Anda di halaman 1dari 9

MURJI’AH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Teologi Islam
Dosen Pengampu:
M Bik Muhtaruddin, M.Th.I

Disusun Oleh :
Desi Fira Nurjanah (932217518)
Indah Nurvita Sari (932217618)

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan baik serta tepat pada waktunya.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan terima kasih kepada pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
mendasar dalam makalah ini.

Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran


maupun kritik yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah
selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
semua. Terima kasih.

Kediri, 11 Oktober 2021

Penulis

2
A. Definisi dan Sejarah Timbulnya Murji’ah
1. Definisi Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari bahasa Arab, akar katanya adalah Arja'a
yang berarti menunda atau menangguhkan, menurut Abi Al-Fath
Muhammad Abdul Karīm Ibn Abi Bakar Ahmad Asy-syahrastānī, ada dua
ma'na kata arja'a yaitu: ‫االرجاء‬, sebagaimana firman Allah :
‫ … َوأخاهُ أر ِجه قا َ لُ َو‬Terjemahnya: Pemuka-pemuka itu menjawab: "Beri
tangguhlah dia dan saudaranya …..‫ انرجاء اعطاء‬artinya memberi harapan,
yaitu memberi harapan pada pelaku dosa besar untuk memperoleh
pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang
yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, ya'ni
'Ali dan Mu'āwiyah serta pasukannya masing-masing kehari kiamat kelak.
2. Sejarah Timbulnya
Setelah 'Uśman bin 'Affān mati terbunuh, banyak persoalan khilafah
yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam, seperti kaum khawārij
yang mulanya adalah penyokong 'Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi
musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong yang tetap setia
padanya bertambah keras dan kuat membelanya, akhirnya mereka
membentuk satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama
Syī'ah.
Kefanatikan golongan ini terhadap 'Ali bertambah keras, setelah ia
sendiri mati terbunuh pula. Kaum Khawārij dan Syī'ah merupakan dua
golongan yang bermusuhan, namun sama-sama menentang kekuasaan
Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berlainan. Khawārij menentang
Dinasti Umayyah karena mamandang mereka menyeleweng dari ajaran
Islam, Syī'ah menentang karena mereka menganggap merampas kekuasaan
'Ali dan keturunannya. Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul
suatu golongan baru yang ingin bersifat netral, tidak mau turut dalam
praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang
bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat bertentangan itu merupakan
oarang-orang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh

3
karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa saja yang
sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda ( Arja'a),
penyelesaian persoalan ini kehari perhitungan didepan Tuhan.
Ada beberapa teori lain yang berkembang mengenai asal-usul
kemunculan Murji’ah, diantaranya adalah :
a. Gagasan Irja' atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektiarisme.
b. Teori lain mengatakan bahwa gagasan Irja' yang merupakan doktrin
dari Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu 'Ali Ibn Abī Ŝālib, Al-Hasan Ibn Muhammad
Al-Hanafiah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini,
menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Mu'āwiyah pada tahun
680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtār membawa
faham Syī'ah ke Kūfah dari tahun 685-687, Ibnu Zubair mengklaim
kekhalifaan di Mekkah hingga yang berada dibawah kekuasaan Islam.
Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan Irja' atau
penangguhan.
Teori lain menceritakan bahwa ketika 'Ali melakukan perseteruan
dengan Mu'awiyah, dilakukan tahkim ( artibrase ) atas usulan 'Amr Ibn
'Ash, seorang kaki tangan Mu'āwiyah. Kelompok 'Ali terpecah menjadi
dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok yang kontra akhirnya
menyatakan keluar dari 'Ali, yakni kubu Khawārij. Mereka memandang
bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur'ān, dalam pengertian tidak
bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat
bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi
kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain. Pendapat ini tentang
sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan

4
bahwa pembuat dosa besar tetap mu'min, tidak kafir, sementara dosanya
diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.1
B. Pokok-pokok Ajaran Murji’ah
Doktrin ‫ ارجاء‬dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-
persoalan teologis yang muncul pada saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks
sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan dosa kecil, tauhid, tafsir
al-Qur'ān, pengampunan terhadap dosa besar, kemaksuman nabi, nama
dan sifat Allah, hakikat al-Qur'ān dan lain-lain.
Namun dalam kaitan teologi mereka menurut Harun Nasution pokok
ajaran murjī'ah dikolompokkan menjadi tiga yaitu:
a. Menunda hukuan atas orang-orang yang berseteru yang terlibat dalam
peristiwa
tahkīm( 'Ali, Mu'āwiyah, 'Amr Ibn 'Ăş dan Abu Mūsā al-'Asy'arī)
dan menyerahkan kepada Allah dihari akhirat.
b. Meletakkan pentingnya iman daripada amal.
c. Orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, dan memberikan
harapan akan adanya ampunan dan memperoleh rahmat dari Allah.
Sementara itu, Rosihan Anwar mengutip dari Abu Ya'lā Al-Maudūdi
bahwa pokok ajaran Murji’ah ada dua yaitu:
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal
dan perbuatan tidak merupaka suatu keharusan bagi adanya iman,
dalam hal ini seseorang masih tetap dianggap beriman walaupun
meninggalkan hal-hal yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati,
setiap maksiyat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan
atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup
hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan bertauhid.2
C. Perkembangan Aliran Murji’ah

