Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Teori pemikiran imam madzab

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Fiqih

Dosen Pembimbing :

Mujiburrahman, M.Pd.

Disusun oleh :

Lutfi Arya F (196111040)

Noviana Romadhoni W (196111055)

Noviana Dwi Pramesti (196111059)

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS

FAKULTAS ADAB DAN BAHASA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN 2020
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Islam pada masaRasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham
terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepadaRasulullah SAW, sehingga
bias cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat
menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau
ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-
Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat.Seiring perkembangan jaman persoalan
semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi
permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga
dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum
Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab.
Madzhab adalah cara yang ditempuhataujalan yang diikuti.Embriio dari perbedaan madzhab
ini adalah karena terjadi perbedaan carapandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun
semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan
tersebut dianggap wajar oleh para ulamafiqih. Karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya, diantaranya factor intuisi, interaksi social budaya dan factor adaptasi
perkembangan jaman.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian teori Imam Madhzab


2. Macam-macam teori imam Madhzab

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian tentang teori madhzab


2. mengetahui macam-macam teori imam madhza
1. pengertian madzhab imam
Mazhab (bahasa Arab: ‫ ;مذهب‬mażhab) adalah penggolongan suatu hukum atau
aturan setingkat dibawah firkah, yang dimana firkah merupakan istilah yang sering
dipakai untuk mengganti kata "denominasi" pada Islam. Kata "mazhab" berasal dari
bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan
seseorang baik konkret maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang
jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama
Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya
sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Istilah mazhab bisa dimasukkan ke dalam ruang
lingkup dan disiplin ilmu apa pun, terkait segala sesuatu yang didapati adanya
perbedaan. Setidaknya ada tiga ruang lingkup yang sering digunakan istilah mazhab
di dalamnya, yaitu mazhab akidah atau teologi (madzahib i'tiqadiyyah), mazhab
politik (madzahib siyasiyah), dan mazhab fikih atau mazhab yuridis atau mazhab
hukum (madzahib fiqhiyyah)
1. macam-macam imam mazhab

Ada banyak mazhab dalam Islam yang tersebar didunia. Tiap mazhab memiliki perbedaan pada
aturan yang tidak terlalu berbeda dengan mazhab lainnya. Berikut adalah contoh-contoh dari teori
mazhab

1. Sunni

Sunni atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah adalah salah satu firkah terbesar dalam Islam. Ada
beberapa mazhab fikih besar yang paling banyak diikuti oleh muslim, yaitu Hanafi, Maliki,
dan Syafii. Di dalam keyakinan Sunni, beberapa mazhab tersebut valid untuk diikuti, dan
didalam madzhab tersebut terdapat perbedaan yaitu pada setiap mazhab tidak bersifat
fundame.

