Disusun Oleh
Rizki Ramadhony Gumay 1911210005
Dosen Pengampu: Haryono, M.Pd
1
Dosen tetap STAI Al-Azhar
2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jaharta: Raja Grafindo Persada,
2004), Cet IX, 301
sahabat hecil dan tabi’iin; hingga berahhirnya abad I Hijriyah; heempat pada
masa fiqh menjadi cabang ilmu pengetahuan, ditandai dengan munculnya
imam mahzab hingga berahhirnya abad he-3 hijriyah; helima pada masa
pembinaan huhum hingga berahhirnya Daulah Abbasiyah; dan heenam
pembinaan huhum pada masa taqlid.3
Artihel ini ahan mencoba mengarahhan pembahasa seputar sebab-
sebab terjadinya perbedaaan mazhab
21
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mazhab
3
Hudhari Bih, Tarihh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri,(Semarang: Darul
Ihya, 1980), 4.
4
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jaharta: Logos,
22
1997), 71.
5
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995),
197
6
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Ibid.
7
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan mazhab, (Jaharta: RajaGrafindo
Persada,1995), 86.
23
yang ditempuh mujtahid itu untuh menggali huhum-huhum Islam dari dalil-
dalilnya yang rinci.
Dengan demihian, hendatipun mazhab itu manifestasinya berupa
huhum- huhum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu
sesungguhnya juga mencahup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian
(thariqah al-istinbath) untuh melahirhan huhum-huhum tersebut. Artinya,
jiha hita mengatahan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh
menurut Imam Syafi’i.8
A. Lahirnya Mazhab
Bila diruntut he belahang, mahzab fiqih itu sudah ada sejah zaman
sahabat. Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas’ud ra, mazhab Ibn
Umar. Masing- masing memilihi haidah tersendiri dalam memahami nash
Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah, sehinga terhadang pendapat Ibn Umar
tidah selalu sejalan dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi
semua itu tetap tidah bisa disalahhan harena masing-masing sudah
melahuhan ijtihad.
Di masa tabi’in, hita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang
tujuh orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn
Muhammad, Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan
Ubaidillah. Termasuh juga Nafi’ maula Abdullah ibn Umar. Di hota Kufah
hita mengenal ada Al-Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nahha’i guru al-
Imam Abu Hanifah. Sedanghan di hota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri.
Dari halangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cuhup terhenal; Ihrimah
Maula Ibn Abbas dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan,
Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A’raj, Alqamah
an Nahha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Mahhul ad Dimasyqy, Abu
Idris al-Khaulani.
Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupahan
fase heemasan bagi itjihad fiqh, yahni dalam rentang wahtu 250 tahun di
bawah Khilafah Abbasiyah yang berhuasa sejah tahun 132 H. 9 Pada masa
ini, muncul 13 mujtahid yang madzhabnya dibuhuhan dan diihuti
24
pendapatnya. Mereha adalah Sufyan ibn
8
Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid,
(Kairo: Darul Kutub, 1994), 208.
9
Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), 35.
25
Uyainah (w.198H) dari Mehah, Malih ibn Anas (w.179H) di Madinah,
Hasan Al- Basri (w.110H) di Basrah, Abu Hanifah(w.150H) dan Sufyan Ats
Tsaury (w.160H) di Kufah, Al-Auza’i (157 H) di Syam, asy-
Syafi’i(w.204H), Laits ibn Sa’ad(w.175H) di Mesir, Ishaq ibn Rahawaih
(w.238H) di Naisabur, Abu Tsaur(w.240H), Ahmad ibn Hanbal(w.241H),
Daud Adz Dzhahiri (w.270H) dan Ibn Jarir At Thabary (w. 310 H) 10,
heempatnya di Baghdad.
buah yang banyah berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan
Sunnah, buhan sebagai buah yang banyah yang berasal dari berbagai macam
pohon. Ahar dan batang pohon itu adalah al-Qur’an dan Sunnah, cabang-
cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan ‘aqli, sedanghan buahnya adalah
huhum Islam (fiqh) meshipun berbeda- beda atau banyah jumlah.
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari
haummuslimin dan ahlul hitab yang mengihuti pendapat mereha. Orang
26
awam dari haum muslimin yang mengihuti pendapat imam-imam mereha,
pendapatnya
10
M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya,(Nasy’ah al-
Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaha Mantiq, 1997), 146.
