Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak,
karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran
keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan
kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi.
perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah melahirkan pemikiran Islam bagi
karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat dominan
abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa.
Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata
bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan
Islam berikutnya.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah
awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, dikhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang
berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah LahirnyaMazhab
Secara bahasa, mazhab memiliki dua pengertian, pertama kata mazhab berasal dari kata
zahaba-yazhabu yang memiliki arti telah berjalan, telah berlalu, telah mati. Pengertian kedua
yakni, mempunyai arti suatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan adanya pemikiran,
oleh karena itu mazhab berarti yang diikuti atau dijadikan pedoman atau metode.[1]
Secara istilah, Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu
masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah:
mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-kaidah istinbath-
nya.[2]
Dapat penulis simpulkan bahwasannya mazhab diartikan sebagai alur pikir, pendapat,
kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham dan aliran-aliran dalam hukum yang merupakan
hasil ijtihad dari para Imam.
Secara umum, proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid
imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan
juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan
tersebarnya pendapat tersebut di kalangan masyarakat. Karena pada dasarnya, para Imam
mazhab tidak mengakui atau mengklaim sebagai mazhab. Secara umum, mazhab berkaitan
erat dengan nama imam atau tempat.[3]
Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka,
juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik. Mazhab Hanafi mulai
berkembang ketika Abu Yusuf, murid abu Hanifah diangkat menjadi Qadhi dalam pemerintahan
tiga khalifah Abbasyiah: Al-mahdi, Al-hadi dan Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah kitab yang disusun
atas permintaan khalifah Al-Rasyid dan kitab ini adalah rujukan pertama rujukan Hanafi.[4]
Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan al-Mansyur dan di khilafah barat
atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia.
Di Afrika, Al-Muiz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti Mazhab Maliki.
Mazhab Syafii membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu. Mazhab
Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak
mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan imam Ahmad Ibnu hambal. [5]
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat korelasi pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabiin
hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode berikutnya. Meskipun jumlah mazhab
tidak terbatas kepada empat mazhab besar yaitu: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.[6]
Thaha Jabir Fayad Al-Ulwani, menejelaskan bahwa mazhab fiqih islam yang muncul setelah
sahabat dan tabiin berjumlah tiga belas aliran. Tiga belas aliran itu beraliaran Ahli Sunnah. Akan
tetapi, tidak semua aliran tersebut dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukum yang
digunakan, kecuali Sembilan atau sepuluh dari ketiga belas imam tersebut. Diantaranya aliran
tersebut adalah:
1. Abu Said Al-Hasan ibn Yasar Al-Basri (w. 110 H)
2. Abu Hanifah Al-Numan ibn Tsabit Ibn Zuthi (w. 150 H)
3. Al-AuzaI Abu Amr Abdur Rahman Ibn Amr Ibn Muhammad (w. 157H)
4. Sufyan Ibn Said Ibn Masruq At-Tsauri (w. 160 H)
5. Al-Laits Ibn Sad (w. 175 H)
6. Malik Ibn Anas Albahi (w. 179 H)
7. Sufyan Ibn uyainah (w. 198 H)
8. Muhammad Ibn Idris As-SyafiI (w. 204 H)
9. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal (w. 241 H)
10. Daud Ibn Ali Al-Ashbahani Al-Baghdadi ( w. 270 H)
11. Ishaq Ibn Rahawai (w. 238 H)
12. Abu Tsawur Ibrahim Ibn Khalid Al-Kalabi
Mereka itulah yang dikenal dengan imam para mazhab. Inilah mazhab-mazhab fiqih yang
dikenal dikalangan sunni. Selain itu, terdapat pula mazhab-mazhab yang terkenal dalam
kelompok syiah, seperti Mazhab Zaidiyah, Mazhab Imamiyah, Mazhab Ismailiyah dan Mazhab
Abadiyyah.[7]
Secara umum, tiap-tiap Mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya
berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun perbedaan itu hanya
terbatas dalam masalah-masalah furuq, bukan masalah-maslah prinsipil atau pokok syariat.
Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Semua hukum yang berlawanan dengan kedua hukum tersebut wajib ditolak dan tidak
diamalkan. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan
berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat islam.[8]

