Anda di halaman 1dari 9

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur.

Persoalan itu
pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi saw
yang dianggap telah berbuat dosa besar , antara lain Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sofyan, Abu
Hasan al-Asyari, dan lain-lain. Masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya
bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir. Aliran lain seperti Murjiah, Mutajilah, Asy ariyah, dan
Maturidiyah turut ambil bagian dalam masalah tersebut bahkan tidak jarang terdapat perbedaan
pandangan di antara sesama pengikut masing-masing aliran. Perbincangan konsep iman dan kufur
menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seringkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja, yaitu iman
atau kufur. Lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah.

2. Rumusan Masalah
A. Konsep iman dan kufur perkataan
B. Perbandingan antar aliran: iman dan kufur
C. Kekuasaan dan kehendak mutlak Allah

KONSEP IMAN DAN KUFUR PERKATAAN

iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan kufur juga dari
bahasa Arab berarti takzib (mendustakan). Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang
biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1. Marifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2. Amal, perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya marifah bi al-qalb (mengetahui
dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abu Said Al-Khudri:
Artinya: Barang siapa di antara kalian yang melihat ( marifah) kemungkaran, hendaklah
mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun
tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling
lemah (H.R. Muslim)
Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/ kalam , konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi
tiga pendapat:

1. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan
keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan
terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah
disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman
seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asyariah. .


2. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa
disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan
(mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan
amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian
pengikut Maturidiah

3. Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep
ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula
oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mutazilah, Khawarij, dan lain-lain. Dari uraian singkat
diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung
satu unsur, yaitu tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung
dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq,
ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.
Di samping masalah konsep iman dan kufur, pembahasan di dalam ilmu tauhid/ kalam juga
menyangkut masalah apakah iman.itu bisa bertambah atau berkurang atau tidak. Dalam hal ini ada dua
pendapat.
1. Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
2. Iman bisa bertambah atau berkurang. Ulama yang berpendapat seperti ini terbagi pula kepada dua
golongan:
a. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah tashdiq dan amal. b.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya tashdiq nya. Pada
umumnya para ulama berpendapat, iman itu dapat bertambah pada tashdiq dan amalnya. Tashdiq yang
bertambah tentu diikuti oleh pertambahan frekuensi amal. Menurut sebagian ulama, bertambah atau
berkurangnya tashdiq seseorang tergantung kepada:
1. Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh seseorang dapat
menguatkan atau melemahkan tashdiq- nya;
2. Diri pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil keimanan. Makin
kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq- nya. Sebaliknya, jika daya serapnya lemah atau tidak baik,
tashdiq- nya pun bisa lemah pula;
3. Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban agama
dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya tinggi, akan merasakan kekeuatan iman/ tashdiq yang
tinggi pula. Makin baik dan tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/ tashdiq- nya.

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN: IMAN DAN KUFUR

Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur- unsur iman, maka timbulah aliran-aliran
teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Dapaun aliran- aliran
tersebut adalah Khawarij, Murjiah, Mu tajilah, Asyariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.

1. Khawarij Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata- mata percaya kepada Allah, mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau
religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan ( al-amal juzun al-
iman ). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang
itu kafir. Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa , baik besar maupun kecil, maka orang itu
kafir. Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa , baik besar maupun kecil, maka orang itu
kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, oleh dirampas hartanya. Demikianlah menurut faham
Khawarij.
Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka dalam
mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka kepada
paham, setiap orang yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir, akrena tidak sesuai dengan hukum
yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa
sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan dosa - dosa lainnya bukan lagi mukmin, ia telah
kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang menurut golongan ini terbatas pada
dosa .

