Anda di halaman 1dari 7

Pandangan Beberapa Aliran Teologi Dalam Islam Tentang Iman dan akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.

 Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari


Kufur pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-
Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan
Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan
masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertamakali oleh untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati.
kaum Khawarij yang mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi saw. Yang Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa
dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang
bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah saw.[18] Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun
1. Aliran Khawarij demikian,ma’r ifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan
Kaum Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang faktor penyebab kehadiran iman.
keluar dari barisan Ali, karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi b. Maturidiyah golongan Bukhara
Thalib yang menerima tahkim / arbitrase judge between parties to a Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti
dispute. Dari persoalan politik, kemudian kaum khawarij memasuki juga yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-
persoalan teologi Islam. Menurut golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali, lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan
Mu’awiyah, kedua pengantara Amr ibn al-‘Ash dan Abu Musa al-‘Asy’ari membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-
adalah kafir. Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tashdiq
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
hati dan ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan As y’ar iyah, yaitu
iman saja. Menurut kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, sama-sama menempatkan tashdiq  sebagai unsur esensial dari keimanan
puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.[19]
kafir. Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar mapun kecil, maka
orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta F. Pandangan Beberapa Aliran Teologi Dalam Islam Tentang Akal Dan Wahyu
bendanya boleh dirampas menjadi harta ghonimah.
2. Aliran Murji’ah
Iman menurut Murji’ah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun 1.     Aliran Mu‘tazilah
ucapan dan perbuatan tiadak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam
qolbu. Kaum Mu‘tazilah dikenal sebagai aliran yang paling banyak
Menurut sub sekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang menggunakan akal dalam pembahasan-pambahasan teologinya, sehingga ia
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, dijuluki sebagai kaum rasionalis Islam. Dalam pandangannya mengenai
segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama peranan akal dan wahyu untuk mengetahui keempat hal tersebut di atas,
tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya tokoh-tokoh aliran Mu‘tazilah sependapat, bahwa pokok-pokok pengetahuan
masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara yang dimaksud (tentang Tuhan serta baik dan buruk) dan mensyukuri nikmat adalah wajib,
Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar sebelum turunnya wahyu.[20] Hal ini berarti, bahwa mengetahui Tuhan;
tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya mengetahui baik dan buruk; kewajiban bersyukur atas nikmat yang diberikan
bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan dosa Tuhan; serta mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan
besar, kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang yang buruk dapat diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada
melakukan dosa besar dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham Murji’ah wahyu pun, manusia tetap dapat mengtahuinya. Dengan penalaran akalnya,
lebih bersikap positif. Artinya, sesuai dengan sebutan nama manusia bisa berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah
mereka arja’a, mereka lebih cenderung menyerahkan saja kepada Tuhan soal wajib sebelum datangnya wahyu.
pelaku dosa besar. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa Mu‘tazilah
3. Muta’zilah menafikan peranan wahyu. Wahyu menurut mereka tetap memiliki peranan
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, yang sangat penting dalam keempat masalah tersebut. Dalam kaitan ini,
ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ini mengaitkan wahyu memiliki fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang telah
perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan diketahui akal dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal.
pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij. Menurut [21] Hanya saja, menurut Mu‘tazilah, wahyu tidak selamanya yang
mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah
orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan dapat mengetahui sebagian yang baik dan sebagian dari yang buruk.
Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu [22] Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-garis besarnya, sedangkan
tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti rinciannya diperoleh melalui wahyu. Misalnya, sungguhpun akal dapat
pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak dapat menentukan jenis Tuhan yang
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan oleh akal itu dapat saja
Kaum Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan baik dan buruk, ada saja
mengerjakan dosa besar dan mati sebelum taubat, tidak lagi mukmin dan tidak yang tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya, penyembelihan binatang
pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasik. untuk keperluan tertentu.[23]
4. Asy’ariyah Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara Mu‘tazilah membedakan antara ‫قبائح عقلية‬ serta ‫مناكير عقلية‬ perbuatan-perbuatan
esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan yang tidak baik menurut akal dan ‫رعية‬PP‫ا ئح ش‬PP‫قب‬ Serta ‫رعية‬PP‫اكير ش‬PP‫من‬ perbuatan-
kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Begitu pula dibedakan antara
utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’(cabang-cabang) iman. Oleh kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh akal ‫ات عقلية‬PPP‫واجب‬ serta ‫ف‬PPP‫تكلي‬
sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan ‫عقل‬ dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh wahyu ‫ات‬PPPP‫واجب‬
juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari- ‫شرعية‬ serta ]24[.‫تكليف سم‬ Dalam kaitan ini, akal hanya dapat mengetahui garis-
Nya, iman secara ini merupakan sahih. Keimanan seseorang tidak akan hilang garis besarnya saja dari kewajiban-kewajiban manusia, sedangkan
kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut. perinciannya - sebagaimana pendapat Abdul Jabbar – hanya dapat diketahui
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap melalui wahyu.[25]
kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq Alquran – banyak Selanjutnya, fungsi lain dari wahyu, menurut al-Syahrastani
membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal adalah untuk mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat
manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal untuk mengetahuinya atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.[26]
manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa meskipun aliran
kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan Mu‘tazilah memberikan peranan yang besar kepada akal, namun, tetap dalam
dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, keterbatasannya sebagai akal manusia, yang hanya mampu mengetahui baik
iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum dan buruknya sesuatu secara universal. Sedangkan kebaikan yang bersifat
Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut lokal dan varsial hanya dapat diketahui melalui wahyu. Selanjutnya, wahyu
Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah menurut Mu‘tazilah, di samping sangat berperan untuk mengetahui perincian
terhadap Allah dari apa yang baik dan buruk, juga dimaksudkan sebagai dasar pembenaran
