah memberikan keistimewaan kepada para raja
dengan segala keutamaan dan kelebihan, menempatkan kedudukan mereka
sebagai pemimpin umat di atas muka bumi dengan kokoh,
mempercayakan hamba-hamba-Nya kepada mereka, hingga kemudian
Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan
menaati perintah mereka.19 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita
pahami juga bahwa sumber kekuasaan raja adalah bukan dari rakyat,
melainkan dari Allah langsung, dan tugas mereka sebagai seorang
pemimpin adalah mengelola urusan rakyatnya dan bertindak sebagai
hakim untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.20
Lebih lanjut untuk memperkuat argumen tersebut, Ibnu Abi Rabi’
mengemukakan 2 ayat dalam Al-Qur’an sebagai dasar pandangannya ini,
diantaranya yaitu:
- Q.S al-An’am ayat 165
Dan Dia (Allah) yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi
dan Dia (Allah) meninggokan harkat dan martabat sebagian dari
kalian atas sebagian (yang lain) beberapa tingkat.
- Q.S an-Nisa’ ayat 59
17
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 379.
18
Moh. In'amuzzahidin, "Etika Politik Dalam Islam," Wahana Akademika, Vol. 2, No. 2, 95.
19
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 379.
20
Moh. In'amuzzahidin, "Etika Politik Dalam Islam," Wahana Akademika, Vol. 2, No. 2, 95.
10
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,
dan pemimpin-pemimpin (Ulil Amri) kalian.
Selain berbicara masalah konsep bentuk negara, Ibnu Abi Rabi’ juga
memberikan pandangannya terkait lokasi yang dapat dijadikan pusat
21
pemerintahan, kriterianya antara lain adalah sebagai berikut:
Selain beberapa kriteria di atas, yang paling penting dalam menentukan lokasi
pusat pemerintahan adalah harus menyesuaikan kondisi masyarakat pada saat itu
juga.
Kepala Negara
Kepala negara selain sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya kehidupan pemerintahan dengan baik, dewasa ini juga
dimaknai sebagai representasi dari seluruh rakyatnya. Kepala negara
memegang kedudukan yang sangat penting atas perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan pemerintahan di suatu negara. Dengan kata lain,
kemajuan atau kemunduran suatu negara sebagian besar adalah
dipengaruhi oleh peran kepala negara. Dalam konsep pemikiran politik
21
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 381.
11
Ibnu Abi Rabi’ memberikan beberapa batasan yang harus dipatuhi oleh
calon kepala negara, antara lain yaitu:22
- Seorang kepala negara tidak boleh memiliki sifat pemarah.
- Bukan orang yang mudah bersumpah.
- Tidak boleh orang yang pelit.
- Tidak boleh memiliki sifat pendengki ataupun pendendam.
- Bukan orang yang suka melakukan kegiatan yang tidak bermanfaat.
- Tidak boleh memiliki sifat penakut.
- Tidak boleh memiliki orientasi yang besar terhadap masalah
keduniawian.
Keadilan
Berkaitan dengan masalah keadilan, berdasarkan pemikiran politik
Ibnu Abi Rabi’, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:
keadilan yang berhubungan dengan perbuatan seorang hamba yang
berkenaan dengan hak Allah, contohnya seperti kewajiban menjalankan
ibadah; keadilan yang berkaitan dengan hak-hak antar sesama manusia,
misalnya bersikap toleransi terhadap perbedaan yang ada; keadilan yang
berhubungan dengan hak-hak orang yang sudah wafat, contohnya yaitu
dalam hal pengurusan jenazah ketika seseorang meninggal dunia.23
Seseorang bisa dikatakan bersikap adil apabila mempunyai beberapa
indikator, diantaranya yaitu : 1. Menepati janji, amanah, dan dapat
dipercaya; 2. Bersifat penyayang dan tidak suka berbohong/menipu; 3.
Memelihara dan memperhatikan janji-janjinya kepada orang lain; 4. Jujur
22
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 382.
23
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer (Depok: KENCANA, 2010), 383-384.
