Hanya saja, setelah beliau berusia 10 tahun, ada unsur asing yang sangat Rasulullah ﷺberkata: "Wahai Ali, tolonglah pendapat, pendapat yang
berpengaruh dan bahkan mengubah jalan hidupnya, yaitu kehadiran Abu Ali diriwayatkan dariku, karena itu yang benar." Setelah terbangun al-Asy'ari
al-Jubba'i, tokoh Muktazilah terkemuka di kota Bashrah. Dalam keluarganya, merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya. Beliau terus memikirkan
ia yang menjadi ayah tirinya dengan menikahi ibunya, dan kemudian apa yang dialaminya dalam mimpi.
mengarahkan al-Asy'ari menjadi penganut Muktazilah hingga berusia 40 Pada pertengahan bulan Ramadhan, beliau bermimpi lagi bertemu Rasulullah
tahun.[3] ﷺ.
Keluar dari Muktazilah[sunting | sunting sumber] Rasulullah ﷺberkata: "Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?"
Abu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti aliran Muktazilah hingga berusia 40 tahun. Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Aku telah memberikan pengertian yang
Namun kemudian setelah sekian lama akhirnya al-Asy'ari keluar dari benar terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan darimu."
aliran Muktazilah. Menurut data sejarah yang disampaikan oleh para ulama,
seperti Ibnu Asakir, Syamsuddin ibn Khallikan, dan Tajuddin as-Subuki, Rasulullah ﷺberkata: "Tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan
setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi keluarnya al-Asy'ari dariku, karena itu yang benar."
dari Muktazilah.[4]
Setelah terbangun dari tidurnya, al-Asy'ari merasa sangat terbebani dengan
Ketidakpuasan al-Asy'ari terhadap paham Muktazilah[sunting | sunting mimpi itu sehingga beliau bermaksud meninggalkan ilmu kalam. Beliau akan
sumber] mengikuti hadis dan terus membaca Al-Qur'an. Tetapi pada malam 27
Ramadhan, tidak seperti biasanya, rasa kantuk yang begitu hebat
Abu al-Hasan al-Asy'ari tidak puas dengan paham Muktazilah yang selalu menyerangnya sehingga beliau pun tertidur. Dalam tidur itu beliau bermimpi
mendahulukan akal tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah betemu Rasulullah ﷺuntuk ketiga kalinya.
dipatahkan dengan argumentasi akal yang sama. Ketidakpuasan al-Asy'ari
tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat Rasulullah ﷺberkata: "Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?"
yang menyatakan bahwa sebelum al-Asy'ari keluar dari
Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Aku telah meninggalkan ilmu kalam
aliran Muktazilah beliau tidak keluar rumah selama lima belas hari. Kemudian
dan aku konsentrasi menekuni Al-Qur'an dan hadis."
pada hari Jumat setelahnya beliau keluar ke Masjid Jami' dan menaiki mimbar
dengan berpidato: Rasulullah ﷺberkata: "Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam
tetapi aku hanya memerintahmu menolong pendapat-pendapat yang
Sebenarnya saya telah menghilang dari kalian selama lima belas hari ini.
diriwayatkan dariku karena itu yang benar."
Selama ini saya meneliti dalil-dalil semua ajaran yang ada. Ternyata saya
tidak menemukan jalan keluar. Dalil yang satu tidak lebih kuat daripada dalil Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Wahai Rasulullah, bagaimana aku
yang lain. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah dan ternyata Allah mampu meninggalkan mazhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan
memberikan petunjuknya kepadaku untuk meyakini apa yang saya tulis dalam dalil-dalilnya sejak tiga puluh tahun yang lalu hanya karena mimpi?"
beberapa kitab ini. Mulai saat ini aku mencabut semua ajaran yang selama ini
aku yakini. Rasulullah ﷺberkata: "Andaikan aku tidak tahu bahwa Allah akan
menolongmu dengan pertolongannya, tentu aku menjelaskan kepadamu
Kemudian al-Asy'ari menyerahkan beberapa kitab yang ditulisnya kepada semua jawaban masalah-masalah (ajaran Muktazilah) itu. Bersungguh-
orang-orang di sana. Di antaranya adalah kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala Ahl sungguhlah kamu dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan
al-Zaygh wa al-Bida', kitab yang memaparkan kerancuan Muktazilah yang pertolongannya."