5. Maturidiyah bagi Tuhan untuk memberikan ganjaran terhadap manusia di hari kemudian.
  Dalam aliran Maturidiyah terdiri atas dua kelompok, yaitu
kelompok Samarkhand, dan kelompok Bukhara
a. Maturidiyah golongan Samarkand 2.     Aliran Asy‘ariyah
Dalam masalah iman, aliran Matur idiyah Samarkand berpendapat
bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.         Berbeda dengan aliran Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah yang termasuk
Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal dalam golongan Ahlus Sunnah Wal Jama‘ah  memberikan peranan yang lebih
bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di besar kepada wahyu dalam mengetahui keempat persoalan tersebut di atas.
situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh Menurut al-Asy‘ari, segala kewajiban (yang harus dilakukan
dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran oleh) manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat
membuatu sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui, bahwa Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran
mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat (buruk) itu adalah wajib Maturidiyah Samarkand berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari
bagi manusia.[27] Memang betul, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan empat persoalan pokok tersebut, yakni: Mengetahui Tuhan; kewajiban
perlunya berterima kasih kepadaNya. Namun, melalui wahyulah manusia mengetahui Tuhan (berterima kasih kepada Tuhan); serta mengetahui baik
dapat mengetahui, bahwa orang yang taat kepada Tuhan akan mendapat dan buruk. Sedangkan yang terakhir, kewajiban mengerjakan yang baik dan
pahala (balasan baik) dan orang yang berbuat maksiat kepada-Nya akan meninggalkan yang jahat adalah wewenang wahyu atau Tuhan.
mendapat hukuman (siksa).[28]Akal menurut Asy‘ari, tidak mampu b. Maturidiyah Bukhara
mengetahui kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan,[29] yakni Jika Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al-
untuk menetapkan mana yang wajib dan mana yang tidak, mana perintah dan Maturidy sendiri, maka Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr
mana larangan dari Tuhan. Muhammad al-Bazdawy. Pemikiran teologi dari kedua tokoh ini sedikit
Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak berbeda dan tidak terlalu mendasar. Perbedaannya hanya pada sekitar masalah
akan tahu kewajiban-kewajibannya, bahkan – kata al-Gazali – sekiranya kewajiban-kewajiban manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.
syari‘at tidak ada, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan Al-Bazdawy mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui
tidak wajib pula berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal
diturunkan kepada manusia. Demikian juga soal baik dan buruk, ia hanya hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan yang menentukan
diketahui melalui perintah dan larangan Tuhan.[30] kewajiban mengenai yang baik dan buruk itu adalah Tuhan sendiri. Demikian
Dalam penjelasannya, al-Syahrastani menyatakan bahwa semua halnya dengan kewajiban mengetahui Tuhan. Akal hanya mampu mengetahui
kewajiban diketahui melalui wahyu, sedangkan pengetahuan, semuanya dapat Tuhan, tetapi ia tidak dapat mengetahui dan menentukan kewajiban
diperoleh melalui akal. Karena itu, akal tidak dapat mewajibkan untuk berbuat mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang mengetahui dan menentukannya
baik dan meninggalkan kejahatan, juga tidak bisa menuntut dan menentukan adalah wahyu.[42]
suatu kewajiban.[31] Dalam kaitan ini, al-Taftazani menjelaskan, bahwa (bagi Pada perinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah
Asy‘ariyah) sanksi hukum untuk perbuatan orang yang berakal belum ada, Bukhara, tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya
sebelum datangnya syara‘. Jadi tetapnya suatu hukum adalah atas landasan dapat mengetahui sebab-sebab dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh
syara‘, bukan dengan akal. Akal dalam hal ini, hanyalah merupakan alat untuk karenanya, mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan,
memahami khitab syara‘.[32] Pendapat ini juga didukung oleh al-Gazali, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Bahkan mereka (para
bahkan ia menegaskan, bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah swt., alim ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum datangnya Rasul, percaya
dan tidak ada sanksi hukum sebelum datangnya ketentuan syara‘.[33] Hal ini kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah suatu
lebih dipertegas lagi oleh al-‘Amidi dengan mengatakan, bahwa tidak ada dosa.[43] Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih mendekati
hakim (pembuat hukum) kecuali Allah swt., dan tidak ada hukum kecuali faham Asy‘ariyah yang lebih mempungsikan wahyu ketimbang akal.
