Anda di halaman 1dari 20

Nawāqiḍ al-Islām

Oleh:
Muhammad Yusa’
Muhammad Firman Saputra
Makna Riddah dan Nawāqiḍ al-Islām
1. Makna Riddah
Bahasa : “Kembali (ar-rujū’)
Terminologi: al-Malibari (Ulama mazhab Syafi’i
mendefinisikan riddah sebagai:
“Sikap memutuskannya seorang mukallaf dari agama Islam dengan
kekufuran , baik berupa niat, ucapan,maupun perbuatan yang disertai
keyakinan, penentangan, atau penghinaan. Adapun misalnya berupa: sikap
tidak mengakui Allah sebagai pencipta,menginginkan seorang nabi, menolak
sesuatu yang telah disepakati, sujud kepada makhluk, dan ragu-ragu dalam
kekufuran.”

Menjadi bahasan khusus para ulama dalam bab al-murtād (pelaku riddah) pada
kitab-kitab fikih mereka.
Makna Nawāqiḍ
tunduk serta patuh (aslama)
pasrah berserah diri (sallama)
tangga/derajat (sullam)
kedamaian (siliim)
kesejahteraan, kebahagiaan dan
keselamatan (salaama).
Makna Riddah dan Nawāqiḍ al-Islām
2. Makna Nawāqiḍ al-Islām
A. Al-Barrāk: Istilah Nawāqiḍ al islam sebagai
ungkapan yang indah dan mendalam, menyerupai
istilah Nawāqiḍ al-Wuḍu‘ (pembatal-pembatal
wudu)
dimaksudkan sebagai sesuatu yang membatalkan keislamaan dalam arti
ma‘nawiyyah haqiqiyyahnya (makna hakiki). Sesuatu tersebut berupa
najasun (kotoran) yang membatalkan al- ṭahārah yang diwakili dengan
kemusyrikan (al-syirk). Dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk plural
nomina pelaku, al-musyrikīn.
“Innamā al-musyrikīn najasun”
Makna Riddah dan Nawāqiḍ al-Islām
2. Makna Nawāqiḍ al-Islām
B. Fahd al-Ḥuṣain:
1. Nawāqiḍ: bentuk plural dari kata naqid yang menjadi bentuk fail
(nomina untuk pelaku) bagi kata kerja naqada al-syai‘a, bermakna
merobohkan, menguraikan, melanggar sesuatu; istilah yang seiras
untuk hallahū (melanggarnya), hadamahū (meruntuhkannnya), dan
afsadahū (menghancurkannya).
2. Al-Islām: Penyerahan diri kepada Allah dengan al-tauhīd
(monoteisme), keterikatan diri kepada-Nya dengan al- ṭā‘ah (ketaatan),
dan barā‘ah (keberlepasdirian) dari al-syirk (kesyirikan) dan ahlihī
(pelaku kesyirikan).
Makna Riddah dan Nawāqiḍ al-Islām
2. Makna Nawāqiḍ al-Islām
Keseimpulan terminologis: Nawāqiḍ al-Islām adalah hal-hal yang dapat
meruntuhkan pondasi keimanan dalam keislaman seseorang dan
membatalkannya (keimanan). Hal-hal tersebut, secara umum disebut
sebagai kesyirikan (al-syirk).

Al-syirk dianggap sebagai sinonim bagi al-kufr dan keduanya saling


berpadanan secara umumnya,apabila digunakan di dalam kalimat. Namun
al-Kufr lebih lebih condong kepada aspek pertentangan. Sedangkan al-
syirk lebih condong kepada aspek pemalingan doa (ṣarf al-da‘wah) dan
permintaan pertolongan (al-istigāṡah) kepada selain Allah. (Abdullah bin
Baz)
Makna Riddah dan Nawāqiḍ al-Islām
Korelasi Makna
Nawāqiḍ al-Islam yang dimaksudkan sebagai pembatal-pembatal keislaman berupa
perilaku kufr dan syirk yang meniadakan keimanan, sebagai ungkapan lain dari konsep
riddah yang dimaksudkan sebagai istilah yang mewakili ungkapan “kembali kepada
kekafiran setelah beriman”.