1. MADZHAB HANAFI (IMAM ABU HANIFAH)


Imam Hanafi (Imam Abu Hanifah) bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al-
Kufi, lahir di Irak (Kufah) pada tahun 80 Hijrah (699 M). Ia hidup pada dua masa, yaitu pada
masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan masa kekhalifahan Bani
Abbas. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus) karena sesungguhnya sejak kecil ia
berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa dan keji.
Abu Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia dinamai an-
Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia yang bernama
Muhammad Nu’man ibn Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang ke V). Abu Hanifah
hidup selama 52 tahun pada Zaman Umayah dan 18 tahun pada zaman ‘Abasiyah.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya, Imam Hanafi telah
menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan
hukum Islam. Kendati anak seorang saudagar kaya, ia sangat menjauhi hidup yang
bermewah-mewah. Begitupun setelah menjadi seorang pedagang yang sukses . hartanya lebih
banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri, misalnya memberi kebutuhan
makan dan menguatkan pasukan Imam Zaid ketika memberontak khalifah Bani Umayah.
Perhatian Abu Hanifah yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan, menyebabkan
dirinya menjadi seorang imam yang besar dan terkenal pada saat itu (sampai sekarang,
penulis), dan ketenarannya itu didengar Yazid ibn Umar ibn Hubairah (seorang Gubernur
Irak), sehingga Yazid meminta Abu Hanifah untuk menjadi qadhi. Karena menolak tawaran
tersebut, Abu Hanifah ditangkap, dipenjarakan, dan dicambuk. Tetapi atas pertolongan juru
cambuk, Abu Hanifah berhasil meoloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Setelah
Umayah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan Abasiyah dengan rasa
gembira.
Sikap politik Abu Hanifah berpihak pada keluarga ‘Ali (ahl a-Bait). Hal itu
digambarkan oleh Abdurrahman Asy-Syarqawi sebagai berikut: “Kecintaan kepada Ahlul
Bait telah demikian telah demikian melekat dalam hati Abu Hanifah sejak ia berkenalan
dengan para Imam Ahlul Bait dan menimba pengetahuan dari mereka. Ditambah lagi setelah
ia menyaksikan bentuk-bentuk penganiayaan yang dialami oleh Ahlul Bait dengan sangat
getirnya, baik siang maupun malam...” sementara itu, pada masa Bani Abasiyah berbagai
fitnah telah melanda keturunan Ali, namun Abu Hanifah berfatwa, “Bani Ali adalah para
pemegang kebenaran.”
Penguasaan terhadap berbagai ilmu seperti ilmu fikih, ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab
dan ilmu hikmah, telah mengantarkannya sebagai ahli fiqih dan keahliannya itu diakui oleh
para ulama pada zamannya. Keahlian tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i bahwa “Abu
Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqih”. Imam Abu Hanifah kemudian
mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fikih untuk
bermusyawarah tentang hukum Islam serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk
tulisan sebagai perundang-undangan dan ia sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah
hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya
bekaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Akibat siksaan di penjara, kesehatan Abu Hanifah menurun. Ia meninggal dunia tahun
150 H dengan diantar oleh lima puluh ribu penduduk Irak. Khalifah “terpaksa” menshalati
Imam Abu Hanifah dan dengan penuh penyesalan ia berkata, “Siapakah yang dapat
memaafkanku terhadap Abu Hanifah, baik ketika ia hidup maupun setelah meninggal.” Ia
meninggal dunia seperti matinya orang-orang shiddîq dan para syuhadâ’.
Adapun pemikiran madzhab ini, maka mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlu ar-
ra’yi serta fikih dari Irak. Ia dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam
memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam madzhab
ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur
menguraikan karakteristik manhaj Hanafi, bahwa fikih Hanafi membekas kepada ahli Kufah
(negeri Imam Abu Hanifah dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan
istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni
apabila tidak ada nash, ijma’, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya buruk
(tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak
meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan
umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan
berbagai masalah.
Alasannya: kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus
tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadist mereka nilai sebagai hadist
ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fikih) di kalangan madzhab
Hanafi adalah: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan, ‘Ijma’.
Dalam analisis Muhammad Said Tanthowi, dasar atau prinsip ijtihad Hanafi
menyandarkan kepada, “kemudahan, toleransi, menghargai martabat manusia, kebebasan
berpikir, dan kemaslahatan umat.”
Berbagai pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain: Zhahir ar-
Riwayah dan an-Nawadir yang dibukukan oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Al-Kafi
yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi (w.
344 H), Al-Mabsut (syarah al-Kafi dan dianggap sebagai kitab induk mazhab Hanafi) yang
dibukukan pada abad ke-5 oleh Imam as-Sarakhsi, Al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn
Abi Laila, yang dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul
fiqh madzhab Hanafi.
Madzhab Hanafi sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan
dalam masalah pemanfaatan akal/logika dalam mengupas masalah fikih. Oleh para pengamat
dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah karena beliau sangat berhati-hati dalam
menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka
beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain
yang punya dalil nash syar’i. Selain itu, karena kurang tersedianya hadits yang sudah
diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits
palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau
hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-
Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
2. MADZHAB MALIKI (IMAM MALIK)
Imam Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir
ibn Amr ibn Haris ibn Gaiman ibn Kutail ibn Amr ibn Haris Al-Asbahi. Ia lahir di Madinah
pada tahun 93-179 H/712-796 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada Asbah salah satu kabilah di
Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan ia tinggal di sana. Kakeknya
tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan mengikuti perang bersamanya kecuali
perang Badar. Imam Maik dilahirkan pada zaman Khalifah Walid bin Abdul Muluk dan
meninggal pada zaman Harun ar-Rasyid di Madinah.
Kakek dan ayah Imam Malik termasuk ulama hadist terpandang di Madinah. Maka ia
mencari ilmu di kota kelahirannya dan ia merasa di Madinah adalah kota sumber ilmu yang
berlimpah dengan ulama-ulama besarnya. Kecintaannya terhadap ilmu menjadikan hampir
seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah (khalifah
al-Mansur, al-Mahdi, Harun ar-Rasyid, dan al-Makmun).
Perjalanan hidup Imam Malik tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hanifah, ia pernah
disiksa, diseret sampai bahunya terlepas, bahkan dipenjara karena sering menjelaskan hadist-
hadist sehingga masyarakat terdorong untuk memberontak dan tidak mau membaiat khalifah.
Pada masa akhir tuanya, ia menderita sakit dan sakitnya bertambah parah. Banyak orang yang
tidak tahu sakit yang diderita Imam Malik. Ia meninggal di Madinah (179 H) pada usia 86
tahun.
Dalam pemikirannya, prinsip dasar madzhab Maliki adalah: Al-Qur’an, Sunnah Nabi
SAW, ‘Ijma, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka),
Qiyas, Fatwa sahabat, Al-maslahah al-mursalah, ‘urf, Istihsân, Istishâb, Sad adz-dzarî’ah,
Syar’u man qoblana.
Kemudian Imam Asy-Syatibi menyederhanakan dasar fikih madzhab Maliki tersebut
dalam empat hal, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Rasio.
Alasannya: menurut imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di
zamannya merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-
maslahah al-mursalah, sadd adz-dzar’iah, istihsan, ‘urf, dan istishab. Menurut para ahli
ushul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih
mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
3. MADZHAB SYAFI’I (IMAM SYAFI’I)
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn
Ustman ibn Syafi ibn as-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib
ibn ‘Abd Manaf. Ia lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150 H (767-820M), berasal dari
keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis
keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek ketiga Rasulullah SAW).
Pada usia 30 tahun, Imam Syafi’i menikah dengan seorang wanita dari Yaman bernama
Hamidah binti Nafi’ yang merupakan seorang puteri keturunan khalifah Ustman bin Affan
(sahabat dan khalifah yang ke dua). Dari pernikahannya, ia mendapat tiga orang anak, satu
anak laki-laki (Muhammad bin Syafi’i yang menjadi qâdhi di Jazirah Arab), dan 2 anak
perempuan. Kecerdasan Imam Syafi’i telah terlihat ketika berusia 9 tahun. Saat itu ia telah
menghafal seluruh ayat al-Qur’an dengan lancar, bahkan sempat 16 kali khatam Al-Qur’an
dalam perjalanannya dari Mekah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab al-Muwaththa’
karangan Imam Malik yang berisikan 1.720 hadist pilihan dihafalnya di luar kepala. Imam
Syafi’i juga menekuni bahasa Arab di Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun,
kemudian kembali ke Mekah dan belajar fiqih dari seorang ulama besar (Imam Muslim bin
Khalid Azzanni) yang juga mufti kota Mekah pada saat itu. Kecerdasan inilah yang membuat
dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekah.
Meskipun ia menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’i lebih dikenal
sebagai ahli hadist dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu
tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari Nâshiru
Sunnah (pembela/penolong sunnah Nabi). Ia meninggal dunia setelah 6 tahun tinggal di
Mesir mengembangkan mazhabnya dengan jalan lisan dan tulisan serta sudah mengarang
kitab ar-Risâlah (dalam ushul fikih) dan beberapa kitab lainnya. Rab’i bin Sulaiman (murid
Imam Syafi’i) berkata, ”Imam Syafi’i berpulang ke rahmatullah sesudah shalat maghrib,
pada usia 54 tahun, malam jum’at, bertepatan dengan 24 Juni 819 M.
Keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fikih dan hadist pada zamannya diakui sendiri
oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup pada zaman meruncingnya pertentangan
antara aliran Ahlul hadist dan Ahlul ra’yi, Imam Syafi’i berupaya untuk mendekatkan kedua
aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam Maliki sebagai tokoh Ahlul hadits dan
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlul ra’yi.
Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’i menggunakan: Al-Qur’an, Sunnah
Rasulullah SAW, Ijma’ sahabat, Qiyas (tetapi dalam pengguanaannya tidak luas).
Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’.
Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi’i diawali melalui kitab ushul fiqhnya ar-Risâlah dan
kitab fikihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya
yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H) seorang ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail
bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).