berjudul Kasyf al-Astar wa Hatk al-Asrar, dan kitab-kitab lain.[4]
Setelah bangun dari tidurnya, al-Asy'ari berkata: "Selain kebenaran pasti
Ketidakpuasan al-Asy'ari dengan paham Muktazilah tersebut dapat pula hanya kesesatan."
dilihat dengan memperhatikan riwayat lain yang mengisahkan perdebatannya
dengan Abu Ali al-Jubba'i, guru yang sekaligus juga ayah tirinya.[5] Lalu beliau mulai membela hadis-hadis yang berkaitan
dengan ru'yah (melihat Allah di akhirat), syafaat, dan lan-lain. Ternyata
Abu al-Hasan al-Asy'ari: "Bagaimana pendapatmu tentang nasib tiga orang setelah itu, al-Asy'ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil-dalil yang
yang meninggal dunia, satunya orang mukmin, satunya orang kecil, dan belum pernah dipelajarinya dari seorang guru, tidak dapat dibantah oleh
satunya lagi anak kecil?" lawan, dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab.[6][7][8]
Abu Ali Al-Jubba’i: "Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi,
orang kafir akan celaka, dan anak kecil akan selamat."
Kewafatan[sunting | sunting sumber] terbayangkan, sebagaimana firman-nya "Yang aku ciptakan dengan Tangan
ku" (QS.Shad, 38:75); dan "bahkan tangan tangan Allah terbuka" (al-Mai'dah,
Abu al-Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. 5:64); dan Allah memiliki 'Mata', yang tidak terbayangkan, sebagaimana
firman-nya: "yang berlayar dengan pengawasan mata kami" (QS.al-
Fase pemikiran[sunting | sunting sumber] Qamar,54:14) Barangsiapa yang menyatakan nama Allah itu bukan 'Allah'
maka tersesatlah dia.
Ada perbedaan pendapat tentang fase pemikiran Abul Hasan Al-Asy'ari
sebagian pihak mengklaim Abul Hasan Al-Asy'ari hanya melewati dua fase, — Abu al-Hasan Al Asy'ari, al-Ibanah 'an Ushul ad-Diyanah: Bab 2: hlm 10.
pihak lainnya mengklaim Abul Hasan Al-Asy'ari melewati tiga fase
pemikiran. Tim riset asal Mesir menyoroti perkara pemikiran Abu al-Hasan al-Asy'ari
yang pada periode belakangan semakin mengikuti pemikiran Salaf dan
Dua fase[sunting | sunting sumber] meninggalkan metode-metode Mu'tazilah ataupun ahlul Kalam yang
mendahulukan dalil Aqli (akal) ketimbang dalil Naqli (wahyu), di mana di
Abu Bakar bin Furak, Ibnu Khaldun dan ulama-ulama lainnya berpendapat
salah satu kitab terakhir Abu al-Hasan mengatakan:
bahwa Abul Hasan Al-Asy'ari hanya melewati dua fase pemikiran saja yaitu
dari Muktazilah ke Ahlussunah.[9][10] "...Tidak diperbolehkan bagi kita menghilangkan sisi Zhahir Al-Qur'an tanpa
ada suatu Hujjah..."
Ibnu Khaldun berkata:
— Abu al-Hasan Al Asy'ari, al-Ibanah : Bab 2: hlm 40.