yang telah ditetapkan oleh Allah. Akal tidak punya wewenang menilai sesuatu
perbuatan apakah baik atau buruk, dan tidak ada hukum sebelum datangnya
4.     Analisis Perbandingan
ketentuan syara‘.[34] Tegasnya, tidak ada hukum taklif (tuntutan dan
larangan) sebelum datangnya wahyu.[35]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa akal bagi  Merujuk pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka
Asya‘ariyah hanya dapat mengetahui Tuhan. Namun, akal tidak punya dapat dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama
otoritas (wewenang) untuk menetapkan kewajiban. Yang menetapkan adalah antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi
al-Hakim (pembuat hukum) yakni Allah swt. Berbeda dengan Mu‘tazilah tersendiri dalam menempatkan peranan akal dan wahyu. Mu‘tazilah misalnya,
yang menjadikan akal sebagai al-Hakim. Dengan kata lain, Asy‘ariyah memberikan porsi paling besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran
memberikan fungsi yang lebih kecil kepada akal, sedangkan Mu‘tazilah lainnya. Bagi Mu‘tazilah, keempat masalah yang diperbincangkan itu,
wewenang akal lebih banyak. Dalam hal ini, akal menurut Asy‘ariyah semuanya dapat diperoleh melalui akal. Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan
kemampuannya terbatas dalam hal mengetahui eksistensi Tuhan. Akal wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil dibanding dengan akal.
diperlukan untuk memahami wahyu. Berbeda dengan Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah justru memberikan porsi yang
besar kepada wahyu jika dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Menurut
kaum Asy‘ariyah, hanya satu di antara keempat pengetahuan itu yang dapat
3.    Aliran Maturidiyah
diketahui oleh akal. Sedangkan tiga yang lainnya, hanya bisa dicapai dengan
wahyu. Hal ini berarti, bahwa aliran Asy‘ariyah memberikan porsi paling
Nama aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur besar kepada wahyu dan paling kecil kepada akal.
Muhammad Ibnu Mahmud al-Maturidy. Dalam faham teologinya, al- Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu,
Maturidy banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yang menempati posisi tengah antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah. Meski demikian,
juga banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya. kedua cabang Maturidiyah tersebut sedikit mempunyai perbedaan.
Meski demikian, sistem pemikiran teologinya masih dalam kategori Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada Mu‘tazilah, karena
Ahlu Sunnah.[36] aliran ini berpendapat bahwa dari keempat pokok masalah tersebut, tiga
diantaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan yang satunya hanya dapat
diketahui melalui wahyu.
Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu
Adapun Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap
ini aliran Maturidiyah terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah
akal dan wahyu, lebih mendekati pemikiran Asy‘ariyah. Meskipun pada
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.
kenyataannya memberikan porsi yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal
a. Maturidiyah Samarkand.
ini, dari empat masalah pokok tersebut, dua di antaranya dapat diketahui oleh
Aliran ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak
akal, sedangkan dua yang lainnya lagi hanya dapat diketahui melalui wahyu.
pemikirannya kepada Mu‘tazilah dalam bidang teologi dari pada ke
Untuk lebih jelasnya, perbandingan ini dapat dianalogikan ke
Asy‘ariyah.[37]
dalam bentuk nilai (harga), yaitu, jika disusun dalam skala prioritas, sesuai
Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya
dengan tingkat penghargaannya antara akal dan wahyu, maka akan terlihat
dengan keempat masalah pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand
dalam urutan sebagai berikut:
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan, oleh karena
1.  Mu‘tazilah: Memberikan nilai 4 (empat) kepada akal, dan nilai positif (0 +) pada
Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi
wahyu
alam ini. Hal ini menunjukkan bahwa akal manusia dapat
2.  Maturidiyah Samarkand: Memberikan nilai 3 (tiga) pada akal, dan nilai 1 (satu)
mencapai ma‘rifatullah.[38] Oleh karen itu, akal sudah mengetahui tentang
pada wahyu.
kewajiban mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan
3.  Maturidiyah Bukhara: Memberikan nilai 2 (dua) pada akal dan 2 (dua) pada
berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu.[39]
wahyu.
Demikian halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada
4.  Sedangkan Asy‘ariyah: Memberikan nilai 1 (satu) pada akal dan nilai 3 (tiga)
Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, akal dapat mengetahui keawajiban
pada wahyu.
menusia untuk berterima kasih kepada Tuhan, meski tampa bantuan wahyu.
