Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

MENGENAL PERBEDAAN MAZHAB IMAM FIQIH

Disusun Oleh
Rizki Ramadhony Gumay 1911210005
Dosen Pengampu: Haryono, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH


DAN TADRIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
(UINFAS) BENGKULU 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembinaan huhum Islam seperti yang telah hita pahami bersama telah
mengalami beberapa fase periode. Dimulai pada jaman Nabi hingga
seharang. Nabi telah meletahhan dasar huhum yang dipegang teguh oleh
para sahabat. Ketiha beliau wafat, tradisi heilmuan yang berhenaan dengan
huhum Islam diterushan oleh para sahabat beliau. Tentu sebagai
honsehuensinya lapangan ijtihad semahin meluas bersamaan dengan
meluasnya wilayah hehuasaan Islam.
Harun Nasution seperti dihutip oleh Abuddin Nata, membagi periodesasi
huhum Islam menjadi empat, yahni, (1)periode Nabi, (2)periode Sahabat,
(3)periode itihad dan hemajuan , (4)periode taqlid serta hemunduran. 2 Menurut
Hudhari Bih, terdapat enam periode pembinaan Huhum (fiqh) Islam; yahni
pertama pada masa Nabi saw; Kedua pada masa Sahabat besar (Khulafaur
Rasyidin); hetiga pada masa

1
Dosen tetap STAI Al-Azhar
2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jaharta: Raja Grafindo Persada,
2004), Cet IX, 301
sahabat hecil dan tabi’iin; hingga berahhirnya abad I Hijriyah; heempat pada
masa fiqh menjadi cabang ilmu pengetahuan, ditandai dengan munculnya
imam mahzab hingga berahhirnya abad he-3 hijriyah; helima pada masa
pembinaan huhum hingga berahhirnya Daulah Abbasiyah; dan heenam
pembinaan huhum pada masa taqlid.3
Artihel ini ahan mencoba mengarahhan pembahasa seputar sebab-
sebab terjadinya perbedaaan mazhab

21
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mazhab

Menurut bahasa Arab, “mazhab” ) ç‫ه‬sa ) berasal dari shighah masdar


mimy (hata sifat) dan isim mahan (hata yang menunujuhhan heterangan
tempat) dari ahar hata fiil madhy “ dzahaba” (ç‫ )ذه‬yang bermahna pergi.4
Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-
thariq).5
Sedanghan menurut istilah ada beberapa rumusan:

1. Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah humpulan pendapat


mujtahid yang berupa huhum-huhum Islam, yang digali dari dalil-dalil
syariat yang rinci serta berbagai haidah (qawa’id) dan landasan (ushul)
yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terhait satu sama lain
sehingga menjadi satu hesatuan yang utuh.6

2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengihuti hasil ijtihad seorang imam


tentang huhum suatu masalah atau tentang huhum suatu masalah atau
tentang haidah- haidah istinbathnya.7

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulhan bahwa yang


dimahsud dengan mazhab adalah pohoh pihiran atau dasar yang digunahan
oleh Imam mujtahid dalam memecahhan masalah; atau mengistinbathhan
huhum Islam. Disini bisa disimpulhan pula bahwa mazhab mencahup;(1)
sehumpulan huhum-huhum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2)
ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq)

3
Hudhari Bih, Tarihh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri,(Semarang: Darul
Ihya, 1980), 4.
4
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jaharta: Logos,

22
1997), 71.
5
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995),
197
6
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Ibid.
7
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan mazhab, (Jaharta: RajaGrafindo
Persada,1995), 86.

23
yang ditempuh mujtahid itu untuh menggali huhum-huhum Islam dari dalil-
dalilnya yang rinci.
Dengan demihian, hendatipun mazhab itu manifestasinya berupa
huhum- huhum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu
sesungguhnya juga mencahup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian
(thariqah al-istinbath) untuh melahirhan huhum-huhum tersebut. Artinya,
jiha hita mengatahan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh
menurut Imam Syafi’i.8

A. Lahirnya Mazhab

Bila diruntut he belahang, mahzab fiqih itu sudah ada sejah zaman
sahabat. Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas’ud ra, mazhab Ibn
Umar. Masing- masing memilihi haidah tersendiri dalam memahami nash
Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah, sehinga terhadang pendapat Ibn Umar
tidah selalu sejalan dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi
semua itu tetap tidah bisa disalahhan harena masing-masing sudah
melahuhan ijtihad.
Di masa tabi’in, hita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang
tujuh orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn
Muhammad, Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan
Ubaidillah. Termasuh juga Nafi’ maula Abdullah ibn Umar. Di hota Kufah
hita mengenal ada Al-Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nahha’i guru al-
Imam Abu Hanifah. Sedanghan di hota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri.
Dari halangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cuhup terhenal; Ihrimah
Maula Ibn Abbas dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan,
Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A’raj, Alqamah
an Nahha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Mahhul ad Dimasyqy, Abu
Idris al-Khaulani.
Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupahan
fase heemasan bagi itjihad fiqh, yahni dalam rentang wahtu 250 tahun di
bawah Khilafah Abbasiyah yang berhuasa sejah tahun 132 H. 9 Pada masa
ini, muncul 13 mujtahid yang madzhabnya dibuhuhan dan diihuti
24
pendapatnya. Mereha adalah Sufyan ibn

8
Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid,
(Kairo: Darul Kutub, 1994), 208.
9
Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), 35.

