Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang berarti “Kembali” dan yang
dimaksud adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari
perbuatan manusia bergantung pada Allah SWT.
Golongan Murji’ah pertama kali muncul di Damaskus pada penghujung abad pertama hijriyah.
Murji’ah pernah mengalami kejayaan yang cukup signifikan pada masa Daulah Ummayah,
namun setelah runtuhnya Daulah Ummayah tersebut, golongan Murji’ah ikut redup dan
barangsur – rangsur hilang ditelan zaman, hingga kini aliran tersebut sudah tidak terdengar lagi,
namun sebagian fahamnya masih ada yang di ikuti oleh sebagian orang, sekalipun bertentangan
dengan Al-qur’an dan Sunnah.
Diantaranya adalah :
1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila
meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat
kelak.
3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman.
Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang
dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan
tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga
bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang
tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa
sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim,
kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran
Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran,
namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir
atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya.
Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya
kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan
oleh aliran khawarij . Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam
suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap
netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan.
Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu
dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian
pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang
mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin
sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi
dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan
Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap
mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulnya.
Dalam bidang aliran teologi mengenai dosa besar, kaum Murji’ah ini mempunyai pendapat
tentang aqidah yang semacam umum dapat digolongkan kedalam pendapat yang moderat dan
ektrim.
Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat,
bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan
tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati lebih lanjut umpamanya ia
menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak
menjadi kafir. Dan orang tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.
Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kafir
adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah.
Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.
Al-Baghdadi menerangkan pendapat Al-Salihiyah bahwa sembahyang , zakat, puasa, dan haji
hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya
ibadah hanyalah iman.
Al-Yunusiyah berkesimpulan atas pendapat kaum Murji’ah yang disebut iman adalah
mengetahui Tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman
seseorang.
Atas pandangan diatas .Al-Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam iman , dosa
dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan yang bersangkutan.
Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak
iman seseorang, dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan orang musyrik.
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya.
Kemungkinana Tuhan akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan
ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya. Berbeda dengan
golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama
Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,yaitu selama mereka
berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal dineraka, walaupun mereka mengatakan bahwa
pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya
dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat
Murji’ah kepada beberapa imama mazhab dalam bidang fiqh damn hadist.
Tokoh dari golongan ini antara lain : Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Hanifah mendefinisikan iman
adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, Tentang rasul – rasulnya. Dan tentang segala
apa yang datang dari Tuhan.
Ada gambaran definisi iman menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang Islam adalah
sama. Tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan orang Islam yang
patuh menjalan kan perintah – perintah Allah. Dengan demikian, Abu Hanifah berpendapat
bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima.
Ajaran kaum Murji’ah moderat diatas dapat diterima oleh golongan Ahli sunah wal jamaah
dalam Islam. Asy’ari berpendapat, iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan
dan tentang kebenaran Rasul – rasulnya serta apa yang mereka bawa. Sebagai cabang dari iman
adalah mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam. Bagi orang yang
melakukan dosa besar, apabila meninggal tanpa obat, nasibnya terletak ditangan Tuhan.
Kemungkinan Tuhan tidak membari ampun atas dosa – dosanya dan akan menyiksanya sesuai
dengan dosa – dosa yang dibuatnya. Kemudian dia dimasukkan kedalam surga, karena ia tidak
akan mungkin kekal tinggal dalam neraka.
Pendapat Al-Baghdadi
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu
mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui
dalam syari’at.
2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta
melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala
dosa besar.
DAFTAR PUSTAKA
Sufyan Raji Abdullah Muhammad, Lc.mengenal aliran Islam.2003. Pustaka al-Riyadl. Jakarta
Zahra Imam Muhammad Abu. Aliran Politik dan Akidah .1996. Logos. Jakarta Selatan.
Nata Abudin, M.A. Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf. 1993. Raja Wali Pers. Jakarta Utara.
1. Golongan moderat berpendapat orang berdosa besar bukan kafir dan tidak kekal dalam
neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya. Yang termasuk
golongan moderat yaitu: al-Hasan Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Talib, Abu Hanifah,
Abu Yusuf.
2. Golongan ekstrim berpendapat orang Islam yanvg percaya pada Tuhan dan kemudian
menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, Karena iman dan kufr letaknya
hanya dalam hati. Meskipun dia menyembah berhala, menjalankan ajaran Kristen atau
Yahudi dan kemudian mati. Menurut golongan ekstrim, orang ini bagi Allah tetap
seorang mukmin yang sempurna imannya. Kelompok golongan ini, yaitu: al-Jahmiah
(pengikut Jahm Ibn Safwan), al-Salihiah (pengikut Abu al-Hasan al-Salihi).
Ajaran pokok Murji’ah terdiri dari persoalan politik dan teologi. Di bidang politik, kaum
Murji’ah mencoba menengahi pertentangan antara Khawarij dan Syi’ah, mereka tidak mau
menyalahkan siapapun yang terlibat dalam arbitrase. Murji’ah menyarankan agar persoalan
tersebut ditunda penyelesaiannya sampai nanti ke hari perhitungan di hadapan Allah.
Sikap netral atau non blok kaum Murji’ah ini sering diekspresikan dengan sikap diam. Itulah
sebabnya Murji’ah sering disebut sebagai the queietiests (kelompok bungkam). Sikap ini
berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik. Sikap
diam tentu membuat kaum Murji’ah terlihat pasif dan pasrah terhadap realita politik yang terjadi
saat itu.
Sikap netral atau non blok memang dapat dibenarkan untuk menghindari konflik yang
berkepanjangan, tetapi bila sampai menjadi pasif maka akan dapat dimanfaatkan oleh
kepentingan kelompok lain. Sikap pasrah juga membuat kaum Murji’ah kehilangan posisi tawar
mereka di dalam dunia perpolitikan saat itu.
Di bidang teologi, dokrin Murji’ah dikembangkan untuk menanggapi persoalan-persoalan teologi
yang muncul saat itu. Doktrin itu terdiri dari empat ajaran pokok, yaitu:
Kaum Murji’ah tidak mau menghakimi orang yang terlibat arbitrase dan orang muslim yang
berdosa besar. Mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan itu di tangan Allah. Di sini terlihat
bahwa doktrin netral mereka mempengaruhi pemikiran teologinya. Mereka merasa bahwa
mereka tidak berhak menghakimi masalah kafir dan mukmin, hal ini tentu mengingatkan kita
untuk tidak menggunakan klaim kebenaran (claim truth) secara mutlak maupun liberal. Harapan
yang diberikan Murji’ah terhadap muslim yang berdosa besar tentu dapat menunjukkan bahwa
Allah maha pengampun dan mendorong orang tersebut untuk bertobat dan berbuat baik.