Hingga akhirnya tampil Syekh Abu al-Hasan al-Asy'ari dan mendebat
sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan ashlah, lalu [20]
dia membantah metodologi mereka dan mengikuti pendapat Abdullah bin
Sa'id bin Kullab, Abu al-Abbas al Qalanisi, dan al-Harits al-Muhasibi dari Komentar para Ulama[sunting | sunting sumber]
kalangan pengikut salaf dan Ahlussunah.[10]
Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa yang menyatakan Abul Hasan al-
Dari pernyataan Ibnu Khaldun tersebut ia menyimpulkan bahwa setelah al- Asy’ari menafikan sifat dan beliau memiliki dua pendapat dalam
Asy'ari keluar dari paham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin menakwilkan sifat Allah, maka orang tersebut telah berdusta atas nama Abul
Sa'id bin Kullab, al-Qalanisi, dan al-Muhasibi yang menurutnya dia Hasan. Yang melakukan takwil seperti ini adalah pengikutnya yang
merupakan pengikut Ahlussunnah. belakangan seperti Abul Ma’ali dan lainnya. Mereka memasukkan ushul
(akidah/prinsip pokok) muktazilah ke dalam mazhabnya.”[21]
Tiga fase[sunting | sunting sumber]
pada abad ke 20, Syaikh Musthafa Hamdu 'Ullayan Al-Hambali dan Syaikh
Ulama-ulama seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah, syekh Utsaimin dan ulama- Hammad al-Ansyari juga mengutip catatan-catatan para Ulama yang dekat
ulama kontemporer lainnya berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy'ari masa hidupnya dengan Imam Asy'ari bahwa sang Imam lebih dekat kepada
melewati tiga fase pemikiran dalam hidupnya. Yaitu dari Muktazilah ke Hanbaliyyah dan menolak konsep ta'wil dalam menafsirkan ayat dan hadits. [13]
Kullabiyah ke Ahlussunah.[11][12][13][14][15] [15]
Hal ini juga disepakati Syaikh Abdul Aziz Marzuq Ath-Tharifi dalam kitab
Sebagian ulama tidak menganggap Kullabiyah sebagai Ahlussunah karena ada Aqidah Khurasaniyyah yang menyoroti kitab al Ibanah tentang Istiwa dan
beberapa masalah akidah yang bertentangan dengan Suni seperti hanya ketinggian Allah dalam keyakinan Imam Asy'ari.[16]
menetapkan tujuh sifat saja bagi Allah dan menetapkan sifat Dzatiyah tetapi Da'i kontemporer beraliran Salafi yang menjadi pengajar di Masjid Nabawi
menafikan sifat Ikhtiariyah bagi Allah.[14] dan juga murid dari Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, Dr. Firanda
Ibnu Taimiyah berkata: Andirja, Lc, bahkan mengeluarkan bantahan panjang mengenai klaim yang ia
anggap sebagai kedustaan sistematis dari beberapa tokoh Asy'ariyah modern,
“Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah Jahmiyah, dimana mereka menolak Aqidah Imam Asy'ari dalam 2 kitab terakhir beliau
Muktazilah dan firkah lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat- sebelum wafat yang justru menegaskan kalau Imam Asy'ari menolak ta'wil
sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahlul hadits dan kaum Mutakallimin dan mengutamakan hadits-hadits serta penafsiran para
sunah, namun masih termuat cara-cara bidah. Sahabat tentang Istiwa Allah.[14] Secara spesifik, Dr Firanda merumuskan
bahwa dalam salah satu kitabnya, Maqalatul Islamiyyin, Imam Asy'ari sendiri
Karena dia menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi
menyatakan bahwa menta'wil Istiwa/bersemayam nya Allah adalah Aqidah
Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah dikarenakan mereka menolak sifat
asli Mu'tazilah, bukan Aqidah Ahlus Sunnah seperti yang diklaim Asy'ariyah
dan sifat Uluw (Allah berada di tempat yang tinggi). Sarat dengan hujah dan
atau Kullabiyah modern[14]
dalil dan menerangkan keutamaan hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang
dikemukakan itu menyapu bersih syubhat Muktazilah. Dan ini membantu bagi Dr. Sa’id bin Musfir Al-Qahthani menambahkan bahwa klaim Asy'ariyah
kalangan cendekia. Jadilah dia seorang imam dan panutan bagi orang yang bahwa Imam Abul Hasan al Asy'ari mengikuti aqidah mereka adalah keliru
