Anda di halaman 1dari 6

Latar Belakang

Salah satu dari organisasi kemasyarakatan yang mempunyai pengikut terbanyak di


Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini dilahirkan sebagai respon terhadap
gerakan Wahabi di daerah Saudi Arabia oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 31 Januari
1926 M di Surabaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya NU mempunyai kaitan
yang erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam pada waktu
itu. Di sisi lain NU didirikan karena motif agama dan nasionalisme. Bentuk dari motif agama
yang menjadi latar belakang berdirinya NU adalah untuk mempertahankan dan terus
merekonstektualisasi ajaran Wali Songo yang mempunyai paham Ahlussunnah wal Jamaah
dengan mengikuti salah satu dari empat madzhab fikih, yakni Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali, salah satu dari dua madzhab tauhid, yakni Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi, salah satu dari dua madzhab tasawuf, yakni Imam al-Ghazali dan Junaid
al-Baghdadi. Dalam motif nasionalisme-nya, NU berdiri dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila,
dalam hal ini keduanya menjadi ideologi.1

Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh ulama-ulama Indonesia terdahulu bukan melulu
organisasi tanpa struktural, yang didalamnya terdapat struktur organ yang menghidupkan
keserasian dalam romantisme hubungan antar individu dan kolektifitasnya. Salah satunya
adalah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) yang bertugas untuk mengkaji berbagai masalah-
masalah agama dan sekaligus menjadi wadah untuk pengkajiannya. Ketegasan yang dibahas
dalam forum yang telah disediakan menhadi tolak ukur himpunan, bahasan dan pemecahan
masalah-masalah furu’ (cabang). Secara tekstual, kata Bahts al-Masail mempunyai dua kata.
Yang pertama adalah kata Bahts dan mempunyai arti pengkajian atau pembahasan.
Sedangkan kata al-Masail merupakan kata plural atau jamak dengan mufrod mas’alah,
sehingga bisa dipahami sebagai beberapa masalah. Keutuhan kedua kata tersebut menjadi
frasa yang menjadi arti kegiatan-kegiatan forum yang didalamnya membahas dan mengkaji
berbagai masalah yang dialami oleh masyarakat.2 Akan tetapi, agaknya hal ini terlalu mutlak.
Permasalahan yang dibahas dalam LBM merupakan permasalahan yang menjadi polemik
ideologi NU sendiri.

1
Fathonah K. Daud dan Mohammad Ridlwan Hambali, “METODE ISTINBATH NAHDLATUL ULAMA (NU): Kajian
Atas Strategi Fatwa Dalam Tradisi Bahts al-Masail Di Indonesia,” Millennial: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam
2, no. 1 (31 Maret 2022): 3, https://doi.org/10.34556/millennial.v2i2.182.
2
Daud dan Hambali, “METODE ISTINBATH NAHDLATUL ULAMA (NU).”
Istilah Baḥts al-Masail ini digunakan dalam tradisi keilmuan NU, yang merupakan
aktivitas keilmuan yang dibangun dari pesantren-pesantren di Indonesia yang telah mengakar
dari generasi ke generasi. Tradisi Baḥts al-Masail sebenarnya sudah ada sebelum NU berdiri.
Tradisi musyawarah dan diskusi (halaqoh) sudah menjadi kebiasaan pesantren dari dahulu
yang hasilnya disosialisasikan pada masyarakat. Tradisi ini digunakan selain untuk mengkaji
perkembangan keilmuan keagamaan, juga untuk mengkaji berbagai problem aktual yang
terjadi di masyarakat. Berdasarkan catatan sejarah, keputusan bahtsul masail yang melibatkan
kiai-kiai antar pesantren telah ada beberapa bulan pasca hari lahir NU, 31 Agustus 1926
secara substansi, kegiatan Bahtsul Masail sudah dilaksanakan jauh sebelum NU berdiri. Kala
itu, sudah berlaku tradisi diskusi di kalangan Pesantren yang melibatkan Kiai dan santri di
mana hasilnya dimuat dalam buletin Lailatul Ijtima Nahdlatul Ulama (LINO).3

Dalam perkembangannya, buletin ini tidak hanya menjadi media pemuat hasil diskusi
tersebut, namun menjadi ajang diskusi interaktif di antara ulama Pesantren yang sebagian
besar terpisah dengan jarak dan waktu yang jauh. Sekedar contoh adalah perdebatan antara
KH.Mahfudz Salam Pati dengan KH. Murtadlo Tuban tentang boleh tidaknya teks khutbah
Jum’at diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Kiai Salam berpendapat boleh
menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa bumi putera (baca: bahasa Indonesia) sedangkan
Kiai Murtadlo berpendapat sebaliknya; tidak membolehkan penerjemahannya ke dalam
bahasa apa pun kecuali mengatakannya dalam bahasa Arab.4