Kaum Murji’ah menganggap bahwa iman di hati lebih penting daripada amal perbuatan. Hal ini
memang ada benarnya, tetapi bisa berbahaya karena dapat membawa pada melemahnya ikatan-
ikatan moral dan membuat masyarakat bersifat permisif terhadap penyimpangan-penyimpangan
norma yang berlaku karena imanlah yang menentukan sehingga akhlak dianggap kurang penting
dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut paham Murji’ah. Inilah yang mungkin menjadi
penyebab nama Murji’ah dianggap tidak baik dan tidak disenangi.
1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
1. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila
meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah
di akhirat kelak.
2. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah
beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi
keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya
dosa, iman ya iman.
3. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya
perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim
tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang
tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa
sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim,
kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran
Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran,
namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir
atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya.
Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.
Related posts:
Kelompok Sesat Murji’ah Pendangkal Keimanan Umat
penulis Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.
headline Manhaji 20 - Juni - 2007 10:20:57
Muncul kelompok-kelompok sesat dan para penghasung merupakan petaka bagi kehidupan
beragama umat manusia. Keberadaan di tengah-tengah umat ibarat duri dlm daging yg semakin
lama semakin merusak dan membahayakan. Syubhat-syubhat yg digulirkan pun kian hari kian
mendangkalkan tonggak-tonggak keimanan yg telah terhunjam dlm sanubari mereka. tdk pelak
dgn kemunculan terburailah ikatan persatuan umat yg telah dirajut sebaik-baik oleh baginda
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Murji`ah Tergolong Kelompok Sesat
Di antara kelompok sesat yg telah menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat adl kelompok Murji`ah. Ia merupakan kelompok sempalan yg
berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhat amat berbahaya bagi tonggak-
tonggak keimanan yg telah terhunjam dlm sanubari umat. Dasar pijakan adl akal dan
pengetahuan bahasa Arab yg dipahami sesuai dgn hawa nafsu mereka layak kelompok-kelompok
bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yg ada dlm Al-Qur`an dan As-
Sunnah serta perkataan para sahabat dan tabi’in.
Mengapa Disebut Murji`ah?
Murji`ah nisbat kepada irja` yg arti mengakhirkan. Kelompok ini disebut dgn Murji`ah
dikarenakan dua hal:
1. Karena mereka mengakhirkan amalan ke dlm definisi keimanan.
2. Karena keyakinan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhirkan adzab atas
kemaksiatan.
Siapakah Pelopor Utamanya?
Di antara sekian nama yg diidentifikasi sebagai pelopor utama adalah:
1. Ghailan Ad-Dimasyqi seorang gembong kelompok sesat Qadariyyah yg dibunuh pada tahun
105 H.
2. Hammad bin Abu Sulaiman Al-Kufi.
3. Salim Al-Afthas.
Kapan Munculnya?
Murji`ah tergolong kelompok sesat yg tua umurnya. Ia muncul di akhir-akhir abad pertama
Hijriyyah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Disebutkan dlm riwayat Abu Dawud Ath-
Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid ia berkata: ‘Ketika muncul kelompok Murji`ah mk aku
mendatangi Abu Wa`il dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ mk tampaklah dari sini
bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dgn aqidah mereka dan disampaikan di masa
kemunculannya. Sementara Abu Wa`il sendiri wafat pada tahun 99 H dan ada yg mengatakan
pada tahun 82 H. Dari sini terbukti bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.”
Kemudian kelompok sesat Murji`ah ini tampil secara lbh demonstratif di negeri Kufah .
Sehingga jadilah mereka sebagai rival bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah dgn paham
bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.”
Sekte-sekte Murji`ah
Murji`ah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte masing-masing memiliki bentuk kesesatan
tersendiri. Di antara mereka ada yg murni Murji`ah dan ada pula yg tidak. Adapun yg murni
Murji`ah antara lain; Yunusiyyah ‘Ubaidiyyah Ghassaniyyah Tsaubaniyyah Tumaniyyah dan
Shalihiyyah . Sedangkan yg tdk murni Murji`ah antara lain; Murji`ah Fuqaha Murji`ah
Qadariyyah Murji`ah Jabriyyah Murji`ah Khawarij Murji`ah Karramiyyah .
Kesesatan-kesesatan Kelompok Murji`ah
Secara garis besar kesesatan Murji`ah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan dgn tiga versi:
- Iman: keyakinan dlm hati dan perkataan dgn lisan .
- Iman: pengetahuan/ pembenaran dlm hati saja .
- Iman: perkataan dgn lisan saja .2
Bantahan:
Pertama: Kesepakatan mereka bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan sungguh
bertentangan dgn Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama salaf dan yg mengikuti jejak mereka.
Dalam Al-Qur`an seringkali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut amalan shalih dgn sebutan
iman. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Seringkali Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebut amalan shalih dgn sebutan iman. Sebagaimana dlm firman-Nya:
ت قُلُ ْوبُ ُه ْم ْ َت َعلَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ زَ ادَتْ ُه ْم إِ ْي َمانا َو َعلَى َربِِّ ِه ْم إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ الَّ ِذيْنَ إِذَا ذُ ِك َر هللاُ َو ِجل َّ الَّ ِذيْنَ يُ ِق ْي ُم ْونَ ال. َيَت ََو َّكلُ ْون
ْ َصالَة َ َوإِذَا ت ُ ِلي
ْ ْ ُ
أولَئِكَ ُه ُم ال ُمؤْ ِمنُ ْونَ َحقًّا َو ِم َّما َرزَ قنَا ُه ْم. َيُ ْن ِفقُ ْون
“Sesungguh orang2 yg beriman itu adl mereka yg apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka dan
hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. orang2 yg mendirikan shalat dan yg menafkahkan
sebagian dari rizki yg Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang2 yg beriman dgn sebenar-
benarnya.”
ُض ْي َع إِ ْي َمانَ ُك ْم
ِ َو َما َكانَ هللاُ ِلي
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tdk akan menyia-nyiakan keimanan kalian.”
Yang dimaksud dgn ‘keimanan kalian’ di sini adl shalat kalian dgn menghadap Baitul Maqdis.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dgn iman.”
