Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH TENTANG BERMAZHAB

DAN SISTEM BERMAZHAB


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Aswaja
Pengampu : Sahal Abidin, S.H.I., M.H.

Oleh :
1. Afifah Nur A’ini ( 20.74201.003 )
2. Fajar Adi Saputro ( 20.74201.021 )

PROGAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami kemudahan, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya kami tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang kita
nantikan syafaatnya di yaumul kiyamah.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Aswaja yang diampu oleh Bapak Sahal Abidin, S.H.I., M.H. tentang
Bermazhab dan Sistem Bermazhab. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis memohon
maaf sebesar besarnya.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1

i
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
A. Pengertian Kemasyarakatan NU 5
B. Pendirian Keagamaan NU 6
C. Tanggungjawab NU Terhadap Kehidupan Berbangsa Dimasa
Mendatang 6
BAB III 8
PENUTUP 8
A. Kesimpulan 8
B. Saran 8
DAFTAR PUSTAKA 9

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan hukum yang begitu dinamis, fleksibel dan lentur
menyesuaikan dengan tempat dan waktu (shalih likulli makan wa likulli
zaman). Interaksi Rasulullah dengan sahabat dalam mengatasi realitas
sosiologis tidak mengalami problematika metodologis. Hal ini disebabkan
dinamika perkembangan hukum Islam langsung bisa bertanya jawab dengan
Rasulullah. Kemudian ini berubah setelah Rasulullah wafat, sahabat banyak
dihadapkan persoalan baru yang perlu mendapatkan legalitas syari’ah.
Problem solving yang mereke tindakan normatif Rasulullah yang pernah
mereka saksikan dan alami bersamanya.
Selanjutnya perkembangan ini lebih meluas pada masa - masa periode
berikutnya yang mana akan memunculkan mazhab dengan latar belakang dan
sosio-kultur serta politik yang berbeda. Pada masa periode ijtihad dan
keemasan fikih Islam telah muncul mujtahid seperti: Imam Maliki, Hanafi,
Syafi’i, Hanbali, al-Auzai, dan Al-Zahiri. Masa tersebut hanya berlangsung
dua setengah abad, kemudian perkembangan hukum Islam mengalami
kemunduran; ditandai secara kualitas dan kuantitas semangat mujtahid
menurun. Di antara mereka ada yang kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah,
namun kecenderungan yang terjadi mereka mencari dan menerapkan produk-
produk ijtihad para pendahulunya.
Pada perkembangan dari dahulu hingga saat ini paling tidak ada empat
disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan: ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu
tasawuf, dan falsafah. Fiqh adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman
orangorang muslim akan agama mereka. Sehingga paling banyak membentuk
bagian terpenting cara berpikir mereka. Kenyataan ini dapat dilihat dari
sejarah ekspansi militer orang muslim ke luar jazirah Arab, dan penguasaan
penguasa dalam masyarakat atau negara dengan fiqihnya (Rachman,
2006:706).

1
Begitu besar efek pengaruhnya fiqih, maka perlu diketahui kajian fiqih
ini menyebabkan terpeliharanya kesatuan pemikiran dan perilaku umat
yakni hukum-hukum yang telah qath’i, wilayahnya yang tidak menerima
perubahan. Inilah wilayah yang terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak
pasti (zhanni), baik dari sumbernya qath’i ats-tsubut maupun
penunjukkannya qath’i ad-dilalah, yang merupakan bagian terbesar dari
hukum - hukum fiqih. Wilayah inilah yang menjadi kajian ijtihad, yang
antara lain mengarahkan fiqih ke dinamika perubahan, perkembangan, dan
pembaharuan (Uways, 122) atau bahkan taqlid.
Dalam bukunya Amin Abdullah (2002:85) “Mazhab Jogja”
menyatakan pemahaman sumber hukum Islam setelah nabi dikategorikan
dengan peringkat pertama mujtahid yang langsung menafsirkan hukum
dari sumbernya, kemudian diikuti oleh muttabi’, orang yang mengikuti
mutahid dengan mengetahui sumbernya. Peringkat yang paling akhir
adalah Muqallid yaitu orang yang mengikuti secara membabi buta
terhadap pendapat seseorang tanpa meneliti ulang kebenarannya.
Dalam pembahasan di atas, kami hendak menelusuri apa itu mazhab,
bagaimana cara pandang mazhab, kelebihan dan kekurangan bermazhab.
Bagaimana pandangan mazhab dari pandangan aswaja. Lalu kami akan
menjelaskan mengenai sistem mazhab di Indonesia, bagaimana
perkembangannya dan masih banyak lagi.
Terbukanaya pintu ijtihad sepanjang masa merupakan salah satu
tunggangan emas atau tanda kesempurnaan bagi syariat Islam. Syariat
Islam di akui berdiri tegak di atas fondasi Ijtihad, hal ini di dasari oleh isi-
isi al-Qur’an dan Sunnah yang terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa di
setiap masa perlu tindakan atau respon yang tidak terbatas dari hukum
Islam. Ijtihad dan Taklid adalah dua unsur utama yang menjadi salah satu
bagian dari duinamika sejarah fikih Islam. Sebagai keniscayaan dari
fenomena Ijtihad dan Taklid yang menjadi patokan realita umat muslim
sepanjang masa, adalah lahirnya tradisi bermazhab.