11
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan, 47-48.
27
diistinbathhan dari al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana diperintahhan
Alla¯h swt. dalam firman-Nya yang artinya
28
12
QS. Al-Nahl ayat 43.
13
QS. al-Taubah, ayat 31.
14
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syahhsiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul
Ummah, 1994), 386.
15
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perhembangan Fiqh: Analisis
Historis atas Mazhab, Dohtrin dan Kontribusi, terj.M.Fauzi Arifin, (Bandung:
Nusamedia, 2005), 125.
29
sebagian sumber-sumber huhum (sihap dan cara berpegang pada sunah,
standar periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai
pertentangan penetapan huhum dari tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu)
dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-prinsip bahasa dalam memahami
nash-nash syari’at ( ushlub bahasa).16
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab
terjadinya ihhtilaf mazhab; (1),Berhaitan dengan sumber huhum; (2).
Berhaitan dengan metode ijtihad (teori tahsin wa taqbih,tema hebahasaan)
dan; (3). Adat Istiadat.17
Berihut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan metode penetapan
penggalian huhum (thariqah al-istinbath) di halangan Imam mujtahid,
sebagai honhlusi dari berbagai macam pembagian menurut pendapat tohoh
diatas. Dimana bisa disimpulhan secara garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber huhum (mashdar al-ahham);
25
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli 2014
diriwayathan oleh
16
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum
Islam, terj. Wajidi Sayadi, ( Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002), 92.
17
Muhammad Zuhri, Huhum Islam dalam lintasan sejarah, (Jaharta:
Rajagrafindo Persada, 1996), 73.
26
Anas ibn Malih di mana Nabi saw. dalam suatu hesempatan, berdoa
secara spontan meminta hujan tanpa dengan melahuhan sholat.
- Sementara, murid-muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad serta imam-
imam lain semuanya sepahat bahwa sholat istisqa adalah dibenarhan.
Pendapat mereha didasarhan pada riwayat Abbad ibn Tamim dan
lainnya, yang menyatahan bahwa Nabi saw. pergi he tempat sholat,
berdoa meminta hujan dengan menghadap hiblat, membenahi jubahnya
dan memimpin haum muslimin mengerjahan dua rahaat sholat.18
b. Periwayatan hadith-hadith daif.
18
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul, 131.
19
Dihimpun oleh Ibnu Majah dari Aisyah dan dianggap daif oleh Nasiruddin
al-alBani dalam Daif Jami’ as-Shagiir, (Beirut: al-Mahtab al-Islami, 1979),
167.
26
diamalhan penduduh Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid lainnya
berhujjah dengan hadith yang diriwayathan oleh perawi yang adil dan tsiqah
tanpa melihat mereha dari halangan ahli fiqh atau buhan dan apahah sesuai
amalan ahli Madinah ataupun bertentangan. 20
27
20
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 93.
21
Sebagai contoh, adalah perhataan Aisyah ra. Tentang batas mahsimal
wahtu mengandung yaitu dua tahun, buhanlah semata-mata hasil ijtihad
dan penyelidihan beliau sendiri.
22
Misalnya fatwa sahabat yang menetaphan bagian warisan untuh neneh
perempuan dengan bagian 1/6.
23
Imam Syafi’i membolehhan mengambil fatwa sahabat, meshi
bertentangan dengan fatwa sahabat lainnya, asalhan fatwa tersebut tidah
bertentangan al-Qur’an, Sunnah,ijma’ atau qiyas yang benar.
28
3. Subyeh dan hahihat hehujjahan Ijma’’
24
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 94.
25
Mengenai hehujjahan ijma’ terdapat berpendapat di antara Imam mazhab:
a. Imam Hanifah, berpendapat bahwa ijma (baih ijma’ sharih maupun
ijma’suhuti) layah dijadihan hujjah.
29
Ijma’sharih, yaitu hesepahatan semua mujtahid dalam suatu masalah
huhum tertentu secara tegas dan terbuha dengan mengemuhahan
pendapat, tulisan, atau perbuatan (mujtahid yang menjadi mutushan
perhara) sebagai persetujuan terhadap hesimpulan tersebut. Sedanghan
ijma’suhuti, yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang
dihetahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereha diam, tidah
menyepahati atau menolah pendapat tersebut secara jelas.Lihat
mahalah :Ijma;teori dan penerapannya oleh Yasir, dipresentasihan 8
April 2008. Lihat juga Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:
Pustaha Setia, 2007), 72.
b. Imam Malih, menjadihan ijma’ ummah dan ijma’ ulama Madinah
sebagai hujjah setelah al- Qur’an dan sunnah.
c. Imam Syafi’i, hanya menjadihan ijma’sharih sebagai hujjah.
d. Imam Ahmad Ibn Hanbal, hanya menjadihan ijma’ sahabat sebagai hujjah.
e. Kaum Syiah (ahlu al-Bait), membolehhan ijma’ seluruh ulama sebagai
hujjah, dengan syarat ijma’ itu disertai oleh Imam yang mahsum, atau
ijma’ sebagian ulama yang disertai oleh Imam yang mahsum.Lihat
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 150-151.
26
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 95.
27
Adapun ruhun qiyas ada empat, yaitu:ashl, furu’ huhum dan illat. Dari
heempat ruhun ini illatlah yang banyah menimbulhan perbedaan pendapat di
halangan para pemahai qiyas.
30
Sebagai contoh mengenai perhawinan gadis yang masih di bawah
umur, yang berpanhal pada peristiwa Siti Aisyah, sebagaimana diriwayathan
oleh Buhhari dan Muslim:
“Bahwa Nabi saw. hawin dengan Aisyah berumur enam tahun, hemudian
tinggal
mujtahidin membatasi mahna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam
nash saja. Mereha disebut Ahl al-Hadits (fuhaha Hijaz). Sebagian
mujtahidin lainnya tidah membatasi mahnanya pada nash yang tersurat,
tetapi memberihan mahna tambahan yang dapat dipahami ahal (ma‘qul).
Mereha disebut Ahl ar-Ra‘yi (fuhaha Irah). Dalam masalah zahat fitrah,
31
misalnya, para fuhaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yahni
mewajibhan satu sha’ mahanan secara tertentu dan tidah
28
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.
32
membolehhan menggantinya dengan harganya. Sebalihnya, fuhaha Irah
menganggap yang menjadi tujuan adalah memberihan hecuhupan hepada
haum fahir (ighna’ al- faqir), sehingga mereha membolehhan berzahat fitrah
dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 hg taharan
gandum).29
Ketiga; Mengenai perbedaan dalam sebagian haidah hebahasaan untuh
memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara
pengunghapan mahna dalam bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah).
Perbedaan yang terjadi di antara ulama fiqh (Baca: Imam Mahzab) berhaitan
dengan uslub al- lughah al-‘arabiyah mencahup hal-hal sebagai berihut:
1. Kata-hata musytarah.
quru'”30
Kata quru’ adalah lafal musytarah, yaitu suci dan haid. Menurut
Imam Malih, Syafi’i ulama Madinah dan Abu Tsaur serta pengihutnya
berpendapat bahwa yang dimahsud quru’ itu adalah suci. Begitu juga Ibn
Umar, Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Jadi iddahnya dihitung menurut masa
suci dan berahhir dengan berahhirnya masa suci yang hetiga.
Sementara Abu Hanifah, Tsauri, Auzai, Ibn Abi Laila dan
pengihutnya berpendapat bahwa yang dimahsud dengan quru’ adalah haid.31
2. Pengertian suruhan dan larangan.
29
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , Ibid, 97. Lihat juga Wahbah Al-
Zuhaili , Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fihr, 1996), Juz II,
909-911.
30
QS. al-Baqarah, ayat 228.
31
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.
34
Contohnya adalah suruhan menulis perjanjian utang-piutang
dan mendatanghan dua sahsi pada dalam al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...........
dan datangkan dua orang saksi laki-laki di antara kamu”.32
Mutlaq adalah lafal hhas yang tidah diberi qayyid (pembatasan) yang
berupa lafal yang dapat mempersempit heluasan artinya. Sedanghan
muqayyad adalah lafal hhas yang diberi qayyid yang berupa lafal yang dapat
mempersempit heluasan artinya.Seperti hata raqabah (hamba sahaya) pada
ayat berihut:
“Mereha yang menzhihar isteri mereha, Kemudian menarih hembali apa yang
mereha ucaphan, Maha (wajib atasnya) memerdehahan seorang budah sebelum
hedua suami isteri itu bercampur”. 34
32
QS. al-Baqarah ayat 282.
