Anda di halaman 1dari 27

TUJUH ALIRAN – ALIRAN TEOLOGI

YANG MUNCUL DAN 4 METODE


TAFSIR
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Resume Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Matakuliah :
H. ZAENAL ABIDIN , Drs.,M.Ag.
Disusun Oleh :
Nama NIM Prodi
Zarkasih Nur Hermawan 21110562 IF – S1

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER


MARDIRA INDONESIA
2023
PENJELASAN TENTANG 7 ALIRAN – ALIRAN TEOLOGI
1.1 Aliran Khawarij
Khawarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khawaarij, secara harfiah berarti
mereka yang keluar. Aliran Khawarij dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut
sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan
mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelom- pok
Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657) dan
mereka juga tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra.
Menurut kelompok Khawarij, semua yang telah mengikuti proses tahkim, terma- suk Ali
bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melanggar ketentuan syara’, dan dihukumi kafir karena
telah melakukan dosa besar, yakni tidak berhukum dengan hukum Allah. Berdasar kejadian
tahkim tersebut kelompok Khawarij mencetuskan pokok pemikiran bahwa setiap keputusan
berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh).
Adapun Sekte dari kelompok Khawarij
1. Sekte Al Azariqah
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al Azraq, pemimpin utamanya. Dalam
pandan- gan teologisnya, Al Azariqoh tidak menggunakan istilah kafir, tetapi
menggunakan istilah musyrik atau politheis. Istilah musyrik bagi sekte Al-
Azariqoh adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan,
orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan
istri yang bukan golongan Al-Azariqoh.
2. Sekte Al Ibadiah
Nama golongan ini diambil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun
686 M. me- misahkan diri dari golongan Al-Azariqoh. Adapun faham
fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
A. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan
pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan
hubungan perkawinan dan hukum Syahadat mereka diterima, dan membunuh
mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
B. Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-
esa- kan Tuhan, tetapi bukan Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama,
tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa
besar tidak berarti sudah keluar dari Islam.
C. Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan
Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
D. Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan
“dar at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.
Sekte ini lebih lembut dari pada sekte al Zari1.2qoh. Namun secara umum aliran khawarij
merupakan aliran yang sangat keras dalam beragama. Aliran inilah yang ditengarahi menjadi
cikal bakal terorisme di dunia islam. Hal ini dikarenakan pema- haman yang kurang
konprehensip dan lengkap dalam beragama. [1]
1.2 Aliran Murjiah
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau
menangguhkan. Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda
penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Su-
fyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin
mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir dian- tara
ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut.
Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan den- gan
perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya,
apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan
kafir.Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin
Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau meli- batkan diri dalam
pertentangan politik antara Utsman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib
(khalifah ke-4; w. 661). Menurut Syahristani orang pertama yang membawa paham
Murji’ah adalah Gailan ad Dimasyqi.
A. Sekte
Menurut Harun Nasutuion, aliran Murji’ah, terbagi menjadi 2, yakni “golongan moderat”
dan “golongan ekstrim”.
1. Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah
kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar
kecilnya dosa
2. Golongan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa
orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara
lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam Golongan
ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
 Al-Jahmiyah, kelompok Jahmbin Syafwan danp arapengikutnya, berpandangan
bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara
lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati
bukan pada bagian lain dalam tubuh
 Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan, sedangkan kufur tidak tahu Tuhan. Sholat bukan merupakan
ibadah kepada Allah, demikian pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah
 Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat
atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-
dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang
bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan
jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
 Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi,
tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”,
maka orang tersebut tetap mukmin [2]
1.3 Aliran Mu’tajilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya “memisahkan diri”.
Mu’tazilah adalah salah satu aliran pemikiran dalam Islam yang banyak terpengauruh
dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio sebagai dasar ar-
gumentasi.
Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan
teolo- gis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa
tah- kim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar
Pada mu- lanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya,
Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al-Bashri.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut
Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Tokoh aliran Mu’tazilah diantaranya adalah Washil bin Atha’, Abu Huzail Al Allaf, Al
Nazzam, Abu Hasyim Al Jubba’i.
Doktrin Ajaran
1. Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan ten- tang
mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah sub- stansi
Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandan- gan al-
Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid seb- agai
berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang
(syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh, tidak berlaku padanya, tidak mungkin
mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq
yang menunjukkan ketidak azalian-Nya.
Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai
pancaindera, tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia
Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang
yang berkuasa dan orang yang hidup hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya
yang Qadim. Tidak ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang diciptakan-
Nya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
2. Al-‘Adl (keadlilan Tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak meng- hendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan qudrah
(kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan
sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan
kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (be- bas) dari keburukan-
keburukan yang dilarang-Nya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa
manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena
diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas
kemauannya sendiri.
3. Al-Wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi
janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam sur- ga, dan
melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah
syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi
Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
4. Al-Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksud- nya
adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pema- haman yang
mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak
pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan
Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan
kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu
dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran; 104 dan QS. Luqman; 17, seperti halnya
golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat ja- hat
adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal
pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja,
tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan. [3]
1.4 Aliran Syiah
Apa Itu Syiah? Syiah merupakan sempalan atau sekte dalam Islam yang dianggap
telah melenceng dari ajaran agama. Meski demikian, tidak semua kaum Syiah dianggap
sesat karena masih ada sebagian dari mereka yang mengimani Al Qur'an. Peneliti Balai
Litbang Agama Semarang Kemenag, Moh Hasim dalam artikenlnya berjudul Syiah:
Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia dikutip dari
jurnalgarmoni.kemenag.go.id menjelaskan, Syiah dari segi bahasa (etimologi) berarti
pengikut, pecinta, pembela, yang ditujukan kepada ide, individu atau kelompok tertentu
(Shihab, 2007).
Syiah dalam arti kata lain dapat disandingkan juga dengan kata Tasyayu’ yang berarti
patuh/mentaati secara agama dan mengangkat kepada orang yang ditaati dengan penuh
keikhlasan tanpa keraguan. Penggunaan kata Syiah dari sisi bahasa ini telah banyak
diungkap dalam al-qur’an dan literatur-literatur lama. Dalam Al Quran penggunaan kata
Syiah terdapat dalam surat Ash-Shaaffaat ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya
Ibrahim benar-benar sebagai pendukungnya (Nuh)”.
Kata “Syiah”dalam kebahasaan sudah dikenal sejak awal kepemimpinan Islam,
sebagai identifikasi terhadap kelompokkelompok yang mengidolakan seseorang yang
dianggap sebagai tokoh. Adapun Syiah dalam arti terminologi terdapat banyak pengertian
yang sangat sulit dapat mewakili seluruh pengertian Syiah. Dalam Ensiklopedi Islam,
Syiah yaitu kelompok aliran atau paham yang mengidolakan bahwa Ali bin Abi Thalib
ra. dan keturunannya adalah Imam-Imam atau para pemimpin agama dan umat setelah
Nabi Muhammad SAW (Ensiklopedi Islam, 1997). Muhammad Husain Attabi’i dalam
bukunya “Syiah Islam” memberikan pengertian bahwa Syiah adalah kaum muslimin yang
menganggap penggantian Nabi Muhammad Saw adalah merupakan hak istimewa yang
dimiliki oleh keluarga nabi dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan
Islam mengikuti ahlul bait (Husayn Attabi’i, 1989: 32). Sedangkan Qurais Shihab dengan
mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani mendefinisikan bahwa Syiah, yaitu mereka
yang mengikuti Sayyidina Ali ra dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul
saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya. Pendapat
Shihab ini lebih mencerminkan sebagian dari golongan dalam Syiah-untuk sementara ini
dapat diterima karena telah mencerminkan definisi untuk kelompok Syiah terbesar yaitu
Syiah Itsna Asyariyah. (Shihab 2007). Syiah adalah kenyataan sejarah umat Islam yang
terus bergulir.Lebih dari 1.000 tahun, Syiah mengalami perjalanan sejarah, tidak serta
merta hadir dipanggung perdebatan dan konflik sosial seperti saat ini.
Aliran dalam Syiah Syiah menurut Shihab dengan mengutip pendapat Al-
Baghdadi (wafat 429 H) pengarang kitab al-farqu baina al-firaq, membagi Syiah dalam
empat kelompok besar yaitu Zaidiyah, Ismailiyah, Isna ‘Asyarirah, Ghulat (ekstremis).
Munculnya berbagai macam golongan Syiah disebabkan oleh karena pebedaan prinsip
keyakinan dan berbedaan dalam hal pergantian Imam, yaitu sesudah Imam al-Husein,
Imam ketiga, sesudah Ali Zaenal Abidin, imam keempat dan sesudah Ja’far Sadiq, Imam
keenam (Shihab, 2007: 66). Syiah adalah paham keagamaan yang menyandarkan pada
pendapat Sayidina Ali (khalifah ke empat) dan keturunannya yang muncul sejak awal
pemerintahan Khulafaurrasyidin. Syiah berkembang menjadi puluhan aliranaliran karena
perbedaan paham dan perbedaan dalam mengangkat Imam. Perkembangan syiah di
Indonesia melalui empat tahap gelombang, yaitu: Pertama, bersamaan dengan masuknya
Islam di Indonesia; Kedua, pasca revolusi Islam Iran; Ketiga, Melaui Intelektual Islam
Indonesia yang belajar di Iran; dan Empat, Tahap keterbukaan melaui Pendirian
Organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia. [4]
1.5 Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara
yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminologi adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini
lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewu- judkan perbutan-
perbutannya. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi
segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau me- ninggalkannya atas kehendaknya
sendiri.Menurut Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka
yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki
kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan,
mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.Menurut Ahmad Amin, ada sebagian
pakar teologi yang mengatakan bahwa Qa- dariyah pertama kali dimunculkan oleh
Ma’bad al Juhaini dan Ghilan ad Dimasyqi sekitar tahun 70 H/ 689M. Ditinjau dari segi
politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah,
karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan,
bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan
lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu ter- tampung dalam aliran Muktazilah.
- Doktrin Ajaran
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, menyebut pokok-pokok aja- ran
qadariyah sebagai berikut :
1. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan
orang fasik itu masuk neraka
2. Allah Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik
(surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas
segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak
disebut adil.
3. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Maha Esa atau Satu dalam arti bahwa
Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan
melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu
mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnyaKaum
Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala
sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. [5]