2
Dari lahirnya tradisi bermazhab, umat islam tidak perlu khawatir akan
keterbatasan hukum islam yang dari masa ke masa selalu berubah
penampilan masalahnya. Di dalam dinamika perkembangan fikih Islam
melalui Ijtihad, ada empat Imam mazhab fikih yang masih ada dan
melekat pada umat Islam hingga sekarang, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam
Malik Ibn Anas, Imam as-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dari Abu Thalib al-Makki (w. 386 H/996 M) dalam kitab Qut al-Qulub
mengatakan bahwa:
“Kuitab-kitab dan kumpulan-kumpulan pendapat ulama adalah
hal baru dalam Islam. Mengikuti pendapat para ulama, berfatwa sesuai
dengan mazhab seorang ulama tertentu, mengambil pendapatnya,
menceritakannya di setiap persoalan yang dihadapi dan mempercayai
mazhabnya bukan hal bukan hal yang populer pada abad yang pertama
dan kedua Hijriyyah.
Di tinjau dari perkataan di atas, bahwa hukum-hukum yang menjadi
kesepakatan kaum Muslimin dan para mujtahid, pada waktu itu hanya
mengikuti pemilik syari’ah. Sedangkan yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari, seperti cara berwudhu, mandi, hukum-hukum shalat, zakat dan
lain-lain, mereka belajar dengan orang tua mereka maupun guru agama
setempat. Jika terjadi masalah, mereka masih meminta bantuan kepada
fatwa tanpa memangdang mazhabnya secara khusus. Pernyataan tersebut
disesuaikan dengan perkataan waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H/ 1762
M) muhaddits dan fiqih bermazhab Hanafi dari India, yakni:
“Pada abad pertama dan kedua Hijriyyah, masyarakat belum
secara kese;uruhan melakukan taklid terhadap satu mazhab fikih
tertentu.”.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari
empat mazhab, yaitu mazhab yang di bangun oleh Imam Abu Hanifah,
Imam Malik Ibn Anas, Imam as-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menaati empat mazhab
berpedoman pada sumber utama yaitu al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas.

3
Para ulama telah menetapkan metode dalam berijtihad di masing-masing
mazhab, termasuk mazhab Syafi’iyah yang lebih sering di ikuti oleh
Nahdlatul Ulama (NU). Di lingkungan NU kerangka bermazhab kepada
salah satu dari empat mazhab yang disepakati, mengutamakan bermazhab
secara qauli/wajah.
Peninggalan mereka (Imam Mazhab) merupakan amalan ilmu fiqih
yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama islam dan
kaum muslimin. Amalan tersebut mendapat perhatian dari para umat
muslim kepada sejarah perundangan atau perkembangan ilmu fiqih dalam
islam.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mazhab
Mazhab berasal dari sighot mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan
(kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “zahaba”,
yazhabu, zahaban, zuhuban, mazhaban, yang berarti pergi (Ensiklopedi
Islam, 2002:214, Ma’luf, 1998:240). Berarti juga al-ra’yu (pendapat), view
(pandangan), kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, dan aliran
(Yanggo, 1997:71, Azizi, 2002:20). Sementara pengertian mazhab menurut
istilah meliputi dua hal : (1) mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang
ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits, (2) mazhab adalah fatwa
atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang
diambil dari al-Qur’an dan Hadits. Dari dua pengertiaan tersebut disimpulkan
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid
dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam (Yanggo,
1997:72).1