12
dalam segala tindakan yang diperbuatnya; 5. Tidak melanggar ketentuan-
ketentuan yang berlaku; 6. Menempatkan segala sesuatu pada tempatnya
dan menyampaikan amanah pada yang berhak menerimanya.24
Rakyat
Rakyat, sebagai salah satu komponen terpenting dalam suatu negara
keberadaannya sangat dibutuhkan demi terselenggaranya kehidupan
pemerintahan yang baik. Rakyat merupakan salah satu prasyarat utama
ketika hendak mendirikan suatu negara. Meskipun demikian, rakyat tetap
harus terus diberikan arahan oleh pihak pemerintah agar bisa tertib dalam
menjalankan kehidupan demi tercapainya kesejahteraan dalam suatu
pemerintahan. Dalam konsep pemikira politik Ibnu Abi Rabi’ disebutkan
beberapa pedoman untuk mengarahkan rakyat dalam suatu negara,
diantaranya yaitu:25
- Seorang kepala negara harus berusaha untuk menundukkan hati
rakyatnya dan terus berupaya agar ketaatan dan loyalitas seluruh rakyat
kepada negara dipertahankan sebagai tanda bukti legitimasi yang
diberikan rakyat kepada negara, namun hal tersebut harus dilakukan
dengan ketulusan tanpa adanya paksaan.
- Kepala negara harus mampu menyediakan berbagai fasilitas yang
dibutuhkan agar terwujudnya kehidupan yang nyaman dan sejahtera.
- Kepala negara harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat.
- Berupaya agar rasa cinta rakyat kepada negara didasarkan atas
keyakinan agama, bukan karena kepentingan lain.
- Mengetahui track and record masyarakat untuk mengetahui
kemampuan mereka.
- Harus mengikuti perkembangan dan berita yang terjadi di negara
tetangga.
- Memperbaharui pemberian hadiah kepada pasukan tentara sebagai
wujud apresiasi atas pengabdian mereka.
24
Moh. In'amuzzahidin, "Etika Politik Dalam Islam," Wahana Akademika, Vol. 2, No. 2, 97.
25
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 384-386.
13
- Selalu mendengarkan aspirasi seluruh rakyat.
- Tidak segan memecat pejabat yang melakukan penyelewengan.
- Menjamin keamanan dan kesejahteraan seluruh rakyatnya.
- Menciptakan kebijakan yang membawa maslahat besar bagi rakyat.
- Mampu menjadi penengah sekaligus memberi solusi terhadap konflik
yang ada.
- Menjamin kesejahteraan secara merata.
Pengelolaan
Demi tercapainya kekuasaan dan pengelolaan pemerintah yang efektif dan
efisien, Ibnu Abi Rabi’ dalam konsep pemikiran politiknya
mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain sebagai
berikut:26
- Tidak mengangkat pejabat negara yang tidak memiliki integritas
kepribadian yang memadai dan membahayakan bagi negara.
- Tidak meminta saran atau fatwa kepada orang yang tidak bisa
dipercaya, yang berpotensi membawa kehancuran dalam suatu negara.
- Tidak menyimpan atau menyampaikan rahasia kepala negara kepada
orang yang tidak dapat dipercaya.
- Tidak meminta bantuan kepada orang yang tidak memiliki
kemandirian dan dapat merusak kepentingan sesamanya.
- Tidak meremehkan pejabat-pejabat negara, meskipun pejabat yang
bersangkutan menunjukkan kelemahan dalam pemikirannya.
- Tidak memberi tugas kepada orang-orang yang tidak mampu yang
dapat membawa dampak yang buruk.
Kepala Negara
14
berbagai aspek dalam kehidupan bernegara demi tercapainya
kesejahteraan masyarakat.
27
Moh. In'amuzzahidin, "Etika Politik Dalam Islam," Wahana Akademika, Vol. 2, No. 2, 97.
15
dan undang-undang yang berlaku.28 Seorang kepala negara disini bisa
dikatakan kebal terhadap hukum, karena ia dianggap sebagai sumber
sekaligus pelaksana hukum. Pemberian hak istimewa semacam ini apabila
dilakukan secara berlebihan bisa membuka peluang untuk terjadinya
pemerintahan yang sewenang-wenang oleh raja. Oleh sebab itulah, dalam
konsep pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’ memberikan berbagai macam
kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang kepala negara, serta
terus menekankan akan pentingnya akhlak mulia dalam menjalankan
pemerintahan.