muncul setelahnya dalam masalah penetapan sifat dan membantah orang yang berdasarkan kitab-kitab terakhir Imam Asy'ari yang justru menunjukkan sang
menafikannya.[15][16][14] Imam mengingkari keyakinan yang diklaim oleh kaum Asy'ariyah[22]
Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan pengikutnya dengan golongan
yang dibantahnya masih ada persamaan dalam kaidah-kaidah pokok. Hal Guru-gurunya[sunting | sunting sumber]
inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang mereka munculkan. Menjadi Imam al-Hafizh Zakariya bin Yahya al-Saji[sunting | sunting sumber]
batil dilihat dari kacamata akal dan karena menyelisihi sunah Rasulullah “. [17]
Abu Yahya Zakariya bin Yahya al-Saji al-Syafi'i (220-307 H / 835-920 M),
Dari pernyataan Ibnu Taimiyah di atas ia beranggapan bahwa kaidah-kaidah hafizh besar, muhaddits kota Bashrah pada masanya, murid Imam Ahmad bin
yang dilakukan Kullabiyah untuk membantah Muktazilah masih memiliki Hanbal,[23] dan fakih bermazhab Syafi'i. Beliau telah menulis kitab 'Ilal al-
kesamaan terutama dalam kaidah pokok, ditambah karena Kullabiyah hanya Hadits yang membuktikan kepakarannya dalam bidang studi kritik hadis.
menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah. Beliau juga menulis kitab Ikhtilaf al-Fuqaha' dan Ushul al-Fiqih yang
membuktikan kepakarannya dalam bidang fikih. Menurut al-Dzahabi, al-
Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam penetapan sifat-sifat Asy'ari belajar hadis dan ideologi ahli hadis kepada Zakariya al-Saji ketika
Allah[sunting | sunting sumber] masih kecil dan belum memasuki aliran Muktazilah.[24][25]
Abul Hasan Al-Asy'ari pada masa menjadi Muktazilah ia meniadakan semua Imam Abu Khalifah al-Jumahi[sunting | sunting sumber]
sifat-sifat Allah dengan dalih menyucikan keesaan Tuhan, karena Wasil bin
Abu Khalifah al-Fadhl bin al-Hubab al-Jumahi al-Bashri (206-305 H / 821-
Atha' berpendapat bahwa siapa pun yang menetapkan adanya sifat kadim bagi
917 M), muhaddits kota Bashrah yang dianggap tsiqah (dipercaya). Beliau
Allah, maka dia telah menetapkan adanya dua Tuhan. Muktazilah berpendapat
seorang ahli hadis yang jujur dan banyak meriwayatkan hadis. Usianya
bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila Tuhan memiliki sifat, maka
hampir mencapai seratus tahun. Al-Asy'ari banyak meriwayatkan hadis dan
sifat tersebut harus kekal seperti halnya dzat Tuhan.[18] Kemudian Abul Hasan
Abu Khalifah dalam kitab tafsirnya.[26][27]
Al-Asy'ari hanya menetapkan tujuh saja sifat Allah
yaitu hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, [11] Adapun Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi[sunting | sunting sumber]
sifat khabariyah tentang Allah dia pun menakwilnya. Apa yang dicetuskan
oleh Abul Hasan al-Asy'ari ketika itu tersebar ditengah masyarakat dan Abu Muhammad Abdurrahman bin Khalaf bin al-Hushain al-Dhabbi al-
menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy'ariyah.[19] Kemudian Abul Bashri, muhaddits yang tinggal di Bashrah dan hadisnya diterima oleh para
Hasan Al-Asy'ari menetapkan semua sifat Allah tanpa tasybih, tahrif, takwil, ulama. Beliau belajar kepada Ubaidillah bin Abdul Majid al-Hanafi, Hajjaj
dan tanpa menafikannya sesuai dengan metodologi salaf. bin Nushair al-Fasathithi, dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 279 H / 893
M.[28]
Sesungguhnya Allah bersemayam di atas 'Arasy sebagimana yang dinyatakan
firman-nya "Tuhan yang maha pemurah itu bersemayam di atas 'Arasy" Sahal bin Nuh al-Bashri[sunting | sunting sumber]
(QS.Thaha, 20:5) Allah pun memiliki 'wajah' Sebagaimana dinyatakan Abu al-Hasan Sahal bin Nuh bin Yahya al-Bazzaz al-Bashri,
firman-nya "Maka kekallah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan seorang muhaddits yang tinggal di Bashrah, guru al-Asy'ari dalam bidang
kemuliaan (QS.ar-Rahman, 55:27), dan Allah memiliki "Tangan" yang tidak hadits.
