Anda di halaman 1dari 5

A.

Aliran Murjiah
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad
pertama hijriah.1 Kata Murji’ah berasal dari kata arja’a atau arja yang berarti
“menangguhkan” atau “memberi pengharapan. Jadi, dari segi bahasa Murji’ah
berarti yang menangguhkan atau yang memberi pengharapan.2
Adapun secara istilah, Murji’ah adalah kelompok yang mengesampingkan
atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu
kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang.3
Murji’ah muncul sebagai reaksi terhadap teori-teori yang bertentangan dengan
Syiah dan Khawarij, di mana kedua aliran tersebut sama-sama menentang rezim
Bani Umayyah, penentangan Khawarij karena mereka dianggap menyeleweng
dari ajaran Islam, sedangkan penentangan Syiah karena mereka dianggap telah
merampas kekuasaan dari pihak Ali dan keturunannya.
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat
dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar,
sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
Oleh karena itu, aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang
yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya
Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin di hadapan
mereka.4
Mereka yang disebut kaum Murji’ah ini semula merupakan orang-orang yang
bersikap netral dalam menyikapi situasi politik pada waktu itu. Akibat dari
peristiwa tahkim yang memecah umat Islam menjadi tiga golongan, yaitu
golongan pendukung Ali yang disebut Syiah, golongan yang memisahkan diri
1
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 162.
2
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari
Press, 2008), h. 58.
3
Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 56.
4
Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: Pustaka
Setia, 2005), h. 89-90.
dari Ali yang disebut dengan Khawarij, dan golongan pengikut Muawiyah atau
pengikut Dinasti Bani Umayyah.
Murji’ah bersikap netral, tidak memihak salah satu dari golongan yang ada,
dan mereka punya pendirian tersendiri, dengan sendirinya mereka terbentuk
menjadi golongan tersendiri di luar golongan yang telah ada. Golongan tersendiri
dimaksudkan di sini yaitu dalam hal menyikapi situasi politik dan tuduhan kafir
terhadap Islam yang terjadi pada masa itu.5
Paham Murji’ah bertolak belakang dengan Khawarij, hal ini dapat kita lihat
pada persoalan dosa besar, misalnya kalau Khawarij menghukumkan “kafir” atau
“musyrik”, maka Murji’ah tetap menghukumkan “mukmin”. Karena, yang
dipentingkan oleh Murji’ah bukan perbuatan, tetapi keimanan. Penghukuman atas
suatu perbuatan, ditangguhkan pada hari kebangkitan nanti.6

A. Ajaran-Ajaran Kaum Murji’ah

Ajaran Pokok Murji’ah bersumber dari gagasan atau doktrin ‘irja yang
diaplikasikan di banyak persoalan baik politik atau teologis. Di bidang politik
doktrin ‘irja selalu netral yang diekspresikan dengan diam, itulah sebabnya
Murji’ah dikenal sebagai the queiettis (kelompok bungkam). Di bidang teologi
doktrin irja’ dikembangkan ketika menanggapi persoalan yang muncul, yang
menjadikan semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan
ringan.7
Berkaitan dengan doktrin teologi, ada beberapa pendapat mengenai ajaran
pokok Murji’ah, yaitu8:

5
Hadariansyah, Op. Cit., h. 59-60.
6
Adeng Muchtar Ghazali, Op. Cit., h. 90-91.
7
Rubini, “Khawarij dan Murji’ah Perspektif Ilmu Kalam”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam,
vol. 7, no. 1, 2018, hlm. 110
8
Ibid
a. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa Al-
Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat
kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim berdosa besar.
c. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
d. Memberikan penghargaan kepada Muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abu ‘A’la Al-Mandudi menyebutkan doktrin Murji’ah:
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Amal atau perbuatan
itu merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorang dianggap
mukmin walau meninggalkan perbuatan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati,
maksiat tidak akan mendatangkan madharat atas seseorang untuk
mendapatkan ampunan maka cukup menjauhkan diri dari syirik dan mati
dalam keadaan akidah tauhid.

