Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PEMBENTUKAN MADHAB DAN IMPLIKASINYA DALAM


PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Disusun untuk: Memenuhi tugas mata kuliah Fiqih

Dosen Pengampu: Abdul Khamid, M.Pd.I.

Disusun Oleh :

Anggun Diah Monasari (63010220044)

Karima Kartesa Anjani (63010220063)

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillahirrabil ‘alamin,


puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi karunia beserta
Rahmat dan Nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah “
pembentukan madzhab dan implikasinya dalam perkembangan hukum islam ” ini
dengan sebaik-baiknya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah fiqih serta untuk menambah ilmu pengetahuan bagi
kita mahasiswa tentang apa itu pembentukan madzhab dan implikasinya dalam
perkembangan hukum islam. Saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
teribat dan membantu dalam proses penulisan makalah ini. Di dalam makalah ini
tentunya tak luput dari kesalahan dan kekurangan baik dari segi Bahasa, analisis
maupun yang lainnya. Maka dari itu kritik maupun saran diperukan oleh penulis
untuk memperbaiki hasil karya kedepannya. Akhir kata sekian dan terimakasih.
Wassamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 22 Mei 2023


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut bahasa arab, “madzhab” berasal dari shighah masdar mimy (kata sifat)
isim makan (kata yang menunjukanketerangan tempat) dari akar kata fiil madhy
“dzahaba” yang bermakna pergi. Jadi, madzhab itu secara bahasa artinya
“tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq). Sedangkan menurut istilah yaitu
Madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum – hukum
islam, yang digali dari dalil – dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah
(qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling
terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan madzhab?
2. Apa saja faktor – faktor adanya mazhab dalam hukum islam?
3. Apa saja macam-macam Madzhab

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu madzhab
2. Untuk mengetahui apa saja faktor – faktor adanya mazhab dalam hukum
islam.
3. Untuk mengetahui macam-macam madzhab
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-
Qur’an dan Hadits, pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam
Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum
Islam. Hal tersebut senada dengan hasil halaqah di pondok pesantren
Manbaul Maarif Jombang yang menghasilkan tentang pemaknaan mazhab
yang salah satunya menjelaskan ada dua model bermazhab, yaitu secara
manhaji dan qauli. Manhaj dipergunakan seorang mujtahid menggunakan
metode dalam menggali (istinbath) ajaran hukum Islam berdasarkan al-
Qur’an dan Hadits. Sedangkan, qauli ialah hasil istinbat yang dilakukan
mujtahid dengan menggunakan manhaj (metode) tersebut. Pengertian ini
memaparkan bahwa ternyata jika seorang bermazhab Hanafi, berarti ia
mengikuti jalan pikiran Imam Hanafi tentang masalah yang diambil dari al-
Qur’an dan al-Sunah atas analisis dan pendapatnya. Bermazhab manhaji
hanya mampu pada mereka yang memiliki persyaratan yang memenuhi
dalam beristinbat sendiri, meskipun belum sampai pada mujtahid mutlaq
mustaqil (mujtahid bebas sendiri pembangun mazhab), namun pada
perkembangan saat ini mujtahid demikian tidak ditemukan lagi, yang ada
adalah mujtahid mustanbith (penarik kesimpulan) levelnya ada di bawah
mujtahid mutlaq. Mereka inilah yang mempunyai kesempatan untuk
bermazhab manhaji beserta melakukan istinbat jama’i (upaya penarikan
hukum Islam secara bersamasama) dan bukan istinbat fardi (upaya
penarikan hukum Islam secara pribadi). 1

B. Latar Belakang Timbulnya Mazhab


Imam Yahya (2009: 32-34) dalam bukunya Dinamika Ijtihad NU
mendasarkan paling tidak ada dua pandangan dalam melihat realitas sosial
timbulnya mazhab hukum dalam Islam, yaitu dalam perspektif politik dan
perspektif teologi. Perspektif politik, pengaruh peristiwa politik dengan
perkembangan fikih terjadi pada abad II H sejak akhir pemerintahan Bani
Umayyah hingga masa munculnya khalifah Bani Abasiyyah. Kemudian
pada masa Bani Abbasiyah ulama dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok ulama Kuffah dan Madinah, di mana pemerintahan Bani
Abasiyah lebih mendukung pada kelompok ulama 398 Jurnal Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam Nafiul Lubab dan Novita Pancaningrum Kuffah.
Setelah itu pada abad III H kelompok ulama tersebut lebih mengarah pada
penokohan pribadi sebagai contoh: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali (terkenal dengan fikih personal). Awal abad ketiga hijriyah ini telah
berkembang di masyarakat muslim lebih dari lima ratus mazhab, namun
yang mampu bertahan hanya ada beberapa mazhab yang berkembang, di
antaranya Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah, Imamiyah,
dan Ibadiyah (Imbabi, tt: 140). Selanjutnya Huzaemah Tahido Yanggo
(1997: 76) mengelompokkan fikih pada pada mazhab: a) Ahl al-Sunah wa
al-Jama’ah: (1) ahl al-Ra’yi dikenal dengan Mazhab Hanafi, (2) ahl al-
Hadits dikenal dengan Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. b) Syi’ah:
Syiah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah c) Khawarij d) Sedangkan Mazhab
yang telah musnah yaitu: Mazhab al-Auza’I, al-Zhahiri, al-Thabari, dan al-