Muhammad bin Ya'qub al-Maqburi[sunting | sunting sumber] 2. Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah;
3. Maqalat al-Islamiyyin;
Menurut Ibnu Asakir, al-Asy'ari banyak meriwayatkan hadis dalam tafsirnya
melalui jalur Zakariya al-Saji, Abu Khalifah al-Jumahi, Abdurrahman bin
Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bazzaz, dan Muhammad bin Ya'qub al- Kitab-kitab yang lainnya:
Maqburi, yang kesemuanya tinggal di Bashrah.[29][30]
Imam Abu Ishaq al-Marwazi al-Syafi'i[sunting | sunting sumber] 1. Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi');
2. Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-
Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi, ulama besar dan pemimpin
Millah;
mazhab Syafi'i di Baghdad dan Mesir. Beliau murid terbesar Imam Abu
al-'Abbas bin Suraij al-Baghdadi (249-306 H / 863-918 M). Pada mulanya 3. Kitāb al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām;
Abu Ishaq al-Marwazi ini menyebarkan mazhab Syafi'i di Baghdad, 4. Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām;
menggantikan posisi gurunya Ibnu Suraij. Namun pada akhir usianya, beliau 5. Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā;
pindah ke Mesir dan menyebarkan madzhab Syafi'i di Mesir hingga wafat di 6. Kitāb al-Imāmah;
sana pada tahun 340 H / 951 M, dan jenazahnya dimakamkan bersebelahan 7. Asy-Syarhu wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-
dengan makam Imam al-Syafi'i. Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi Tadhlil;
menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Baghdad bahwa Imam al-Asy'ari rutin 8. Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān;
menghadiri perkuliahan Abi Ishaq al-Marwazi dalam materi fiqih Syafi'i 9. At-Tabyin 'an Ushuli ad-Din;
setiap hari Jumat di Masjid Jami' al-Manshur.[31] Informasi lainnya
10. Al-'Amdu fi ar-Ru'yah;
menyebutkan bahwa al-Asy'ari belajar ilmu fikih kepada Abu Ishaq al-
Marwazi, sedangkan al-Marwazi belajar ilmu kalam kepada al-Asy'ari.[31][32][33] 11. Kitāb al-Maujiz;
12. Kitāb ash-Shifāt;
Abu Ali al-Jubba'i[sunting | sunting sumber] 13. Kitāb ar-Radd 'ala al-Mujassimah;
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam al-Jubba'i (235-3-3 H / 14. An-Naqdh 'ala al-Jubbā'i;
849-916 M), pakar teologi, tokoh Muktazilah terkemuka. Hubungan yang 15. An-Naqdh 'ala al-Balkhi;
sangat dekat antara guru dan murid ini menjadikan al-Asy'ari menjadi kader 16. Jumal Maqālāt al-Mulhidin;
Muktazilah yang populer. 17. Kitāb fi ash-Shifāt;
Abu Hasyim al-Jubba'i[sunting | sunting sumber] 18. Adab al-Jidal;
19. Kitāb fi Khalqi al-A'māl;
Abu Hasyim Abdussalam bin Muhammad bin Abdul Wahhab al-Jubba'i, putra 20. An-Nawādir fi Daqaiqi al-Kalām;
Abu Ali al-Jubba'i, pakar teologi dan tokoh Muktazilah. 21. Risālah ila Ahli Ats-Tsughar;
22. Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyān;
Murid-muridnya[sunting | sunting sumber] 23. Jawāz Ru'yat Allah bil Abshār;
Murid-murid Imam al-Asy'ari tidak hanya para pakar dalam bidang teologi 24. Al-Funan fi ar-Raddhi 'ala al-Mulhidin;
saja tetapi mereka berangkat dari latar belakang keilmuan yang beragam, 25. Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah
seperti ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih, ahli tasawuf, dan lain-lain, sehingga
mazhab dan pelbagai pemikiran al-Asy'ari disebarkan melalui pintu berbagai A. PERBUATAN TUHAN
studi keislaman seperti melalui ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, ilmu
tasawuf, dan lain-lain.[34] Di antara murid-murid Imam al-Asy'ari tersebut Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan
adalah: perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai kinsekuensi logis dari dzat
yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Imam Ibn Mujahid (w. 370 H / 980 M): pakar teologi dan pengikut
1. Aliaran Mu’tazilah
mazhab Maliki.