2. Murjiah Aliran Murjiah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal
dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka berpendapat
bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa
besar . Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asyary mengklasifikasikan aliran
teologi Murjiah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy- Syimriya, As-
Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL- Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An- Najjariyah, Al-Kailaniyah
bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At- Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-
Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murjiah menjadi dua
kelompok utama, yaitu Murjiah moderat (Murjiah Sunnah) dan Murjiah ekstrim (Murjiah Bidah). *5+
Namun kedua belas kelompok tersebut masing- masing memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur.
Dan aliran Murjiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh
kelompok.
a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal
yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal ( jahl ) terhadap Allah swt. Adapun mereka
yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.
b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan
hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal ( Jahl ) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-
Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa
dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran
tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi
dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata,
niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti
halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata,
niscaya dia pun tidaklah disebut kufur. Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan
sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur.
Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim
merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya
dia pun disebut sebagai orang kafir.
c. Kelompok ketiga ini tidak dijelaskan.
d. Kelompok keempat itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya,
membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali
dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn
karam dan para pengikutnya.
e. Kelompok kelima ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari Allah,
baik sepenuh hati ataupun secara lisan.
f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka
tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya
tentang tauhid dan qadar.
g. Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-
anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang
menyangkut anggapannya tentang iman. Adapun kebanyakan pengikut aliran Murjiah tidak
mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun
selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.

3. Mutajilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang
yang membenarkan ( tashdiq ) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak
melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak
berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Kaum Mutajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang
mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi
sebagai orang fasiq.
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama- lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak
seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah,
orang mumin yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua
tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).

4. Asyariyah
Kaum Asyariyah yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mutazilah memaksakan
paham khalq al-Quran banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asyariyah berpendapat
bahwa akal manusia tidak bisa merupakan marifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak
bisa merupakan marifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa
ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh
karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq . Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan
Mutajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asyariyah merupakan pengakuan dalam
hati yang mengandung marifah terhadap Allah ( qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a rifatullah ).
Mengenai penuturan dengan lidah ( iqrar bi al- lisan ) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk
hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106.
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya
tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu
bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin
karena iman tetap berada dalam hatinya.

5. Al-Maturidiyah Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al- lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al- Maturidi
sebagai bantahan terhadap al- Karamiyah, salah satu subsekte Murjiah. Ia berargumentasi dengan ayat
al-Quran surat al- Hujurat 14. Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa
keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang
diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan
lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas,
harus diperoleh dari marifah. Tashdiq hasil dari marifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan
sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-
Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada
Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan
bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi,
tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang
telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil marifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah
tashdiq yang berdasarkan marifah. Meskipun demikian, marifah menurutnya sama sekali bukan esensi
iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah
Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan . Lebih
lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang
keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud
demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak
banyak berbeda dengan Asyariyah, yaitu sama- sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari
keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.

6. Ahlus Sunnah Menurut Ahlus Sunnah, Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan
dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan
mengerjakan dengan anggota. Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat,
maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula
mendapat syafaat Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu
dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-
ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.

KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK ALLAH
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, mahakuasa dan Maha Berkehendak. Keyakinan demikian
disepakati oleh semua umat Islam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kemutlakan kekuasaan
dan kehendak Tuhan itu. Apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau
ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan tidak berkuasa mutlak?. Adapun berikut ini beberapa
pendapat aliran- aliran mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, yaitu:

1. Mutazilah Mutazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi
dan meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan
Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh Tuhan tidak mutlak sepenuhnya.
Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal yang membatasi
kekuasaan Tuhan tersebut antara lain adalah:
a. Kewajiban-kewajiban Tuhan untuk menunaikan janji-janji-Nya seperti janji memasukkan
orang yang saleh ke dalam surga dan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka. Tuhan wajib menepati
janji ini. Dengan demikian, meskipun Tuhan berkuasa memasukkan orang jahat ke dalam surga, tapi
kekuasaannya dibatasi oleh janji-Nya sendiri. Jika Tuhan paksakan juga memasukkan orang jahat ke
dalam surga berarti Tuhan tidak adil dan melanggar janji.
b. Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Menurut Muktazilah,
Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan perbuatan. Karena
itu, manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Manusialah yang memilih dan menentukan, berbuat
atau tidak, dan apa yang akan ia perbuat. Karena Allah sudah memberikan kebebasan dan kemerdekaan
kepada manusia memilih dan menentukan perbuatannya itu, maka kekuasaan Tuhan terhadap
perbuatan manusia itu tidak mutlak lagi.
c. Hukum alam. Allah menciptakan alam semesta ini dengan hukum-hukum tertentu yang
bersifat tetap. Hukum-hukum itu biasanya dinamakan hukum alam, seperti matahari terbit di sebelah
timur dan tenggelam di sebelah Barat, benda tajam melukai, api membakar, dan lain-lain. Hukum alam
yang pada hakikatnya adalah hukum Allah karena Alah yang menciptakan hukum itu sudah ditentukan
oleh Tuhan. Dengan ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa mutlak lagi. Kekuasaanya-Nya dibatasi
oleh hukum-hukum yang diciptakan-Nya sendiri.