1.6 Aliran Jabariyah


Secara bahasa jabariyah (fatalism) berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Menurut Harun Nasution jabari- yah
adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentu- kan dari
semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya, setiap perbuatan yang diker-jakan
manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).Sejarawan Abu Zahra
menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah.
Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia
ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Tokoh yang mendirikan aliran ini
adalah Jahm bin Safwan, Al-Ja’ad Bin Dirham, Husain Bin Muhammad Al Najjar, Dirar
Ibn ‘Amr.
Doktrin Ajaran
Aliran ini dikenal juga dengan nama Jahmiyyah karena mendasarkan pemikiran ke-
pada tokoh utamanya yakni, Jahm bin Shofwan. Doktrin ajaran Jabariyah yang ekstrim
mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan ke-
hendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh
paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari
scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia
dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Di antara ajaran kelompok ini adalah:
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri.
2. Surga dan neraka tidak kekal
3. Kalam Tuhan adalah Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti
berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera
mata di akherat kelak.
Aliran Moderat
Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad An Najjar. Ia
menjadi pelopor aliran moderat yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala
perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan- perbuatan itu. Menurut aliran Jabariyah moderat, Tuhan tidak dapat dilihat di
akherat. [6]
1.7 Aliran Ahlul Sunnah WalJama’ah
Kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah, terdiri dari dua kata inti yaitu : Ahlussunnah
yang artinya : ahli mengamalkan sunnah, penganut sunnah, atau pengikut sunnah. Dan
wal Jama’ah yang artinya : dan jama’ah, maksudnya adalah jama’ah sahabat-sahabat
NabiAhlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah
yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya Dari definisi di atas jelas,
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tapi
ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya.
Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai
sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari istilah tersebut
oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang menerangkan akan
terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dan At-Turmudzi, yang artinya :
“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para sahabat Nabi bertanya :
Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab : Yaitu orang-orang
yang berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh pada i’tiqad yang
dipegangi oleh sahabat-sahabatku”
Asal Mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah
Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di
Baghdad, 324 H / 935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada
masanya. Menurut catatan sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah tirinya
yakni Syaikh Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama besar
Mu’tazilah), kemudian Abu Hasan al-Asy’ari keluar dari paham gurunya itu karena
menurutnya banyak keyakinan yang tidak benar. Kemudian beliau membangun paham
sendiri yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering
disebut sebagai paham Asy’ariyah, karena dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari.
Juga sering disebut sebagai paham Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan
pengikutnya disebut sunniyun.Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun
oleh Abu Hasan al-Asy’ari, dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab yang
beliau susun seperti : Al-Ibanah fi Ushuliddiniyyah, Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan
lain-lain.
Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah
Pahamnya Tentang Seorang Muslim dan Hal Dosa
Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa suatu golongan dapat dianggap
atau diakui sebagai muslim apabila memenuhi tiga syarat :
1. Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisannya
2. Ucapan itu diikuti kepercayaan dengan hatinya
3. Dan dibuktikan dengan amal yang nyata
Adapun tentang dosa, Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum bertaubat,
maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan maksiat. Orang
ini apabila ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak abadi. Ia akan lepas dari
siksa neraka setelah selesai menjalani hukuman neraka, tetapi ia juga akan merasakan
nikmat karena imannya.Dari uraian tersebut dapat kita bandingkan bahwa menurut
Ahlussunnah apa yang diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk.
Menurut mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu
hak istimewa-Nya
Tentang Sifat-Sifat Allah SWT
Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan
substansi, bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia
memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar,
melihat dan lain-lain. Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada
dasarnya berbeda dari sifat-sifat makhluk dan dengan doktrin “mukhalafah”, atau
perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan,
maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik dan jangan dipahami seperti kita
memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin “mukhalafah” inilah, Ahlussunnah
berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat Tuhan selain daripada yang
termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan berbeda dari sifat makhluk,
bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap hakikatnya.
Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan
Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan.
Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan perantara
pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan mengetahui dengan
esensinya, kata al-Jubba’i ialah untuk mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat
dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.
Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan
untuk mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan,
tetapi tidak pula lain dari Tuhan.Sedangkan menurut Hamka, “membahas sifat dan dzat
manusia saja sangat sulit apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia
lebih menitikberatkan kajiannya kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari
pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa yang dapat diambil dari
pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk mempertinggi kualitas iman
seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas amal
sholehnya.