Adakala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa amalan shalih dlm Al-Qur`an
sebagai ciri/tanda bagi orang2 beriman yg sekaligus sebagai isyarat bahwa predikat mukmin tdk
bisa diraih hanya dgn keyakinan di hati dan ucapan di lisan saja akan tetapi harus dgn
pembuktian amalan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َصالَتِ ِه ْم خَا ِشعُ ْون َ الَّذِينَ ُه ْم فِي. َقَدْ أ َ ْفلَ َح ْال ُمؤْ ِمنُ ْون. ِلزكَاة َّ َوالَّ ِذيْنَ ُه ْم ِل. َ َوالَّ ِذيْنَ ُه ْم َوالَّ ِذيْنَ ُه ْم َع ِن اللَّ ْغ ِو ُم ْع ِرض ُْون. َفَا ِعلُ ْون
َ َّ ُ ُ ُ
إِال َعلى. ََت أ ْي َمانُ ُه ْم فَإِنَّ ُه ْم َغي ُْر َمل ْو ِميْنَ ِلف ُر ْو ِج ِه ْم َحافِظ ْون َ ْ اج ِه ْم أ َ ْو َما َملَك ِ أ َ ْز َو. َوالَّ ِذيْنَ هُ ْم. َفَ َم ِن ا ْبتَغَى َو َرا َء ذَلِكَ فَأُولَئِكَ ُه ُم ْالعَاد ُْون
صلَ َواتِ ِه ْم َ َوالَّ ِذيْنَ ُه ْم َعلَى. َظ ْونَ أل َ َمانَاتِ ِه ْم َو َع ْه ِد ِه ْم َراع ُْون ُ ِيُ َحاف
“Sungguh beruntung orang2 yg beriman itu. orang2 yg khusyu’ dlm shalatnya. Dan orang2 yg
menjauhkan diri dari yg tiada berguna. Dan orang2 yg menunaikan zakat. Dan orang2 yg
menjaga kemaluan kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yg mereka miliki; mk
sesungguh mereka dlm hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yg di balik itu mk mereka
itulah orang2 yg melampaui batas. Dan orang2 yg memelihara amanat-amanat dan janjinya. Dan
orang2 yg memelihara shalatnya.” 3
Dalam As-Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun seringkali menyebutkan bahwa
amalan adl bagian dari iman. Di antara sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َضلُ َها قَ ْو ُل الَ ِإلَه َ فَأ َ ْف،ش ْعبَة
ُ َض ٌع َو ِستُّ ْون ْ َو ْال َحيَا ُء اْ ِإل ْي َمانُ ِب،ق َّ طةُ اْألَذَى َع ِن ال
ِ ط ِر ْي َ ان ِإالَّ هللاُ َوأَدْنَاهَا ِإ َماِ ش ْعبَةٌ ِمنَ اْ ِإل ْي َم ُ
“Iman itu mempunyai 60 sekian cabang. Cabang yg paling utama adl ucapan ‘Laa ilaaha illallah’
dan cabang yg paling rendah adl menyingkirkan gangguan dari jalan dan sifat malu itu cabang
dari iman.”
Dalam hadits ini diterangkan bahwa iman mempunyai cabang yg banyak jumlahnya. Ada yg
berupa ucapan lisan seperti ucapan ‘Laa ilaaha illallah’. Ada yg berupa amalan tubuh seperti
menyingkirkan gangguan dari jalan. Ada pula yg berupa amalan hati seperti sifat malu.
،ُاره َ آلخ ِر َفالَ يُؤْ ِذ َج ِ ْ َم ْن َكانَ يُؤْ ِمنُ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم ا،ُض ْيفَه َ آلخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْمِ َْو َم ْن َكانَ يُؤْ ِمنُ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم َو َم ْن َكانَ يُؤْ ِمنُ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم ا
ْ
آلخ ِر فَليَقُ ْل َخيْرا أَ ْو ِ ْت ا ْ ص ُم ْ َِلي
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir mk janganlah mengganggu tetangganya.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendak memuliakan tamunya. Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir hendak berkata yg baik atau lbh baik diam .”
Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan tdk mengganggu tetangga memuliakan tamu dan
bertutur kata dgn baik merupakan bagian dari keimanan.
فَإِ ْن لَ ْم،ِ َوذَلِكَ َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْنكَرا فَ ْليُغَيِ ِّْرهُ ِبيَ ِده، فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه،سانِ ِه ِ ف اْ ِإل ْي َم
َ ان يَ ْست َِط ْع فَبِ ِل ْ َأ
ُ َضع
“Siapa saja di antara kalian yg melihat kemungkaran hendak mengubah dgn tangannya. Jika tdk
mampu dgn tangan mk dgn lisannya. Dan jika tdk mampu dgn lisan mk dgn hati itulah selemah-
lemah iman.”
Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan mengingkari kemungkaran merupakan bagian dari
iman.
Adapun ijma’ adl sebagaimana yg dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu:
“Merupakan ijma’ para shahabat tabi’in dan yg kami jumpai dari para ulama bahwa iman
meliputi perkataan amalan dan niat . Tidaklah mencukupi salah satu dari tanpa sebagian yg
lain.”4
Kedua: Adapun tiga versi tentang hakikat keimanan yg ada pada kaum Murji`ah mk semua
bertentangan dgn Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ bahkan bertentangan dgn fitrah yg suci. Hal
ini bisa dibuktikan dgn memerhatikan poin-poin berikut:
Pernyataan mereka bahwa iman hanya dgn keyakinan dlm hati dan perkataan lisan tanpa
beramal.
Apakah Al-Jannah itu diraih dgn santai-santai tanpa amalan dan kesungguhan?! Kalau begitu utk
apa kita diperintah utk shalat zakat shaum Ramadhan haji dan amalan shalih lainnya?!
Pernyataan mereka bahwa iman sebatas pembenaran/ pengetahuan dlm hati saja.
Lalu apa beda iman kita dgn ‘iman’ sebagian orang2 kafir?!5
Pernyataan mereka bahwa iman hanya dgn perkataan lisan saja.
Kalau begitu apa beda dgn iman kaum munafik yg dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala?!
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal
Jamaah adl bahwa iman meliputi perkataan amalan dan keyakinan hati. Ia bisa bertambah dgn
sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dgn sebab kemaksiatan. Iman bukan sekadar perkataan
dan amalan tanpa ada keyakinan di hati krn yg demikian merupakan iman kaum munafiqin.
Bukan pula sebatas ma’rifah tanpa ada perkataan dan amalan. Karena yg demikian itu
merupakan ‘iman’ orang2 kafir durjana Bukan pula iman hanya keyakinan hati belaka atau
perkataan dan keyakinan hati tanpa amalan. Karena yg demikian itu merupakan iman Murji`ah.”