B. Sekte-Sekte Kaum Murji’ah Ekstrim dan Moderat

Dalam aliran Murji’ah dapat digolongkan menjadi dua golongan besar yakni,
golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan Murji’ah moderat berpendapat
bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak kafir dan ia tidak akan kekal di dalam
neraka, tetapi akan disiksa di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia
lakukan, dan kemudian setelah menjalani siksaan ia akan keluar dari neraka.

Bagi golongan Murji’ah moderat orang Islam yang berdosa besar itu masih
tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Orang seperti ini dianggap sebagai orang yang
berdosa, dan di akhirat nanti ia akan disiksa sesuai dengan dosanya. Setelah itu ia
akan masuk surga, karena ia adalah orang yang beriman bukan orang kafir. Kalau ia
sempat bertaubat semasa hidupnya dan dosanya diampuni Tuhan, maka ia tidak akan
disiksa masuk neraka.
Golongan Murji’ah ekstrim berpendapat, iman ialah keyakinan di dalam hati.
Apabila seseorang di hatinya telah meyakini tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad Rasul Allah, meskipun ia menyatakan kekafiran dengan lidah,
menyembah berhala, mengikuti agama Yahudi dan Nasrani, memuja salib, mengakui
trinitas, kemudian mati, orang seperti ini tetap mukmin yang sempurna imannya di
sisi Allah, dan ia termasuk golongan ahli surga.

Selanjutnya golongan Murji’ah ekstrim terpecah kepada beberapa golongan,


antara lain yaitu: Al-Jahmiyah, Al-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-
Ghassaniyah.

Golongan Al-Jahmiyah adalah para pengikut Jaham bin Shafwan. Golongan


ini berpendapat, orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan ia tidak menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya di
dalam hati, bukan pada bahagian lain dari tubuh manusia. Orang yang demikian bagi
Allah tetap merupakan seseorang mukmin yang sempurna imannya.

Golongan Al-Shalihiyah adalah pengikut Abu Al-Hasan Shalih Ibnu Amar


Al-Shalihi. Menurut golongan ini, sembahyang tidaklah merupakan ibadat kepada
Allah, karena yang disebut ibadah ialah iman kepada-Nya, dalam arti mengenal
Tuhan. Golongan ini berpendapat bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya
menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadat kepada Allah. Yang disebut
ibadah hanyalah iman.

Golongan Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus Ibnu Aun Al-Numairi.


Menurut golongan ini, iman ialah mengenal Allah, hati tunduk pada-Nya,
meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalam hati. Apabila yang tersebut ini
terhimpun pada diri seorang maka ia adalah seorang mukmin. Sedang yang selain dari
itu bukanlah termasuk iman. Golongan Al-Yunusiyah berkesimpulan bahwa
melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman seseorang.
Golongan Al-Ubaidiyah adalah pengikut Ubaid Ibnu Mahran Al-Muktab.
Menurut golongan ini, jika seseorang mati dalam keadaan beriman, dosa-dosa dan
perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik,
banyak atau sedikit, tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang yang
musyrik atau orang yang kafir.

Golongan Al-Ghassaniyah adalah pengikut Ghassan Al-Kufi. Menurut


golongan ini, iman ialah mengenal Allah dan rasul-Nya serta mengakui apa yang
diturunkan Allah kepada Rasul secara global, tidak secara rinci. Golongan ini
berpendapat jika seseorang mengatakan: “Saya tahu bahwa Tuhan mengharamkan
memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah
kambing ini atau yang lainnya.” Ataupun mengatakan: “Saya tahu bahwa Tuhan
mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu dimana letaknya ka’bah itu,
apakah di India atau di tempat lain.” Maka orang tersebut tetap mukmin.9

9
Hadariansyah, Op. Cit., h. 62-66.

Anda mungkin juga menyukai