Tentang Keadilan Allah SWT


Mengenai konsep keadilan Allah SWT, pendapat Ahlussunnah bahwa Allah SWT
pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala perbuatan
makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan berbuat
sesuatu, maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut, atas
perbuatannya itu si hamba mempunyai kasab. Menurut Ahlussunnah, kasab ialah
berbarengannya kemampuan si hamba dengan perbuatannya. Jadi hamba hanya punya
kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah SWT. Dalam uraian tersebut
nampaklah bahwa aliran ini bersikap tengah-tengah antara pendapat Qadariah dan
Jabariah. Allah menciptakan kemamapuan dan kemauan si hamba yang keduanya
berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga perbuatannya itu makhluk Allah.
Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa perantara seperti batu, pohon-pohon dan
sebagainya. Ada yang memakai perantara yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja
manusia. Karena si hamba merupakan perantara itulah maka dia bertanggung jawab dan
mendapat balasan baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu
memberi pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.
Tentang Janji dan Ancaman
Menurut Mu’tazilah, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan
dosa besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam
keadaan beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya. Kaum Mu’tazilah tidak
menyebut adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat.
Ahlussunnah tidak sepaham dengan Mu’tazilah mengenai al-Wa’d wa al-Wa’id
tersebut. Menurut Ahlussunnah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang
mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang
dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at (pembelaan)
dari Nabi dan para Rasul serta para Sholihin di hari kiamat.
Dasar pemikiran Ahlussunnah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas
semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi segala
sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam
surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua
makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang
dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas
segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan timbulnya kedzaliman daripada-Nya.
Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat
Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para filosof dan
sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa Allah itu dapat
dilihat, tapi mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat ditunjukkan. Mereka
menerima prinsip filsafat bahwa apa saja yang menempati ruang atau arah haruslah
memiliki waktu, padahal Allah tidak tidak terikat dengan waktu. Pengakuan ini
mengakibatkan mereka dihantui kerumitan, sebab bila Tuhan tidak “meruang atau
mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat, maka Tuhan tidak dapat dilihat, namun
pendapat ini bertentangan dengan paham mereka bahwa Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk
mengatasi kesulitan ini, mereka menyatakan bahwa suatu benda biarpun benda itu tidak
ada di depan orang yang melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Ini alasan yang lemah
dan ganjil sekali, sebab sangat bertentangan dengan segenap prinsip optika.
Disamping itu, Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks, dan
Ahlussunnah menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai hal ini
harus dipahami secara kiasan. Dengan pola pikir rasional, Ahlussunnah mengemukakan
bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang menerangkan tentang hal ini, menunjukkan
bahwa kita jangan memahaminya secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat
Tuhan artinya “melihat tanda-tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”.
Tentang perbuatan Manusia
Ahlussunnah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang
berpengaruh atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT. Manusia juga mempunyai
pilihan ikhtiar, tapi manusia dipaksa atas pilihannya. Kemampuan manusia tidak
berpengaruh secara asli atas amal perbuatannya, hanya seperti tangan yang lumpuh.
Karena itu, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak digariskan oleh izin dan
kekuasaan Allah SWT. Dengan demikian, Ahlussunnah tidak mengakui adanya ikhtiar
pada manusia, sesuai dengan firman Allah bahwa :”Dia menciptakan apa saja yang
dikehendaki termasuk yang diciptakan-Nya dengan perantara perbuatan mereka”.

Sedangkan Hamka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam


berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin adalah
berdasarkan pilihan bebas manusia itu sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Kebebasan
berkehendak dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia, karena kepada
manusia diberikan potensi akal. Dengan akal inilah manusia menimbang mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan kemudlaratan dan mana yang
mendatangkan kemanfaatan [7]