Nawāqiḍ al-Islām merupakan istilah hasil induksi tematis (al-itiqrā’) Muhammad bin
Abdu al-Wahhābdengan ber istidlal kepada dalil-dalil syarak yang mu’tabar.

Al-Rajahī mengatakan bahwa sepuluh hal tersebut adalah yang paling penting dari
macam-macam Nawāqiḍ al-Islām yang menjadi rujukan selain dari macam-macam
tersebut. Lebih rinci dari al-Rajahī, al- ‘ilwani mengatakan bahwa seluruh Nawāqiḍ al-
Islām yang disebutkan oleh para Fuqaha didalam kitab-kitab fikih mereka kembali
kepada sepuluh macam tersebut.
Intrepetasi Nawāqiḍ al -Islam
Intrepetasi yang bersifat mutasyaddid: Al-Utsaimin:
•celaan terhadap mutasahhilin yang mengatakan: “jangan mengkafirkan sesama
muslim, cukup dianggap sah islamny seseorang dengan berkata ‘aku adalah
seorang muslim’”
•Lebih besar bahayanya daripada atheis dengan mengganggap orang kafir sebagai
islam
Intrepetasi yang bersifat mutasahhil: Al- ‘ilwāni:
•Harus dibedakan antara pengkafiran perbuatan dengan pengkafiran pelaku,
karena ada sebagaian manusia ada yang mencanpur adukkan antara dua hal
tersebut
•Seseorang dikafirkan berdasarkan syarat-syarat tertentu dan meniadakan
penghalang-penghalang
•Pengkafiran adalah hak Allah dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah,
dan pemahaman para salaf
Intrepetasi Nawāqiḍ al -Islam
Argumentasi al-’Ilwani
Hadits Abu Hurairah yang ditakhrij oleh dua pemilik kitab shohih, dan oleh Ibnu Majah No. 4245
“Seorang laki-laki telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, ketika kematian telah tiba, ia berwasiat kepada anaknya seraya berkata:
“Apabila aku mati, maka bakarlah jasadku, kemudian jadikanlah aku debu, dan tebarkanlah debu itu biar diterpa angin laut.
Demi Allah, seandainya Rabbku telah menentukan adzabku, tidaklah akan ada yang dapat mengadzabku.”
Beliau kembali bersabda:
“Kemudian mereka melaksanakannya, lantas di katakanlah kepada bumi:
“Kembalikanlah apa yang telah kamu ambil.”
Maka tiba-tiba orang tersebut telah berdiri, lalu di tanyakan kepadanya:
“Apa yang mendorongmu melakukan perbuatan itu?”
lelaki itu menjawab:
“Karena takut kepada-Mu wahai Rabbku.”
Maka ia pun di ampuni.”

Dalam fatawa: Ibnu Taimiyah disebut bahwa orang ini ragu terhadap kemampuan Allah dan didalam pengembaliannya. Bahkan ia percaya bahwa ia tidak akan
dikembalikan (seperti pada wujud semula), perkara ini disepakati oleh kaum muslimin sebagai bentuk kekafiran.

Dalam al-Masail al-Mardiniyyah: “Hakikat perkara demikian bahwa perkataan tersebut adalah perbuatan kufur, Diikutkanlah pelakunya dengan pengkafiran.
Tetapi seseorang tertentu yang mengatakan hal tersebut tidak dihukumi kafir hingga terdapat hujjah yang berlaku atas dirinya
Intrepetasi Nawāqiḍ al -Islam

1. Menyekutukan Allah (syirik)

2. Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah


(Tawasul)

3.Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan


kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka.

4. Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna dari Sunnah Nabi


Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

5. Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia
telah kafir.
Intrepetasi Nawāqiḍ al -Islam

6. Menghina bagian dari agama rasul atau berupa pahala dan azab
dari Allah (Islam)

7. Melakukan Sihir

8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu


mereka dalam rangka memerangi kaum Muslimin

9. Meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi


Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

10. Berpaling dari agama Allah Ta’ala, ia tidak mempelajarinya dan


tidak beramal dengannya.
Pro Kontra Implementasi
Nawāqiḍ al-Islām
1. Pengkafiran orang yang bertawasul

2. Pengkafiran terhadap orang yang berdemokrasi, berpancasila, dan


menjadi PNS.

3. Pengkafiran Orang yang tidak sepaham akidah

4. Pengkafiran para Auliya kalangan sufi yang mengganggap kalau


orang sudah mencapai tahap ma’rifat berarti ia bisa terbebas dari
taklif syariat
Pro Kontra Implementasi
Nawāqiḍ al-Islām
1. Pengkafiran orang yang bertawasul

2. Pengkafiran terhadap orang yang berdemokrasi, berpancasila, dan


menjadi PNS.

3. Pengkafiran Orang yang tidak sepaham akidah

4. Pengkafiran para Auliya kalangan sufi yang mengganggap kalau


orang sudah mencapai tahap ma’rifat berarti ia bisa terbebas dari
taklif syariat
Pro Kontra Imple

1. Pengkafiran orang yang bertawasul

2. Pengkafiran terhadap orang yang berdemokrasi, berpancasila, dan


menjadi PNS.

3. Pengkafiran Orang yang tidak sepaham akidah

4. Pengkafiran para Auliya kalangan sufi yang mengganggap kalau


orang sudah mencapai tahap ma’rifat berarti ia bisa terbebas dari
taklif syariat
Kaidah Fiqih
Hukum asal ibadah mahdhah adalah segala
sesuatu dilarang untuk dikerjakan, kecuali
yang dibolehkan dalam Al-Qur’an atau
dicontohkan Nabi Muhammad melalui As-
Sunnah.
Hukum asal ibadah muamalah adalah segala
sesuatu dibolehkan, kecuali ada larangan
dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah.
Aturan mengenai ibadah muamalah

Hukum keluarga (ahwalus syakhsiyah)


Hukum privat (ahkamul madaniyah)
Hukum pidana (ahkamul jinaiyah)
Hukum perundang-undangan (ahkamul
dusturiyah)
Hukum internasional (ahkamul dauliyah)
Hukum ekonomi dan keuangan (ahkamul
iqtishadiyah maliyah)
Hukum Islam
secara istilah disebut juga hukum syara’
adalah hukum Allah yang mengatur
perbuatan manusia yang didalamnya
mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh
para mukallaf atau ditinggalkannya atau yang
mengandung pilihan antara dikerjakan dan
ditinggalkannya.
Hukum syara’ hanya dapat diambil dari
sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al Qur’an,
As Sunnah, ijma’ sahabat nabi, dan qiyas
Sasaran Hukum Islam
Penyucian Jiwa: agar manusia menjadi
sumber kebaikan
Menegakkan Keadilan Dalam Masyarakat
Mewujudkan Kemashlahatan Manusia
disebut juga Maqashidus Syariah (Tujuan
Syariah) yang meliputi pemeliharaan
terhadap:
agama, jiwa, harta, akal dan keturunan
Maqashidus Syariah

Memelihara Memelihara Memelihara Memelihara


Akal Keturunan Jiwa Agama
Maqashidus Syariah

Memelihara Memelihara Memelihara Memelihara Memelihara


Harta Akal Keturunan Jiwa Agama

Secara Filosofi , Seluruh kegiatan


Sesuai Dengan Maqashidus
Syariah

Yang Harus Dihindari

Gharar Maisir Riba Risywah Dzulmun

Anda mungkin juga menyukai