Selain mazhab sunni terdapat pula mazhab syiah.

2.Syi'ah

Mazhab ini merupakan firkah resmi di Iran. Pada perkembangannya hanya tiga mazhab fikih
yang masih ada sampai sekarang, yaitu Itsna 'Asyariah (paling banyak diikuti), Ismailiyah
dan Zaidiyah. Di dalam akidah Syi'ah, Ahlulbait dan keturunannya dianggap berhak untuk
memegang tampuk kepemimpinan sebagai khalifah dan imam bagi kaum muslimin pengganti
Rasulullah.
Penutup

A. Kesimpulan

Madzab adalah Mazhab (bahasa Arab: ‫ ;مذهب‬mażhab) adalah penggolongan suatu hukum
atau aturan setingkat dibawah firkah, yang dimana firkah merupakan istilah yang sering
dipakai untuk mengganti kata "denominasi" pada Islam. Kata "mazhab" berasal dari bahasa
Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang
baik konkret maupun abstrak.

Terdapat beberapa contoh teori madzhab diantaranya sunni dan syiah. sunni sendiri
mempunyai beberapa madzhab besar diantara yaitu madzhab hanafi (imam abu hanifah),
Mazhab maliki (imam malik), dan mazhab syafi’i (imam syafi’i). Walupun berbeda ketiga
madzab tersebut tetap berpedoman pada al-qur’an.

B. Saran

Dalam pembahasan makalah ini kami yakin masih memiliki banyak kekurangan. Kami
berharap kritik dan saran kepada seluruh pembaca agar dalam pembuatan makalah yang akan
datang dapat terselesaikan dengan baik. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaiakan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk para pembaca.

Review :
Bagaimana jika di indonesia bermahdzab syafi'i apakah boleh jika dalam hal tertentu
mengambil hukum dari mahdzab lainnya?
Daftar pustaka:

1. Nurhakim, Agus. 2015. Pemikiran empat madzhab fiqih.


http://pusathukumislam.blogspot.com/2015/11/pemikiran-empat-madzhab-fikih.html?
m=1 diakses pada tanggal 18 april 2020.
2. Mazhab. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mazhab diakses pada tanggal 18 april 2020

Anda mungkin juga menyukai