Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Murji’ah
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga
ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan
dikalangan umat Islam setelah ‘Usman Ibn ‘Affan mati terbunuh. Seperi telah dilihat, Kaum
Khawarij, pada mulanya adalah penyokong ‘Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya.
Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras
dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam islam yang
dikenal dengan nama Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap ‘Ali bertambah keras, setelah ia
sendiri mati terbunuh pula. Kaum Khawarij dan Syi’ah, sesungguhnya merupakan dua golongan
yang bermusuhan, sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah, tetapi dengan moti yang
berlainan. Kalau Khawarij menentang Dinasti ini, karena memandang mereka menyeleweng dari
ajaran-ajaran Islam, Syi’ah menentang, karena memandang mereka merampas kekuasaan dari
‘Ali dan keturunannya.
Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap
netral tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang
bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang
yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak
mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik
menunda penyelesaian persoalan ini kehari perhitungan di depan Tuhan.
Dengan demikian, kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut
campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu
kepada Tuhan. (Nasution, 1986, hal. 22)
B. Pemikiran Aliran Murji’ah Tentang Ketuhanan
Dalam lapangan politik mereka segera pula berpindah kelapangan teologi. Persoalan dosa
besar yang ditimbukan kaum Khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan
pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukuman kafir bagi orang yang berbuat
dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang serupa itu. Adapun soal
dosa besar yang mereka buat, itu ditunda penyelesaiannya kehari perhitungan kelak.
Argumentasi yang mereka majukan dalam hal ini ialah bahwa orang Islam yang berdosa besar
tetap mengakui, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya.
Dengan katalain orang serupa itu tetap mengucap kedua syahadat yang menjadi dasar utama dari
iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap mukmin dan
bukan kafir.
Pendapat serupa ini dapat membawa kepada pendapat bahwa penting serta yang
diutamakan adalah sebenarnya iman, sedang perbuatan hanya merupakan soal kedua. Ini
merupakan kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang menentukan mukmin dan kafirnya
seeorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalanya. Perbuatan
disini mendapat kedudukan yang kedua dari iman. Dan kata arja’a memang mengandung arti
membuat sesuatu mengambil tempat di belakang dalam makna memandang kurang penting.
pendapat bahwa perbuatan kurang penting akhirnya membawa beberapa golongan kaum
Murji’ah, sebagai akan dilihat, kepada faham-faham yang ekstrim.
Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan, orang yang berpendapat
bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak
akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk
mendapat rahmat Allah. Oleh karena itu ada juga pendpat yang mengatakan bahwa nama
Murji’ah diberikan kepada golongan ini, buka karena mereka menundakan penentuan hukum
terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah dihari perhitungan kelak dan bukan pula
karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kudian dari iman, tetapi karena
mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga. (Nasution,
1986, hal. 23-24)
C. Tokoh-tokoh Aliran Murji’ah
Tokoh-tokoh Murji’ah yang utama antara lain:
1. Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib;
2. Abu Hanifah’;
3. Abu Yusuf’;
4. Said ibn Zubair;
5. Hammad ibn Ali Sulaiman.
D. Cabang-cabang Aliran Murji’ah
Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat
dan golongan ekstrim.
1. Golongan moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah
kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai
dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al-Hasan Ibn Muhammad
Ibn ‘Ali Ibn Abi Talib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist. Jadi bagi
golongan ini orang Islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan
hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut : iman ialah
pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tantang
segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian ;
iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaaan
antara manuia dalam hal iman.