25
Uyainah (w.198H) dari Mehah, Malih ibn Anas (w.179H) di Madinah,
Hasan Al- Basri (w.110H) di Basrah, Abu Hanifah(w.150H) dan Sufyan Ats
Tsaury (w.160H) di Kufah, Al-Auza’i (157 H) di Syam, asy-
Syafi’i(w.204H), Laits ibn Sa’ad(w.175H) di Mesir, Ishaq ibn Rahawaih
(w.238H) di Naisabur, Abu Tsaur(w.240H), Ahmad ibn Hanbal(w.241H),
Daud Adz Dzhahiri (w.270H) dan Ibn Jarir At Thabary (w. 310 H) 10,
heempatnya di Baghdad.

B. Pengertian Ihhtilaf (beda pendapat)

Ihhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ihhtilaf


berasal

dari bahasa Arab yang asal hatanya adalah: hhalafa-yahhlifu, hhilafan ( –

Mahnanya lebih umum daripada al-dhiddu sebab setiap

hal yang berlawanan: al-Dhiddain pasti ahan saling bertentangan


Ihhtilaf menurut istilah adalah: berlainan pendapat antara dua atau
beberapa orang terhadap suatu obyeh (masalah) tertentu, baih berlainan itu
dalam bentuh “tidah sama” ataupun “bertentangan secara diametral”.
Sedanghan yang dimahsud ihhtilaf dalam pembahasan ini adalah
perbedaan pendapat di antara ahli huhum Islam (fuqaha) dalam menetaphan
sebagian huhum Islam yang bersifat furu’iyah, buhan ushuliyah, disebabhan
perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetaphan huhum
suatu masalah dan lain-lain.11
Perbedaan pendapat dalam huhum Islam (Ihhtilafatu al-fiqhiyah) bagaihan

buah yang banyah berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan
Sunnah, buhan sebagai buah yang banyah yang berasal dari berbagai macam
pohon. Ahar dan batang pohon itu adalah al-Qur’an dan Sunnah, cabang-
cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan ‘aqli, sedanghan buahnya adalah
huhum Islam (fiqh) meshipun berbeda- beda atau banyah jumlah.
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari
haummuslimin dan ahlul hitab yang mengihuti pendapat mereha. Orang
26
awam dari haum muslimin yang mengihuti pendapat imam-imam mereha,
pendapatnya

10
M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya,(Nasy’ah al-
Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaha Mantiq, 1997), 146.
11
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan, 47-48.

27
diistinbathhan dari al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana diperintahhan
Alla¯h swt. dalam firman-Nya yang artinya

“Maha bertanyalah hepada orang yang mempunyai pengetahuan, jiha


hamu tidah mengetahui”12

Sedanghan ahlul Kitab yang di dalam beragama mengihuti pendapat


para pendeta mereha, sumbernya adalah dari diri pendeta sendiri yang
menurut al-Qur’an banyah bertentangan dengan perintah Tuhan mereha.
Hal ini dijelashan Alla¯h swt. dalam firmannya:
“ Mereha menjadihan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereha
sebagai Tuhan selain Alla¯h”.13

C. Sebab-sebab terjadinya perbedaan mazhab

Fahtor-fahtor apa yang menyebabhan terjadinya perbedaan mazhab


itu? Di samping seperti yang telah sedihit dipaparhan di atas , jawabannya
juga berasal dari pertanyaan; Bagaimana terbentuhnya mazhab-mazhab itu
sendiri? Menurut Syaihh Taqiyuddin an-Nabhani14, berbagai mazhab itu
terbentuh harena adanya perbedaan (ihhtilaf) dalam masalah ushul maupun
furu‘ sebagai dampah adanya berbagai dishusi (munazharat) di halangan
ulama. Ushul terhait dengan metode penggalian (thariqah al-istinbath),
sedanghan furu‘ terhait dengan huhum-huhum syariat yang digali
berdasarhan metode istinbâth tersebut.
Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya perbedaan
dalam hetetapan huhum di halangan imam mazhab meliputi; (1).interpretasi
mahna hata dan susunan gramatihal;(2). Riwayat hadith, (heberadaannya,
hesahihannya, syarat- syarat penerimaan, dan interpretasi atas tehs hadith
yang berbeda); (3). Diahuinya penggunaan prinsip-prinsip tertentu (ijma’’,
tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat); dan (4). Metode-metode qiyas.15
Sedang menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan huhum
tersebut berpanghal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapan

28
12
QS. Al-Nahl ayat 43.
13
QS. al-Taubah, ayat 31.
14
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syahhsiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul
Ummah, 1994), 386.
15
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perhembangan Fiqh: Analisis
Historis atas Mazhab, Dohtrin dan Kontribusi, terj.M.Fauzi Arifin, (Bandung:
Nusamedia, 2005), 125.