Menyangkut tentang eksistensi masyarakat terpencil dan
[40]
mayarakat modern yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengetahui
 Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat
Islam secara baik, hubungannya dengan persoalan teologi, menurut
mengetahui sifat baik yang terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang
Mu‘tazilah pedomannya adalah akal pemimpinnya. Dalam arti, mereka harus
terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui
berpedoman pada aturan atau ketentuan yang telah berlaku dalam
bahwa yang buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal
kelompoknya. Sedangkan menurut Asy‘ariyah persoalannya diserahkan
selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang manusia
kepada kemahakuasaan mutlak Tuhan. Namun secara teologis tidak dibebani
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada
kewajiban. Karena menurut Asy‘ariyah, selama seseorang belum sampai
kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan
dakwah kepadanya, maka selama itu pula tidak ada taklif atasnya.
kemestian akal. Namun, yang diketahui akal hanyalah sebab wajibnya
Menurut hemat penulis, mereka tetap harus dihisab menurut
perintah dan larangan itu. Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan
ketentuan yang berlaku dalam kelompoknya, kalau dia seorang beriman
menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk mewajibkannya. Karena
(menurut kepercayaannya) dan beramal saleh maka ia berhak masuk surga.
kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh wahyu.[41]
Demikian sebaliknya, kalau dia tidak beriman dan berpilaku buruk, maka ia
harus dimasukkan ke neraka sebagai ganjaran dari perbuatannya. Hal ini Abu al-Hasan al-Asy'ari: "Mungkinkan anak kecil tersebut meminta derajat
sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 62: yang tinggi kepada Allah?"
‫الِحًا فَلَهُ ْم‬P‫ص‬
َ ‫ل‬P ِ P‫وْ ِم اآْل ِخ‬PPَ‫ارى َوالصَّابِِئينَ َمنْ َءا َمنَ بِاهَّلل ِ َو ْالي‬
َ P‫ر َو َع ِم‬P َ َّ‫ِإنَّ الَّذِينَ َءا َمنُوا َوالَّذِينَ هَادُوا َوالن‬
َ ‫ص‬
)62( َ‫َأجْ ُرهُ ْم ِع ْن َد َربِّ ِه ْم َواَل َخوْ فٌ َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم َيحْ زَ نُون‬ Abu Ali Al-Jubba’i: "Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada
Terjemahnya: anak itu, "Orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya,
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar- derajat itu.""
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari: "Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, demikian itu bukan salahku. Andaikan
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. 2:62)[44] Engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti orang
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa agama dan mukmin itu.""
kepercayaan apa saja yang dimiliki seseorang, asalkan ia termasuk orang yang Abu Ali Al-Jubba’i: "Oh tidak bisa, Allah akan menjawab, "Oh bukan begitu,
beriman dan beramal shaleh, maka ia berhak mendapat pahala dari Tuhan dan justru Aku telah mengetahui bahwa apabila kamu diberikan umur panjang
memperoleh ganjaran atas pahalanya itu. maka kamu akan durhaka sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena
itu demi menjaga masa depanmu Aku matikan kamu sewaktu masih kecil,
sebelum kamu menginjak usia taklif.""
Biografi[sunting | sunting sumber]
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari: "Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat
Namanya Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, Engkau telah mengetahui masa depan
Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al- anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa Engkau tidak
Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. adalah salah seorang keturunan dari memperhatikan masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih kecil
sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Abu Musa Al-Asy'ari. Beliau dulu, sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan
lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat di Baghdad pada mengapa Engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi
tahun 324 H/935 M.[1] Sebagian besar hidupnya berada di Baghdad. orang kafir dan akhirnya aku disiksa seperti sekarang ini?""
Masa Kecil[sunting | sunting sumber] Mendengar pertanyaan al-Asyari ini, al-Jubba'i menghadapi jalan buntu dan
tidak mampu memberikan jawaban.
Ayah beliau, Ismail adalah seorang ulama ahli hadis yang menganut paham
Ahlus-Sunnah wal Jama'ah. Hal ini terbukti bahwa ketika Ismail menjelang Abu Ali Al-Jubba’i: "Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah
wafat berwasiat agar al-Asy'ari diasuh oleh Zakaria As-Saji, pakar hadis dan ada."
fikih mazhab Syafi'i yang sangat populer di kota Bashrah.[2]
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari: "Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang
Pada masa kecilnya, al-Asy'ari selain berguru kepada al-Saji, beliau juga selama ini Anda yakini. Akan tetapi, guru tidak mampu menjawab
menimba ilmu dari ulama-ulama ahli hadis yang lain, seperti Abdurrhaman pertanyaanku."
bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya'qub al-
Maqburi, dan lain-lain. Hal tersebut mengantarkan al-Asy'ari menjadi ulama Pada permulaan bulan Ramadhan, al-Asyari tidur dan bermimpi
yang menguasai hadis, tafsir, fikih, ushul fikih, dan lain-lain. bertemu Rasulullah‫ﷺ‬.

Hanya saja, setelah beliau berusia 10 tahun, ada unsur asing yang sangat Rasulullah‫ ﷺ‬berkata: "Wahai Ali, tolonglah pendapat, pendapat yang
berpengaruh dan bahkan mengubah jalan hidupnya, yaitu kehadiran Abu Ali diriwayatkan dariku, karena itu yang benar." Setelah terbangun al-Asy'ari
al-Jubba'i, tokoh Muktazilah terkemuka di kota Bashrah. Dalam keluarganya, merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya. Beliau terus memikirkan
ia yang menjadi ayah tirinya dengan menikahi ibunya, dan kemudian apa yang dialaminya dalam mimpi.
mengarahkan al-Asy'ari menjadi penganut Muktazilah hingga berusia 40 Pada pertengahan bulan Ramadhan, beliau bermimpi lagi bertemu Rasulullah
tahun.[3] ‫ﷺ‬.