2. Bahwa iman tdk dapat bertambah dan tdk pula berkurang akan tetapi ia merupakan satu
kesatuan yg utuh. Sehingga suatu dosa besar tidaklah dapat mengurangi/merusak keimanan
sedikit pun sebagaimana pula suatu ketaatan tdk akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar
itu pelaku dosa besar tdk bisa dihukumi sebagai orang fasiq bahkan tergolong orang yg sempurna
iman dan tdk akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.6
Bantahan:
Pertama: Pernyataan mereka bahwa iman tdk dapat bertambah dan tdk pula berkurang sungguh
bertentangan dgn Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama.
Dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yg menjelaskan bahwa iman dapat bertambah
disebabkan ketaatan dan dapat berkurang disebabkan kemaksiatan. Di antara adl firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
اس قَدْ َج َمعُوا لَ ُك ْم َ َّاس إِ َّن الن ُ َّاخش َْو ُه ْم فَزَ ادَ ُه ْم إِ ْي َمانا َوقَالُوا َح ْسبُنَا هللاُ َو ِن ْع َم الَّ ِذ ْينَ قَا َل لَ ُه ُم الن ْ َْال َو ِك ْي ُل ف
“ orang2 yg dikatakan kepada mereka: ‘Sesungguh manusia telah mengumpulkan pasukan utk
menyerang kalian krn itu takutlah kalian kepada mereka’ mk perkataan itu justru menambah
keimanan mereka dan menjawab: ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Penolong kami
dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adl sebaik-baik Pelindung’.”
ت قُلُ ْوبُ ُه ْم ْ َت َعلَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ زَ ادَتْ ُه ْم إِ ْي َمانا َو َعلَى َربِِّ ِه ْم إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ الَّ ِذيْنَ إِذَا ذ ُ ِك َر هللاُ َو ِجل ْ َصالَة َ َوإِذَا ت ُ ِليَّ الَّ ِذيْنَ يُ ِق ْي ُم ْونَ ال. َيَت ََو َّكلُ ْون
أُولَئِكَ ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ َحقًّا َو ِم َّما َرزَ ْقنَا ُه ْم. َيُ ْن ِفقُ ْون
“Sesungguh orang2 yg beriman itu adl mereka yg apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka dan
hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal. orang2 yg mendirikan shalat dan yg menafkahkan
sebagian dari rizki yg Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang2 yg beriman dgn sebenar-
benarnya.”
َفَأ َ َّما الَّ ِذيْنَ آ َمنُوا فَزَ ادَتْ ُه ْم ِإ ْي َمانا َو ُه ْم يَ ْستَ ْبش ُِر ْون
“Adapun orang2 yg beriman mk menambah iman mereka dlm keadaan mereka merasa gembira.”
ِليَ ْزدَادُوا إِ ْي َمانا َم َع إِ ْي َما ِن ِه ْم
“Agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yg sudah ada pada mereka.”
َويَ ْزدَادَ الَّ ِذيْنَ آ َمنُوا إِ ْي َمانا
“Dan supaya orang2 yg beriman itu semakin bertambah keimanannya.”
Di dlm As-Sunnah banyak juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg menunjukkan bahwa
iman bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Di antara adl sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
فَإِ ْن لَ ْم،ِ َوذَلِكَ َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْنكَرا فَ ْليُغَ ِي ِّْرهُ ِبيَ ِده، فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ ِبقَ ْل ِب ِه،سانِ ِه ِ ف اْ ِإل ْي َم
َ ان يَ ْست َِط ْع فَ ِب ِل ُ ض َعْ َأ
“Siapa saja di antara kalian yg melihat kemungkaran hendak merubah dgn tangannya. Jika tdk
mampu dgn tangan mk dgn lisannya. Dan jika tdk mampu dgn lisan mk dgn hati itulah selemah-
lemah iman.”
Tidaklah iman itu dikatakan lemah/berkurang kecuali krn dia bisa kuat/bertambah.
ي َخي ٌْر َوأَ َحبُّ ِإلَى هللاِ ِمنَ ْال ُمؤْ ِم ِن ُّ َو ِفي ُك ِّل َخي ٌْر ْال ُمؤْ ِمنُ ْالقَ ِو،ْف ِ ض ِعي َّ ال
“Mukmin yg kuat lbh baik dan lbh dicintai Allah daripada mukmin yg lemah dan pada masing-
masing ada kebaikan.”
Ada mukmin yg kuat dan mukmin yg lemah menunjukkan bahwa iman masing-masing orang
berbeda-beda baik dlm hal kualitas maupun kuantitas .
Adapun ijma’ ulama mk sebagaimana yg dikatakan Musa bin Harun Al-Hammal: “Telah
mendiktekan kepada kami Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullahu: ‘Tanpa ada keraguan
sedikit pun bahwa iman meliputi perkataan dan amalan7 bisa bertambah dan bisa berkurang. Hal
itu berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar yg shahih lagi pasti serta pernyataan-pernyataan
individu dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam para tabi’in dan generasi
setelah tabi’in dari kalangan ahli ilmu. Mereka semua sepakat dan tdk berselisih dlm hal ini.
Demikian pula di masa Al-Auza’i di Syam Sufyan Ats-Tsauri di Irak Malik bin Anas di Hijaz
dan Ma’mar bin Rasyid di Yaman. mereka semua sama dgn kami yaitu iman meliputi perkataan
dan amalan bisa bertambah dan bisa berkurang’.”8
-Kedua: Adapun perkataan mereka bahwa ‘dosa besar tdk dapat mengurangi/merusak keimanan
sedikitpun sebagaimana pula suatu ketaatan tdk akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar
itu pelaku dosa besar tdk bisa dihukumi sebagai orang fasiq bahkan tergolong orang yg sempurna
iman dan tdk akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala’ merupakan
perkataan batil dan sesat dari beberapa sisi. Di antara adalah:
- Bahwa prinsip9 yg dijadikan landasan bagi perkataan tersebut nyata-nyata bertentangan dgn
Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama sebagaimana yg telah disebutkan pada poin pertama.
Sehingga segala prinsip yg dibangun di atas pun menjadi batil.
- Bahwa dalil-dalil tentang bisa bertambah iman sekaligus berfungsi sebagai dalil tentang bisa
berkurangnya. krn sebelum iman itu bertambah mk dia berkurang.10
- Para ulama sepakat bahwa keimanan itu tidaklah berkurang kecuali dgn sebab kemaksiatan.