B. Tokoh-tokoh Mazhab Fiqih yang Empat


1. IMAM ABU HANIFAH (80-150 H/699-767 M)
Imam Abu HAnifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin
Zufi At-Tamimi. Beliau masih memiliki pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin
Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi
keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama besar
seperti Abu Hanifah.[9]
Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul
Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana.
Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Quran. Selain memperdalam
Al-Quran, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh. Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul,
diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain
sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits.[10]
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai
gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni
Human bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam
Hnifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah.[11]
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya,
ahli zuhud, sangat tawadhu, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik
kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai
hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau
kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan
di pekuburan Khizra. Pada tahun 450 h/1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama
Jami Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup
banyak. Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin
Mubarrak, Waki bin Jarah Ibn Hasan Al-Syiabani, dan lain-lain. Sedang di antara kitab-kitab
Imam Abu Hainifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits, dikumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij
(buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan fiqh
Akbar (kitab fiqh yang lengkap).[12]

a. Sistematika Sumber Hukum Mazhab Hanafi


Abu Bakar Muhammad Ali Thaib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi menjelaskan
bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: aku (Abu Hanifah) mengambil
kitab Allah. Bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku tidak
menemukan pada kitab dan sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil
perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki.
Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka. Adapun
apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, As-Syaibani, Ibnu Sirin, Al-
Hasan, Atha, Said, dan abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang yang
telah berijtihad.[13]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
1. Kitab Allah (al-Quran)
2. Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur diantara para ulama yang ahlu.
3. Fatwa-fatwa dari sahabat.
4. Al-Qiyas
5. Al-Istihsan
6. Al-Urf[14]

b. Pola Pikir dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Hanafi


Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan
masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini sering
dihadapkan pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa memakai
ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan hijaz. Masyarakat daerah ini masih dalam suasana
kehidupan sederhana seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasinya, para fuqahah hijaz
cukup mengandalkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma para sahabat. Oleh karena itu mereka tidak
merasa perlu untuk berijtihad seperti fuqaha Iraq.
Sebaliknya Imam Abu Hanifah menghadapi persoalan kemasyarakatan di Iraq, yaitu daerah
yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari pusat informasi hadist Nabi. Jadi
terpaksa atau selalu menggunakan akal atau rasionya.[15]
Dapat penulis simpulkan bahwasannya imam hanafi dalam memutuskan hukum lebih
dominan menggunakan ijtihad dan akal yang berbeda dengan Imam-Imam Ahlul Hadis, yang
adakalanya tidak menerima ijtihad. Ini dikarnakan masyarakat di iraq telah mengenal kemajuan
peradaban dan jauh dari jauh kota sumber hadis.

2. IMAM MALIK BIN ANAS (93-179 H/712-795 M)


Imam Malik bin Anas, pendiri mazahab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H.
baliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu
pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Quran. Tak kurang dari itu ,
ibundanya sendir yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.[16]
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu.
Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping juga mempelajari ilmu
fiqh dari para sahabat. Setelah mencapai tingkatan yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam
Malik mulai mengajar, karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya
kepada orang lain yang membutuhkan.
Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam member fatwa. Beliau tak lupa untuk
terlebih dahulu menenliti hadis-hadis Rasulullah saw, dan bermusyawarah dengan ulam lain,
sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan bahwa beliau memiliki
tujuh puluh orang yang bisa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar 31
hadits dari Ibn Syihab tanpa menulisnya. Dan ketika diminta kepadanya untuk mengulangi
seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman
daya ingatannya, terlabih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits
secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya yang
member kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri pernah
berkata: Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah dicapai dengan hati yang taqwa dan khusyu.
Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: sebaik-baik
pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan,
maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu.
Tak pelak Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu
hadits dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut.
Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa, yang merupakan kitab hadis dan fiqh.
Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki tersebar
luas dan dianut di banyak bagian diseluruh penjuru dunia.[17]

a. Sistematika Sumber Hukum Mazhab


Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara
sistematis. Akan tetapi para muridnya atau mazhabnya meyusun sistematika imam Malik.
Sebagaimana qadhiiyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak, sebagai berikut: sesungguhnya
manhaj imam Dar-Alhijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam
kitabullah nash-nya ia mengambil As-sunnah (katagori As-Sunnah menurutnya hadits-hadits
nabi dan fatwa-fatwa sahabat, amal Ahli-Almadinah, al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd
adz-dzarai, al-urf, dan al-adat.[18]

b. Pola Pikir Dan faktor Yang Mempengaruhi Imam Malik


Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik lahir di Madinah yang di kenal sebagai
daerah Hadits dan tempat tinggal sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti hadits daripada
fuqaha lainnya. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih bernuansa kampung dan
sederhana, suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma sahabat sudah
cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan keputusan hukum. Di sini jelas, para fuqaha tidak
perlu lagi ijtihad dan rasio karena Madinah sebagai tempat asal dan dekat dengan Mekkah. Atas
hal ini wajarlah kalau Imam Malik lebih cenderung lebih menguasai hadits dan kurang
menggunakan rasio di banding Imam Abu Hanifah, karena faktor sosial dan budaya
masyarakat.[19]