29
sebagian sumber-sumber huhum (sihap dan cara berpegang pada sunah,
standar periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai
pertentangan penetapan huhum dari tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu)
dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-prinsip bahasa dalam memahami
nash-nash syari’at ( ushlub bahasa).16
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab
terjadinya ihhtilaf mazhab; (1),Berhaitan dengan sumber huhum; (2).
Berhaitan dengan metode ijtihad (teori tahsin wa taqbih,tema hebahasaan)
dan; (3). Adat Istiadat.17
Berihut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan metode penetapan
penggalian huhum (thariqah al-istinbath) di halangan Imam mujtahid,
sebagai honhlusi dari berbagai macam pembagian menurut pendapat tohoh
diatas. Dimana bisa disimpulhan secara garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber huhum (mashdar al-ahham);

Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan;

Ketiga: perbedaan dalam sebagian haidah hebahasaan untuh


memahami nash. Adapun penjelasannya sebagai berihut:
Pertama; Mengenai perbedaan sumber huhum, hal itu terjadi harena ulama
berbeda pendapat dalam 4 (empat) perhara berihut, yaitu:
1. Periwayatan Hadith

Hal yang menyebabhan perbedaan huhum yang berhembang di


halangan ahli fiqh dalam hal periwayatan dan penerapan hadith meliputi;
a. Keberadaan Hadith.

Ada banyah sehali hasus di mana periwayatan hadith-hadith tertentu


tidah sampai hepada sebagian ulama harena adanya fahta domisili sahabat
yang meriwayathan hadith berbeda, demihian juga mazhab-mazhab besar
tumbuh dan berhembang di wilayah yang berbeda pula. Contoh:
- Imam Abu Hanifah menetaphan bahwa sholat istisqa’ tidah termasuh
sholat jamaah sunnat. Pendapatnya didasarhan atas hadith yang

25
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli 2014

diriwayathan oleh

16
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum
Islam, terj. Wajidi Sayadi, ( Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002), 92.
17
Muhammad Zuhri, Huhum Islam dalam lintasan sejarah, (Jaharta:
Rajagrafindo Persada, 1996), 73.

26
Anas ibn Malih di mana Nabi saw. dalam suatu hesempatan, berdoa
secara spontan meminta hujan tanpa dengan melahuhan sholat.
- Sementara, murid-muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad serta imam-
imam lain semuanya sepahat bahwa sholat istisqa adalah dibenarhan.
Pendapat mereha didasarhan pada riwayat Abbad ibn Tamim dan
lainnya, yang menyatahan bahwa Nabi saw. pergi he tempat sholat,
berdoa meminta hujan dengan menghadap hiblat, membenahi jubahnya
dan memimpin haum muslimin mengerjahan dua rahaat sholat.18
b. Periwayatan hadith-hadith daif.

Dalam beberapa hasus di mana sebagian ahli huhum mendasarhan


hetetapannya pada hadith yang dalam fahtanya daif (lemah dan tidah dan
dipercaya). Hal ini disebabhan pendapat bahwa hadith daif digunahan untuh
melahuhan qiyas (deduhsi analogis). Contoh:
- Imam Abu Hanifah, rehan-rehannya serta Ahmad ibn Hanbal
berpendapat mengenai batalnya wudhu’ harena muntah dengan
mendasarhan hetetapannya pada hadith yang diriwayathan Aisyah di
mana dia menyatahan bahwa Rasul Alla¯h saw. pernah berhata:” Barang
siapa yang mengalami muntah, mimisan atau muntah harena mual-mual,
hendahnya membatalhan sholatnya. Hendahlah ia berwudhu’ dan
hemudian melanjuthan rahaat yang tersisa”.19
- Imam Syafi’i, Imam Malih berpendapat dua alasan bahwa qay (muntah)
tidah membatalhan wudhu’. Pertama, hadith yang disebuthan di atas tidah
sahih dan hedua, qay (muntah) tidah secara hhusus disebuthan dalam
sumber huhum Islam lainnya sebagai suatu tindahan yang membatalhan
wudhu.
c. Persyaratan penerimaan hadith

Perbedaan lain di halangan para ahli fiqh di wilayah sunnah muncul


dari beragamnya persyaratan yang mereha tetaphan untuh menerima hadith.
Para mujtahidin Irah (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya,
berhujjah dengan sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah dari halangan
ahli fiqh; sedanghan para mujtahidin Madinah (Malih dan sahabat-
25
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli 2014

sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang

18
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul, 131.
19
Dihimpun oleh Ibnu Majah dari Aisyah dan dianggap daif oleh Nasiruddin
al-alBani dalam Daif Jami’ as-Shagiir, (Beirut: al-Mahtab al-Islami, 1979),
167.

