Anda di halaman 1dari 9

Iman dan Kufur Menurut Menurut Aliran Khawarij

Awal kemunculan sebuah aliran terkadang mendahului bangunan


pemikiran di dalamnya, akan tetapi setelah ia mampu
mempertahankan eksistensinya dikancah pergolakan pemikiran
dengan sejumlah pendukungnya, maka lahirlah tokoh dengan
mengusung bangunan pemikiran yang apik.[2]

Sebentuk ideologi yang mengukuh dan mengokoh menjadi


mazhab resmi tentunya tidak meraksasa begitu saja. Butuh
proses dan waktu yang membuatnya kian besar hasil akumulasi
pergumulan pemikiran, Demikian halnya yang terjadi dalam
kubuh khawarij.

Aliran ini merumuskan dasar-dasar pemikirannya untuk berdiri


tegak ditengah pergolakan, baik yang sifatnya external maupun
internal aliran. Hal ini mengindikasikan adanya perpecahan
dalam kubuh khawarij, namun tetap memiliki kesamaan
mengenai pokok-pokok ajaran. Diantara pokok ajaran tersebut
ialah persoalan pelaku dosa besar.[3]Berbicara masalah dosa
besar maka secara tidak langsung hal itu berkaitan dengan
persoalan Iman dan Kufur.

Khawarij, terlepas dari pelbagai aliran di dalamnya, menganggap


bahwa menjalankan perintah agama seperti shalat, puasa,
kejujuran, serta menegakkan keadilan merupakan bagian dari
iman. Menurut pandangan mereka, iman tidak hanya terbatas
pada keyakinan dalam hati. Maka ketika seseorang meyakini
keesaan Allah dan nabi Muhammad sebagai rasul tetapi tidak
menjalankan perintah agama dan melakukan dosa besar maka
menurut pandangan Khawarij mereka termasuk dalam kategori
kafir.[4]
Hal itu tidak mengherankan, karena kebanyakan penganut aliran
tersebut dari kalangan Arab baduwi sehingga As-syahrastani
memberikan gelar kepada mereka sebagai golongan yang taat
berpuasa dan shalat serta seringkali mengucilkan pembohong
dan pelaku maksiat.[5]

Mereka beranggapan bahwa iman adalah pengakuan hati serta


penuturan lidah mengenai keesaan Allah dan Muhammad adalah
rasulnya, menunaikan kewajiban serta menghindari perbuatan
dosa besar.[6] Meskipun subsekte Khawarij yang sangat ekstrim,
Azariqah menggunakan istilah yang lebih mengerikan daripada
kafir yaitu musyrik bagi siapa saja yang berada diluar golongan
mereka. Sedangakan pelaku dosa besar telah beralih
keimanannya menjadi kafir millah dan kekal di neraka.

Begitu halnya dengan subsekte Najdah yang memberikan


predikat musyrik bagi pelaku dosa kecil secara
berkesinambungan dan predikat kafir bagi pelaku dosa besar
yang tidak dilakukan secara kontinyu.[7] Berdasarkan hal
tersebut, yang menjadi titik temunya ialah Khawarij menilai
orang yang melakukan dosa besar keimanannya serta merta
akan hilang dan orang yang kehilangan keimanannya itu berarti
termasuk dalam golongan kafir.

Namun, tak bisa dipungkiri adanya subsekte Khawarij yang


tergolong moderat yaitu Ibadiyah. subsekte ini berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang
mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Ia tetap disebut kafir
tapi hanya merupakan kafir nikmat (mengingkari nikmat) bukan
kafir millah (agama). Siksaan yang akan mereka terima di akhirat
nanti adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir
lainnya.[8]

Iman dan Kufur Menurut Menurut Aliran Al-Murjiah

Pandangan Murjiah dalam hal iman dan kufur ada keterkaitan


dengan kesenjangan yang terjadi dalam kubuh umat Islam
setelah peristiwa pembunuhan khalifah ketiga Usman bin Affan
r.a. Berbeda dengan beberapa aliran lainnya yang berakar politik
dan kemudian membentuk bangunan pemikiran teologi, faham
Murjiah sebagai gerakan non blok yang tidak memihak kepada
kelompok tertentu.

Kata Murjiah itu sendiri merupakan derivasi dari kata arjaa yang
mempunyai makna yang beragam. Diantaranya berarti
mengakhirkan sesuatu. Berdasarkan makna ini, maka Murjiah
ialah faham yang menganggap bahwa perselisihan yang terjadi
dikalangan umat Islam terkait pembunuhan Usman bin Affan,
keputusannya di tangguhkan hingga hari kiamat.

Kata arjaa juga berarti membangkitkan sebuah harapan.


Berangkat dari makna ini, maka Murjiah adalah mereka yang
berkeyakinan bahwa perkara iman dan kufur adalah perkara hati.
Sehingga slogan mereka ialah
Dosa tidak berarti apa-apa selama masih ada iman.
Demikian halnya ke-kufuran tidak berarti apa-apa selama masih
ada ketaatan.