Urgensi

Perkembangan zaman dan tersebarnya Islam ke berbagai daerah memunculkan


persoalan-persoalan keagamaan, membutuhkan jawaban yang tepat dan sesuai dengan situasi
dan kondisi. Sementara itu teks-teks (nushus) syar’i terbatas, pendapat-pendapat ulama yang
integrated dalam suatu persoalan pun terbatas. Sedangkan persoalan-persoalan keagamaan
selalu muncu tidak ada batasnya. Terkadang talfiq menjadi langkah yang sulit dihindari demi
tercapainya kemaslahatan dan kesesuaian hukum dengan situasi dan kondisi. Namun
demikian, sampai saat ini sungguh pun talfiq telah dipraktikkan dalm sistem bermadzhab
yang dianut NU, tetapi belum ada ketentuan-ketentuan yang lebih rinci mengenai apa
sebenarnya talfiq, batasan-batasan diperbolehkannya dan dasar hukumnya. Oleh karena itu,

3
Mulyono Jamal dan Muhammad Abdul Aziz, “METODOLOGIISTINBATH MUHAMMADIYAH DAN NU: (KAJIAN
PERBANDINGAN MAJELIS TARJIH DAN LAJNAH BAHTSUL MASAIL),” Ijtihad 7, no. 2 (12 November 2013): 191,
https://doi.org/10.21111/ijtihad.v7i2.83.
4
Ahmad Muzakki, “Metode Pengkajian Hukum Islam Melalui Lajnah Bahtsul Masail NU,” FIQHUL HADITS :
Jurnal Kajian Hadits dan Hukum Islam 1, no. 1 (26 Januari 2023): 33.
Musyawarah Nasiaonal Alim Ulama Nahdlatul Ulama perlu merumuskan persoalan tersebut
untuk menghilangkan keragu-raguan dalam menggunakan talfiq dan menghindari
penggunaan talfiq yang menyesatkan.

Talfiq adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam satu qadhiyah (satu
rangkaian masalah) sehingga melahirkan pendapat baru yang tidak ada seorang Imam pun
berpendapat seperti itu. Contoh, seseorang ber-taqlid kepada madzhab Syafi’i dalam
keabsahan wudhu dengan hanya mengusap sebagian kepala. Kemudian ber-taqlid pada
madzhab hanafi dalam hal ketidakbatalannya karena menyentuh kulit perempuan yang bukan
mahram. Talfiq pada dasarnya dilarang, Talfiq diperbolehkan jika ada masyaqqah (kesulitan)
dan tidak dalam rangka tatabu’ al-rukhash (semata-mata mencari keringanan).5 Sehingga
dapat disimpulkan bahwasanya Bahts al-Masail mempunyai urgensi yang sangat penting
dalam penentuan solusi dari berbagai masalah. Hal ini juga Bahts al-Masail mempunyai tata
cara atau metode yang sejalur dengan madzhab dan tidak keluar dari batas-batas agama.

Pengertian

Bahts al-Masail sebagaimana yang telah diketahui, Bahtsul Masail secara harfiah
berarti pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk
membicarakan al-masa’il al-diniyyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan
dengan al-masa’il al-fiqhiyyah (masalah-masalah fiqh). Dari perspektif ini al-masa’il al-
fiqhiyah termasuk masalah-masalah yang khilafiyah (kontroversial) karena jawabannya bisa
berbeda pendapat. Menurut istilah, Baḥts al-Masail adalah salah satu forum diskusi
keagamaan untuk merespons dan memberikan jawaban atas problematika yang muncul dalam
masyarakat.

Secara individual, seorang kiai biasa memberikan jawaban atas persoalan yang ada,
karena biasanya masyarakat selalu menghadapi persoalan agama lalu ditanyakan ke kiai.
Inilah yang kemudian disebut dengan fatwa. Fatwa Kyai ini awalnya bersifat individual,
namun ketika NU berdiri, fatwa itu diubah menjadi fatwa kolektif. Fatwa kolektif tentu saja
berbeda dengan fatwa individual, karena fatwa jenis ini membutuhkan kajian bersama yang
hasilnya menjadi representasi kelompok. Fatwa kolektif ini dihasilkan dari forum
pembahasan dan perdebatan para ulama yang disebut Baḥts al-Masail. Selain itu, kegiatan
ilmiah seperti ini juga dahulunya ada yang berbentuk kajian keilmuan yang diadakan para
kyai dan santri yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buletin bernama Lailatul Ijtima’
5
“Pedoman Bahtsul Masail | PDF,” Scribd, 13–14, diakses 25 Oktober 2023,
https://id.scribd.com/document/424066980/PEDOMAN-BAHTSUL-MASAIL.
Nahdlatul Oelama. Buletin ini kemudian dijadikan sebagai diskusi jarak jauh antar pesantren.
Hasil keputusan satu pesantren kemudian ditanggapi oleh pesantren yang lain dan begitu
seterusnya. Hasil dari keputusan diskusi para pesantren maupun Baḥts al-Masail ini kemudian
disebut fatwa ulama pesantren.6

KOMPONEN

Setidaknya ada 6 unsur atau komponen yang terlibat dalam kegiatan bahtsul masail,
yaitu mushahhih, perumus, moderator, notulen, peserta, dan narasumber. Setiap unsur ini
mempunyai peran atau tugas yang berbeda.