Perangkat-Perangkat Pemerintahan
o Menteri (Wazir)
Bertugas untuk mengelola berbagai bidang, menangani kasus yang sering
terjadi sepanjang tahun, mengidentifikasikan pengelolaan negara yang
lebih efektif.29
o Sekretaris (Katib)
Adalah juru bicara raja (lisanul Malik) dalam hal-hal yang berhubungan
dengan masalah khusus maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan
masalah umum. Dibagi menjadi 4 bagian, yaitu sekretaris pembangunan
kemajuan negara (Katib al-Khadharah), sekretaris urusan ketentaraan
28
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 391.
29
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 393.
16
(Katib al-Jaesy), sekretaris bidang hukum (Katib al-Ahkam), dan
sekretaris pajak (Katib al-Kharraj)30
o Protokoler (Hajib)
Adalah orang-orang yang bertugas sebagai perantara antara kepala negara
dengan siapa saja yang ingin bertemu dengan raja, dengan tujuan untuk
menjaga ketertiban dan keamanan, serta menghindari kemungkinan
terjadinya kekacauan.31
o Qadhi (al-Qadhi)
Bertugas memberikan pertimbangan kepada raja berkaitan dengan
berbagai permasalahan politik, terutama yang berhubungan dengan
masalah hukum.32
o Polisi (Surthah)
Bertanggung jawab atas keamaanan dalam negeri.33
o Tentara (Jund/’Asykar)
Bertanggung jawab atas menjaga keamanan negeri dari ancaman musuh,
bertugas untuk melawan musuh dimanapun berada.34
o Kepala Daerah (al-‘Amil)
Bertanggung jawab untuk memimpin daerah atau wilayahnya.35
o Bendahara (Khazinal-Mal)
Mengelola keuangan negara, dengan melakukan beberapa hal seperti
melakukan penyimpanan dan pengembangan harta kekayaan atau ekonomi
negara, menyeleksi orang-orang yang terpercaya, amanah dan jujur dalam
menjalankan tugasnya untuk mengelola dan menjaga keuangan negara,
30
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 394.
31
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 394.
32
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 395.
33
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 395.
34
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 395.
35
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 395.
17
dan menentukan tempat yang aman untuk menyimpan harta kekayaan
negara.36
o Hakim (al-Hakim)
Diartikan sebagai dokter yang bertugas melakukan pengobatan kepada
kepala negara dan menjaga kesehatan kepala negara.37
o Ajudan (Jalis)
Adalah orang yang selalu bersama raja ke mana saja dan kapan saja,
membicarakan dan mendiskusikan situasi politik dari waktu ke waktu.38
o Urusan Dapur Istana (Shahib al-Tha’am wa al-Syarab)
Bertanggung jawab atas urusan logistik, terutama dalam hal menyiapkan
konsumsi untuk raja beserta keluarganya.39
36
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 395-396.
37
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 396.
38
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 396-397.
39
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, 397.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’ atau yang lebih
dikenal dengan nama Ibnu Abi Rabi’ adalah pengarang dari kitab Suluk al-Malik
Fiy Tadbir al-Mamalik.. Ibnu Abi Rabi’ merupakan salah satu tokoh pemikir
politik Islam yang hidup di Baghdad pada masa pemerintahan Mu’tasim Billah,
Khalifah Daulah Abbasiyah ke delapan dan putra Khalifah Harun al-Rasyid.
19
pemerintahan. Menurut konsep politik Ibnu Abi Rabi’ juga menyebutkan
bahwasannya untuk menjadi seorang pemimpin hal yang paling penting untuk
dipenuhi adalah akhlak mulia.
20
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Sirojuddin. Pemikiran Politik Islam: Sejarah, Praktik, dan Gagasan. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2017.
Iqbal, Muhammad., Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Depok: KENCANA, 2010.
Sudrajat, Ajat. "Sejarah Pemikiran Politik Islam." Jurnal Pendidikan UNY. 2000.
Triono. "Corak Pemikiran Politik Dalam Islam: Zaman Klasik, Pertengahan, dan
Kontemporer." Jurnal TAPIs. Vol. 7. No. 12. Januari-Juli 2011.
21