Keluar dari Muktazilah[sunting | sunting sumber] Rasulullah‫ ﷺ‬berkata: "Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?"
Abu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti aliran Muktazilah hingga berusia 40 tahun. Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Aku telah memberikan pengertian yang
Namun kemudian setelah sekian lama akhirnya al-Asy'ari keluar dari benar terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan darimu."
aliran Muktazilah. Menurut data sejarah yang disampaikan oleh para ulama,
seperti Ibnu Asakir, Syamsuddin ibn Khallikan, dan Tajuddin as-Subuki, Rasulullah‫ ﷺ‬berkata: "Tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan
setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi keluarnya al-Asy'ari dariku, karena itu yang benar."
dari Muktazilah.[4]
Setelah terbangun dari tidurnya, al-Asy'ari merasa sangat terbebani dengan
Ketidakpuasan al-Asy'ari terhadap paham  Muktazilah[sunting | sunting mimpi itu sehingga beliau bermaksud meninggalkan ilmu kalam. Beliau akan
sumber] mengikuti hadis dan terus membaca Al-Qur'an. Tetapi pada malam 27
Ramadhan, tidak seperti biasanya, rasa kantuk yang begitu hebat
Abu al-Hasan al-Asy'ari tidak puas dengan paham Muktazilah yang selalu menyerangnya sehingga beliau pun tertidur. Dalam tidur itu beliau bermimpi
mendahulukan akal tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah betemu Rasulullah‫ ﷺ‬untuk ketiga kalinya.
dipatahkan dengan argumentasi akal yang sama. Ketidakpuasan al-Asy'ari
tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat Rasulullah‫ ﷺ‬berkata: "Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?"
yang menyatakan bahwa sebelum al-Asy'ari keluar dari
Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Aku telah meninggalkan ilmu kalam
aliran Muktazilah beliau tidak keluar rumah selama lima belas hari. Kemudian
dan aku konsentrasi menekuni Al-Qur'an dan hadis."
pada hari Jumat setelahnya beliau keluar ke Masjid Jami' dan menaiki mimbar
dengan berpidato: Rasulullah‫ ﷺ‬berkata: "Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam
tetapi aku hanya memerintahmu menolong pendapat-pendapat yang
Sebenarnya saya telah menghilang dari kalian selama lima belas hari ini.
diriwayatkan dariku karena itu yang benar."
Selama ini saya meneliti dalil-dalil semua ajaran yang ada. Ternyata saya
tidak menemukan jalan keluar. Dalil yang satu tidak lebih kuat daripada dalil Abu Al-Hasan Al-Asy'ari menjawab: "Wahai Rasulullah, bagaimana aku
yang lain. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah dan ternyata Allah mampu meninggalkan mazhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan
memberikan petunjuknya kepadaku untuk meyakini apa yang saya tulis dalam dalil-dalilnya sejak tiga puluh tahun yang lalu hanya karena mimpi?"
beberapa kitab ini. Mulai saat ini aku mencabut semua ajaran yang selama ini
aku yakini. Rasulullah‫ ﷺ‬berkata: "Andaikan aku tidak tahu bahwa Allah akan
menolongmu dengan pertolongannya, tentu aku menjelaskan kepadamu
Kemudian al-Asy'ari menyerahkan beberapa kitab yang ditulisnya kepada semua jawaban masalah-masalah (ajaran Muktazilah) itu. Bersungguh-
orang-orang di sana. Di antaranya adalah kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala Ahl sungguhlah kamu dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan
al-Zaygh wa al-Bida', kitab yang memaparkan kerancuan Muktazilah yang pertolongannya."
berjudul Kasyf al-Astar wa Hatk al-Asrar, dan kitab-kitab lain.[4]
Setelah bangun dari tidurnya, al-Asy'ari berkata: "Selain kebenaran pasti
Ketidakpuasan al-Asy'ari dengan paham Muktazilah tersebut dapat pula hanya kesesatan."
dilihat dengan memperhatikan riwayat lain yang mengisahkan perdebatannya
dengan Abu Ali al-Jubba'i, guru yang sekaligus juga ayah tirinya.[5] Lalu beliau mulai membela hadis-hadis yang berkaitan
dengan ru'yah (melihat Allah di akhirat), syafaat, dan lan-lain. Ternyata
Abu al-Hasan al-Asy'ari: "Bagaimana pendapatmu tentang nasib tiga orang setelah itu, al-Asy'ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil-dalil yang
yang meninggal dunia, satunya orang mukmin, satunya orang kecil, dan belum pernah dipelajarinya dari seorang guru, tidak dapat dibantah oleh
satunya lagi anak kecil?" lawan, dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab.[6][7][8]
Abu Ali Al-Jubba’i: "Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi,
orang kafir akan celaka, dan anak kecil akan selamat."