3. IMAM SYAFII (150-204 H/769-820 M)


Imam Syafii, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafii adalah: Muhammad bin Idris
Asy-Syafii Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan
wafatnya Imam Abu Hanifah.[20]
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak
menjadikan beliau rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits
dari ulama-ulam hadits yang banyak terdapat di Mekkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau
juga telah hafal Al-Quran.[21]
Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Mekkah mempelajari Ilmu Fiqh dari Imam
Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali
lagi mempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam perantauannya
tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.
Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan
mengajarkan ilmu disana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan
beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafii memenuhi undangan
tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak orang belajar kepadanya.
Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.[22]
Tak lama setelah itu Imam Syafii kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jamah haji
yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah mazhab Syafii menjadi tersebar luas
ke seluruh dunia.
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke Negara Mesir. Beliau mengajar di Mesjid Amru bin As.
Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amaliqubra, Kitab Risalah, Ushul Al-fiqh, dan
memperkenalkan Waul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam penyusunan kitab Ushul Fiqh,
Imam Syafii dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang
tersebut.[23]
Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafii wafat setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada
banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih di baca orang, dan makam beliau di Mesir
sampai detik ini masih ramai di ziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal
diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya
Al-Muzani, Abu Yakub Yusuf bin yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya.[24]

a. Sistematika Sumber Hukum Mazhab


Pola pikir imam Asy-Syafii secara garis besar dapat di lihat dari kitab Al-Um yang
menguraikan sebagai berikut: ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah Al-
Quran dan As-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma ketika tidak ada dalam Al-
Quran dan As-Sunnah dan ketiga sahabat Nabi ( fatwa sahabi ) dan kami tahu dalam fatwa
tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka, keempat ikhtilaf sahabat Nabi, kelima qiyas yang
tidak diqiyaskan selain kepada Al-Quran dan As-Sunnah karena hal itu telah berada di dalam
kedua sumber, sesungguhnya mengambil ilmu dari yang teratas. [25]

b. Pola Pikir Dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Syafii


Faktor Pluralisme Pikiran : Imam As-Syafii lahir dan hidup sangat jauh berbeda dengan
imam sebelumnya. Pada masa Imam Syafii hidup, sudah banyak ahli fiqih, baik sebagai murid
Imam abu Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi berbagai pemikiran fiqh
fuqaha, baik dari Mekkah, Madinah, Irak, syam, dan Mesir menjadikan asy-syafii memiliki
wawasan yang luas tentang berbagai aliran pemikiran fiqih.[26]
Faktor Geografis: faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Asy-
Syafii lahir. Mesir adalah daerah kaya dengan warisan budaya Yunani, Persia, Rumawi dan
Arab. Kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikan pengaruh besar terhadap pola
pikir Imam Asy-syafii. Hal ini terlihat dari kitabnya Ilmu Mantiq yang di pengaruhi aliran
Aristoteles.[27]
Faktor Sosial Dan Budaya: faktor ini ikut mempengaruhi pola pikir Imam Syafii dengan
Qaul Qadhim dan Qaum Jadid. Qaul qadhim di bangun di Irak tahun 195 H. Di mana masa itu
Imam Syafii tinggal di Irak pada zaman pemerintahan Al-Amin. Setelah tinggal di Irak Asy-
Syafii melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir ia
bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umumnya adalah rekan Imam Malik.
Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafii mengubah beberapa pendapatnya yang
di sebut dengan Qaul Jadid. Dengan demikian Qaul qadhim adalah pendapat Imam Syafii yang
bercorak rayi sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.[28]

4. IMAM AHMAD HAMBALI(164 -241 H/780-855 M)


Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal
Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H (780M).[29]
Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal
ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia
sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan
minaat yang besar kepada ilmju pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad nerupakan kota
pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghagfal Al-Quran, kemudian belajar
Bahasa Arab, Hadits, sejarah para Nabi dan sahabat serta thabiin.[30]
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kalinya, disanalah beliau
bertemu dengan Imam Syafii. beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir.
Pada masa pemerintahan Al-Muktasim sampai khalifah Abbasiyah beliau sempat dipenjara,
karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Beliau
dibebaskan pada masa khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Aahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241
H (855 M) pada masa pemerintahan khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab Hambali
berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.[31]