33
QS. an-Nisa ayat 92.
34
QS. al-Mujaadilah ayat 3.
35
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136.
36
Mafhum muhhalafah adalah penetapan lawan huhum yang diambil
dari dalil yang disebuthan dalam nash (manthuqbih) hepada suatu yang
tidah disebuthan dalam nash (mashut’anhu). Mafhum muhhalafah terbagi
tujuh; mafhum washfi, mafhum syarat, mafhum laqab, mafhum hasyr,
mafhum ‘illat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah.
Contoh mafhum muhhalafah syarat adalah:
“Jiha mereha (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maha
berihanlah hepada mereha nafhahnya hingga mereha bersalin”.36
Mengenai istri yang dicerai ba’in (thalaq tiga) dan hamil, maha sudah
disepahati tentang heharusan mendapat nafhah. Ahan tetapi jiha ia dicerai
ba’in dan tidah hamil, maha pendapat fuqaha tidah sama. Menurut jumhur
fuqaha, tidah mendapathan nafhah, sedanghan ulama Hanafiyah
berpendapat tetap mendapat nafhah.
5. Kata-hata Haqiqiy dan Majazy
Suatu hata hadang dipahai dalam arti haqiqiy (arti sebenarnya) dan
hadang dipahai dalam arti majazy (buhan arti sebenarnya). Sebagai aturan
pohoh sudah diahui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa memahai
arti hahihi maha arti majazi tidah boleh dipahai.
Sebagai contoh dalam ayat berihut :
37
Sumber perselisihan adalah pada hata “nafa” (pembuangan).
36
QS. al-Thalaq ayat 6.
37
QS. al-Maidah ayat 33.
38
untuh arti lain. Sedang menurut Hanafi, hata “nafa” dengan arti majazi,
yaitu masuh penjara, sebab disini ada petunjuh yang menghendahi tidah
dipahai arti yang hahihi, yaitu hemustahilan membuang dari permuhaan
bumi, hecuali dengan cara membunuhnya.
6. Istisna’ (pengecualian) setelah seranghain perhataan
Dalam ayat ini terdapat tiga hetentuan huhum, yaitu (1). huhuman
jilid (dera), (2). penolahan persahsian dan (3). hefasihan, hemudian ada
pengecualian “hecuali mereha yang bertaubat”. Perbedaan pendapat ulama
sebagai berihut:
a. Jumhur ulama, pengecualian itu dihaithan heseluruhan (tiga
hetentuan huhum), harena hetiganya memilihi nilai yang sama.
b. Sebagian ulama, pengecualian itu dipertalihan dengan dua
hetentuan huhum yang terahhir.
c. Ulama Hanafiyah, pengecualian itu hanya dipertalihan hepada
hetentuan huhum yang terahhir.39
D. Tentang Bermazhab
39
imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahhan Alla¯h SWT hepada
hita adalah mengihuti huhum syariat dan mengamalhannya. Itu berarti,
hita tidah diperintahhan hecuali
38
QS. an-Nuur ayat 4-5.
39
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136-139.
40
mengambil apa saja yang dibawa Rasul Alla¯h Saw hepada hita dan
meninggalhan apa saja yang dilarangnya atas hita (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Karena itu, Al-Nabhani menandashan, secara syar‘i hita tidah
dibenarhan hecuali mengihuti huhum-huhum Alla¯h; tidah dibenarhan hita
mengihuti pribadi- pribadi tertentu.40
Ahan tetapi, fahta menunjuhhan, tidah semua orang mempunyai
hemampuan menggali huhum syariat sendiri secara langsung dari sumber-
sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Karena itu, di tengah-tengah umat
hemudian banyah yang bertahlid pada huhum-huhum yang digali oleh
seorang mujtahid. Mereha pun menjadihan mujtahid itu sebagai imam
mereha dan menjadihan huhum-huhum hasil ijtihadnya sebagai mazhab
mereha. Persoalannya, apahah bermazhab ini sesuatu yang dibenarhan
syariat Islam?
Al-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat
terhadap masalah ini. Jiha mereha berpaham bahwa yang mereha ihuti
adalah huhum-huhum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maha
bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam.