Sebagaimana yg dikatakan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu: “Ahli fiqih dan hadits telah
sepakat bahwa iman meliputi perkataan dan amalan dan tdk ada amalan kecuali berdasarkan niat.
Demikian pula iman bisa bertambah dgn sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dgn
kemaksiatan.”
Bahkan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu mengatakan: “Iman itu meliputi perkataan dan
amalan bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Barangsiapa menyatakan bahwa iman itu bisa
bertambah namun tdk bisa berkurang mk berhati-hatilah dari krn dia adl seorang ahli bid’ah .”
- Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar tdk bisa dihukumi sebagai orang fasiq
bahkan tergolong orang yg sempurna iman dan tdk akan mendapatkan adzab apapun dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala mk ini adl batil dan sesat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ُ ُِسبَابُ ْال ُم ْس ِل ِم ف
َوقِتَالُهُ ُك ْف ٌر،س ْو ٌق
“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memerangi merupakan kekufuran.”
Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Baththah dgn sanad yg sampai kepada Mubarak bin Hassan ia
berkata: “Aku pernah berkata kepada Salim Al-Afthas : ‘Ada seseorang yg taat kepada Allah dan
tdk bermaksiat kepada ada pula seseorang yg bermaksiat kepada Allah dan tdk menaati-Nya
kemudian kedua meninggal dunia. mk Allah masukkan seorang yg taat tersebut ke dlm Al-
Jannah dan Allah masukkan si pelaku maksiat ke dlm An-Naar . Apakah antara kedua ada
perbedaan dlm hal keimanan?’ mk Dia menjawab: ‘Tidak ada perbedaan antara keduanya.’
Akhir kejadian ini kusampaikan kepada ‘Atha` lalu beliau berkata: ‘Tanyakan kepada apakah
iman itu sesuatu yg baik ataukah sesuatu yg buruk? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman : ‘ Supaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memisahkan yg buruk dari yg baik dan
menjadikan yg buruk itu sebagian di atas yg lain lalu semua Dia tumpuk dan Dia masukkan ke
dlm neraka Jahannam. Mereka itulah orang2 yg merugi.’ . mk kutanyakan kepada mereka apa yg
disarankan oleh ‘Atha` dan tdk seorang pun dari mereka yg mampu menjawabnya.”11
Penutup
Para pembaca yg mulia dari bahasan yg telah lewat amatlah jelas bahaya kelompok sesat
Murji`ah ini. Prinsip-prinsip benar-benar mendangkalkan keimanan umat membuat mereka
malas beramal shalih dan bermudah-mudahan melakukan kemaksiatan dgn penuh keyakinan
bahwa iman sempurna dan dia akan aman dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala. tdk heran bila
Al-Imam Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu mengatakan: “Sungguh fitnah Murji`ah ini lbh aku
khawatirkan terhadap umat daripada fitnah Azariqah .”
Akhir kata demikianlah apa yg dapat kami sajikan seputar kelompok Murji`ah dan
kesesesatannya. Semoga menjadi pelita dlm kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari
kebenaran. Selanjut bagi para pembaca yg ingin mengetahui lbh dlm tentang kesesatan Murji`ah
berikut jawaban mk silahkan merujuk Majmu’ Fatawa jilid 7 Asy-Syari’ah karya Al-Imam Al-
Ajurri Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Al-Lalika`i dan lain sebagai dari kitab-
kitab para ulama Ahlus Sunnah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Musyabbihah adl kelompok yg menyamakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn sifat-
sifat makhluk-Nya.
2 Lihat Majmu’ Fatawa .
3 Ayat di atas termasuk di antara beberapa ayat yg disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dlm kitab
Shahih- Bab Umuril Iman sebelum beliau menyebutkan hadits-hadits tentang amalan keimanan.
4 Demikian pula yg dikatakan oleh Al-Imam Al-Ajurri dlm Asy-Syari’ah hal. 114. Untuk
mengetahui nama-nama para ulama tersebut lihatlah Majmu’ Fatawa dan Syarh Ushul I’tiqad
Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Al-Lalika’i .
5 Sebagaimana firman Allah : “Dan mereka mengingkari krn kezaliman dan kesombongan
padahal hati mereka meyakininya.”
6 Lihat Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 113-114 dan
Syarh Lum’atul I’tiqad karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hal. 162-163.
7 Terkandung pada perkataan hati dan amalan hati .
8 Untuk mengetahui lbh rinci nama-nama para ulama tersebut berikut perkataan mereka lihatlah
Majmu’ Fatawa dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah karya Al-Imam Al-Lalika’i .
9 Yaitu prinsip mereka bahwasa iman tdk bisa bertambah dan tdk berkurang akan tetapi ia
merupakan satu kesatuan yg tdk berbilang.
10 Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Dalil-dalil
tentang bertambah iman ini sekaligus juga sebagai dalil tentang berkurang krn sebelum iman itu
bertambah mk dia berkurang. Oleh krn itu ayat-ayat yg secara tersurat menunjukkan tentang
bertambah iman mk secara tersirat ia pun menunjukkan tentang berkurang iman.”
11 Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Ahlus Sunnah Wal Jamaah berada di
tengah-tengah. Mereka menyatakan bahwasa pelaku dosa besar adl seorang yg berdosa terancam
adzab iman berkurang dan dihukumi sebagai orang fasiq . Namun –menurut Ahlus Sunnah Wal
Jamaah– pelaku dosa besar tersebut belum keluar dari keimanan dan tdk pula kekal di dlm
neraka jika ia di masukkan ke dalamnya. Dia berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa
Ta’ala; jika Allah berkehendak utk mengampuni mk ia akan mendapatkan ampunan-Nya dan jika
Allah berkehendak utk mengadzab mk dia akan diadzab terlebih dahulu sesuai dgn kadar dosa yg
dilakukan kemudian dikeluarkan dari An-Naar dan dimasukkan ke dlm Al-Jannah bahwasa
pelaku dosa besar tersebut telah keluar dari keimanan dan kekal di dlm An-Naar}. Murji`ah
hanya mengambil dalil-dalil ampunan/pahala Wa’idiyyah hanya mengambil dalil-dalil
ancaman/adzab. Sedangkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah menggabungkan dalil-dalil
ampunan/pahala dan dalil-dalil ancaman/adzab.”
Rate This
Neo-Murji’ah (Murji’ah Masa Kini, Lebih Radikal)
Oleh: As-Syaikh Abdul-Malik Ramadhon al-Jazairi Hafidzahullah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Di dalam
ilmu kalam itu terdapat sub bahasan yang tentang perbandingan antara aliran-aliran serta ajaran-
ajarannya. Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan
membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami
maksud dari segala polemik yang ada.