a. Sistematika Sumber Hukum Mazhab


Cara Imam Hambali dalam memberikan fatwa tentang urusan agama dan hukum-hukum
yang berkenaan dengan agama sangat berhati-hati, baik dalam menjawab atau menjelaskan
hukumnya. Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban : Saya tidak tau atau belum tau atau
belum saya periksa, kalau memang belum jelas benar tentang perkara yang ditanyakan kepada
beliau. Adapun dasar-dasar hukum Imam Hambali adalah :
1. Al-Quran dan Hadist, yakni apabila beliau medapatkan Nash, maka beliau tidak lagi
memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang
menyalahinya.
2. Ahmad Ibnu Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilihi pendapat sahabat yang tidak
menyalahinya (Ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibnu Hanbal memilih salah satu pendapat mereka
yang lebih dekat kepada Al-Quran dan As-sunnah.
4. Ahmad Ibnu Hanbal menggunakan Hadist Mursal dan Dhaif apabila tidak ada aksar, qaul
sahabat atau ijma yang menyalahinya.
5. Apabila tidak ada dalam Nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat Masyhur, Hadist Mursal dan
Dhaif, Ahmad Ibnu Hanbal menganalogikan (menggunakan Qiyas) dan Qiyas bagi nya adalah
dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.[32]

b. Pola pikir dan faktor yang mempengaruhi Imam Hambali


Pesat nya perkembangan zaman tidak membuat Imam Hambali berpikir rasional, bahkan
hasil rumusannya lebih ketat dan kaku dibandingkan Imam Maliki yang tradisional. Paling tidak
ada dua faktor yang menjadikan Imam Hambali berpikir seperti itu.
Faktor munculnya berbagai aliran. Pada masa ini, aliran syiah, khawarij, qadariah dan
murjiah, semua aliran ini telah banyak keluar atau menyimpang dari ajaran islam yang
sebenarnya.[33]
Faktor politik dan budaya. Ahmad Ibnul Hanbal, hidup pada periode pertengahan
kekhalifahan Abbasyiah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada periode ini sering
kali timbul pergolakan, konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal kedudukan putra
mahkota dan khilafat antara anak-anak khalifah dan saudara-saudara nya. Saat itu aliran
Mutazilah berkembang, bahkan menjadi mazhab resmi Negara pada masa pemerintahan
Almakmun, Almutasim, dan Alwatsiq.[34]
Inilah faktor yang menyebabkan Imam Hanbali mengajak kepada masyarakat untuk
berpegang teguh kepada Hadist dan Sunnah. Sikap ini berbeda dengan Imam AsyafiI yang
melawan ijtihat rasional pada saat itu dengan memadukan hadist dan rasio. Sebaliknya, Imam
Hanbali justru berpendapat bahwa ijtihat itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang
teguh kepada hadist dan Sunnah.

C. Tujuan Mempelajari Perbandingan Mazhab


Setiap sesuatu hikmah dan tujuannya yang hendak dicapai atau diraih. Begitu pula lahirnya
ilmu perbandingan Mazhab, ia tidak bisa terlepas dari tujuan atau maksud yang hendak
disampaikan. Setidaknya ada dua tujuan yang hendak dicapai dalam mempelajari perbandingan
Mazhab yaitu tujuan secara praktis dan tujuan secara akademis.
Tujuan secara praktis, adalah tujuan yang bisa dirasakan baik oleh muqarrin (pelaku
perbandingan) atau masyarakat secara umum.
1. Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda
pendapat. Ini menandakan bahwa islam menghsargai kebebasan menyatakan pendapat. Pendapat
yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan atau perselisihan, tetapi sebagai tawaran
alternative untuk memberikan kemudahan dalam menyelesaikan persoalan dan realita hidup.
2. Dapat mendekatkan berbagai Mazhab disatu pihak, sehingga perpecahan umat dapat disatukan
kembali ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga terjalin persaudaraan islam.
3. Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang tak bisa
dihindari dimanapun ia berada.
4. Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari berbagai
pendapat imam Mazhab.
5. Dapat meneteramkan jiwa karena membandingkan adalah jalan yang mudah untuk mengetahui
cara-cara para Imam dalam menentukan hukum.[35]

Adapun tujuan secara akademik, sebagai tujuan yang syarat dengan unsur-unsur ilmiah, yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat, konsep teori dasar, akidah, kaidah, metode, teknis ataupun
pendekatan yang digunakan oleh tiap-tiap imam Mazhab Fiqih dalam menggali hukum islam dan
menetapkan hukumnya.
2. Untuk mengetahui betapa luasnya pemahaman ilmu fiqih dan betapa kayanya khazanah hukum
islam yang diwariskan oleh para imam Mazhab hamper tidak bias dihindari baik langsung
ataupun tidak langsung sebagai konsep perbandingan Mazhab.[36]