1
Muh. Anis, “Al-Khawarij dan Al-Murji’ah”, MIMBAR, Vol.2 No.1 (2016), 33-35.
2
Ibid,hlm.35-36.

5
Beberapa ahli memiliki pendapat mengenai sekte-sekte Murji’ah di
antara lain, Asy-Syahrastani menyebutkan bahwa sekte-sekte Murji’ah ada
5 dan Muhammad Imarah menyebutkan ada 12 sekte Murji’ah.3
Menurut Harun Nasution, pada umumnya kaum Murji’ah itu dapat
dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan Murji’ah yang moderat
dan golongan Murji’ah yang ekstrim.
1. Golongan Murji’ah yang Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar
itu tidak menjadi kafir karenanya, dan tidak kekal dalam neraka. Orang
tersebut akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa
yang ia kerjakan. Bahkan apabila Tuhan mengampuni dosanya itu ada
kemungkinan ia tidak masuk neraka sama sekali. Jadi menurut
golongan ini, orang Islam yang melakukan dosa besar itu masih tetap
mukmin.
Tokoh-tokoh yang termasuk dalam golongan Murji’ah moderat ini
antara lain: al-Hasan Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli Hadits.
2. Golongan Murji’ah yang Ekstrim
Yang termasuk golongan Murji’ah yang ekstrim ini antara lain ialah:
a. Golongan Al-Jahmiah. Mereka adalah pengikut Jahm Ibn Shafwan.
Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada
Tuhan dan kemudian ia menyatakan kufur kepada Tuhan secara
lisan, maka orang tersebut tidak menjadi kafir karenanya, sebab
iman itu tempatnya dalam hati, bukan di lidah atau di tempat lain
dari tubuh manusia. Bahkan apabila orang tersebut melakukan
penyembahan terhadap patung atau berhala, atau menyatakan
percaya pada trinitas, kemudian orang tersebut meninggal dunia,
maka orang tersebut dalam pandangan Allah masih tetap sebagai
seorang mukmin yang sempurna imannya.

3
Rubini, “Khawarij dan Murji’ah Perspektif Ilmu Kalam”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan
Islam, Vol. 7 No. 1 (Juni, 2018), 111.

6
b. Golongan Al-Salihiah. Mereka adalah pengikut Abu Hasan al-
Salihi. Golongan ini berpendapat bahwa iman adalah mengetahui
Tuhan, sedangkan kufr adalah tidak mengetahui Tuhan. Menurut
mereka, shalat itu tidak merupakan ibadat kepada Tuhan, dalam
arti mengetahui Tuhan.
c. Golongan Yunusiyah. Golongan ini berpendapat bahwa yang
disebut iman itu hanyalah mengetahui Tuhan. Karena itu mereka
berkesimpulan bahwa melakukan perbuatan maksiat atau
pekerjaan-pekerjaan jahat itu tidak merusakkan iman seseorang.
d. Golongan Al-Ubaidiyah. Golongan ini berpendapat bahwa jika
seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dosa-
dosa dari perbuatan-perbuatan jahat mereka tidak akan merugikan
mereka. Tidak merusakkan iman seseorang, dan demikian pula
sebaliknya, perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh
seseorang musyrik (tidak beriman), tidak akan mengubah
kedudukannya sebagai orang yang musyrik.
Dari uraian di atas jelaslah, betapa berbahayanya ajaran Murji’ah
yang ekstrim itu. Ajaran seperti itu jelas dapat membawa kepada
kerusakan akhlak dan moral, serta dapat merugikan masyarakat. Karena
setiap orang akan terdorong untuk melakukan kejahatan-kejahatan,
tanpa khawatir akibat dari perbuatannya itu. Nampaknya paham
Murji’ah ekstrim inilah yang menyebabkan nama Murji’ah menjadi
buruk dan tidak disenangi oleh kebanyakan umat Islam.
Sebaliknya ajaran golongan Murji’ah yang moderat dapat diterima
oleh kebanyakan umat Islam, sehingga ajarannya dapat diterima oleh
Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Bandingkan misalnya dengan pendapat
Al-Asy’ari tentang iman, ia berkata: Iman adalah pengakuan dalam hati
tentang ke-Esaan Tuhan, tentang kebenaran Rasul-rasul-Nya dan segala
apa yang mereka bawa, serta mengucapkannya dengan lidah.
Mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari Iman.

7
Menurut Al-Asy’ari, orang yang berdosa besar, jika meninggal
tanpa bertaubat, maka nasibnya berada di tangan Tuhan. Ada
kemungkinan Tuhan mengampuni dosa-dosanya, tetapi ada
kemungkinan pula Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosanya, dan
akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang pernah dilakukannya,
dan kemudian barulah ia dimasukkan ke dalam surga, karena tak
mungkin ia kekal dalam api neraka.
Pendapat Al-Asy’ari tersebut identik dengan pendapat yang
dimasukkan oleh golongan Murji’ah yang moderat, dan mungkin inilah
sebabnya Ibn Hazm memasukkan Al-Asy’ari ke dalam golongan kaum
Murji’ah yang moderat.4

4
Hasan Basri, Murif Yahya, Tedi Priatna, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran,
(Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2006).

8
DAFTAR PUSTAKA

Anis, M. (2016). Al-Khawarij dan Al-Murji'ah. MIMBAR, 33-36.

Basri, H., Yahya, M., & Priatna, T. (2006). Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok
Pikiran Aliran-Aliran. Bandung: Azkia Pustaka Utama.

Rubini. (2018). Khawarij dan Murji'ah Perspektif Ilmu Kalam. Jurnal Komunikasi
dan Pendidikan Islam, 95-114.

Anda mungkin juga menyukai