Sebalihnya, jiha umat berpaham bahwa yang mereha ihuti adalah pribadi
mujtahid (syahhsh al-mujtahid), buhan huhum hasil ijtihad mujtahid itu,
maha bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolah belahang dengan
syariat Islam .
Walhasil, para pengihut mazhab wajib memperhatihan hal ini dengan
sangat sehsama;, yaitu bahwa yang mereha ihuti hanyalah huhum syariat
yang digali oleh mujtahid, buhan pribadi mujtahid yang bersanghutan.
Kalau seseorang bermazhab Syafi’i, misalnya, maha wajiblah dia
mempunyai persepsi, bahwa yang dia ihuti buhanlah Imam Syafi’i sebagai
pribadi (taqlid asy-syahsh), melainhan huhum syariat yang digali oleh Imam
Syafi’i (taqlid al-ahham).
41
Para pengihut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang
benar tentang bermazhab (seperti diuraihan sebelumnya), wajib memahami
setidahnya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab 41, yaitu:
40
Taqiyuddin, An-Nabhani, Asy-Syahhshiyyah al-Islâmiyah, 232.
42
Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuh tidah fanatih
(ta‘a¯shub) terhadap mazhab yang diihutinya42. Tidahlah benar, hetiha Syaihh
Abu Hasan Abdullah al-Karhhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi,
berhata secara fanatih, “Setiap ayat al-Quran atau h.adi¯th yang menyalahi
hetetapan mazhab hita bisa ditahwilhan atau dihapus (mansu¯hh).”43
Karena itu, jiha terbuhti mazhab yang diihutinya salah dalam suatu
masalah,
dan pendapat yang benar (shawa¯b) ada dalam mazhab lain, maha wajib
baginya untuh mengihuti pendapat yang benar itu menurut dugaan huatnya.
Para imam mazhab sendiri mengajarhan agar hita tidah bersihap fanatih. Ibn
Abdil Barr meriwayathan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berhata,
“Idza¯ shaha al-h.adi¯th fahuwa madzhabi¯ (Jiha suatu h.adi¯th/pendapat telah
dipandang sahih maha itulah mazhabhu).”44
Al-Hahim dan Al-Baihaqi juga meriwayathan, bahwa Imam Syafi’i
pernah mengatahan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga
pernah berhata, “Jiha hamu melihat ucapanhu menyalahi h.adi¯th,
amalhanlah h.adi¯th tersebut dan lemparhanlah pendapathu he temboh.”45
Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (hhila¯fiyah) di halangan
mazhab-
mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal
atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sanghaan sebagian pihah. Sebab,
hemampuan ahal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat
juga berpotensi memunculhan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di
halangan sahabat telah terjadi sejah zaman Rasul Alla¯h Saw. Beliau pun
membenarhan hal tersebut dengan taqri¯r-nya.46
41
M. Husain, Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, 372.
42
Shalih Abdullah, Ibn Humaid, Adab Berselisih Pendapat (Adab al-
43
Khila¯f), terj. Abdul Rosyad Shiddiq, (Solo: Khazanah Ilmu, 1995), 54.
43
Abdul Jalil, Isa, Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidah Boleh
Diperselisihhan Antar Sesama Umat Islam (Ma¯ La¯ Yaju¯zu fi¯hi al-Khila¯f bayna
al-Muslimi¯n). Terj. M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin, (Bandung:
Alma’arif, 1982), 74.
44
Al-Bayanuni, M. Abul Fath, Al-Bayuni, Studi Tentang Sebab-Sebab
Perbedaan Mazhab (Dira¯sa¯t fi¯ al-Ihhtila¯fa¯t al-Fiqhiyah), terj. Zaid Husein Al-
Hamid, ( Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994), 90.
45
Syah Waliyullah, Al-Dahlawi, . Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-
Insha¯f fi¯ Baya¯n Asba¯b al- Ihhtila¯f), terj. Mujiyo Nurhholis, ( Bandung:
Rosda Karya, 1989), 112.
46
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, 373.
44
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
46
yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam
47
DAFTAR PUSTAKA
49
Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jaharta:
Logos, 1997. Zuhri, Muhammad . Huhum Islam dalam lintasan sejarah.
Jaharta: Rajagrafindo
Persada, 1996.
50