2. Asyariyah Pendapat Mutazilah di atas bertolak belakang dengan pendapat Asyariyah.
Menurut Asyariyah. Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satupun yang
membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena kekuasaan Tuhan bersifat absolute, biasa saja Tuhan
memasukkan orang jahat atau kafir ke dalam surga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke
dalam nereka, jika hal itu memang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut
pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatan-Nya
itu sebab semua yang ada saja terhadap ciptaan dan milik-Nya. Sebagai zat yang memiliki kekuasaan
absolute dan mutlak, bagi Asyariyah, Tuhan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma keadilan,
bahkan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma, bahkan tidak terikat dengan apa pun

3. Maturidiyah Sekalipun golongan ini tidak se ekstrem Asy ariyah, yang memiliki paham yang dekat
dengan Asyariyah.
Golongan maturidiyyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun
kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh Asyariyah kemudian kelompok Maturidiyyah ini
terbagi menjadi Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand Maturidiyyah Bukhara
berpendapat bahwa: Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa
kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat Asyariyah sebab masih terkandung
adanya kewajiban Tuhan, yaitu kewajiban menepati janji. Kalau Maturidiyyah Bukhara lebih dekat
kepada pemikiran Asyariyah. Matudiridiyyah Samarkan lebih dekat kepada pemikiran Mutazilah
sekalipun tidak seekstrim Mutazilah. Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak,
namun kekuasaan-Nya dibatas oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut,
menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada
manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas
kemerdekaan manusia dalam mempergenukan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya utnuk berbuat
baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak boleh tidak mesti terjadi




Kesimpulan

Berdasarkan paparan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam konsep Iman dan kufur
terdapat perbedaan pendapat diantara aliran-aliran teologi Islam. Seperti yang dikemukakan aliran
khawarij bahwa segala sesuatu yang berhubungan atau berbau religious adalah bagian dari iman,
sehingga apabila orang melakukan dosa baik itu dosa maupun kecil maka dia disebut kafir. Berbeda
halnya dengan aliran Murjiah mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap
mukmin. Adapun soal dosa mereka di tudna penyelesaiannya diakherat. Hal ini karena mereka
beranggapan bahwa iman hanya pengakuan dalam hati.
Aliran Mutajilah berpendapat bahwa jika seorang mukmin berbuat dosa besar dan kemudian
meninggal sebelum bertobat disebut fasiq. Dan diakhirat kelak menempati tempat diantara surga dan
neraka. Aliran Asyariyah dan Maturidiyyah beranggapan bahwa iman tidak hanya diungkapkan dengan
lisan tetapi juga harus diyakini di dalam hati sehingga jika ada seseorang yang mengaku kafir, namun
hatinya tetap beriman maka ia tetap dianggap sebagai mukmin.
Sedangkan alirna ahli sunnah berpendapatbahwa iman itu mengikrarkan dengan lisan, meyakini
dalam ahti dan mengenjrkana dengan anggota. Tidak hanya dalam konsep iman dan kufur, tetapi di
dalam kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan juga terdapat perbedaan pendapat diantara lairna- aliran
teologi Islam.
Aliran Mutazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya karena
kekuasaanya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakannya sendir. Pendapat Mutazilah tersebut
kemudian bertolak belakang dengna pendapat Asyariyah. Kerena menurut mereka Tuhan berkuasa
mutlak atas segala-galanya.
Demikian pula pendapat alirna Maturidiyah, mereka berpendapat bahwa Tuhan berkuasa
mutlak atas segala-galanya namun kemutlakannya tidak semutlah paham yang dianut aliran Asyariyah.

Anda mungkin juga menyukai