Definisi yang di berikan Abu Hanifah ini menggmbarkan bahwa semua iman
atau dengan kata lain iman semua orang islam sama, tidak ada perbedaan antara
iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh menjalankan
perintah – perintah Allah. Ini boleh pula membawa kesimpulan bahwa Abu Hanifah
juga berpendapat perbuatan kurang penting dengan iman. Jalan pemikiran serupa
ini mungkin sekali ada pada Abu Hanifah yang di kenal sebagai imam mazab yang
banyak berpegang pada logika. Tetapi bahwa Abu Hanifah juga berpendapat bahwa
perbuatan atau amal tidak penting rasanya tidak dapat di terima. Sebagai seorang
imam yang membentuk mazab besar dalam islam Abu Hanifah tidak mungkin
berpendapat bahwa perbuqatan atau amal tidak penting bagi orang islam. Sebagai
kata Al-Syahrastani : “bagaimana mungkin eorang yang di didik beramal sampai
besarnya dapat menganjurkan untuk meninggalkan amal?”
Bertitik tolak dari kesimpulan definisi Abu hanifah tersebut yaitu bahwa
perbuatan dan amal tidak penting ada ulama ulama yang tidak menyetujui
dimasukkan Abu Hanifah kedalam golongan kaum Murjiah. Untuk memasukkan Abu
Hanifah dalam golongan Murjiah ekstrim memang tidak mungkin, tetapi untuk
memasukanya kedalam Murjiah Moderat, rasanya tidak ada salahnya. “sekali-kali
tidak akan merugikan bagi Abu Hanifah, kata Ahmad Amin, kalau ia di masukkan ke
dalam golongan Murjiah”. Yang di maksud oleh Ahmad Amin adalah Murjiah
Moderat. Tetapi Abu Zahrah berpendapat, karena tidak adanya kesatuan pendapat
tentang siapa yang di maksud sebenarnya dengan kaum Murjiah, Murjiah moderat
atau Murjiah ektrim, sebaiknya Abu Hanifah dan imam imam lainya janganlah di
masukkan ke dalam golongan Murjiah.
Bagaimanapun juga Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar bukanlah kafir, tetapi tetap mukmin. Kaum Murjiahlah yang pertama
mengeluarkan pendapat yang sedemikian.
2. Golongan ekstrim
Golongan ekstrim yang dimaksud kan ialah al-Jahmiah, pengikut-pengikut
Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang islam yang percaya pada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidak lah menjadi kafir, karena iman
dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh
manusia, bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir sungguhpun ia
menyembah berhala, menjalankan ajaran ajaran-ajaran agama yahudi atau agama
kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinity, dan kemudian
mati. Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang
sempurna imannya.
Bagi Al-Salihlah, pengikut-pengikut Abu Al-Hasan al-Salihi, iman adalah
menegtahuai Tuhan dan kufr tidak tau pada Tuhan. Dalam pengertian mereka
sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah
ialah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan. Lebih lanjut al-Baghdi
menerangkan bahwa dalam pendpat al-Shalihiah, Sembahyang, zakat, puasa, dan
haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah.
Yang disebut ibadah adalah iman.
Karena dalam pengertian kaum Murjiah yang di sebut iman hanyalah
mengetahui Tuhan, golongan Al-Yunisah mengambil kesimpulan bahwa melakukan
maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Golongan
al-‘Ulbaidiah berpedapat demikian pula, tegasnya jika seseorang mati dalam iman,
dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang di kerjakanya tidak akan merugikan
bagi yang bersangkutan. Karena itu pulalah maka Muqatil Ibn Sulaiman mengtakan
bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan iman seseorang, dan
sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik.
Selanjutnya menurut al-khassaniah, jika seseorang mengatakan “saya tahu
bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apa babi yang di
haramkan itu adalah kambing ini”. Orang yang demikian tetap mukmin dan tidak
kafir. Dan jika seseorang mengatakan , “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke
ka’bah tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di india atau di tempat lain”. Orang
demikian tetap mukmin.
Pendapat-pendapat ekstrim seperti di uraikan di atas timbul dari pengertian
bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat
pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin
atau tidak mukminya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak berpengaruh dalam hal
ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yan ada di hati seeorang tidak dapat di ketahui
oleh orang lain, selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya
menggambarkan apa yang ada di dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan ucapan dan
perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak
mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang ada di dalam hatinya. Dengan
demikian ucapan dan perbuatan tidak merusak iman.

Anda mungkin juga menyukai