Ibnu Asakir menguraikan pandangan kelompok Murjiah terkait


fitnah kubra yang terjadi dikalangan sahabat bahwa setelah
mereka kembali ke Madinah dari peperangan dan seusai
peristiwa terbunuhnya khalifah ketiga, mereka mengatakan
pada saat kami meninggalkan Madinah kalian dalam keadaan
bersatu dan tak ada perpecahan diantara kalian. Setelah kami
kembali, kalian dalam keadaan berselisih.

Diantara kalian ada yang menganggap bahwa Usman bin Affan


yang merupakan sahabat yang paling adil terbunuh. Sebagian
menganggap Ali merupakan sahabat yang paling benar. Kami
(Murjiah) tidak meragukan kejujuran para sahabat. Kami tidak
memihak atau menyalahkan salah satu diantara mereka. Perkara
itu kami serahkan kepada Allah.[9]

Dalam hal ini, Mereka menilai bahwa keimanan ialah keyakinan


terhadap Allah dan Rasulnya. Maka barangsiapa yang
mengikrarkan dalam hati kalimat syahadat, maka hal itu sudah
cukup untuk memasukkan mereka kedalam barisan orang-orang
yang beriman meskipun ia mengaku kafir, menyembah berhala
dan mati dalam keadaan tersebut meskipun tidak
mendemonstrasikannya dalam ucapan maupun tindakan.
Demikian halnya Perbuatan dosa tidak dapat menciderai
keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak memberi pengaruh
terhadap keimanan. Dalam pandangan mereka, iman sifatnya
statis dan tidak terpengaruh oleh prilaku seseorang karena
prilaku bukan bagian dari Iman.

Iman dan Kufur Menurut Menurut Aliran Al-Mutazilah

Mutazilah merupakan salah satu aliran yang paling menonjol


dikancah pemikiran Islam. Ia mengkristal dengan bangunan
pemikirannya di akhir abad pertama hijriah. Pentas pemikiran
saat itu tidak sunyi dari berbagai pemikiran lainnya yang ikut
mewarnai langit pemikiran saat itu. Dalam kondisi demikian,
Mutazilah hadir dengan lima tiang dasar pemikirannya. Al-adl,
at-tauhid, al-wadu wa al-waid, al-manzilah bain al-manzilatain,
al-amr bi al-maruf wa an-nahyu an al-munkar.[10]

Berdasarkan al-Ushul al-Khamsah ini. Khususnya Al-wadu wa al-


waid, Mutazilah menganggap bahwa iman tidak hanya sekedar
pengakuan hati akan tetapi harus disertai perbuatan yang
merupakan bukti pengakuan hati. Dalam hal ini mereka sejalan
dengan khawarij yang juga mendefenisikan keimanan sebagai
sesuatu yang tidak hanya sekedar keyakinan tanpa wujud nyata
dalam pengamalan nilai.

Adapun persoalan pelaku dosa besar. mereka menolak


pandangan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Juga
murjiah yang menganggap dosa besar tidak sedikitpun
mengeruhkan keimanan seseorang, serta pendapat gurunya
Hasan al-Bashri yang menggolongkan pelaku dosa besar sebagai
munafik.

Dalam pandangan Mutazilah, pelaku dosa besar tidak termasuk


dalam kategori beriman dan tidak pula termasuk golongan kafir
ataupun munafik akan tetapi fasik. mereka berada diantara
golongan orang beriman dan kafir, ia kekal dalam neraka
sebagaimana halnya orang kafir. Akan tetapi siksaan yang
mereka dapatkan di neraka derajatnya lebih rendah
dibandingkan dengan siksaan terhadap orang kafir.[11]
Ini berarti, disatu sisi terdapat kemiripan antara Khawarij dan
Mutazilah mengenai makna iman. Kedua aliran tersebut
menganggap bahwa iman memiliki tiga rukun. Yang pertama
pembenaran hati, yang kedua pengakuan lisan dan yang ketiga
pembuktian melalui perbuatan. Oleh karena itu iman dalam
pandangan kedua aliran tersebut tidaklah statis sebagaimana
yang diyakini oleh Murjiah.
Namun juga terdapat perbedaan yang tipis antara Khawarij dan
Mutazilah mengenai pelaku dosa besar. Khawarij menganggap
orang yang tidak menunaikan kewajiban termasuk dalam
golongan kafir. Sedangkan Mutazilah tidak menganggapnya
beriman ataupun kafir. Akan tetapi mereka berada diantara
keduanya.

Iman dan Kufur Menurut Menurut Aliran Asyariyah

Sangat sulit untuk memahami makna iman dalam pandangan


Abu Al-Hasan Al-Asyari, sebab didalam karya-karyanya seperti
dalam kitab Maqalat, Al-Ibanah, Al-Luma, ia mendefenisikan
iman secara berbeda-beda. Dalam Maqalat dan Al-Ibanah, ia
menyebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal (ucapan dan
perbuatan), dapat bertambah dan berkurang.

Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah.


Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam
al-Quran surat Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan
kata shadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut al-
Asyari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (pembenaran dengan
hati).