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpandapat
2. Imam Abu Zaid al-Marwazi (301-371 H / 913-982 M): ulama bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.
besar yang menyandang gelar al-Mufti, al-Zahid, guru para ulama Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan
mazhab Syafi'i dan perawi Shahih al-Bukhari dari al-Farabri. buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Didalam Al-
3. Imam Ibn Khafif al-Dhabbi (276-371 H / 890-982 M): ulama sufi Qur’an pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim . Ayat-ayat
yang menyandang gelar al-Imam al-'Arif, fakih bermazhab Syafi'i, Al-Qur’an yang dijadiakn dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung
menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan dan guru kaum pendapatnya di atas adalah surat Al-Anbiya:23 dan Ar-Rum:8.
sufi.
4. Al-Hafizh Abu Bakar al-Ismaili (277-371 H / 890-982 M): ulama ” Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan
yang menyandang gelar al-Hafizh, al-Hujjah, al-Faqih, Syaikh al- ditanyai”.
Islam, guru ulama mazhab Syafi'i, dan pengarang kitab al-Shahih. •
5. Imam Abu al-Hasan al-Bahili: guru para teolog dan ahli dalam
ilmu-ilmu rasional. • ••
6. Imam Bundar al-Syirazi al-Sufi (w. 353 H / 964 M): pakar dalam
bidang teologi dan ushul fikih, penganut mazhab Syafi'i, dan salah “ dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?
seorang tokoh sufi. Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya
7. Imam Ali bin Mahdi al-Thabari (324-380 H / 936-990 M): tokoh melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan
terkemuka dalam bidang teologi, pakar dalam berbagai bidang Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan
ilmu pengetahuan, ulama yang sangat produktif, memiliki Pertemuan dengan Tuhannya.”
kehebatan dalam bidang fikih, teologi, tafsir, dan sejarah.
8. Imam Abu al-Husain bin Sam'un (300-387 H / 912-997 M):
menyandang gelar Imam al-Mutakallimin (penghulu para teolog),
ulama sufi yang dikenal zuhud dan wara', ulama terkemuka dalam Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan
mazhab Hambali. Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya.
9. Imam Abu Sahal al-Shu'luki (296-369 H / 908-980 M): pakar fikih Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata
terkemuka dalam mazhab Syafi'i, ahli dalam bidang tasawuf, berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu.
teologi, tafsir, gramatika (nahwu), bahasa, syair, ilmu 'arudh, dan Adapun ayat yang kedua mengandung petunjuk bahwa tidak pernah dan tidak
lain-lain. akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
10. Imam Abu Bakar al-Qaffal (291-365 H / 904-976 M): ulama Dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
terkemuka pada masanya dalam bidang fikih mazhab Syafi'i, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan
hadis, teologi, ushul fikih, bahasa dan sastra, juga dikenal zuhud mempunyai kewajiban terhadap manusia . Aliran Mu’tazilah memunculkan
dan wara'. faham kewajiban Allah berikut ini:
Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan
Karya tulis[sunting | sunting sumber] faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka
Dia meninggalkan karya-karya tulis, kurang lebih berjumlah 90 kitab dalam tentang keadilan Tuhan.Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi
berbagai fase pemikirannya. Ada tiga kitabnya yang terkenal: beban yang terlalu berat kepada manusia.