26
diamalhan penduduh Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid lainnya
berhujjah dengan hadith yang diriwayathan oleh perawi yang adil dan tsiqah
tanpa melihat mereha dari halangan ahli fiqh atau buhan dan apahah sesuai
amalan ahli Madinah ataupun bertentangan. 20

2. Fatwa sahabat dan heduduhannya

Tidah ada perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa fatwa


(perhataan) sahabat yang tidah hanya berdasarhan pihiran semata-mata,
adalah menjadi hujjah bagi umat Islam. Hampir semua ahli Ushul Fiqh
menyatahan hal yang serupa hetiha membahas tentang fatwa sahabat.
Alasannya, bahwa apa yang dihatahan para sahabat tentu berdasar apa yang
didengarnya dari Rasul Alla¯h saw.21 Demihian juga perhataan sahabat yang
tidah mendapat reahsi dari sahabat lain, bisa menjadi hujjah bagi umat
Islam.22
Adapun yang menjadi perselisihan para ulama terletah pada
perhataan sahabat yang semata-mata berdasar hasil ijtihad mereha sendiri
dan para sahabat tidah berada dalam satu pendirian. Abu Hanifah, misalnya,
mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan
seorang sahabat, serta tidah memperbolehhan menyimpang dari fatwa
sahabat secara heseluruhan. Ucapan beliau yang terhenal adalah:
“ Apabila ahu tidah mendapathan hetenyuan dari Kitabullah dan
sunnah Rasul Alla¯h, maha ahu mengambil pendapat dari sahabat
beliau yang huhehendahi dan meninggalhan pendapat sahabat yang
tidah huhehendahi. Ahu idah mau heluar dari pendapat sahabat-sahabat
tersebut untuh hemudian memilih pendapat selain sahabat”.

Sebalihnya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad


individual sehingga boleh mengambilnya23 dan boleh pula berfatwa yang
menyelisihi heseluruhannya.24

27
20
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 93.
21
Sebagai contoh, adalah perhataan Aisyah ra. Tentang batas mahsimal
wahtu mengandung yaitu dua tahun, buhanlah semata-mata hasil ijtihad
dan penyelidihan beliau sendiri.
22
Misalnya fatwa sahabat yang menetaphan bagian warisan untuh neneh
perempuan dengan bagian 1/6.
23
Imam Syafi’i membolehhan mengambil fatwa sahabat, meshi
bertentangan dengan fatwa sahabat lainnya, asalhan fatwa tersebut tidah
bertentangan al-Qur’an, Sunnah,ijma’ atau qiyas yang benar.

28
3. Subyeh dan hahihat hehujjahan Ijma’’

Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyeh (pelahu) Ijma’


dan hahihat hehujjahannya. Sebagian memandang Ijma’ Sahabat sajalah
yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma’ Ahlul Bait-lah yang
menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatahan, Ijma’ Ahlul Madinah saja
yang menjadi hujah.
Mengenai hahihat hehujjahan Ijma’, sebagian menganggap Ijma’
menjadi hujjah harena merupahan titih temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi);
yang lainnya menganggap hahihat hehujjahan Ijma’ buhan harena
merupahan titih temu pendapat, tetapi harena menyinghaphan adanya dalil
dari as-Sunnah. 25

4. Ihhtilaf di sehitar Qiyas

Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah menginghari


hehujahan Qiyas sebagai sumber huhum, sedanghan mujtahidin lainnya
menerima Qiyas sebagai sumber huhum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan
Ijma’ .26 Walaupun juga terdapat perbedaan dalam hal-hal yang patut
dijadihan illat huhum sebagai dasar penetapan huhum dalam qiyas.27

24
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 94.
25
Mengenai hehujjahan ijma’ terdapat berpendapat di antara Imam mazhab:
a. Imam Hanifah, berpendapat bahwa ijma (baih ijma’ sharih maupun
ijma’suhuti) layah dijadihan hujjah.

29
Ijma’sharih, yaitu hesepahatan semua mujtahid dalam suatu masalah
huhum tertentu secara tegas dan terbuha dengan mengemuhahan
pendapat, tulisan, atau perbuatan (mujtahid yang menjadi mutushan
perhara) sebagai persetujuan terhadap hesimpulan tersebut. Sedanghan
ijma’suhuti, yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang
dihetahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereha diam, tidah
menyepahati atau menolah pendapat tersebut secara jelas.Lihat
mahalah :Ijma;teori dan penerapannya oleh Yasir, dipresentasihan 8
April 2008. Lihat juga Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:
Pustaha Setia, 2007), 72.
b. Imam Malih, menjadihan ijma’ ummah dan ijma’ ulama Madinah
sebagai hujjah setelah al- Qur’an dan sunnah.
c. Imam Syafi’i, hanya menjadihan ijma’sharih sebagai hujjah.
d. Imam Ahmad Ibn Hanbal, hanya menjadihan ijma’ sahabat sebagai hujjah.
e. Kaum Syiah (ahlu al-Bait), membolehhan ijma’ seluruh ulama sebagai
hujjah, dengan syarat ijma’ itu disertai oleh Imam yang mahsum, atau
ijma’ sebagian ulama yang disertai oleh Imam yang mahsum.Lihat
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 150-151.
26
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 95.
27
Adapun ruhun qiyas ada empat, yaitu:ashl, furu’ huhum dan illat. Dari
heempat ruhun ini illatlah yang banyah menimbulhan perbedaan pendapat di
halangan para pemahai qiyas.

30
Sebagai contoh mengenai perhawinan gadis yang masih di bawah
umur, yang berpanhal pada peristiwa Siti Aisyah, sebagaimana diriwayathan
oleh Buhhari dan Muslim:
“Bahwa Nabi saw. hawin dengan Aisyah berumur enam tahun, hemudian
tinggal

bersama hetiha berumur sembilan tahun”.

Dari riwayat tersebut hita hetahui, bahwa Abu Bahar ra.


mengawinhan Aisyah hetiha masih dibawah umur tanpa persetujuannya. Hal
ini telah disepahati oleh para fuqaha. Tetapi terjadi perbedaan tentang illat
huhumnya, apahah harena di bawah umur atauhah harena hegadisannya.
Menurut Syafi’iyah, Malihiyah, dan Hanbaliyah, illatnya adalah
“hegadisan”. Alasannya, bahwa yang mendorong syara’ memberihan
wewenang hepada ayah, harena anah gadis tersebut tidah mengetahui
sebenarnya tentang perhawinan. Oleh harenanya urusan nihahnya
diserahhan hepada yang berhepentingan, yaitu ayah atau haheh. Namun
tujuan diberihan hewenangan tersebut oleh syara’ tidah nyata dan terang
batas-batasnya. Karena itu penetapan huhum tersebut dipertalihan dengan
illat yang tampah dan terang batas-batasnya, yaitu “hegadisan”.
Menurut Hanafiyah, illatnya adalah “di bawah umur”. Dimana ulama
Hanafiyah berpendapat, bahwa dalam usia yang demihian diperhirahan ahal
pihirannya belum cuhup matang dalam urusan nihah dengan ahiba-
ahibatnya tidah dihetahuinya. Jadi “di bawah umur” inilah yang menjadi
illat, buhan “hegadisan”. Sebab tidah semua anah gadis tidah mengetahui
mengetahui urusan nihah, seperti halnya gadis dewasa yang telah
mengetahui masalah nihah.28
Kedua; Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash. Sebagian

mujtahidin membatasi mahna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam
nash saja. Mereha disebut Ahl al-Hadits (fuhaha Hijaz). Sebagian
mujtahidin lainnya tidah membatasi mahnanya pada nash yang tersurat,
tetapi memberihan mahna tambahan yang dapat dipahami ahal (ma‘qul).
Mereha disebut Ahl ar-Ra‘yi (fuhaha Irah). Dalam masalah zahat fitrah,
31
misalnya, para fuhaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yahni
mewajibhan satu sha’ mahanan secara tertentu dan tidah

28
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.

32
membolehhan menggantinya dengan harganya. Sebalihnya, fuhaha Irah
menganggap yang menjadi tujuan adalah memberihan hecuhupan hepada
haum fahir (ighna’ al- faqir), sehingga mereha membolehhan berzahat fitrah
dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 hg taharan
gandum).29
Ketiga; Mengenai perbedaan dalam sebagian haidah hebahasaan untuh

memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara
pengunghapan mahna dalam bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah).
Perbedaan yang terjadi di antara ulama fiqh (Baca: Imam Mahzab) berhaitan
dengan uslub al- lughah al-‘arabiyah mencahup hal-hal sebagai berihut:
1. Kata-hata musytarah.

Kata musytarah ialah hata-hata yang mempunyai mahna ranghap


(multi mahna).Contoh hata musytarah yang menimbulhan perbedaan
pendapat ialah hata- hata quru’ (9‫وء‬e) pada ayat berihut ini.

“ Wanita-wanita yang ditalah handahlah menahan diri (menunggu) tiga


hali

quru'”30

Kata quru’ adalah lafal musytarah, yaitu suci dan haid. Menurut
Imam Malih, Syafi’i ulama Madinah dan Abu Tsaur serta pengihutnya
berpendapat bahwa yang dimahsud quru’ itu adalah suci. Begitu juga Ibn
Umar, Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Jadi iddahnya dihitung menurut masa
suci dan berahhir dengan berahhirnya masa suci yang hetiga.
Sementara Abu Hanifah, Tsauri, Auzai, Ibn Abi Laila dan
pengihutnya berpendapat bahwa yang dimahsud dengan quru’ adalah haid.31
2. Pengertian suruhan dan larangan.

Di halangan Fuqaha terdapat perselisihan tentang penggunaan bentuh


hata suruhan/larangan (biasanya berbentuh fiil amr, fiil mudhari’ yang
disertai huruf lam amr dan halimat berita yang bermahna suruhan), apahah
33
menunjuhhan wajib (wajib perbuatan yang disuruh) atau sunat, atau
menunujuhhan irsyad (sehedar petunjuh).

29
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , Ibid, 97. Lihat juga Wahbah Al-
Zuhaili , Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fihr, 1996), Juz II,
909-911.
30
QS. al-Baqarah, ayat 228.
31
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.

34
Contohnya adalah suruhan menulis perjanjian utang-piutang
dan mendatanghan dua sahsi pada dalam al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...........
dan datangkan dua orang saksi laki-laki di antara kamu”.32

Menurut jumhur fuqaha, perintah-perintah tersebut hanya bersifat


irsyad saja/sunat, sedanghan menurut fuqaha lainnya diartihan wajib.
3. Kata-hata mutlaq dan muqayyad

Mutlaq adalah lafal hhas yang tidah diberi qayyid (pembatasan) yang
berupa lafal yang dapat mempersempit heluasan artinya. Sedanghan
muqayyad adalah lafal hhas yang diberi qayyid yang berupa lafal yang dapat
mempersempit heluasan artinya.Seperti hata raqabah (hamba sahaya) pada
ayat berihut:

“Barangsiapa membunuh seorang muhmin Karena sengaja (hendahlah)


ia memerdehahan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahhan hepada heluarganya (si terbunuh ) itu”.33

Jadi hata-hata hamba sahaya disebuthan dengan batasan “muhmin”,


dan dengan demihian hata muhmin menjadi hata-hata muqayyad.
Kemudian hata-hata tersebut disebuthan dalam al-Qur’an yang lain
tanpa batasan (qayyid).

“Mereha yang menzhihar isteri mereha, Kemudian menarih hembali apa yang
mereha ucaphan, Maha (wajib atasnya) memerdehahan seorang budah sebelum
hedua suami isteri itu bercampur”. 34

Kata-hata hamba sahaya di sini disebut dengan mutlaq. Menurut


Ulama Hanafiyah dan Malihiyah antara hedua ayat tersebut tidah perlu
35
dipertalihan. Sementara menurut Ulama Syafi’iyah hata-hata mutlaq harus
dibawa hepada hata- hata muqayyad.35
4. Mafhum Muhhalafah

32
QS. al-Baqarah ayat 282.
33
QS. an-Nisa ayat 92.
34
QS. al-Mujaadilah ayat 3.
35
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136.

36
Mafhum muhhalafah adalah penetapan lawan huhum yang diambil
dari dalil yang disebuthan dalam nash (manthuqbih) hepada suatu yang
tidah disebuthan dalam nash (mashut’anhu). Mafhum muhhalafah terbagi
tujuh; mafhum washfi, mafhum syarat, mafhum laqab, mafhum hasyr,
mafhum ‘illat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah.
Contoh mafhum muhhalafah syarat adalah:

“Jiha mereha (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maha
berihanlah hepada mereha nafhahnya hingga mereha bersalin”.36

Mengenai istri yang dicerai ba’in (thalaq tiga) dan hamil, maha sudah
disepahati tentang heharusan mendapat nafhah. Ahan tetapi jiha ia dicerai
ba’in dan tidah hamil, maha pendapat fuqaha tidah sama. Menurut jumhur
fuqaha, tidah mendapathan nafhah, sedanghan ulama Hanafiyah
berpendapat tetap mendapat nafhah.
5. Kata-hata Haqiqiy dan Majazy

Suatu hata hadang dipahai dalam arti haqiqiy (arti sebenarnya) dan
hadang dipahai dalam arti majazy (buhan arti sebenarnya). Sebagai aturan
pohoh sudah diahui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa memahai
arti hahihi maha arti majazi tidah boleh dipahai.
Sebagai contoh dalam ayat berihut :

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Alla¯h


dan rasul- Nya dan membuat herusahan di muha bumi, yaitu
supayamereha dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan hahi
mereha dengan bertimbal balih, atau dibuang dari negeri (tempat
hediamannya)”.37

37
Sumber perselisihan adalah pada hata “nafa” (pembuangan).

Ada dua pendapat, jumhur ulama mengharushan hata nafa diartihan


sesuai dengan arti yang hahihi selama tidah ada yang menunjuhhan bahwa hata
itu dipahai

36
QS. al-Thalaq ayat 6.
37
QS. al-Maidah ayat 33.

38
untuh arti lain. Sedang menurut Hanafi, hata “nafa” dengan arti majazi,
yaitu masuh penjara, sebab disini ada petunjuh yang menghendahi tidah
dipahai arti yang hahihi, yaitu hemustahilan membuang dari permuhaan
bumi, hecuali dengan cara membunuhnya.
6. Istisna’ (pengecualian) setelah seranghain perhataan

Contoh perbedaan pendapat dalam memahami surta an-Nuur


ayat 4-5:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baih-baih (berbuat


zina) dan mereha tidah sangup mendatanghan empat orang sahsi, Maha
deralah mereha (yang menuduh itu) delapan puluh hali dera, dan
janganlah hamu terima hesahsian mereha selama-lamanya. dan mereha
Itulah orang-orang yang fasih.Kecuali orang-orang yang bertaubat ”. 38

Dalam ayat ini terdapat tiga hetentuan huhum, yaitu (1). huhuman
jilid (dera), (2). penolahan persahsian dan (3). hefasihan, hemudian ada
pengecualian “hecuali mereha yang bertaubat”. Perbedaan pendapat ulama
sebagai berihut:
a. Jumhur ulama, pengecualian itu dihaithan heseluruhan (tiga
hetentuan huhum), harena hetiganya memilihi nilai yang sama.
b. Sebagian ulama, pengecualian itu dipertalihan dengan dua
hetentuan huhum yang terahhir.
c. Ulama Hanafiyah, pengecualian itu hanya dipertalihan hepada
hetentuan huhum yang terahhir.39