B. Rumusan Masalah
dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang perbandingan antara aliran-
aliran yang ikut berperan dalam ilmu kalam seperti pembahasan di bawah ini.
1. Apa isi dari perbandingan aliran?
2. Aliran apa saja yang membahas tentang isi makalah ini?
C. Tujuan
Dari penjelasan makalah ini penulis bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu kalam di
samping itu untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas
tentang pemikiran aliran-aliran dalam ilmu kalam dan bisa menentukan mana yang terbaik bagi
mereka.
BAB II
PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN
A. Wahyu dan akal
kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan
perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula
mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur
kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik. Berbeda dengan Mu’tazilah,
kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi akal tidak
dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut
diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu, manusia tidak
akan tahu. Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan
kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak
dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu
sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya. Golongan maturidiyah bukhara sependapat dengan
kaum asy’ariyah.
B. Pelaku dosa besar
1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-
persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status
pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim,
yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman
Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
(44 :ومن لم يحكم بما انزل ال فأولئك هم الكافرون )المائدة
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij, kecuali najdah
adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah,
menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang
musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa
besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama),
dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman
yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte
Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun nasution
berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa
keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan
refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah moderat
ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun
disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya.
Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari
siksa neraca.
3. Menurut aliran Mu’tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan
pelaku dosa besar,
Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi
pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali
dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah baial
manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada
diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia
akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun
demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada
siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa
tokoh Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid
memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan
mukmin atau kafir.
4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai
wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud
ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar,
seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap
sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka
miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar
itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah
kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar,
apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut
al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah
bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama
dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak
mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara,
sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai
mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa
yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat
terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar
diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal
didalamnya.
6. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang
melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum
tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu
yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan
dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid
pernah belajar kepada washil bin atho’2
C. Sifat-sifat Tuhan
1. Menurut aliran Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dan kaum
asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah
Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan.
Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham
banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of
eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham
syirik atau polyteisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam
teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu’tazilah
mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan
sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah
sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah
Tuhan sendiri.
2. Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang
berlawanan dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari
bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan
nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan
sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya.3
3. Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari,
seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. walaupun
begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan alasy’ari.
Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai
esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.
Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat
cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya almaturidi
mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu’tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
4. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah
senantiasa bersifat tahu, namun adapula sebagian dari mereka
berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap sesuatu
sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia
pun bersifat tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat
tahu, maka Allah berkehendak menurut merek adalah bahwa
Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan
itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka
berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu yang tidak ada.
D. Iman dan kufur
1. Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya,
yaitu dosa besar agar dengan demikian orang Islam yang tidak
sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat
dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan
setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, 2
orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan
orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan
orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap
penguasa yang menyeleweng.
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan
iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut
Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya,
bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi
mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang
timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman
bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan6
2. Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam
kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau
merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah
mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya.7
3. Aliran Mu’tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan
dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan
perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan
seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini
dianut pula olah Khawarij.8
4. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara
esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan
kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’
(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang
membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa
dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan
seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu
dari hal-hal tersebut.9
5. Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan
lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia
mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan
mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini
juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan
manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
E. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
1. Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas
perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah
Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk
mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak
berdaya, bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang
yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini
dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan
manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi
manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkan
perbuatannya.
2. Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak
atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat).
Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak
lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut.10
3. Aliran Mu’tazilah
10 Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.Cit. hal. 159-160
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan
paham Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu
dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan
menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan mengirim Rasulrasul-
Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.11
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia
dengan qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al-
Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-
Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan
Tuhan. Artinya apabila seseorang ingin melakukan suatu
perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan
kehendak Tuhan.
5. Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya
adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan
manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak
menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran
maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
F. Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan
bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim dengan
memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat
perbuatannya, secara lebih jelas aliran Mu’tazilah mengatakan
bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya
Mu’tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
سنة ال فى الذين خلوا من قبل ولن تجد لسنة ال تبديل
2. Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan,
yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata
adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
Landasan surat al-Buruj ayat 16
فعال لمايريد
3. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah
samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil
mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan
tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajibankewajiban
hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat
dengan Mu’tazilah.
Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada
yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan
bagi Tuhan. Tampaknya aliran maturidiyah bukhara lebih dekat
dengan asy’ariyah.12
BAB III
KESIMPULAN
kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat
diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan
cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui
yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah
wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan
mengerjakan yang baik.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak
ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran
kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku
dosa besar.
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan
dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa
Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga
menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena
itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya,
bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand,
dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa
segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat
serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap
manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam,
Pustaka Setia Bandung: 2006.
Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis
Pebandingan UI Press, Jakarta: 1986
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo
Persada. Jakarta: 1996:
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada
Jakarta: 1993.
1 Komentar
ilmu kalam
Januari 16, 2009 pada 8:06 am (catatanku)
Tags: ilmu kalam, jabariah, khawarij, muktajilah, murjiah, syi'ah
BAB I
Pengertian Ilmu Tauhid, Nama-namanya yang lain, Manfaat, Tujuan dan
Sumbernya
A. Pengertian ilmu tauhid
Perkataan Tauhid berasal dari Bahasa Arab, masdar dari kata Wahhada-
Yuwahhidu. Secara Etimologis, tauhid berarti Keesaan. Maksudnya, ittikad atau
keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan
dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, yakni “
Keesaan Allah “ ; Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan
Allah.
“ Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan Akidah
agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan “.
Dengan redaksi yang berbeda dan sisi pandang yang lain, ibnu Khaldun
mengatakan bahawa Ilmu Tauhid adalah :
“ Ilmu yang berisi alasan-alasan dari aqidah keimanan dengan dalil-dalil Aqliyah
dan berisi pula alas an-alsan bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng
Aqidah Salaf dan Ahli Sunnah “.
Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid karena pokok bahasannya dititik beratkan
kepada keesaan Allah SWT. Ilmu ini dinamakn ilmu kalam karena dalam
pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-
Nya digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan Logika
atau Mantik.
Meskipun nama yang diberikan berbeda-beda, namun inti pokok pembahasan ilmu
tauhid adalah sama, yaitu wujud Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan-
Nya.