Diantara defenisi iman yang dimaksudkan al-Asyari dijelaskan


oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asyariah. Asy-
Syharastani mengatakan:

Al-Asyari berkata, iman (secara esensial) adalah tashdiq bi


al-janan (pembenaran dengan hati). Sedangakan pembuktian
secara lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi
al-arkan) hanyalah merupakan furu (cabang-cabang) iman. Oleh
sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dan
utusan-utusannya beserta apa yang dibawanya dengan kalbu,
maka iman semacam itu adalah iman yang sahih, dan keimanan
seseorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah
satu dari hal-hal tersebut.

Keterangan Asy-Syahrastani tersebut, disamping


mengonvergensikan kedua defenisi yang berbeda yang diberikan
oleh al-Asyari dalam Maqalat, al-Ibanah dan al-luma kepada
satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsur iman
(tashdiq, qawl, dan amal) pada posisinya masing-masing. Jadi,
bagi Al-Asyari dan juga Asyariah, persyaratan minimal untuk
adanya iman hanyalah tashdiq yang jika diekspresikan secara
verbal berbentuk syahadatain.[12]

Pernyataan Asy-Syahrastani ini tidak mengherankan, karena


seperti halnya setiap aliran, konsep iman dalam pandangan
Asyariah sangatlah berkaitan dengan term mengenai kekuatan
akal dan fungsi wahyu. Mereka berkeyakinan bahwa akal
manusia tidak dapat memahami Tuhan secara independen
sebelum adanya syariat yang menjelaskan hal tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, Asyariah beranggapan bahwa orang


yang tidak sampai kepadanya risalah, jika ia tidak beriman, maka
ia tidak akan mendapat siksa atas hal tersebut. Dengan
mengutip dalil al-Quran, Surah al-Isra:15. Kami tidak akan
menyiksa (seseorang), hingga kami mengutus kepadanya
seorang rasul.[13] Olehnya, iman bukan merupakan marifah
ataupun amal. Manusia dapat mengetahui hal tersebut
berdasarkan wahyu. Wahyulah yang menerangkan kepada
manusia mengenai kewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia
harus menerima kebenaran berita ini.
Oleh karena itu, iman dalam pandangan Asyariah adalah al-
tasdiq bi Allah.[14] Dengan kata lain, hilangnya sesuatu yang
bukan merupakan syarat wujud sesuatu tidak serta merta
menghilangkan esensinya.[15] Berdasarkan hal ini, maka dosa
besar, tidak serta merta menghilangkan keimanan seseorang
dan hal tersebut tidak menyebabkannya kafir. Karena dalam
pandangan Asyariah perbuatan bukan merupakan syarat iman
akan tetapi sebagai penyempurna. oleh karena itu, maka
frekwensi keimanan seseorang tidak bersifat statis, akan tetapi
bersifat dinamis sesuai amal perbuatan seseorang.

Iman dan Kufur Menurut Menurut Aliran Al-Maturidiyah

Munculnya aliran al-Maturidi pada dasarnya memiliki kesamaan


dengan aliran Asyariyah. Kedua tokoh aliran tersebut memiliki
persamaan dalam hal perkembangan pemikiran kalamnya.
Keduanya sama-sama dihadapkan pada pemikiran kalam yang
cukup menggoncangkan spritualitas ideologi umat Islam kala itu,
terlebih setelah peristiwa al-Mihnah.[16]

Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Bukhara mempunyai


faham yang sama dengan kaum Asyariah. Keduanya
beranggapan bahwa akal tidak dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui adanya Tuhan. Olehnya itu iman tidak bisa
mengambil bentuk marifah atau amal, tetapi haruslah
merupakan tasdiq bi al-qalb wa al-lisan.[17] Adapun pengertian
iman menurut Maturidiah Samarkand, iman adalah tashdiq bi al-
qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.

Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman,


menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Namun,
lebih dari itu, menurutnya tasdiq harus diperoleh dari marifah.
Tasdiq hasil dari marifah ini didapatkan melalui akal, bukan
sekedar berdasarkan wahyu. Ia mendasari pandangannya pada
dalil naqli surat al-Baqarah ayat 260.

Surat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada


Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang
yang sudah mati. Dalam pandangan al-Maturidi, permintaan
tersebut tidaklah berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman.
Akan tetapi ia mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya
dapat meningkat menjadi iman hasil marifah. Meskipun
demikian, marifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman,
melainkan faktor kehadiran iman.

Mengenai fluktuasi iman, al-Maturidi tidak memberikan


pandangan secara jelas. Namun, komentarnya terhadap al-Fiqh
al-Akbar, karya Abu Hanifah, tentang fluktuasi iman, cukup
memberi isyarat penolakan Al-Maturidi terhadap fluktuasi iman.
Berbeda dengan Abu Hanifah, al-Maturidi mengamini perbedaan
individual dalam hal iman. Hal itu dibuktikan dengan
penerimaannya terhadap hadis Nabi yang menyatakan bahwa
skala iman Abu Bakr lebih berat dan besar daripada skala iman
seluruh manusia. Sedangkan Maturidiyah Bukhara
mengembangkan pendapat yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai