Anda di halaman 1dari 10

FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT, MADZHAB DALAM HUKUM


ISLAM, DAN MENSIKAPI PERBEDAAN MADZHAB

OLEH :
DEVITO ALFIONALDI F.
4101420115
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat

Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak,


namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utama saja, yakni:

1) Fungsi Ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada
Allah swt. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi ummat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.

2) Fungsi Amar ma’ruf nahi munkar. Hukum Islam sebagai hukum yang ditujukan
untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia, jelas dalam praktek akan selalu
bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh misalnya proses pengharaman riba dan
khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetap hukum (Allah) dengan subyek dan
obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau
memberikan toleransi dengan dalam hal proses pengharamannya. Riba dan khamar tidak
diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi
mungkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yaitu mendatangkan
kemaslahatan dan menghindarkan “kemadharatan” baik di dunia maupun di akherat.
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat

3) Fungsi Zawajir. Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh


dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukuman atau sanksi
hukum. Qishas dan diyat diterapkan untuk tindak pidana terhadap
jiwa/badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian,
perzinahan, qadzaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana
selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta
perbuatan yang membahayakan.

4) Fungsi Tanzim wa Islah ai-Ummah. Fungsi hukum Islam


selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan
memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat
yang harmonis, aman, sejahtera.
Munculnya Perbedaan Madzhab
Mazhab secara bahasa artinya jalan atau tempat berjalan. Secara istilah
diartikan sebagai cara seorang Mujtahid dalam mengambil (istinbath) dari dalil
Alqur’an atau As-Sunnah yang berbeda-beda antara seorang mujtahid dengan
mujtahid lainnya. Munculnya mazhab-mazhab yang berbeda di dalam hukum
islam adalah adalah konsekuensi logis dari penyebaran Islam ke berbagai daerah
dan diterimanya ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Mazhab biasanya didefinisikan sebagai pendapat kelompok atau aliran yang
bermula dari pemikiran atau ijtihad. Produk pemikiran ini kemudian diikuti dan
dikembangkan oleh kelompok tertentu sehingga menjadi aliran, sekte, atau
ajaran.
Mazhab-mazhab tersebut lahir antara lain karena adanya perbedaan diantara
mereka dalam memegang prinsip hukum, sistim hukum, metode pengkajian, dan
pendekatan dalam memahami ajaran keagamaan yang terangkum dalam Alqur’an
dan As-sunnah (hadits), yang tidak bersifat absolut atau zanni, yang merupakan
lapangan ijtihad, dan dalam hal-hal yang bersifat furuiyah (cabang) bukan dasar
Islam. Perbedaan tersebut dapat diterima sebagai sesuatu yang benar dan tidak
keluar dalam riil agama Islam. Meskipun kadang- kadang perbedaan tersebut
sangat sengit dan bahkan bertentangan sama sekalli, asal fondasinya semata-mata
mencari kebenaran, hal itu tidak menjadi masalah.
Madzhab Hanafi