Kewajiban Mengirinkan Rasul
Bagi Aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui
1. Al-Luma; hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka
memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu (kafir) Biarlah ia kafir". (QS.Al-Kahf [18]:29)
kewajiban Tuhan. Dalam surat Ali Imran [3]: 165 disebutkan
Kewajiban Menepati Janji dan Ancaman
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran
Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannyadenga dasar keduanya, yaitu keadilan. •
Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang “. dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud),
berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-
ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
karena itu, menepati jajni dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan. (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri".
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran [3]:
2. Aliran Asy’ariyah 165)
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik Dalam Surat Ar-Rad [13] : 11 disebutkan
bagi manusia. Aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai
kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. “. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. “ (QS Ar-Rad
wajib (jaiz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib . [13]: 11)
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan Dalam Surat An-Nisa’ [4]:11 disebutkan
tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham “ Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia
pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri, dengan mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha
tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An- Nisa’ [4]:111)
yang dapat dipikul pada manusia.
3. Aliran Mu’tazilah
3. Aliran Maturidiyah Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara bebas. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan
Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliaran Maturidiyah ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya
Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak sendiri.
mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan perbuatan Tuhan Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi
hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Mu’tazilah denagn tegas
mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. DEmikian juga menyatakan bahwa daya juga beraal dari manusia. Daya yang terdapat pada
pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan
Tuhan. dalam perbutan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama denagan mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban, Dengan faham ini aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal,
Namun, sebaigaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti menepati janji- sedagkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah
Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan bentuknya.
mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besa. Adapun Untuk membela fahanya, aliran mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut
pandanagn Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan •
faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tdaklah
bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. “ yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang
memulai penciptaan manusia dari tanah.” (QS As-sajdah [32]:7
Yang dimaksud dengan ahsana dalam ayat diatas adalah, semua perbuatan
B. PERBUATAN MANUSIA
manusia bukanlah perbuatan Tuhan adalah baik. Denagn demikian, perbuatan
manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang
terdapat perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa
dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian
manusia akan mendapat balasan atas perbuatnnya. Sekiranya perbuatan
dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah,
manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.
Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah
4. Aliran Asy’ariyah
pencipta alam semesta, teermasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia
bersifat Mahakuasadan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini
ibaratkan anak kecil yang tida memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena
timbulah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan
itu, aliran ini lebih dekat denagn faham jabariyah dariada dengan faham
bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam mengatur hidupnya
Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori al-
oleh Tuhan, atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan
kasb. Teori al-kasb Asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu
kekuasaan mutlak Tuhan.
terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan
bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai
1. Aliran Jabariyah
konsekuensinya teori ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia
Ada perbedaan pandangan antara jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat
bersikap pasif dalam perbuatannya.
dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa
Argument yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyainannya adalah
segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari
firman Allah
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Adapun jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
mempunyi peranan di dalamnya.
(QS Ash-Shaffat [37]:96)
Pada prinsipnya aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia
2. Aliran Qadariyah
diciptakan Allah , sedagkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
Aliran Qadariyah mengtakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
mewujudkannya.
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan
segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, bagi berbuat baik maupun
berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
5. Aliran Maturidiyah
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
Ada perbedaan antara Maturidiyyah Samarkand dan Maturidyah Bikhara
diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran siksa dengan
mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham
balasan neraka kelak di akhiat, semua itu berdasarkan pilihan pribainya
mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariyah.
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia meneerima
Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah
siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukann atas keinginan dan
Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya, dan
kemampuannya sendiri.
bukan dalam arti kiasan. . Perbedaan dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat
untuk bebuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan
menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-
perbuatannya. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah
doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak
sebebas manusia dalam mu’tazilah.
ayat Al-Quran yang mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal seperdapat dengan Maturidiyah
Kahf:29
Samarkand. Hanya saja golongan ini membeerikan tambahan dalam masalah
daya. Menurutnya, untuk perbuatan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia
tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuuhanlah yang
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin
dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah
diciptakan Tuhan baginya