1
Tatang Hidayat. 2018. Analisis Atas Terbentuknya Mazhab Fikih, Ilmu
Kalam, dan Tasawuf serta Implikasinya dalam Membangun Ukuwah Islamiyah.
Vol. 10 No. 2
Laitsi 2. Perspektif teologi, Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-
Taubah ayat 122 sebagai berikut:
ِ ‫ت فقَََ ف هُوا‬ َ ِ ‫َ لَ َ م فَر ََنَ و َلْ ف كِ ُ نْ ِ ِ رقْ ةَ م ٍ نْ ِ مُ طائ َ ْ فة‬
َ ِ‫َ ل ٌ ي‬ ً َ َ‫ۚ ة‬
‫ف َ ِ كفَ رواُ ف‬ ْ ‫ن ُ يِ ن‬ َ ‫ل هُم يَذ ََْ ْ ونَ ُر ال َك‬
َ ‫ن َوماَ ْ ؤمْ ُم ن ِ ل و‬ َ ‫و ِا َر ُجع ا َ َذ إ ِ ْ ِم ل ْ َ ع‬
ْ ْ‫ِ ادل ِ ين َ ول يِ ذِ نْ ُ ق رو ُا َ َوم ُهم‬
‫إلََ ي‬
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” Ayat
tersebut menjelaskan dua kelompok dalam setiap golongan untuk
memahami ajaran agama dan pengalamannya. Pertama, bagian kecil dari
golongan umat yang mendalami agama, setelah selesai dari usahanya,
mereka memiliki tugas kewajiban mengajarkan ilmu pengetahuan kepada
umatnya. Kedua, bagian besar dari golongan umat yang tidak mendalami
agama, dengan demikian dalam hal agama mereka mendapatkan pengajaran
dari golongan pertama. Golongan pertama ini disebut sebagai mujtahid,
sementara golongan yang 399 Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau
Kerangka. Kedua disebut sebagai golongan awam. Golongan awam ini
sudah semestinya mengamalkan agamanya melalui bertanya pada golongan
mujtahid yang lebih mengetahui soal agama. Sebagaimana Allloh SWT juga
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 43
ْ ِ َ‫ب ْ ن َرجا ًل ِ إل ِ ل‬
: ْ ‫إلََ ي ِ ِوح مِ ف ۚ ْ اسأْ َ َ ل أ و ُا ذ ِلك ا لَ هْ َ ك إن ِ رِ ْ نتُ ُ َل‬ َ ِ‫م اَ ق ن‬
ْ
‫تََ عل َ ونَ مُ أ َوم َا َ َرسلْ ْ ن‬
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,
[828] Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang nabi dan
kitab-kitab. Berarti ada perhatian khusus terhadap orang yang tidak tahu
untuk menanyakan kepada orang yang tahu. Hal ini agar sebanding amalan
yang dijalankan orang yang bertanya sama sebagaimana dengan orang yang
ditanya. Syarifudin (2002: 102-103) menjelaskan golongan awam yang
bertanya sebagian kecil memiliki pemahaman dan kemampuan menganalisa
serta menyaring jawaban yang diberikan oleh orang yang ditanya (mufti)
untuk diamalkan. Sering kali sebagian besar mereka yang bertanya
(mustafti) mengikuti apa saja yang dikatakan oleh mufti istilah ini dalam
ushul fikih dikenal dengan istilah muqallid, sedangkan usaha mengikutinya
dinamakan taqlid. Ibnu Qayyim pengikut dari mazhab Hanafi menjelaskan
tidak ada keharusan untuk mengikatkan diri pada imam mujtahid tertentu
dalam segala aspek, ia dapat bertanya dengan pendapat yang ia senangi. Bila
dalam suatu masalah ia mengikuti imam yang satu, pada masalah lain ia
boleh bertanya dan mengikuti mujtahid lain. Hal ini tidak ada keharusan
untuk mengikuti mazhab tertentu. Sementara di sisi lain berbeda halnya
dalam mempertahankan eksistensi konsistensi bermazhab. Para murid dan
pengikutnya berusaha semaksimal mungkin agar orang yang telah berada
dalam mazhab itu tidak keluar dari mazhabnya. Di kalangan mazhab Syafi’i
menjelaskan “bila seorang awam mengikuti 400 Jurnal Pemikiran Hukum
dan Hukum Islam Nafiul Lubab dan Novita Pancaningrum dan
mengamalkan fatwa imam mujtahid dalam permasalahan fikih ia tidak
boleh meninggalkan mazhab dan beralih mengikuti mazhab lain.” Ibnu
Subki memaparkan sekalipun pada mulanya tidak ada keharusan berpegang
pada satu mazhab, akan tetapi ia telah bersedia untuk berpegang,
selanjutnya ia tetap mengikuti pendapat mujtahid dan tidak boleh keluar
(Syarifuddin, 2002: 105-106) Ibnu Subki memberikan alternatif bagi yang
ingin meninggalkan dan keluar dari mazhab lain secara keseluruhan dan
mengikuti mazhab lain secara keseluruhan. Ia menutup sama
mencampuradukkan mazhab yakni beramal dalam satu mazhab dan dengan
beberapa mazhab yang berbeda disebut talfiq. Hal ini juga ditolak imam
Syafi’i kalau alasannya demi untuk mencari kemudahan dalam beramal.
Berbeda pula dengan berpegang teguh pada satu mazhab yang ditetapkan
pada suatu tempat yang suatu waktu akan mendatangkan kesulitan. Sebagai
contoh dalam literatur mazhab Syafi’i yang menjelaskan tentang
bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim
hukumnya membatalkan wudhu. Thawaf mengelilingi ka’bah memiliki
kedudukan sebagaimana sholat yang harus suci dari hadats kecil maupun
besar. Saat pelaksanaan thawaf puluhan orang itu sangat mungkin tidak
membatalkan, namun bila pelaksanaannya jutaan orang bagaimana
melindungi dari batalnya wudhu yang diakibatkan bersentuhan kulit laki-
laki dan perempuan. Solusinya yaitu meninggalkan pendapat yang selama
ini diikuti dan berpindah ke pendapat yang mengatakan wudhu tidak batal,
karena bersentuhan sebagaimana yang diutarakan imam Hanafi.
Selanjutnya pada hal lain dari pembacaan munculnya mazhab di atas,
penulis menutip dalam bukunya Yahya (2009: 33) menjelaskan para
sejarahwan Islam memandang bahwa dinamika fikih tidak terlepas dari
wacana teologi. Diskursus antara rasionalitas dan tradisional yang dikenal
dalam ilmu kalam, mulai banyak digunakan dalam hukum Islam. Paham
rasionalis memiliki corak liberal mempertahankan waktu sebagai daktrin
utama, meski kreatifitas rasio menempati tempat tertinggi sebagai pemicu
dinamika hukum Islam. Paham rasionalis ini dikembangkan oleh Wasil bin
Atha, di mana paham ini mendapatkan tempat pada masa pemerintahan
Abbasiyyah- 401 Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka.
Al-Makmun. Faham ini menjadi faham resmi Negara, sehingga paham lain
tidak mendapatkan tempat kesempatan alias tidak boleh tumbuh. Puncak
pemusnahan pemahaman ini ada. 2