Mazhab ini didirikan oleh Imam Nu’man bin Tsabit dan bergelar Abu Hanifah. Ia
dilahirkan pada tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H. Ia berasal dari Kufah
(Irak). Di sana pula beliau belajar dan mulai menyusun mazhabnya. Dasar-dasar mazhabnya
adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istihsan. Berkata Imam Syafi’i tentang beliau,
“Semua manusia dalam ilmu fikih pasti membutuhkan Abu Hanifah.”. Dalam
mengembangkan intelektualnya di bidang hukum Islam, Ia berguru pada Imam Hammad
bin Abu Sulaiman (W,120 H) selama 18 tahun.
Pemikiran Hanafi cenderung rasional. Hal ini karena di kuffah problem sosial (hukum)
sangat kompleks, sementara hadits Nabi jarang dijumpai di kota ini, sehingga dalam
memecahkan persoalan masyarakat mereka menggunakan pendekatan rasional atau nalar
seperti qiyas dan istihsan. Dalam mazhab ini penggunaan nalar/rasio lebih dominan dalam
proses pengambilan hukum Islam dari pada penggunaan al-Hadits. Hal ini karena di Iraq
banyak terjadi pemalsuan hadits yang terjadi karena pertikaian beberapa aliran teologi
seperti syiah, khawarij yang masing-masing banyak memalsukan hadits untuk
membenarkan pendapat masing-masing. Hanafi sendiri juga menegaskan akan keharusan
nash (Al-Hadits) tunduk pada analisis rasional yang tercermin dalam ucapannya;
“seandainya Rasulullah berjumpa denganku, Beliau akan mengambil banyak dari
pendapatku, bukankah agama itu ra’yu yang baik”.
Madzhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh Malik bin Anas Al Ashbahi. Ia dilahirkan pada tahun 93 H
dan wafat pada bulan Safar 170 H. Beliau berasal dan belajar di Madinah. Di Madinah pula
beliau menulis kitab Al Muwaththa’. Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah,
Ijma’, Qiyas, perbuatan ulama Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddu dzarai,
mura’ah al khilaf, istishab, mashalih mursalah dan syariat terdahulu. Berkata Imam Syafi’i
tentang beliau, “Malik adalah guruku, darinya aku mandapatkan ilmu. Ia adalah hujjah
antara aku dan Allah SWT. Tak seorangpun yang lebih kupercayai daripada beliau. Jika
berbicara tentang para ulama, beliau seperti bintang yang cahayanya paling terang.”
Dalam proses pengambilan hukum Maliki lebih cenderung literal. Hal itu karena Al-
Hadits begitu banyak bertebaran di Madinah, sehingga dalam memecahkan persoalan sosial
(hukum), tidak memerlukan jawaban di luar Al- Hadits yang sudah ada, karena semua
hampir peristiwa hukum terdapat kesamaannya dengan peristiwa yang dialami masa
sahabat. Disamping kurangnya pengalaman dan wawasannya terhadap kota lain, karena
Maliki tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk ibadah haji, sehingga jarang
bersentuhan dengan budaya luar bahkan bersikap tertutup untuk menerimanya. Oleh karena
itu perkembangan fiqihnya berjalan lambat. Hal itu bukan berarti Malik anti rasio tetapi ia
menggunakan rasio dalam pertimbangan kemaslahatan ummat. Disamping itu Imam Malik
sangat teguh memegang tradisi penduduk Madinah, karena ia menilai bahwa tradisi
penduduk Madinah adalah warisan tradisi Nabi, dan bahkan ia tidak menerima ijma’ kecuali
yang diambil oleh penduduk Madinah yang dinilainya sah keberlakuannya.
Madzhab Syafi’i

Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Idris As Syafi’i Al Hasyimi. Ia


dilahirkan pada tahun 150 H di Palestina dan wafat pada tahun 204 H di Mesir.
Pada umur 2 tahun beliau di bawa ke Mekkah oleh ibunya. Beliau hafal Al qur’an
pada umur 7 tahun dan hafal hadist pada umur 12 tahun. Beliau berguru pada
Imam Malik dan pada umur 10 tahun telah menghafal kitab Al Muwaththa’. Fatwa
pertamanya adalah mazhab al Qodim yang ditulis pada tahun 195 H. Tahun 200
H, beliau pindah ke Mesir dan menulis fatwa yang baru berjudul mazhab al Jadid.
Beliau mengarang kitab Ar Risalah dalam ilmu ushul fiqh dan kitab Al Umm
dalam ilmu fiqh. Dasar-dasar mazhab beliau adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’
dan Qiyas. Berkata Imam Ahmad tentang beliau, “Beliau adalah manusia yang
paling menguasai Kitabullah dan Sunnah. Tidaklah seseorang yang mencoba
memulai menulis fikih, kecuali Imam Syafi’i telah mendahuluinya.”
Corak pemikiran Syafi’i cenderung moderat, konvergensi, yaitu berusaha
mempertemukan antara tradisi tekstual dan rasional. Dalam menerima dua corak
pemikiran tersebut ia bersikap kritis, selektif, sehingga bisa menarik suatu
wawasan baru. Hal itu karena di masa kehidupan Syafi’i, ilmu pengetahuan dan
budaya mencapai kemajuan pesat dengan berdirinya bait Al Hikmah oleh
Khalifah Makmun.
Madzhab Hambali

Mazhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani atau
Imam Ahmad (164 – 241 H). Ia lahir dan wafat di Baghdad. Ia sangat
mencintai ilmu dan sering bepergian mencari ilmu ke berbagai kota,
seperti Kuffah, Bashra, Mekkah, Madinah, Yaman, Mesir, Syam, dan
Jazirah Arab. Ia belajar pada banyak guru, salah satunya adalah Imam
Syafi’i. Berkata Imam Syafi’I tentang beliau, “Aku keluar dari Baghdad
dan tak seorang pun yang kutemui lebih pandai dan lebih takwa dari
Ahmad bin Hambal.”
Dasar dari mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, perkataan
sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, Mashalih mursalah, dan Adz Dzarai’.
Beliau mengarang kitab Al Musnad mengenai hadist dan berisi sekitar 45.
000 hadist. Reputasinya sebagai ahli hadits dan teologi lebih besar dari
pada ahli hukum, ia sama sekali tidak menerima hasil pemikiran manusia
Hukum Bermadzhab

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengatur mazhab. Perbedaan tersebut adalah:
1) Mewajibkan. Semua orang harus mengikuti salah satu di antara keempat mazhab yang ada karena
pintu ijtihad sudah ditutup dan tidak seorang pun mampu menjadi seorang mujtahid di masa kini.
Pendapat ini menganggap semua manusia sebagai orang awam sehingga harus taqlid atau mengikuti
secara penuh, tanpa boleh sedikitpun mempertanyakan, mengkritik atau memperbaiki kesalahan para
imam.
2) Mengharamkan. Berasal dari kelompok yang menyatakan bahwa bermazhab itu bid’ah, yaitu
mengada-ada apa yang tidak diperintah oleh Nabi Muhammad SAW. Bid’ah dalam agama adalah haram.
Mereka menyatakan bahwa di zaman Rasulullah tidak ada berbagai mazhab.
3) Membolehkan tanpa pemaksaan pada mazhab tertentu dan kita harus menyempurnakannya
sehingga sampai pada taraf mujtahid. Kelompok ini membagi manusia dalam 3 golongan, yaitu:
a) Kelompok awam yang tidak mengerti dalil sama sekali. Bagi kelompok ini, mereka wajib memilih
dan mengikuti salah satu mazhab yang ada.
b) Kelompok pencari ilmu. Bagi kelompok ini dipersilakan memilih salah satu mazhab, tapi boleh
mempelajari atau mengambil dari mazhab lain yang sahih sambil terus menyempurnakan ilmunya.
c) Kelompok para ulama mujtahid (yang memenuhi syarat untuk mampu berijtihad). Kelompok ini
haram bermazhab. Mereka harus terus berusaha mengembangkan ijtihadnya sehingga memperkaya dan
mengembangkan khazanah ilmu fikih Islam.
Sikap Ulama’ dalam Menghadapi Perbedaan Furu’
Sikap para Ulama’ dalam menyikapi perbedaan ini tidak
mempertentangkan, memaklumi serta menerimanya. Sebagai contoh
adalah sikap Imam Syafi’i ketika berkunjung ke kota tempat
dimakamkannya Imam Abu Hanifah, beliau shalat shubuh dengan tidak
membaca doa qunut. Ketika ditanya orang-orang, beliau menjawab, Ana
ahtarimu li shohibi hadzal qabr” (saya menghormati penghuni kubur ini
yaitu Imam Abu Hanifah)’.Walau Imam Abu Hanifah telah wafat, Imam
Syafi’i tetap menghormati mazhabnya, apalagi jika masih hidup.
Sikap penghormatan lain yang ditujukan Imam Ahmad saat ditanya
tentang bagaimana berimam kepada imam yang mimisan (keluar darah
dari hidung). Imam Ahmad berpendapat bahwa keluar darah dari hidung
membatalkan shalat – karena orang yang bertanya orang
Madinah(mazhab Madinah tidak membatalkan shalat seorang yang
mimisan)-, maka jawab Imam Ahmad dengan nada tinggi:” Bagaimana
mungkin saya tidak mau shalat dibelakang Imam Abu Hanifah atau
Imam Sayid bin Musayyib?” (kedua orang tersebut berpendapat bahwa
seorang yang mimisan tidak batal shalatnya”.

Anda mungkin juga menyukai