4 METODE TAFSIR
2.1 Tafsir Ijmali/Global
Secara etimologi tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti menyingkap maksud sesuatu
lafadz yang musykil. Dan menurut istilah banyak pendapat ulama dalam
mendefinisikannya diantaranya adalah:
1. Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran ) yang diturunkan
kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna Alquran dan
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
2. Al – Jurjaniy berkata:
“Tafsir pada asalnya adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah
menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan
ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.”
3. Al-Kilby dalam at Tashiel yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan:
“Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa
yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan
tujuannya.”
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata
yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti
jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah,
hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan
method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam
bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu
yang ditentukan.
Kata Ijmali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan.
Dengan demikian tafsir ijmaliy adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan
cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat
umum ( global ) tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak
dilakukan secara rinci.Keterangan lain menyebutkan bahwa metode tafsir ijmali
berarti menafsirkan ayat Al-Quran yang dilengkapi dengan penjelasan yang
mengatakan bahwa sistematika penulisannya adalah menurut urutan ayat dalam
mushaf Al-Quran dengan bahasa yang populer, mudah dipahami, enak dibaca dan
mencakup.Dengan demikian, metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk
menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya
dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas, tanpa
uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup sehingga mudah
dipahami oleh semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai
orang-orang yang berpengetahuan tinggi.
Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis sesuai metode tafsir ijmali adalah;
1. Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
2. Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-
Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani.
3. Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4. Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
5. Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan
Muhammad Ahmad Barmiq.
6. Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,
7. Tafsir Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
8. Tafsir Alquran al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi.
Kitab-kitab tafsir di atas pada hakikatnya bukan saja bisa ditinjau dari segi metode
penafsirannya saja sebagai bentuk tafsir dengan metode ijmali, tetapi boleh jadi jika
ditijnjau dari segi jenis/pendekatan maupun coraknya bisa tergolong pada jenis dan
corak tafsir yang lain. Misalnya, meskipun tafsir al-Jalalain digolongan sebagai tafsir
metode ijmali tapi dari segi jenis/pendekatanya digolongan pada jenis tafsir bil ra’yi.
Sejarah Metode Tafsir Ijmali
Ketika Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi beliau
adalah sebagai mubayyin ( pemberi penjelasan ) kepada sahabat-sahabat nabi
tentang arti dan maksud dari kandungan al-Quran yang diwahyukan itu, terutama
dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun samar
artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi
Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai
al-mufassir al-awwal
( mufassir pertama ).
Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan lagi tempat bertanya
yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami
Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki kemampuan semacam Ali bin
Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud. Selain itu mereka juga
tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah, terutama sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul
kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan
lain-lain.Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas
yang memiliki murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka
tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari para tabiin tersebut,
diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru
kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang
berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak,
yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Ketiga golongan di ataslah yang pada hakikatnya dapat disebut kelompok Tafsir bil
Ma’tsur. Periode ini merupakan perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran
sampai sekitar tahun 150 H. Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan
generasi berikutnya, yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain Sufyan
bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin
Humaid. Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini adalah al-Waqidi ( w.207 H ),
sesudah itu Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang datang kemudian
banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir ath-Thabary tersebut yang berjudul
: Jami’al-Bayan.
Bersamaan dengan masa tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai
wilayah jazirah arab maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai
daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki dasar-dasar kebudayaan
kuno, seperti Persia, Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan Afrika Selatan,
sehingga berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh kaum muslimin,
seperti ilmu logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban. Ilmu-ilmu
yang disebut terakhir ini berpengaruh terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam
menafsirkan Al-Quran, para ahli tafsir tidak lagi merasa cukup dengan hanya
mengutip atau tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ al-
tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah mulai berorientasi pada
penafsiran Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada
khususnya dan penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada saat
ini berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi al-dirayah.
Penulis tafsir jenis ini antara lain :
Al-Zamakhsyari, dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf
al-Qurthubi dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
Imam Ar-Razi dengan karyanya Mafatih al-Ghaib
Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya al-Bahr al-Muhith
Ibn al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll.
Berdasarkan uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya
dibagi menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad 1 H –abad 4
H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru ( abad 13
H/19 M – sekarang ).
Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran sejak masa Rasul Saw,
sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai
tafsir bil ma’tsur, boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang
menerapkan metode Ijmali. Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan
Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut
Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.

Contoh tafsir al-Quran pada masa sahabat sepeninggal Rasul Saw yang
mengindikasikan dasar-dasar metode tafsir Ijmali adalah ketika Ibnu Abbas
menafsirkan kata “aulamastum” dalam surah An-Nisa [4] : 43 dengan jima’
( bersetubuh ). Ayat tersebut adalah :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.
[8]
2.2 Tafsir Tahlili/Terperinci/berdasarkan urutan ayat
Perngertian Tafsir tahlili
Tafsir Tahlili merupakan metode tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.Selain itu, ada juga yang
menyebutkan tafsir tahlili adalah tafsir yng mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala
segi dan maknanya. Seorang pengkaji dengan metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushhaf
Utsmany. Untuk itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan
keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistinbathkan dari ayat, yaitu
hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid,
perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, dan isti’arah. Di samping
itu juga mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat
sebelum dan sesudahnya . Dengan demikian sebab nuzul ayat atau sebab-sebab turun
ayat, Hadits-hadits Rosulloh SAW dan pendapat para sahabat dan tabi’in-tabi’in
sangat dibutuhkan.
Maka, tafsir tahlili merupakan ilmu tafsr yang menafsirka ayat-ayat Al-Qur’an
secara berurutan dari ayat per ayat sesuai urutan pada mushaf utsmani, menjelaskan
setiap ayatnya secara detail yang meliputi beberapa hal antara lain, isi kandungan
ayatnya, asbab al nuzulnya, dan lain-lain.