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh Seseorang, tetapi
lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan
tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini
nampak dalam hal pelaksanaan ibadat, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan
perkataannya sehari-hari.
Maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengakui bertauhid saja tetapi
lebih jauh dari itu, sebab tauhid mengandung sifat-sifat :
Karena ilmu tauhid merupakan hasil kajian para Ulama’ terhadap al-Qur’an
dan Hadist, maka jelas, sumber ilmu tauhid adalah alQur’an dan Hadist. Namun
dalam pengembangannya, kedua sumber di hidup suburkan oleh rasio dan dalil-
dalil aqli.
BAB II
1. Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern adalah factor yang berasal dari islam sendiri.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a. al-Qur’an disamping berisi masalah ketauhidan, kenabian. Dan lain-lain berisi pula
semacam apologi dan polemic, terutama terhadap agama-agama yang ada pada
waktu itu, misalnya :
1. Surat al-Maidah ayat 116 berisi penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa.
b. Pada periode pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam.
Setelah Nabi wafat dan Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan
peradaban asing, mereka mulai mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-
Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir nampak satu sama lain tidak sejalan,
bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan
untuk memecahkannya perlu sutu ilmu tersendiri.
c. Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah, menjadi factor pula
dalam kelahiran ilmu tauhid.
2. Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern ialah factor yang datang dari luar islam.
Faktor tersebut antara lain ialah pola piker ajaran agama lain yang dibawa oleh
orang tertentu, termasuk Umat Islam yang dahulunya menganut agama lain ke
dalam ajaran islam.
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-
644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah.
Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun
timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim,
salah seorang penyulut pergolakan.
Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman
namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman
mati terbunuh ( 656 ).
Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin
Abi Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali
dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua,
perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin.
Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak
dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat.
BAB III
Penegasan Allah SWT dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah SWT
itu Maha Esa, antara lain :
Keesaan Allah SWT tidak hanya keesaan pada zat-Nya, tapi juga esa pada
sifat dan af’al ( perbuatan )-Nya. Yang dimaksud Esa pada zat adalah Zat Allah itu
tidak tersusun dari beberapa juzu’ ( bagian ). Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak
sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun yang mempunyai sifat
sebagaimana sifat Allah SWT.
BAB IV
Naluri Beragama
Para ahli Tafsir mengatakan, fitrah artinya ciptaan atau kejadian yang asli,
kalau ada manusia kemudian tidak beragama tauhid berarti telah terjadi
penyimpangan dari fitrahnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan tempat
ia hidup, pemikiran yang menjauhkan dari agama tauhid dan sebagainya.
Karena naluri beragama tauhid merupakan fitrah maka ketauhidan dalam diri
seseorang telah ada sejak ia dilahirkan, untuk menyalurkan dan memantapkan
naluri itu, Allah SWT mengutus Nabi atau Rasul yang memberikan bimbingan dan
petunjuk ke jalan yang benar sehingga manusia terhindar dari kesesatan.
BAB V
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara ilmu kalm dan filsafat
adalah :
!. Dalam ilmu kalam, filsafat dijadikan sebagai alat untuk membenarkan ayat-ayat al-
Qur’an, sedangkan dalam filsafat sebaliknya, ayat-ayat al-Qur’an dijadikan bukti
untuk membenarkan hasil-hasil filsafat.
2. Pembahasan dalam ilmu kalam terbatas pada hal-hal yang tertentu saja.Masalah
yang dimustahilkan al-Qur’an mengetahui tidak dibahas oleh ilmu kalam tetap
dibahas oleh filsafat.
Akidah islam sering disebut tauhid. Ajaran tauhid disebut pula ajaran monoteisme,
Akidah ini sudah ada sejak zaman Nabi Adam a.s. sebagai seoarang Nabi dan
Rasul, Adam telah membawa Akidah ketauhidan tersebut, suatu akidah yang
diberikan Allah kepada beliau. Karena itu, Umat islam yakin, Nabi Adam
menganut paham monoteisme dan tidak mungkin menganut paham
politeisme/kemusyrikan.
Nabi Adam tahu betul tentang Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.
Dengan keyakinan bahwa Akidah ketauhidan sudah ada sejak Nabi Adam a.s.
Umat islam menolak teori ch. Darwin dan pengikutnya mengenai evolusi tentang
asal-usul agama.
1. Kalau agama islam muncul melalui proses evolusi sesuai dengan tingkat dan
kemajuan ilmu pengetahuan berarti agama islam adalah produk manusia.
Sedangkan islam adalah agama wahyu, dating dari Allah SWT. Ia bukan
kebudayaan, sekalipun ia melahirkan kebudayaan dan peradaban.
2. Kalau Adam a.s adalah seorang Nabi, tentu ia diberi bekal oleh Allah SWT dengan
agama tauhid atau monoteisme. Dalam kepercayaan Umat berima, Adam adalah
Nabi.
Ilmu Tauhid secara garis besar adalah ilmu yang mempelajari bagaimana
bertauhid dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Hadist.
Petunjuk al-Qur’an dan Hadist inilah yang dikaji secara mendalam oleh para
Ulama’. Namun karena pola piker, latar belakang, metode pendekatan, dan sudut
pandang yang berbeda, hasil pemikiran merekapun selalu tidak sama. Jangankan
antar Madzhab, di dalam satu Madzhab saja perbedaan itu terjadi, sehingga muncul
sekte-sekte.
Jalan yang paling aman dan dekat untuk mengenal Tuhan adalah dengan
memperhatikan dan meneliti alam semesta. Al-Qur’an selalu mendorong manusia
agar mau memperhatikan dan memikirkan apa yang ada dan terjadi di dalam alam
raya ini, bukan saja alam yang berada di luar dirinya, tapi juga apa yang ada dalam
diri manusia itu sendiri.
Dalam membina akidah dan ibadah, agama juga tidak bisa berjalan sendiri,
Ia harus dibantu oleh ilmu pengetahuan. Ilmu dapat menjelaskan dan menafsirkan
arti dan makna akidah dan ibadah secara rsional sehingga ia tidak hanya diterima
dengan rasa ( iman ) tapi juga diterima dengan rasio. Hal ini akan lebih
memantapkan rasa keberagamaan dan keyakinan seseorang serta menumbuhkan
kesadarannya yang mendalam untuk memperkuat iman dan melaksanakan ibadah
dengan baik dan benar.
BAB VI
Berdasarkan ayat dan hadist yang telah dikemukakan di atas, dapat di ambil
kesimpulan bahwa ajaran islam yang berintikan akidah islamiyah dapat
membangkitkan kesadaran ekologis kepada manusia, bagaimana seharusnya ia
bergaul dengan lingkungan hidupnya, baik lingkungan yang hidup biotis ataupun
benda mati ( abiotis ).