C. Faktor – Faktor Adanya Mazhab Hukum Islam


Berikut faktor – faktor mazhab hukum islam :
1. Meluasnya daerah kekuasaan islam yang mencakup wilayah – wilayah
di semenanjung Arab, Irak, Mesir, Palestina, Persia, dan lain lain.

2
Hidayat, Tatang. 2018. Analisis Atas Terbentuknya Mazhab Fikih, Ilmu
Kalam, dan Tasawuf serta Implikasinya dalam Membangun Ukuwah Islamiyah.
Vol. 10 No. 2
2. Pergaulan umat islam dengan bangsa – bangsa yang di taklukannya,
dimana umat islam berbaur dengan budaya, adat istiadat, serta tradisi
bangsa tersebut.
3. Akibat jauhnya jarak – jarak negara yang di taklukan dari pemerintah
islam, sehingga para gubernur, qadi dan para ulama harus melakukan
ijtihad, untuk memberikan jawaban terhadap masalah baru yang
dihadapi.

D. Macam-macam Madzhab
Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan
mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut :
1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat
dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam
dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah
kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya
menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya, salah satu
nya Mazhab berarti jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum peristiwa.Dengan demikian, kendatipun
mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fiqh), yang ditempuh
mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci
harus dipahami.
DAFTAR PUSTAKA

Haidir dan Muhammad Hizbullah. 2021. Historisitas Tradisi Pendidikan Hukum


Islam Di Indonesia (Analisis Konsep dan Implikasinya dalam
Perkembangan Hukum Islam.
Hidayat, Tatang. 2018. Analisis Atas Terbentuknya Mazhab Fikih, Ilmu Kalam,
dan Tasawuf serta Implikasinya dalam Membangun Ukuwah
Islamiyah.
Lubab, Nafiul dan Novita Pancaningrum. 2015. Mazhab: Keterkungkungan
Intelektual atau Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam).
Taupik, Opik dan Ali Khosim Al-Mansyur. 2014. Fiqih 4 Madzhab: Kajian Fiqih-
Ushul Fiqih. Bandung

Anda mungkin juga menyukai