B. Latar Belakang Timbulnya Mazhab


Imam Yahya (2009: 32-34) dalam bukunya Dinamika Ijtihad NU
mendasarkan paling tidak ada dua pandangan dalam melihat realitas sosial
timbulnya mazhab hukum dalam Islam, yaitu dalam perspektif politik dan
perspektif teologi :
a. Perspektif politik, pengaruh peristiwa politik dengan perkembangan fikih
terjadi pada abad II H sejak akhir pemerintahan Bani Umayyah hingga
masa munculnya khalifah Bani Abasiyyah. Kemudian pada masa Bani
Abbasiyah ulama dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ulama

1
Nafiul Lubab & Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual atau Kerangka
Metodologis, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember
2015

5
Kuffah dan Madinah, di mana pemerintahan Bani Abasiyah lebih
mendukung pada kelompok ulama Kuffah. Setelah itu pada abad III H
kelompok ulama tersebut lebih mengarah pada penokohan pribadi
sebagai contoh: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (terkenal
dengan fikih personal). Awal abad ketiga hijriyah ini telah berkembang
di masyarakat muslim lebih dari lima ratus mazhab, namun yang mampu
bertahan hanya ada beberapa mazhab yang berkembang, di antaranya
Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah, Imamiyah, dan
Ibadiyah (Imbabi, tt: 140).
b. Perspektif teologi, Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-
Taubah ayat 122. Ayat tersebut menjelaskan dua kelompok dalam setiap
golongan untuk memahami ajaran agama dan pengalamannya. Pertama,
bagian kecil dari golongan umat yang mendalami agama, setelah selesai
dari usahanya, mereka memiliki tugas kewajiban mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada umatnya. Kedua, bagian besar dari golongan umat
yang tidak mendalami agama, dengan demikian dalam hal agama mereka
mendapatkan pengajaran dari golongan pertama. Golongan pertama ini
disebut sebagai mujtahid, sementara golongan yang kedua disebut
sebagai golongan awam. Golongan awam ini sudah semestinya
mengamalkan agamanya melalui bertanya pada golongan mujtahid yang
lebih mengetahui soal agama.2

C. Sejarah Perkembangan Mazhab


Abu Ameenah Philips (2005:xvii) membagi perkembangan fiqih secara
tradisional dibagi dalam enam tahap:
1) Masa Fondasi, masa Nabi Muhammad (609-632 M),
2) Masa Pembentukan, masa khulafaurrasyidin, sejak wafatnya nabi
Muhammad sampai pertengahan abad ke-7 M (632-661 M).

2
Nafiul Lubab & Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual atau Kerangka
Metodologis, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember
2015

6
3) Masa Pembangunan, sejak masa bani Umayyah 661 M sampai
kemundurannya pada pertengahan abad X M,
4) Masa Perkembangan, dari berdirinya dinasti Abbasiyah pasca
pertengahan abad ke-10,
5) Masa Konsolidasi, runtuhnya dinasti Abbasiyah sejak sekitar 960 M
sampai pembunuhan khalifah Abbasiyah terakhir di tangan orang
Mongol pada pertengahan abad ke-13 M,
6) Stagnansi dan Kemunduran, sejak penjaran kota Baghdad 1258 M
sampai sekarang.
Tahapan masa yang tertulis di atas, menjelaskan bahwa sebenarnya
mazhab ini berhubungan dengan fiqih, pada masa pertama Nabi Muhammad
SAW dan masa kedua, istilah fiqih belum begitu dikenal perbedaaannya
dengan ‘ilmu, meski dalam masa pra-Islam, fiqih berbeda dengan ‘ilmu.
Dalam arti yang luas, kedua kata ini dapat dipertukarkan pemakaiannya,
namun fiqih tidak pernah kehilangan intelektualnya. Sebuah Riwayat
menjelaskan bahwa dihadapkan Umar bin Khattab para fukaha tidak berani
angkat bicara, karena umar melebihi mereka dalam fiqih (kecerdasannya) dan
‘ilmu (pengetahuan) yang dimilikinya (Hassan, 1994:6).
Akhirnya istilah fiqih dipergunakan secara eksklusif dalam permasalahan
hukum Islam, Abdullah Ibnu al-Mubarak (w.181 H) telah mengumpulkan
ilmu Hadits dalam sebuah buku dan menyusunnya dalam urutan topik hukum
fiqih (Hasan, 1994:10). Selanjutnya pada masa tabi’in-tabi’in mulai awal
abad kedua hijriyah, kedudukan ijtihad sebagai istinbath hukum semakin
bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncullah mazhab-mazhab
dalam bidang hukum Islam, baik dari golongan ahl al-Hadits, maupun dari
golongan ahl al-Ra’yi. Di kalangan jumhur masa ini muncul Sembilan Imam
mazhab yang paling popular melembaga di kalangan umat Islam. Berikut
pembukuannya mulai dimodifikasikan dengan baik (Yanggo, 1997:72).
Dimulai pada abad ke-8 M, sejumlah pakar memberi sumbangan luar biasa
kepada disiplin ilmu fiqih, sehingga merangsang kemunculan berbagai tradisi
atau mazhab. Pakarpakar terpenting dalam tradisi tradisi Sunni antara lain:

7
Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, dan Ahmad
ibn Hanbal, yang dinisbahkan kepada mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali (Esposito, 2002:192) dan dibagian berikutnya akan penulis
deskripsikan manhaj sumber hukum beserta mazhab lainnya.
Dalam perjalanannya aliran fiqih ini tumbuh dan berkembang hingga
sekarang dimungkinkan karena adanya dukungan penguasa. Mahzab Hanafi
berkembang saat Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qodli
dalam tiga pemerintahan Abbasiyah, yaitu khalifah al-Mahdi, al-Hadi, dan
Harun al-Rasyid (dengan kitab al-Kharaj disusun atas permintaannya).
Mazhab Malik berkembang atas dukungan al-Mansur di Khalifah Timur dan
Yahya bin Yahya diangkat menjadi qodli oleh para penguasa Andalusia. Di
Afrika, Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk mengikuti mazhab
Maliki. Mahzab Syafi’i membesar di Mesir setelah Shalahuddin al-Ayyubi
merebut negeri itu. Mazhab Hanbali kuat setelah al- Mutawakkil diangkat
menjadi Khalifah Abbasiyah. Ketika itu, al-Mutawakkil tidak akan
mengangkat seorang qadli kecuali atas persetujuan Ahmad bin Hanbal
(Mubarok, 2000:132-133). Hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan
terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya
penemuan hukum terhadap sesuatu kejadian yang ada. Lalu pendapat ini
diikuti oleh orang lain atau murid yang jumlahnya banyak, kemudian menjadi
sebuah metode dalam pendapat yang dianggap baku dan disebutlah mahzab.
Kemudian dikaitkan dengan berkembangnya di daerah tertentu, seperti
mazhab Hijazi, Iraq, Syam, Madinah, Makkah, Mesir, dan lainnya. Dalam
perkembangannya muncul mazhab perseorangan (Azizi,2002:21-22). Seluruh
mazhab tersebut tersebar ke seluruh pelosok Negara yang berpenduduk
muslim. Dengan tersebarnya mazhab-mazhab tersebut, tersebar pula syari’at
Islam ke pelosok dunia yang dapat mempermudah umat Islam untuk
melakukannya. Di samping empat mazhab di atas, seperti dinasti Fatimiyah
melestarikan mazhab Isma’iliyah dan lainnya. Itulah mengapa mazhab fiqih
ini ada yang berkembang dan ada juga yang musnah, mereka mendapat
pengikut yang menjalankannya. Namun, dikalahkan mazhab yang dating

8
kemudian. Seperti Mazhab Auza’i dan sebagainya. Seiring di tengah-tengah
pesatnya perhatian ulama terhadap fiqih dan munculnya kajian-kajian fiqih
dimanamana, pada awal tahun 300-an H, mulai terjadi pemasungan
berpendapat. Khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, berusaha
keras memaksakan ideology mu’tazilah, padahal para ulama dan fukaha
berada di luar dukungan itu, dan bahkan mereka mengancam al-Makmun atas
dukungannya terhadap Mu’tazilah. Sebagaimana Dr. Farouq Abu Zaid
melukiskan kondisi fiqih saat itu, bahwa kondisi islam mengalami kerapuhan
sejak abad 14 M, sampai jatuhnya Baghdad membawa pula rapuhnya kondisi
fiqih. Akibatnya pintu Ijtihad tertutup dan terbelenggu akal pikiran. Ini akibat
logis dari hilangnya kebebasan berpikir dan kesibukan massyarakat dalam
kehidupan matrealistis. Berkembanglah semangat taaklid di kalangan fukaha,
dalam menghadapi masalah kasus hukum, mereka tidak menggunakan akal
pikiran, tetapi lebih mengikat pada pendapat-pendapat ulama pendahulunya
(Sirry,1996:128).

D. Respon Umat Islam terhadap Mazhab


Dalam pembahasan tataran praktis uraian tentang perbedaan mazhab satu
dengan yang lain disebabkan metodologi atau manhajnya, dan yang lebih
spesifik, yaitu: adanya perbedaan penentuan dalil untuk ijtihad dalam
menyelesaikan setiap kasus atau persoalan. Misalnya ciri mazhab Hanafi
penggunaan ihtihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam dan sangat
terkenal ra’yu, mazhab Maliki terkenal dengan maslahah sebagai salah satu
sumber hukum Islam dan sangat mengedepankan praktik masyarakat
Madinah, mazhab Syafi’i menekankan qiyas dan ditambah istishsab
(menggunakan ketentuan yang telah ada sebelum ada ketentuan berikutnya)
dengan terang terangan menolak istihsan dan tidak menyinggung mashlahah,
sedangkan mazhab Hanbali sedikit menggunakan qiyas dan dapat
menggunakan Ijma’ sahabat serta sangat ketat berpegang pada nash al-Qur’an

9
dan Sunah (Azizi, 2004:46-47). Hal ini yang memunculkan pola friksi
pemikiran di kemudian hari umat Islam.3

E. Implikasi Mazhab di Indonesia


Perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam dalam jaringan ulama
Indonesia banyak di dominasi dari jaringan ulama Mesir. Hal ini konsekuensi
logis dari kajian kitab yang dibawakan ulama pada peredaran kitab di
Indonesia baik berbahasa Arab ataupun yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia. Saat ini pula banyak santri-santri atau pelajar dari
Indonesia belajar ke Negara timur tengah. Dengan begitu, makin beredar pula
pemahaman ajaran-ajaran mazhab yang telah dibawanya pulang ke kampong
halaman. Jadi tidak heran, muncul beberapa mazhab baru yang berkembang
dari sebelumnya dari beberapa organisasi masyarakat. Sehubungan dengan
fakta sosial masyarakat Indonesia terkenal dengan mazhab Syafi’i, misalnya
organisasi kemasyarakatan NU lebih menitikberatkan pada mazhab Syafi’i,
meskipun juga memasukkan tiga mazhab lainnya Maliki, Hambali, dan
Hanafi. Sedangkan Muhammadiyah melalui tarjih yang dikeluarkan oleh
dewan tarjih yang mereka bentuk sendiri.Kemudian al-Washliyah berusaha
dengan istinbat hukum dengan menggunakan imam mazhab Syafi’i. Di luar
itu semua, masyarakat awam sering berselisih dengan berbedanya mazhab –
mazhab ataupun organisasi yang ada, hanya berbeda pendapat
mengemukakan antara satu pendapat mazhab dengan mazhab lainnya.
Sebagaimana NU dan Muhammadiyah. Perkembangan saat ini bukan hanya
mazhab yang empat, namun di Indonesia sudah berkembang mazhab-mazhab
lainnya semisal Syi’ah serta lainnya.4

3
Nafiul Lubab & Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual atau Kerangka
Metodologis, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember
2015
4
Nafiul Lubab & Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual atau Kerangka
Metodologis, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember
2015