Kewafatan[sunting | sunting sumber] terbayangkan, sebagaimana firman-nya "Yang aku ciptakan dengan Tangan
ku" (QS.Shad, 38:75); dan "bahkan tangan tangan Allah terbuka" (al-Mai'dah,
Abu al-Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. 5:64); dan Allah memiliki 'Mata', yang tidak terbayangkan, sebagaimana
firman-nya: "yang berlayar dengan pengawasan mata kami" (QS.al-
Fase pemikiran[sunting | sunting sumber] Qamar,54:14) Barangsiapa yang menyatakan nama Allah itu bukan 'Allah'
maka tersesatlah dia.
Ada perbedaan pendapat tentang fase pemikiran Abul Hasan Al-Asy'ari
sebagian pihak mengklaim Abul Hasan Al-Asy'ari hanya melewati dua fase, — Abu al-Hasan Al Asy'ari, al-Ibanah 'an Ushul ad-Diyanah: Bab 2: hlm 10.
pihak lainnya mengklaim Abul Hasan Al-Asy'ari melewati tiga fase
pemikiran. Tim riset asal Mesir menyoroti perkara pemikiran Abu al-Hasan al-Asy'ari
yang pada periode belakangan semakin mengikuti pemikiran Salaf dan
Dua fase[sunting | sunting sumber] meninggalkan metode-metode Mu'tazilah ataupun ahlul Kalam yang
mendahulukan dalil Aqli (akal) ketimbang dalil Naqli (wahyu), di mana di
Abu Bakar bin Furak, Ibnu Khaldun dan ulama-ulama lainnya berpendapat
salah satu kitab terakhir Abu al-Hasan mengatakan:
bahwa Abul Hasan Al-Asy'ari hanya melewati dua fase pemikiran saja yaitu
dari Muktazilah ke Ahlussunah.[9][10] "...Tidak diperbolehkan bagi kita menghilangkan sisi Zhahir Al-Qur'an tanpa
ada suatu Hujjah..."
Ibnu Khaldun berkata:
— Abu al-Hasan Al Asy'ari, al-Ibanah : Bab 2: hlm 40.
Hingga akhirnya tampil Syekh Abu al-Hasan al-Asy'ari dan mendebat
sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan ashlah, lalu [20]
dia membantah metodologi mereka dan mengikuti pendapat Abdullah bin
Sa'id bin Kullab, Abu al-Abbas al Qalanisi, dan al-Harits al-Muhasibi dari Komentar para Ulama[sunting | sunting sumber]
kalangan pengikut salaf dan Ahlussunah.[10]
Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa yang menyatakan Abul Hasan al-
Dari pernyataan Ibnu Khaldun tersebut ia menyimpulkan bahwa setelah al- Asy’ari menafikan sifat dan beliau memiliki dua pendapat dalam
Asy'ari keluar dari paham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin menakwilkan sifat Allah, maka orang tersebut telah berdusta atas nama Abul
Sa'id bin Kullab, al-Qalanisi, dan al-Muhasibi yang menurutnya dia Hasan. Yang melakukan takwil seperti ini adalah pengikutnya yang
merupakan pengikut Ahlussunnah. belakangan seperti Abul Ma’ali dan lainnya. Mereka memasukkan ushul
(akidah/prinsip pokok) muktazilah ke dalam mazhabnya.”[21]
Tiga fase[sunting | sunting sumber]
pada abad ke 20, Syaikh Musthafa Hamdu 'Ullayan Al-Hambali dan Syaikh
Ulama-ulama seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah, syekh Utsaimin dan ulama- Hammad al-Ansyari juga mengutip catatan-catatan para Ulama yang dekat
ulama kontemporer lainnya berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy'ari masa hidupnya dengan Imam Asy'ari bahwa sang Imam lebih dekat kepada
melewati tiga fase pemikiran dalam hidupnya. Yaitu dari Muktazilah ke Hanbaliyyah dan menolak konsep ta'wil dalam menafsirkan ayat dan hadits. [13]
Kullabiyah ke Ahlussunah.[11][12][13][14][15] [15]
 Hal ini juga disepakati Syaikh Abdul Aziz Marzuq Ath-Tharifi dalam kitab
Sebagian ulama tidak menganggap Kullabiyah sebagai Ahlussunah karena ada Aqidah Khurasaniyyah yang menyoroti kitab al Ibanah tentang Istiwa dan
beberapa masalah akidah yang bertentangan dengan Suni seperti hanya ketinggian Allah dalam keyakinan Imam Asy'ari.[16]
menetapkan tujuh sifat saja bagi Allah dan menetapkan sifat Dzatiyah tetapi Da'i kontemporer beraliran Salafi yang menjadi pengajar di Masjid Nabawi
menafikan sifat Ikhtiariyah bagi Allah.[14] dan juga murid dari Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, Dr. Firanda
Ibnu Taimiyah berkata: Andirja, Lc, bahkan mengeluarkan bantahan panjang mengenai klaim yang ia
anggap sebagai kedustaan sistematis dari beberapa tokoh Asy'ariyah modern,
“Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah Jahmiyah, dimana mereka menolak Aqidah Imam Asy'ari dalam 2 kitab terakhir beliau
Muktazilah dan firkah lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat- sebelum wafat yang justru menegaskan kalau Imam Asy'ari menolak ta'wil
sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahlul hadits dan kaum Mutakallimin dan mengutamakan hadits-hadits serta penafsiran para
sunah, namun masih termuat cara-cara bidah. Sahabat tentang Istiwa Allah.[14] Secara spesifik, Dr Firanda merumuskan
bahwa dalam salah satu kitabnya, Maqalatul Islamiyyin, Imam Asy'ari sendiri