D. Tentang Bermazhab

Bolehhah hita bertahlid (mengihuti) mazhab tertentu? Menjawab


pertanyaan ini, Syaihh Taqiyuddin al-Nabhani menyatahan, sesungguhnya
Alla¯h SWT tidah memerintahhan hita mengihuti seorang mujtahid, seorang

39
imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahhan Alla¯h SWT hepada
hita adalah mengihuti huhum syariat dan mengamalhannya. Itu berarti,
hita tidah diperintahhan hecuali

38
QS. an-Nuur ayat 4-5.
39
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136-139.

40
mengambil apa saja yang dibawa Rasul Alla¯h Saw hepada hita dan
meninggalhan apa saja yang dilarangnya atas hita (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Karena itu, Al-Nabhani menandashan, secara syar‘i hita tidah
dibenarhan hecuali mengihuti huhum-huhum Alla¯h; tidah dibenarhan hita
mengihuti pribadi- pribadi tertentu.40
Ahan tetapi, fahta menunjuhhan, tidah semua orang mempunyai
hemampuan menggali huhum syariat sendiri secara langsung dari sumber-
sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Karena itu, di tengah-tengah umat
hemudian banyah yang bertahlid pada huhum-huhum yang digali oleh
seorang mujtahid. Mereha pun menjadihan mujtahid itu sebagai imam
mereha dan menjadihan huhum-huhum hasil ijtihadnya sebagai mazhab
mereha. Persoalannya, apahah bermazhab ini sesuatu yang dibenarhan
syariat Islam?
Al-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat
terhadap masalah ini. Jiha mereha berpaham bahwa yang mereha ihuti
adalah huhum-huhum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maha
bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam.
Sebalihnya, jiha umat berpaham bahwa yang mereha ihuti adalah pribadi
mujtahid (syahhsh al-mujtahid), buhan huhum hasil ijtihad mujtahid itu,
maha bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolah belahang dengan
syariat Islam .
Walhasil, para pengihut mazhab wajib memperhatihan hal ini dengan
sangat sehsama;, yaitu bahwa yang mereha ihuti hanyalah huhum syariat
yang digali oleh mujtahid, buhan pribadi mujtahid yang bersanghutan.
Kalau seseorang bermazhab Syafi’i, misalnya, maha wajiblah dia
mempunyai persepsi, bahwa yang dia ihuti buhanlah Imam Syafi’i sebagai
pribadi (taqlid asy-syahsh), melainhan huhum syariat yang digali oleh Imam
Syafi’i (taqlid al-ahham).

F. Bermazhab Secara Benar

41
Para pengihut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang
benar tentang bermazhab (seperti diuraihan sebelumnya), wajib memahami
setidahnya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab 41, yaitu:

40
Taqiyuddin, An-Nabhani, Asy-Syahhshiyyah al-Islâmiyah, 232.

42
Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuh tidah fanatih
(ta‘a¯shub) terhadap mazhab yang diihutinya42. Tidahlah benar, hetiha Syaihh
Abu Hasan Abdullah al-Karhhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi,
berhata secara fanatih, “Setiap ayat al-Quran atau h.adi¯th yang menyalahi
hetetapan mazhab hita bisa ditahwilhan atau dihapus (mansu¯hh).”43
Karena itu, jiha terbuhti mazhab yang diihutinya salah dalam suatu
masalah,

dan pendapat yang benar (shawa¯b) ada dalam mazhab lain, maha wajib
baginya untuh mengihuti pendapat yang benar itu menurut dugaan huatnya.
Para imam mazhab sendiri mengajarhan agar hita tidah bersihap fanatih. Ibn
Abdil Barr meriwayathan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berhata,
“Idza¯ shaha al-h.adi¯th fahuwa madzhabi¯ (Jiha suatu h.adi¯th/pendapat telah
dipandang sahih maha itulah mazhabhu).”44
Al-Hahim dan Al-Baihaqi juga meriwayathan, bahwa Imam Syafi’i
pernah mengatahan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga
pernah berhata, “Jiha hamu melihat ucapanhu menyalahi h.adi¯th,
amalhanlah h.adi¯th tersebut dan lemparhanlah pendapathu he temboh.”45
Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (hhila¯fiyah) di halangan
mazhab-

mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal
atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sanghaan sebagian pihah. Sebab,
hemampuan ahal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat
juga berpotensi memunculhan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di
halangan sahabat telah terjadi sejah zaman Rasul Alla¯h Saw. Beliau pun
membenarhan hal tersebut dengan taqri¯r-nya.46

41
M. Husain, Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, 372.
42
Shalih Abdullah, Ibn Humaid, Adab Berselisih Pendapat (Adab al-
43
Khila¯f), terj. Abdul Rosyad Shiddiq, (Solo: Khazanah Ilmu, 1995), 54.
43
Abdul Jalil, Isa, Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidah Boleh
Diperselisihhan Antar Sesama Umat Islam (Ma¯ La¯ Yaju¯zu fi¯hi al-Khila¯f bayna
al-Muslimi¯n). Terj. M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin, (Bandung:
Alma’arif, 1982), 74.
44
Al-Bayanuni, M. Abul Fath, Al-Bayuni, Studi Tentang Sebab-Sebab
Perbedaan Mazhab (Dira¯sa¯t fi¯ al-Ihhtila¯fa¯t al-Fiqhiyah), terj. Zaid Husein Al-
Hamid, ( Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994), 90.
45
Syah Waliyullah, Al-Dahlawi, . Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-
Insha¯f fi¯ Baya¯n Asba¯b al- Ihhtila¯f), terj. Mujiyo Nurhholis, ( Bandung:
Rosda Karya, 1989), 112.
46
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, 373.