10
F. Urgensitas Mengikuti Empat Mazhab
Mengikuti salah satu dari empat mazhab bukanlah semata-mata kebetulan
saja. Apabila di amati dari pandangan agama maupun logika, megikuti salah
satudari empat mazhab ternyata mengakibatkan banyak kemaslahatan dalam
dunia Islam Nusantara. Dari Imam Waliyullah ad-Dahlawi menjelaskan:
“Sebenarnya dalam mengikuti mazhab yang empat terdapat
kemaslahatan yang besar, dan berpaling darinya akan menimbulkan
mafsadah yang besar pula.”
Hal ini diperjelas dalam beberapa alasan di bawah, yakni:
a. Umat Islam sepakat untuk berpegangan pada generasi salafdalam
upaya mengetahui syari’ah. Generasi tabi’in berpegangan kepada
generasi Sahabat, begitu pula generasi tabi’ at-tabi’in br[egangan
kepada generasi tabi’in, begitu seterusnya untuk generasi berikutnya
yang mengikuti generasi sebelumnya. Secara raional syari’ah hanya
dapat diketahui melalui naqli (riwayat) atau melalui istinbath.
b. Dengan mengikuti salah satu dari empat mazhab tersebut, berarti
sudah mengikuti sabda Rasulullah, yaitu:
“Dari Anas bin Malik Ra, beliau berkata:Rasulullah bersabda:
Ikutilah kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham).”
Keadaan tersebut sesuai dengan realita sosial umat Islam, yang
dimana setelah mazhab-mazhab yang benar punah kecuali empat
mazhab ini, maka mengikuti salah satu dari mazhab empat ini
berararti mengikuti (al-sawad al-a’zham).
c. Setelah generasi salaf yang dikatakan sebaik-baiknya generasi, dimasa
kita sekarang semakain jauh dari ajaran tersebut dan amanatnya oun
semakin terabaikan.

G. Landasan Aswaja Mengikuti Empat Mazhab


Terdapat banyak alasan dan dalil-dalil yang melandasi Aswaja dalam
mengikuti salah satu dari empat mazhab yang ada, berikut klasifikasi alaan

11
beserta dalil-dalil yang akan menjadi landasan Aswaja dalam mengikuti salah
satu dari empat mazhab.
Pertama, al-Quran al-Karim mengharuskan umat Islam untuk menaati
ulama yang telah di akui tingginya Ilmu yang dipunya. Dalam hal ini al-
Qur’an menjelaskaan:

‫ٰيٓاَيُّها الَّذ ْينَ ٰامنُ ْٓوا اَط ْيعُوا هّٰللا واَط ْيعُوا ال َّرسُوْ ل واُولى ااْل َمر م ْن ُك ۚم فَا ْن تَنَا َز ْعتُم في َشي ٍء فَ ُر ُّدوْ ه الَى هّٰللا‬
ِ ِ ُ ْ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ْ ِ َ َ ِ َ َ ِ َ ِ َ
‫ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬َ ِ‫َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. an-Nisa’ : 59).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
supaya menaati Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara mereka. Menurut
para pakar tafsir al-Qur’an seperti Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah al-
Anshari, Mujahid bin Jabr (w. 103 H/722 M) dan lain-lain. Menyebutkan Ulil
Amri adalah para ulama yang memeiliki ilmu agama yang luas dan
mendalam.5 Dalam ayat di atas yang berbunyi, “Dan taatilah Rasul
(Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu”, dapat
di artikan, bahwa Allah menempatkan ketaatan Ulil Amri berada dalam satu
tingkat dengan ketaatan kepada Rasul (Muhammad), sehingga menaati para
ulama berarti menaati Rasul (Muhammad).

Kedua, para Imam mujtahid empat mazhab yang mendapat rekomendari


(tazkiyah/pujian) dari Rasulullah supaya di ikuti oleh kaum Muslimin.
Rekomendasi ini sifatnya ada dua macam, yaitu:

5
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, II/301 dan as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, II/572-573.

12
a. Rekomendasi Ijmali
Rekomendasi yang bersifat umum daari Rasulullah tentang para
Imam Mazhab. Rekomendasi Ijmali ini dapat di lihat dengan
memperhatikan sejarah kehidupan para Imam Mazhab.
b. Rekomendasi Tafshili
 Rekomendasi yang terperinci dari Rasullah mengenai para Imam
Mujtahid. Berikut sabda Rasulullah terkait Imam Abu Hanifah:
“Seandainya ilmu agama itu bergantung di bintang tujuh,
niscaya akan dijamah oleh orang-orang dari putra
persi.”(HR. Ahmad dan disahihkan oleh Ibn Hibban).
 Berkaitan dengan Imam Malik bin Anas, Rasulullah bersabda:
“Dari Abu Hurairah Ra, dari Nabi Muhammad Saw, beliau
bersabda: Hampir datang suatu masa, orang-orang
berpergian dengan cepat dari negri-negri yang jauh dalam
rangka mencari ilmu lalu mereka tidak menemukan orang
yang alim daripada seorang alim di madinah.” (HR. Ahmad
dan at-Tarmidzi yang berkata: “Ini Hadist Hasan.”)
 Berkaitan dengan Imam as-Syafi’i, Rasulullah Saw:
“Dari Abdullah bin Mass’ud Ra, ia berkata: Rasulullah
Saw bersabda: Seorang alim dari suku Quraisy, ilmunya akan
menyebar ke berbagai tempat di bumi.” (HR. Abu Dawud at-
Thayalisi, Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya, al-Baihaqi
dalam Manaqib al-Imam as-Syafi’i, al-Khatib al-Baghdadi
dalam Tarikh Maghdad, dan at-Tirmizi dan al-Hafizh Ibn
Hajar mensahihkannya)
 Imam Ahmad bin Hanbal
Merupakan mujtahid terakhir di antara mereka dengan
keistimewaan punya hafalan hadist terbanyak. Di anatara sekian
banyak mujtahid yang ada, beliau disepakati memeiliki hafalan
hadist terbanyak, yaitu 1.000.000 hadist.