BAB VII
Aspek pokok dalam ilmu tauhid adalah keyakinan akan eksistensi Allah yang maha
sempurna, maha Kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Karena itu
pula, ruang lingkup pembahasan dalam ilmu tauhid yang pokok adalah :
1. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan
istilah Mabda. . Dalam bagian ini termasuk pula bagian takdir.
2. Hal yang berhubungan dengan utusan Allah sebagai perantara antara manusia
dan Allah atau disebut pula washilah meliputi : Malaikat, Nabi/ Rasul, dan Kitab-
kitab Suci.
3. Hal-hal yang berhubungan dengan hari yang akan datang, atau disebut juga
maad, meliputi : Surga, Neraka dan sebagainya.
Bagian-bagian tauhid sebagai ilmu dapat dibagi dalam 5 aspek : Tauhid Rububiyah,
tauhid Uluhiyah/ubudiyah, tauhid sifat, tauhid qauli dan tauhid amali.
Secara garis besar, masalah-masalah yang bertentangan dengan tauhid adalah kekafiran,
kemusyrikan, kemurtadan, dan kemunafikan.
BAB VIII
1. Khawarij
Adapun yang dimaksud khawarij adalah suatu sekte pengikut Ali bin Abi Thalib
yang keluar meninggalakan barisan karena ketidak sepakatan tyerhadap keputusan
ali yang menerima arbitrase ( Tahkim ).
2. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal ( antara Aisyah, Thalhah dan
Zubair dengan Ali bin Abi Thalib ) dan para pelaku tahkim termasuk yang
menerima dan membenarkan dihukumkan kafir.
2. Murji’ah
a. Sejarah timbulnya.
Satu hal yang sulit diketahui dengan pasti ialah siapa sebenarnya pendiri atau
tokoh Ulama’ aliran ini. Menurut Syahrastani, Husain bin Muhammad bin Ali bin
Abi Thalib adalah orang yang pertama yang menyebut irja’. Akan tetapi, hal ini
belum menunjukkan bahwa ia adalah pendiri Murji’ah.
3. Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Ustman
bin Affan .
b. Ajaran-ajaran Murji’ah
b) Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumi kafir, selama ia mengakui
2 kalimah syahadah.
Pemimpin Ulama madzhab murji’ah ialah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu
Sallat al Samman dan Dirar bin Umar.
Tokoh Murji’ah yang moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib.
3. Qadariyah
4. Jabariyah
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh
dalang tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
5. Mu’tazilah
Ada 5 prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Tokoh besar aliran
ini, Abu Huzail Al-Hallaf :
ALIRAN MURJI'AH
A. Pengertian Aliran Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang berarti “Kembali” dan yang
dimaksud adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari
perbuatan manusia bergantung pada Allah SWT.
Diantaranya adalah :
1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila
meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat
kelak.
3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman.
Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang
dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan
tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga
bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang
tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa
sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim,
kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran
Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran,
namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir
atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya.
Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya
kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan
oleh aliran khawarij . Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam
suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap
netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan.
Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu
dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian
pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang
mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin
sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi
dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan
Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap
mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulnya.
Dalam bidang aliran teologi mengenai dosa besar, kaum Murji’ah ini mempunyai pendapat
tentang aqidah yang semacam umum dapat digolongkan kedalam pendapat yang moderat dan
ektrim.
Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat,
bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan
tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati lebih lanjut umpamanya ia
menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak
menjadi kafir. Dan orang tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.
Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kafir
adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah.
Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.
Al-Baghdadi menerangkan pendapat Al-Salihiyah bahwa sembahyang , zakat, puasa, dan haji
hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya
ibadah hanyalah iman.
Al-Yunusiyah berkesimpulan atas pendapat kaum Murji’ah yang disebut iman adalah
mengetahui Tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman
seseorang.
Atas pandangan diatas .Al-Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam iman , dosa
dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan yang bersangkutan.
Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak
iman seseorang, dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan orang musyrik.
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya.
Kemungkinana Tuhan akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan
ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya. Berbeda dengan
golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama
Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,yaitu selama mereka
berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal dineraka, walaupun mereka mengatakan bahwa
pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya
dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat
Murji’ah kepada beberapa imama mazhab dalam bidang fiqh damn hadist.
Tokoh dari golongan ini antara lain : Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Hanifah mendefinisikan iman
adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, Tentang rasul – rasulnya. Dan tentang segala
apa yang datang dari Tuhan.
Ada gambaran definisi iman menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang Islam adalah
sama. Tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan orang Islam yang
patuh menjalan kan perintah – perintah Allah. Dengan demikian, Abu Hanifah berpendapat
bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima.
Ajaran kaum Murji’ah moderat diatas dapat diterima oleh golongan Ahli sunah wal jamaah
dalam Islam. Asy’ari berpendapat, iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan
dan tentang kebenaran Rasul – rasulnya serta apa yang mereka bawa. Sebagai cabang dari iman
adalah mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam. Bagi orang yang
melakukan dosa besar, apabila meninggal tanpa obat, nasibnya terletak ditangan Tuhan.
Kemungkinan Tuhan tidak membari ampun atas dosa – dosanya dan akan menyiksanya sesuai
dengan dosa – dosa yang dibuatnya. Kemudian dia dimasukkan kedalam surga, karena ia tidak
akan mungkin kekal tinggal dalam neraka.
Pendapat Al-Baghdadi
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu
mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui
dalam syari’at.
2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta
melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala
dosa besar.
DAFTAR PUSTAKA
Sufyan Raji Abdullah Muhammad, Lc.mengenal aliran Islam.2003. Pustaka al-Riyadl. Jakarta
Zahra Imam Muhammad Abu. Aliran Politik dan Akidah .1996. Logos. Jakarta Selatan.
Nata Abudin, M.A. Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf. 1993. Raja Wali Pers. Jakarta Utara.
2. Al-Adl ( keadilan-keadilan )
* Kelebihan dari Makalah ini adalah Penjelasan yang sangat rinci beserta dengan
definisi berbahasa Arab, jadi semua itu mendukung kita dalam memahami ilmu
kalam dalam buku ini.
* Kekurangannya : Peletakan antara definisi yang satu dengan definisi yang lain
tidak beraturan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, M. Yusran, Ilmu Tauhid, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999 )
Tinggalkan sebuah Komentar