Karena dia menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi
menyatakan bahwa menta'wil Istiwa/bersemayam nya Allah adalah Aqidah
Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah dikarenakan mereka menolak sifat
asli Mu'tazilah, bukan Aqidah Ahlus Sunnah seperti yang diklaim Asy'ariyah
dan sifat Uluw (Allah berada di tempat yang tinggi). Sarat dengan hujah dan
atau Kullabiyah modern[14]
dalil dan menerangkan keutamaan hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang
dikemukakan itu menyapu bersih syubhat Muktazilah. Dan ini membantu bagi Dr. Sa’id bin Musfir Al-Qahthani menambahkan bahwa klaim Asy'ariyah
kalangan cendekia. Jadilah dia seorang imam dan panutan bagi orang yang bahwa Imam Abul Hasan al Asy'ari mengikuti aqidah mereka adalah keliru
muncul setelahnya dalam masalah penetapan sifat dan membantah orang yang berdasarkan kitab-kitab terakhir Imam Asy'ari yang justru menunjukkan sang
menafikannya.[15][16][14] Imam mengingkari keyakinan yang diklaim oleh kaum Asy'ariyah[22]
Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan pengikutnya dengan golongan
yang dibantahnya masih ada persamaan dalam kaidah-kaidah pokok. Hal Guru-gurunya[sunting | sunting sumber]
inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang mereka munculkan. Menjadi Imam al-Hafizh Zakariya bin Yahya al-Saji[sunting | sunting sumber]
batil dilihat dari kacamata akal dan karena menyelisihi sunah Rasulullah “. [17]
Abu Yahya Zakariya bin Yahya al-Saji al-Syafi'i (220-307 H / 835-920 M),
Dari pernyataan Ibnu Taimiyah di atas ia beranggapan bahwa kaidah-kaidah hafizh besar, muhaddits kota Bashrah pada masanya, murid Imam Ahmad bin
yang dilakukan Kullabiyah untuk membantah Muktazilah masih memiliki Hanbal,[23] dan fakih bermazhab Syafi'i. Beliau telah menulis kitab 'Ilal al-
kesamaan terutama dalam kaidah pokok, ditambah karena Kullabiyah hanya Hadits yang membuktikan kepakarannya dalam bidang studi kritik hadis.
menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah. Beliau juga menulis kitab Ikhtilaf al-Fuqaha' dan Ushul al-Fiqih yang
membuktikan kepakarannya dalam bidang fikih. Menurut al-Dzahabi, al-
Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam penetapan sifat-sifat Asy'ari belajar hadis dan ideologi ahli hadis kepada Zakariya al-Saji ketika
Allah[sunting | sunting sumber] masih kecil dan belum memasuki aliran Muktazilah.[24][25]

Abul Hasan Al-Asy'ari pada masa menjadi Muktazilah ia meniadakan semua Imam Abu Khalifah al-Jumahi[sunting | sunting sumber]
sifat-sifat Allah dengan dalih menyucikan keesaan Tuhan, karena Wasil bin
Abu Khalifah al-Fadhl bin al-Hubab al-Jumahi al-Bashri (206-305 H / 821-
Atha' berpendapat bahwa siapa pun yang menetapkan adanya sifat kadim bagi
917 M), muhaddits kota Bashrah yang dianggap tsiqah (dipercaya). Beliau
Allah, maka dia telah menetapkan adanya dua Tuhan. Muktazilah berpendapat
seorang ahli hadis yang jujur dan banyak meriwayatkan hadis. Usianya
bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila Tuhan memiliki sifat, maka
hampir mencapai seratus tahun. Al-Asy'ari banyak meriwayatkan hadis dan
sifat tersebut harus kekal seperti halnya dzat Tuhan.[18] Kemudian Abul Hasan
Abu Khalifah dalam kitab tafsirnya.[26][27]
Al-Asy'ari hanya menetapkan tujuh saja sifat Allah
yaitu hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, [11] Adapun Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi[sunting | sunting sumber]
sifat khabariyah tentang Allah dia pun menakwilnya. Apa yang dicetuskan
oleh Abul Hasan al-Asy'ari ketika itu tersebar ditengah masyarakat dan Abu Muhammad Abdurrahman bin Khalaf bin al-Hushain al-Dhabbi al-
menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy'ariyah.[19] Kemudian Abul Bashri, muhaddits yang tinggal di Bashrah dan hadisnya diterima oleh para
Hasan Al-Asy'ari menetapkan semua sifat Allah tanpa tasybih, tahrif, takwil, ulama. Beliau belajar kepada Ubaidillah bin Abdul Majid al-Hanafi, Hajjaj
dan tanpa menafikannya sesuai dengan metodologi salaf. bin Nushair al-Fasathithi, dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 279 H / 893
M.[28]
Sesungguhnya Allah bersemayam di atas 'Arasy sebagimana yang dinyatakan
firman-nya "Tuhan yang maha pemurah itu bersemayam di atas 'Arasy" Sahal bin Nuh al-Bashri[sunting | sunting sumber]
(QS.Thaha, 20:5) Allah pun memiliki 'wajah' Sebagaimana dinyatakan Abu al-Hasan Sahal bin Nuh bin Yahya al-Bazzaz al-Bashri,
firman-nya "Maka kekallah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan seorang muhaddits yang tinggal di Bashrah, guru al-Asy'ari dalam bidang
kemuliaan (QS.ar-Rahman, 55:27), dan Allah memiliki "Tangan" yang tidak hadits.