13
Dalam suatu riwayat, ketika as-Syafi’i tinggal di Mesir, di
akhir hayatnya ia menyuruh muridnya, ar-Rabi’ bin Sulaiman al-
Muradi (174-270 H/790-883 M) untuk menyampaikan suratnya
kepada Imam Ahmad bin Hanbal di Irak. Setelah membacanya
Imam Ahmad bin Hanbal langsung menangis, lalu ar-Rabi’
bertanya, mengapa menangis? Imam Ahmad menjawab:
“As-Syafi’i menyampaikan dalam suratnya, ia bermimpi
bertemu Rasulullah Saw dan beliau bersabda: Kirimkan surat
kepada Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku. Katakan
kepadanya, bahwa kamu akan mendapat ujian tentang
kemakhlukan al-Qur’an, karenanya jangan kamu ikuti pendapat
mereka. Kami akan meninggikan derajatmu hingga hari
kiamat.”6

Ketiga, Kesepakatan atau Konsensus ijma’ di setiap daerah dan setiap


masa tentang wajibnya mengikuti empat mazhab, sehingga lebih menguatkan
daripada nash. Konsesnsus atas wajibnya mengikuti empat mazhab ayng ada,
didasarkan pada dua hal, yakni:
 Pertama, kesepakatan mereka yang mengatakan, setelah generasi
empat Imam, tidak ada lagi ulama yang mencapai derajad
mujtahid muthlaq. Kesepakatan tersebut dapat dibuktikan dan
dilihat pada pernyataan para ulama terkemuka di setiap mazhab.
Diambil dari mazhab as-Syafi’i, Imam Fakhruddin al-Razi (543-
606 H/1148-1209 M), Imam ar-Rafi’i (557-623 H/1162-1226 M),
dan Imam an-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M) mengatakan:
“Para ulama sepertinya telah berkonsensus bahwa pada saat
ini seorang mujtahid sudah tidak ada lagi.”
Sebelum mereka mengatakan perihal tersebut, Imam al-Ghazali
mengatakan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din,yakni:

6
Dawud bin Sulaiman al-Baghdadi, Asyadd al-Jihat fi Ibthal Da’wa al-Ijtihat, 9.

14
“Adapun orang yang tidak memiliki derajat ijtihad, yaitu
hukum yang berlaku di semua generasi dewasa ini (abad ke-5
H), maka ia mengeluarkan fatwa denganmengutip pendapat
mazhab imamnya.”
 Kedua, hal ini juga melandasi kesepakatan para ulama dalam
mewajibkan mengikuti salah satu dari empat mazhab yang ada.
Sementara itu dalam mengikuti pendapat-pendapat para mujtahid,
terdapat dua kemungkinan, yaitu: Pendapat para mujtahid yang
diriwayatkan, dan yang tidak di riwayatkan melalui sanad yang
sahih dan ditulis dalam kitab-kitab tertentu.
Kempat, dalam hal ini, para ulama menetapkan bahwa di antara syarat
mujtahid yang dapat di ikuti hasil ijtihadnya, harus jelas dari mana ia
memperoleh ilmu, memiliki ketelitian dalam penyelesaian masalah, tidak
memiliki sifat tercela dalam hal mencari ilmu, pengalaman, dan akidah.7

7
Muhammad al-Hamid, Luzum Itiba’ Madzahib al-A’immah , 90 dan Muhammad Abu Zahrah,
Uhsul al-Fiqh, 388.

15
DAFTAR PUSTAKA

16

Anda mungkin juga menyukai