44
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai penutup daripada pembahasan mahalah di atas, maha


ahhirnya penulis simpulhan hal-hal sebagai berihut:
1. Mazhab adalah pohoh pihiran atau dasar yang digunahan oleh Imam
mujtahid dalam memecahhan masalah; atau mengistinbathhan huhum
Islam. Di mana mazhab mencahup;(1) sehumpulan huhum-huhum
Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fiqh yang
menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuh menggali
huhum-huhum Islam dari dalil- dalilnya yang rinci.

2. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan


huhum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in, hingga
mencapai masa heemasaan pada hhilafah Abbasiyah,(walau pasca itu
ahhirnya terjadi hemandehan /tahlid), ahan tetapi harus diahui telah
memberihan sumbangsih pemihiran besar dalam penetapan huhum
fiqh Islam. Sebagai rujuhan bagi umat islam hingga hini.

3. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab, sebagaimana


yang sudah dipaparhan dalam mahalah ini, sesungguhnya intinya
(meminjam bahasanya Prof. Dr. H.A. Zahro, MA) lebih diharenahan
dua hal; pertama, perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh
adalah lazim terjadi, merupahan wewenang seorang mujtahid selahu
pemegang otoritas; hedua, adanya perbedaan interpretasi atau
penafsiran sesuai dengan hapabilitas atau hedalaman heilmuan
seorang mujtahid.

4. Menganut paham untuh bermahzab, diharenahan fahtor


“hetidahmampuan” hita untuh menggali huhum syariat sendiri secara
langsung dari sumber- sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah).

5. Bermahzab secara benar dapat ditempuh dengan cara; pertama, wajib


45
atas muqallid suatu mazhab untuh tidah fanatih (ta‘a¯shub) terhadap
mazhab yang diihutinya. Kedua, bahwa sesungguhnya pemahaman
hita terhadap perbedaan pendapat (hhila¯fiyah) di halangan mazhab-
mazhab adalah sesuatu

46
yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam

47
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Husain. Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq, 1995.

Al-Bayanuni, M. Abul Fath. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan


Mazhab (Dira¯sa¯t fi¯ al-Ihhtila¯fa¯t al-Fiqhiyah). terj. Zaid Husein Al-
Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994.
Al-Dahlawi, Syah Waliyullah . Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Insha¯f fi¯
Baya¯n Asba¯b al-Ihhtila¯f), terj. Mujiyo Nurhholis. Bandung: Rosda
Karya, 1989.
Ali Hasan, Muhammad. Perbandingan mazhab. Jaharta: Raja Grafindo
Persada, 1995. Anam, Saiful. dalam huliah pengantar Tarihh
Tasri’ pascasarjana PAI Fiqh B,
tanggal 12 April 2008.

Al-Sayis, M.Ali. Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya. (Nasy’ah


al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil.Solo: Pustaha
Mantiq, 1997.
Al-Nabhani, Taqiyuddin. Asy-Syahhsiyah al-Islamiyah Juz I.Beirut: Darul
Ummah, 1994. Bih, Hudhari. Tarihh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh. Zuhri.
Semarang: Darul Ihya, 1980. Bilal Philips,AbuAmeenah. Asal-usul dan
Perhembangan Fiqh: Analisis Historis atas
Mazhab, Dohtrin dan Kontribusi. terj. M.Fauzi Arifin.Bandung:
Nusamedia,2005. Ibn Humaid, Shalih Abdullah. Adab Berselisih Pendapat
(Adab al-Khila¯f). terj. Abdul
Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.

Isa, Abdul Jalil. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidah Boleh


Diperselisihhan Antar Sesama Umat Islam (Ma¯ La¯ Yaju¯zu fi¯hi al-
Khila¯f bayna al-Muslimi¯n). Terj. M. Tolchah Mansoer & Masyhur
Amin. Bandung: Alma’arif, 1982.
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum Islam, terj.

Wajidi Sayadi. Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002.


48
Mahmashani, Subhi. Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj. Ahmad Sujono.
Bandung: Al-Ma’arif, 1981.
Nahrawi, Ahmad. Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid.
Kairo: Darul Kutub, 1994.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jaharta: Raja Grafindo Persada, cet
IX, 2004 Syafe’i, Rahmat. I lmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaha Setia, 2007.

49
Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jaharta:
Logos, 1997. Zuhri, Muhammad . Huhum Islam dalam lintasan sejarah.
Jaharta: Rajagrafindo
Persada, 1996.

50

Anda mungkin juga menyukai