1. Mushahhih Orang yang mempunyai kewenangan untuk mempertimbangkan,


mentashih, dan memutuskan hasil rumusan dalam bahtsul masail. Mushahih juga punya
kewajiban untuk memberikan arahan dan nasehat kepada peserta bahtsul masail. Selain itu,
mushahih juga wajib mengikuti kegiatan bahtsul masail dari awal hingga selesai. Baca Juga
Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU Ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan sebagai
seorang mushahih, di antaranya adalah kiai khos, berhaluan ahlussunah wal jamaah an-
nahdliyah, memiliki sanad keilmuan yang jelas, dan punya pengalaman dalam bahtsul masail.

2. Perumus Tim ahli yang bertugas merumuskan, merangkum, dan memilih referensi
yang dianggap sesuai dengan permasalahan dalam pembahasan bahtsul masail. Perumus
mempunyai kewajiban untuk meneliti sejumlah jawaban dan ketepatan referensi dari peserta
bahtsul masail, meluruskan jawaban yang dianggap menyimpang dari pembahasan,
memberikan hasil rumusan jawaban kepada panitia, berkoordinasi dengan mushahhih, serta
mengikuti kegiatan bahtsul masail hingga selesai. Selain itu, perumus juga dilarang untuk
memaksakan jawaban tanpa ada ta'bir yang jelas, berbicara sebelum dipersilahkan moderator,
berbicara di luar materi pembahasan, dan mengganggu konsentrasi peserta bahtsul masail.

3. Moderator Orang yang memimpin dan mengatur jalannya kegiatan bahtsul masail
dari awal hingga akhir dengan pengawasan perumus dan mushahhih. Peran dan tugas
moderator tidak jauh berbeda dengan moderator pada umumnya, yaitu mampu
mengendalikan arah perdebatan hingga sampai pada kesimpulan akhir.

4. Notulen Orang yang bertugas mencatat rumusan jawaban bahtsul masail dan ta'bir
yang telah disetujui oleh perumus dan mushahhih. Selanjutnya, hasil catatan tersebut
diarsipkan untuk keperluan dokumentasi kegiatan.

6
Daud dan Hambali, “METODE ISTINBATH NAHDLATUL ULAMA (NU),” 6.
5. Peserta Para delegasi yang terlibat langsung dalam kegiatan bahtsul masail.
Biasanya peserta yang diundang adalah perwakilan dari pondok pesantren atau pengurus
organisasi dan undangan lain yang disebar oleh pihak penyelenggara. Pada saat mengirimkan
undangan, biasanya pihak penyelenggara menyertakan asilah atau permasalahan yang akan
dibahas.

6. Narasumber Seseorang yang mempunyai kompetensi dan keahlian di bidang


tertentu untuk kemudian diminta penjelasan tentang permasalahan yang akan dibahas. Seperti
ahli ekonomi, kesehatan, politik, dan sebagainya. Teknis pelaksanaan bahtsul masail
Pelaksanaan kegiatan bahtsul masail dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pra acara, acara, dan
pasca acara. Sebelum acara bahtsul masail dimulai, pihak panitia menyiapkan beberapa hal,
di antaranya adalah mengidentifikasi dan menentukan rumusan masalah yang kemudian
dituangkan dalam deskripsi dan pertanyaan, menyebarkan undangan dan menyiapkan daftar
hadir peserta.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan kegiatan bahtsul masail, ada beberapa rangkaian


acara yang mencakup:

1. Acara bahtsul masail dibuka dan ditutup panitia.

2. Panitia menyerahkan jalannya acara kepada moderator.

3. Moderator membacakan permasalahan yang akan dibahas

4. Jika permasalahan masih samar, moderator memberikan kesempatan kepada


narasumber untuk menjelaskan permasalahan secara detail.

5. Jika ada persoalan yang belum dipahami, moderator mempersilahkan peserta untuk
bertanya.

6. Moderator mempersilahkan narasumber atau shahibul asilah untuk menjawab.

7. Jika permasalahan sudah dianggap jelas, moderator mempersilahkan peserta untuk


menjawab permasalahan tersebut yang didukung dengan rujukan turats (ta'bir).

8. Moderator menyimpulkan jawaban peserta kemudian mempersilahkan kepada


peserta lain untuk menguatkan atau menyanggah jawabannya.

9. Setelah masalah selesai dibahas peserta, selanjutnya diserahkan kepada tim


perumus.
10. Tim perumus menganalisa dan mengidentifikasi jawaban dan ta'bir.

11. Jawaban dan ta'bir yang diputuskan perumus kemudian diserahkan ke dewan
mushahhih untuk ditashih. Adapun pasca acara bahtsul masail adalah panitia membagikan
hasil rumusan yang telah disepakati dan ditetapkan oleh mushahhih ke peserta bahtsul masail.

Sumber: https://www.nu.or.id/pustaka/panduan-dan-tata-cara-melaksanakan-bahtsul-masail-
x9QCT

Anda mungkin juga menyukai