Metode tafsir Tahlili ini sering dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa
dahulu. Namun, sekarangpun masih digunakan. Para ulama ada yang mengemukakan
kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy, Al-
Fakhr Al-Razy, Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga yang menemukakan
secara singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din Al-Mahally dan
Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi. Ada pula yang mengambil pertengahan
(musawah), seperti Imam Al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury,
dll. Semua ulama di atas sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an
dengan menggunakan metode Tahlili, akan tetapi corak Tahlili masing-masing
berbeda.
Para ulama telah membagi wujud metode tafsir Tahlili menjadi tujuh macam, yaitu
tafsir bil Ma’tsuri, tafsir bir Ra’yi, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi,
tafsir Adab al-ijtimi’i.
1. Tafsir Tahlili bentuk Ma’tsuri / tafir bi al-Ma’tsuri (riwayat)
Tafsir bil Ma’tsuri yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain,
dengan sunnah Nabi SAW, dengan pendapat sahabat Nabi SAW, dan dengan
perkataan tabi’in. Menurut Subhi as-Shalih, bentuk tafsir seperti ini sangat rentan
terhadap masuknya pendapat-pendapat di luar Islam, seperti kaum zindiq Yahudi,
Parsi, dan Parsi, dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih.
2. Tafsir Tahlili Bentuk bir Ra’yi / tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bir Ra’yi merupakan cara penafsiran Al-Qur’an dengan dan penalaran dari
mufasir itu sendiri. Mufasir dalam metode ini diberi kebebasan dalam berpikir untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Hal tersebut tentu dibatasi oleh kaidah-kaidah penafsiran Al-
Qur’an, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3. Tafsir Tahlily Bentuk Shufi
Tafsir Shufi mulai berkembang ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami
kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar di seliruh pelosok dunia dan
mengalami kebangkitan dalam segala seginya. Tafsir ini lebih menekankan pada
aspek dan dari sudut esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat oleh para
tasawuf. Metode bentuk ini dibagi menjadi dua yaitu, teoritis dan praktis.Dalam
bentuk teoritis, mufasir menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan mazhabnya
dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan
didukung oleh dalili Syar’i. Sedangkan dalam bentuk praktis, mufasir menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan berdasarkan isyarat-isyara tersembunyi.
4. Tafsir Tahlili Bentuk Fikih
Tafsir Fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum dari ayat yang di
tafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam kitab-kitab fikih yang dikarang oleh
imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda.
5. Tafsir Tahlili Bentuk Falsafi
Tafsir Falsafi merupakan ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
menggunakan pendekatan filsafat. Pendekat filsafat yang digunakan adalah
pendekatan yang berusaha melakukan sintesis dan siskretisasi antara teori-teori
filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, selain itu juga menggunakan pendekatan yang
berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an.
6. Tafsir Tahlili Bentuk ‘Ilmi
Tafsir ini mulai muncul akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan
pendekatan almiah atau dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan. Dalam
tafsir ini mufasir berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan dikaitkan dengan gejala atau
fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Namun, yang sangat
disayangkan adalah pada tafsir ini terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial,
terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masalah yang sama.
7. Tafsir Tahlili Bentuk Adab Al-Ijtima’i Adab Al Ijtima’i
Tafsir adalah suatu metode tafsir yang coraknya menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat
Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-
usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah kemasyarakatan
berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan mengemukakannya menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti dan indah didengar.
Ciri-ciri Tafsir Tahlili
Metode Tafsir tahlili memiliki ciri khusus yang membedakannya dari metode tafsir
lainnnya, ciri-ciri tersebut adalah :
a. Mufasir menafsirkan ayat per ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf ustmani,
yaitu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri oleh surat An-Nas.
b. Mufasir menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an secara
komprehensif dan menyeluruh, baik makna harfiah setiap kata maupun asbabun
nuzulnya.
c. Bahasa yang digunakan metode tahlili tidak sesederhana yang dipakai metode
tafsir ijmali.
Contoh-contoh Tafsir Tahlili
Ada cukup banyak contoh tafsir tahlili, antara lain:
Contoh tafsir tahlili dalam bentuk bi al-ma’tsuri yang menafsirka Al-Qur’an
dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Rasullullah SAW untuk menjelaskan
sebagian kesulitan yang ditemui oleh para sahabat semasa Rasulullah SAW masih
hidup. Seperti penafsiran hadits Rasulullah SAW terhadap pengertian ‫و ب عليهم‬XX‫الغض‬
dan ‫( الضا لين‬Q.S. Al-Fatihah :7), penjelasan beliau tentang firman Allah ‫الذ ين امنواولم‬
‫( يلبسواايمانهم بظلم‬Q.S. Al-An’am :82) dan firman Allah ‫ه‬X‫( يايهاالذين امنوااتقواهللا حق تقات‬Q.S.
Ali ‘Imran :102) dan lain-lain.
Contoh yang dalam bentuk shufi, yaitu Al-Alusy berkata tentang isyarat yang
diberikan oleh firman Allah (Q.S. Al-Baqarah :45), sebagai berikut
Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi
orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari
tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa.
Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan
Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat
kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’),
sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha
Halus dan Maha Perkasa.Dari beberapa contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa
tafsir tahlili itu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan bentuknya atau
mempunyai karakter tersendiri. Selain itu, masih ada banyak lagi contoh dari tafsir
tahlili.
Ada cukup banyak contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ini,
antara lain:

a. Jami’ al-Bayan fy Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary


b. Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan Al-Tafsir al-Manqul, karangan Imam Al-
Baghawy
c. Madarik al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy
d. Anwar al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Al-Baydlawy
e. Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, karangan Imam Al-Tustury
f. Haqaiq al-Tafsir, karangan Al-‘Allamah Al-Sulamy (w. 421 H)
g. Ahkam Al-Qur’an, karangan Al-Jasshash (w. 370 H)
h. Al-Jami’ li Al-Qurthuby (w. 671 H)
i. Mafatih al-Ghaib, karangan Al-Fakhr Al-Razi (w. 606)
j. At-Tafsir al-‘Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an al-Karim, karya Hanafi Ahmad
k. Al-Islam Yatahadda, karangan Al-‘Allamah Wahid al-Din Khan
l. Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1345 H)
m. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Salthut
n. Dan masih banyak lagi contoh kitab yang berdasarkan atau yang menggunakan
metode tafsir tahlili ini. [9]
2.3 Tafsir Maudhui/Tematik
Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata ‫وع‬XX‫ موض‬yang merupakan isim
maf’ul dari kata ‫ وضع‬yang artinya masalan atau pokok pembicaraan, yang berkaitan
dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran.
Berdasarkan pengertian bahasa, secara sederhana metode tafsir maudhu’I ini adalah
menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan tema atau topik pemasalahan
Musthafa Muslim memaparkan beberapa defenisi tafsir maudhu’i, salah satu
diantaranya adalah:
(Tafsir maudhu’I merupakan ilmu untuk memahami permasalahan-permasalahan
sejalan dengan tujuan al-Quran dari satu surat atau beberapa surat).
Bentuk defenisi operasional tafsir maudhu’i atau tematik ini, lebih rinci tergambar
dalam rumusan yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi, yaitu:
(Tafsir maudhu’I adalah mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud
yang sama, dalam arti sama-sama membahas satu topik masalah dan manyusunnya
berdasarkan kronologis dan sebab turunnya ayta-ayat tersebut, selanjutnya mufassir
mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan
Defenisi di atas dapat difahami bahwa sentral dari metode maudhu’i ini adalah
menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan
urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan
ayat yang lain dan hal-hal lain yang dapat membantu memahami ayat lalu
menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh.
Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i baru dimunculkan pada akhir tahun 1960
oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i
(tematik).
2. Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur’an
yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat
makkiyyat atau surat madaniyyat.
3. Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan
mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika
ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
4. Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu pada masing-masing
suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya
pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir
tahlily).
5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan
utuh (outline) yang mencakup semua segi dari tema kajian.
6. Mengemukakan hadith-hadith Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema
kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadith-hadith itu untuk lebih
meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu. Dikemukakan pula
riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dantabi’in.
7. Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair mereka
dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara
tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
8. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan
pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad,
mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat
yang nasikh danmansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara,
tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat
kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Sedangkan yang melakukan tafsir maudu’i dengan surat persurat menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengambil satu surat dan menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan


dengan surat tersebut, sebab-sebab turunnya dan bagaimana surat itu diturunkan
(permulaan, pertengahan ataupun akhir, madaniyat atau makkiyat, dan hadith-
hadith yang menerangkan keistimewaanya).
2. Menyampaikan pengertian dari tujuan mendasar dalam surat dan membahas
mengenai terjadinya nama surat itu.
3. Membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada bagian-bagian yang
lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am khas-nya, nasikh
mansukh-nya, lafaz-nya dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan tujuan masing-
masing bagian serta menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut.
4. Menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing bagian kecil
tersebut dan menerangkan pokok tujuannya. [10]
2.4 Tafsir Muqarin/Perbandingan
Secara bahasa, “muqārin berasal dari kata qārana-yuqārinu-muqāranatan
yang berarti menggandeng, menyatukan, atau membandingkan. Sedangkan
menurut istilah muqārin adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Qur’ān atau
suatu Surah tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, ayat
dengan al-Hadits, atau antara pendapat ‘ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-
aspek perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan”.
Dari berbagai literatur yang ada, pengertian metode tafsir muqārin dapat
dirangkumkan dalam beberapa pemahaman, di antaranya
1. Menurut Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqārin sebagai:
“membandingkan ayat-ayat al-Qur’ān yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang sama atau diduga sama”.
2. Menurut Muhammad Amin Suma, “metode komparasi (al-Manhaj al-
Muqāran) ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān yang selintas tinjau tampak
berlawanan dengan hadits, padahal pada hakikatnya sama sekali tidak
bertentangan”.
3. Nashruddin Baidan dalam bukunya Wawasan Baru Ilmu Tafsir, mendefinisikan
“tafsir muqārin adalah metode tafsir yang membandingkan ayat dengan ayat, atau
antara ayat dengan hadits, maupun antara pendapat ulama tafsir dengan ulama
tafsir lainnya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān”.

A. Kelebihan
 Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada
pembaca bila dibandingkan metode yang lain.
 Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang
lain yang kadang-kadang jauh berbeda bahkan kontradiktif.
 Pintu pengetahuan semakin terbuka, metode ini menjanjikan berbagai
pengetahuan karena disajikannya berbagai pendapat. Metode ini sangat
cocok bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu tafsir.
 Menuntut kehati-hatian mufassir, dengan metode ini mufassir didorong
untuk mengkaji berbagai ayat, hadits, serta pendapat mufassir lain
sehingga ia lebih berhati-hati dalam menafsirkan sehingga hasilnya
dapat lebih dipercaya.

B. Kelemahan
 Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada
pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasannya yang
dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim.
 Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan
sosial yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini lebih
mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
 Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran
yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru yang lebih kreatif dan orisinal. Jadi ini
hanya kumpulan kitab tafsir dari berbagai sumber terus disusun
menjadi suatu kitab. [11]
DAFTAR PUSTAKA

References

[1] I. M. A. Zahrah, "Pengertian Khawarij," Jakarta, Senin November 2023. [Online].


Available: https://an-nur.ac.id/pengertian-khawarij-dasar-ajaran-doktrin-dan-sektenya/.
[Accessed - - 1996].

[2] i. a. Universitas, "an-nur.ac.id," Universitas, 6 November 2023. [Online]. Available:


https://an-nur.ac.id/aliran-murjiah-pengertian-doktrin-dan-sekte/. [Accessed 15 November
2022].

[3] U. Annur, "an-nur.ac.id," Lampung, [Online]. Available: https://an-nur.ac.id/aliran-


mutazilah-pengertian-dan-doktrin-ajaran/. [Accessed 15 November 2022].

[4] i. News, "INews.id," [Online]. Available: https://www.inews.id/lifestyle/muslim/apa-itu-


syiah/3.

[5] L. A.-n. Universitas, "An-nur.id," [Online]. Available: https://an-nur.ac.id/aliran-qadariyah-


pengertian-dasar-dan-doktrin-ajaran/.

[6] L. A. Universitas, "An-nur.id," [Online]. Available: https://an-nur.ac.id/aliran-jabariyah-


pengertian-dasar-doktrin-ajaran-dan-aliran/.

[7] L. A.-n. Universitas, "An-nur.id," [Online]. Available: https://an-nur.ac.id/ahlussunnah-wal-


jamaah-pengertian-sejarah-dan-doktrin/.

[8] A.-n. Universitas, "An-nur.id," [Online]. Available: https://an-nur.ac.id/metode-tafsir-


ijmali-pengertian-sejarah-metode-kelebihan-kekurangan-dan-contohnya/.

[9] A.-n. L. Universitas, "an-nur.ac.id," [Online]. Available: https://an-nur.ac.id/tafsir-tahlili-


pengertian-ciri-cii-contoh-kelebihan-dan-kelemahannya.

[10] N. Baidan, "an-nur.ac.id," [Online]. Available: https://an-nur.ac.id/tafsir-maudhui-


pengertian-pembagian-metode-kelebihan-kekurangan-dan-perbandingannya/.

[11] Gurusiana, "gurusiana.id," [Online]. Available:


https://www.gurusiana.id/read/solehanarif/article/pengertian-metode-tafsir-muqarin-
3319560.

Anda mungkin juga menyukai