OLEH :
DEVITO ALFIONALDI F.
4101420115
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat
1) Fungsi Ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada
Allah swt. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi ummat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
2) Fungsi Amar ma’ruf nahi munkar. Hukum Islam sebagai hukum yang ditujukan
untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia, jelas dalam praktek akan selalu
bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh misalnya proses pengharaman riba dan
khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetap hukum (Allah) dengan subyek dan
obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau
memberikan toleransi dengan dalam hal proses pengharamannya. Riba dan khamar tidak
diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi
mungkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yaitu mendatangkan
kemaslahatan dan menghindarkan “kemadharatan” baik di dunia maupun di akherat.
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat
Mazhab ini didirikan oleh Imam Nu’man bin Tsabit dan bergelar Abu Hanifah. Ia
dilahirkan pada tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H. Ia berasal dari Kufah
(Irak). Di sana pula beliau belajar dan mulai menyusun mazhabnya. Dasar-dasar mazhabnya
adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istihsan. Berkata Imam Syafi’i tentang beliau,
“Semua manusia dalam ilmu fikih pasti membutuhkan Abu Hanifah.”. Dalam
mengembangkan intelektualnya di bidang hukum Islam, Ia berguru pada Imam Hammad
bin Abu Sulaiman (W,120 H) selama 18 tahun.
Pemikiran Hanafi cenderung rasional. Hal ini karena di kuffah problem sosial (hukum)
sangat kompleks, sementara hadits Nabi jarang dijumpai di kota ini, sehingga dalam
memecahkan persoalan masyarakat mereka menggunakan pendekatan rasional atau nalar
seperti qiyas dan istihsan. Dalam mazhab ini penggunaan nalar/rasio lebih dominan dalam
proses pengambilan hukum Islam dari pada penggunaan al-Hadits. Hal ini karena di Iraq
banyak terjadi pemalsuan hadits yang terjadi karena pertikaian beberapa aliran teologi
seperti syiah, khawarij yang masing-masing banyak memalsukan hadits untuk
membenarkan pendapat masing-masing. Hanafi sendiri juga menegaskan akan keharusan
nash (Al-Hadits) tunduk pada analisis rasional yang tercermin dalam ucapannya;
“seandainya Rasulullah berjumpa denganku, Beliau akan mengambil banyak dari
pendapatku, bukankah agama itu ra’yu yang baik”.
Madzhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh Malik bin Anas Al Ashbahi. Ia dilahirkan pada tahun 93 H
dan wafat pada bulan Safar 170 H. Beliau berasal dan belajar di Madinah. Di Madinah pula
beliau menulis kitab Al Muwaththa’. Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah,
Ijma’, Qiyas, perbuatan ulama Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddu dzarai,
mura’ah al khilaf, istishab, mashalih mursalah dan syariat terdahulu. Berkata Imam Syafi’i
tentang beliau, “Malik adalah guruku, darinya aku mandapatkan ilmu. Ia adalah hujjah
antara aku dan Allah SWT. Tak seorangpun yang lebih kupercayai daripada beliau. Jika
berbicara tentang para ulama, beliau seperti bintang yang cahayanya paling terang.”
Dalam proses pengambilan hukum Maliki lebih cenderung literal. Hal itu karena Al-
Hadits begitu banyak bertebaran di Madinah, sehingga dalam memecahkan persoalan sosial
(hukum), tidak memerlukan jawaban di luar Al- Hadits yang sudah ada, karena semua
hampir peristiwa hukum terdapat kesamaannya dengan peristiwa yang dialami masa
sahabat. Disamping kurangnya pengalaman dan wawasannya terhadap kota lain, karena
Maliki tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk ibadah haji, sehingga jarang
bersentuhan dengan budaya luar bahkan bersikap tertutup untuk menerimanya. Oleh karena
itu perkembangan fiqihnya berjalan lambat. Hal itu bukan berarti Malik anti rasio tetapi ia
menggunakan rasio dalam pertimbangan kemaslahatan ummat. Disamping itu Imam Malik
sangat teguh memegang tradisi penduduk Madinah, karena ia menilai bahwa tradisi
penduduk Madinah adalah warisan tradisi Nabi, dan bahkan ia tidak menerima ijma’ kecuali
yang diambil oleh penduduk Madinah yang dinilainya sah keberlakuannya.
Madzhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani atau
Imam Ahmad (164 – 241 H). Ia lahir dan wafat di Baghdad. Ia sangat
mencintai ilmu dan sering bepergian mencari ilmu ke berbagai kota,
seperti Kuffah, Bashra, Mekkah, Madinah, Yaman, Mesir, Syam, dan
Jazirah Arab. Ia belajar pada banyak guru, salah satunya adalah Imam
Syafi’i. Berkata Imam Syafi’I tentang beliau, “Aku keluar dari Baghdad
dan tak seorang pun yang kutemui lebih pandai dan lebih takwa dari
Ahmad bin Hambal.”
Dasar dari mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, perkataan
sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, Mashalih mursalah, dan Adz Dzarai’.
Beliau mengarang kitab Al Musnad mengenai hadist dan berisi sekitar 45.
000 hadist. Reputasinya sebagai ahli hadits dan teologi lebih besar dari
pada ahli hukum, ia sama sekali tidak menerima hasil pemikiran manusia
Hukum Bermadzhab
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengatur mazhab. Perbedaan tersebut adalah:
1) Mewajibkan. Semua orang harus mengikuti salah satu di antara keempat mazhab yang ada karena
pintu ijtihad sudah ditutup dan tidak seorang pun mampu menjadi seorang mujtahid di masa kini.
Pendapat ini menganggap semua manusia sebagai orang awam sehingga harus taqlid atau mengikuti
secara penuh, tanpa boleh sedikitpun mempertanyakan, mengkritik atau memperbaiki kesalahan para
imam.
2) Mengharamkan. Berasal dari kelompok yang menyatakan bahwa bermazhab itu bid’ah, yaitu
mengada-ada apa yang tidak diperintah oleh Nabi Muhammad SAW. Bid’ah dalam agama adalah haram.
Mereka menyatakan bahwa di zaman Rasulullah tidak ada berbagai mazhab.
3) Membolehkan tanpa pemaksaan pada mazhab tertentu dan kita harus menyempurnakannya
sehingga sampai pada taraf mujtahid. Kelompok ini membagi manusia dalam 3 golongan, yaitu:
a) Kelompok awam yang tidak mengerti dalil sama sekali. Bagi kelompok ini, mereka wajib memilih
dan mengikuti salah satu mazhab yang ada.
b) Kelompok pencari ilmu. Bagi kelompok ini dipersilakan memilih salah satu mazhab, tapi boleh
mempelajari atau mengambil dari mazhab lain yang sahih sambil terus menyempurnakan ilmunya.
c) Kelompok para ulama mujtahid (yang memenuhi syarat untuk mampu berijtihad). Kelompok ini
haram bermazhab. Mereka harus terus berusaha mengembangkan ijtihadnya sehingga memperkaya dan
mengembangkan khazanah ilmu fikih Islam.
Sikap Ulama’ dalam Menghadapi Perbedaan Furu’
Sikap para Ulama’ dalam menyikapi perbedaan ini tidak
mempertentangkan, memaklumi serta menerimanya. Sebagai contoh
adalah sikap Imam Syafi’i ketika berkunjung ke kota tempat
dimakamkannya Imam Abu Hanifah, beliau shalat shubuh dengan tidak
membaca doa qunut. Ketika ditanya orang-orang, beliau menjawab, Ana
ahtarimu li shohibi hadzal qabr” (saya menghormati penghuni kubur ini
yaitu Imam Abu Hanifah)’.Walau Imam Abu Hanifah telah wafat, Imam
Syafi’i tetap menghormati mazhabnya, apalagi jika masih hidup.
Sikap penghormatan lain yang ditujukan Imam Ahmad saat ditanya
tentang bagaimana berimam kepada imam yang mimisan (keluar darah
dari hidung). Imam Ahmad berpendapat bahwa keluar darah dari hidung
membatalkan shalat – karena orang yang bertanya orang
Madinah(mazhab Madinah tidak membatalkan shalat seorang yang
mimisan)-, maka jawab Imam Ahmad dengan nada tinggi:” Bagaimana
mungkin saya tidak mau shalat dibelakang Imam Abu Hanifah atau
Imam Sayid bin Musayyib?” (kedua orang tersebut berpendapat bahwa
seorang yang mimisan tidak batal shalatnya”.