D. Analisis Penulis
Dari paparan diatas dapat penulis analisis bahwasannya perbedaan pendapat para Imam
dalam menetapkan hukum itu diakibatkan karena cara pandang seorang Imam terhadap suatu
masalah serta karena letak geografis tempat tinggal para Imam. Seperti halnya imam Hanafi,
Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan masyarakat
yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan
pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa memakai ijtihad dan
akal, dikarnakan didaerah tersebut sedikit orang yang menghafal hadis. Berbeda dengan imam
malik yang tinggal dimadinah, beliau dalam menetapkan hukum mengutamakan al-Quran, Hadis
dan kebiasaan masyarakat madinah, sebagaimana kita ketahui dimadinah merupakan tempat para
sahabat Nabi serta kebiasaan masyarakat madinah juga didasarkan pada kebiasaan Nabi dan Para
sahabat sehingga Imam maliki mengambil kebiasaan masyarakat madinah sebagai dasar dalam
memutuskan hukum.
Di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, beraqidah sunni dan
bermazhab syafii, hal ini disebabkan karena negara Indonesia bahkan sebagian besar negara
Islam di Asia tenggara telah memiliki ketetapan dari pemerintah untuk menganut hukum salah
satu mazhab fiqh yang empat yaitu mazhab syafii, bukan dalam artian bahwa mazhab lain itu
kurang salih dalam penetapan hukum, tetapi mazhab syafii merupakan mazhab yang pertama
dikenal di Indonesia pada saat masuknya Islam ke indonesia pada Abad ke 13. Perbedaan
mazhab dalam Islam itu bukan suatu keniscayaan tetapi sebagi suatu Rahmat. Dengan
mempelajari perbedaan dan perbandingan mazhab, dapat menimbulkan rasa saling menghormati,
toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat. Ini menandakan bahwa islam menghargai
kebebasan menyatakan pendapat. Pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang
permusuhan atau perselisihan, tetapi sebagai tawaran alternative untuk memberikan kemudahan
dalam menyelesaikan persoalan dan realita hidup.
Menurut penulis ummat Islam ini butuh untuk bermazhab, dengan bermazhab kita akan
terarah dan terbimbing, memiliki batasan dan akan mempermudah kita dalam melaksanakan
hukum. Para Imam mazhab dalam menetapkan suatu hukum beliau telah mengkaji seluruh Al-
Quran dan hadis kemudian baru mengistinbat kan suatu hukum, bukan menetapkan hukum
dengan menggunakan akal saja. Mungkin bagi sebagian mereka yang anti bermazhab akan
mengatakan, untuk apa kita mengikuti Imam syafii, bukankah yang harus kita ikuti adalah
Rasulullah?. Pertanyaan yang seperti itu adalah pertanyaan yang tidak ilmiah, yang maksudnya
adalah bukan berarti ketika kita mengikuti mazhab syafii kita telah meninggalkan Sunnah
Rasulullah. Karena dalam menetapkan Hukum Imam Syafii juga menggunakan Hadis-hadis
nabi bahkan beliau mengatakan, Apabila ada Hadis yang Sahih maka itulah mazhab saya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu masalah atau
tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah: mengikuti hasil
ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-kaidah istinbath-nya.
Proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid imam mazhab
yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga
disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya
pendapat tersebut di kalangan masyarakat.
Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka,
juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik.
Secara umum, tiap-tiap Mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya
berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun perbedaan itu hanya
terbatas dalam masalah-masalah furuq, bukan masalah-maslah prinsipil atau pokok syariat.
Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Semua hukum yang berlawanan dengan kedua hukum tersebut wajib ditolak dan tidak
diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Asy-Syarbani, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Semarang : Amzah, 1991)

Dedi Supriadi Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008).

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, jilid 2, (Jakarta: UI-Press, 1985).

Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, (Bandung : PT. Mizan, 2007).

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002).

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta : Pt. Lentera Basritama, 1999).
Note :(judul) sejarah munculnya mazhab fiqih dan geografi tokoh

-judul

-daftar isi

-pendahuluan bab 1

-rumusan masalah bab 2

-uraian bab 3

-penutup bab 4

a.kesimpulan

b.saran

c.daftar pustaka

disusun oleh kelompok A :

ketua: ulfa zahara (2217040)

sekretaris: anisa maulidani(2217041)

anggota: 1 nurmasyitah (2217099)

2 elisa (2217048)

3 siti zulaikha aulia rahmah (2217057)

4 maifira (2217037)

5 devi yuna (2217032)

6 hayati safur (2217060)

7 siti Fatimah zura (2217039)

Masukan logo dan alamatnya untuk kover judul paling atas

Anda mungkin juga menyukai