Muhammad bin Ya'qub al-Maqburi[sunting | sunting sumber] 2. Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah;
3. Maqalat al-Islamiyyin;
Menurut Ibnu Asakir, al-Asy'ari banyak meriwayatkan hadis dalam tafsirnya
melalui jalur Zakariya al-Saji, Abu Khalifah al-Jumahi, Abdurrahman bin
Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bazzaz, dan Muhammad bin Ya'qub al- Kitab-kitab yang lainnya:
Maqburi, yang kesemuanya tinggal di Bashrah.[29][30]
Imam Abu Ishaq al-Marwazi al-Syafi'i[sunting | sunting sumber] 1. Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi');
2. Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-
Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi, ulama besar dan pemimpin
Millah;
mazhab Syafi'i di Baghdad dan Mesir. Beliau murid terbesar Imam Abu
al-'Abbas bin Suraij al-Baghdadi (249-306 H / 863-918 M). Pada mulanya 3. Kitāb al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām;
Abu Ishaq al-Marwazi ini menyebarkan mazhab Syafi'i di Baghdad, 4. Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām;
menggantikan posisi gurunya Ibnu Suraij. Namun pada akhir usianya, beliau 5. Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā;
pindah ke Mesir dan menyebarkan madzhab Syafi'i di Mesir hingga wafat di 6. Kitāb al-Imāmah;
sana pada tahun 340 H / 951 M, dan jenazahnya dimakamkan bersebelahan 7. Asy-Syarhu wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-
dengan makam Imam al-Syafi'i. Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi Tadhlil;
menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Baghdad bahwa Imam al-Asy'ari rutin 8. Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān;
menghadiri perkuliahan Abi Ishaq al-Marwazi dalam materi fiqih Syafi'i 9. At-Tabyin 'an Ushuli ad-Din;
setiap hari Jumat di Masjid Jami' al-Manshur.[31] Informasi lainnya
10. Al-'Amdu fi ar-Ru'yah;
menyebutkan bahwa al-Asy'ari belajar ilmu fikih kepada Abu Ishaq al-
Marwazi, sedangkan al-Marwazi belajar ilmu kalam kepada al-Asy'ari.[31][32][33] 11. Kitāb al-Maujiz;
12. Kitāb ash-Shifāt;
Abu Ali al-Jubba'i[sunting | sunting sumber] 13. Kitāb ar-Radd 'ala al-Mujassimah;
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam al-Jubba'i (235-3-3 H / 14. An-Naqdh 'ala al-Jubbā'i;
849-916 M), pakar teologi, tokoh Muktazilah terkemuka. Hubungan yang 15. An-Naqdh 'ala al-Balkhi;
sangat dekat antara guru dan murid ini menjadikan al-Asy'ari menjadi kader 16. Jumal Maqālāt al-Mulhidin;
Muktazilah yang populer. 17. Kitāb fi ash-Shifāt;
Abu Hasyim al-Jubba'i[sunting | sunting sumber] 18. Adab al-Jidal;
19. Kitāb fi Khalqi al-A'māl;
Abu Hasyim Abdussalam bin Muhammad bin Abdul Wahhab al-Jubba'i, putra 20. An-Nawādir fi Daqaiqi al-Kalām;
Abu Ali al-Jubba'i, pakar teologi dan tokoh Muktazilah. 21. Risālah ila Ahli Ats-Tsughar;
22. Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyān;
Murid-muridnya[sunting | sunting sumber] 23. Jawāz Ru'yat Allah bil Abshār;
Murid-murid Imam al-Asy'ari tidak hanya para pakar dalam bidang teologi 24. Al-Funan fi ar-Raddhi 'ala al-Mulhidin;
saja tetapi mereka berangkat dari latar belakang keilmuan yang beragam, 25. Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah
seperti ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih, ahli tasawuf, dan lain-lain, sehingga
mazhab dan pelbagai pemikiran al-Asy'ari disebarkan melalui pintu berbagai A. PERBUATAN TUHAN
studi keislaman seperti melalui ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, ilmu
tasawuf, dan lain-lain.[34] Di antara murid-murid Imam al-Asy'ari tersebut Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan
adalah: perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai kinsekuensi logis dari dzat
yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Imam Ibn Mujahid (w. 370 H / 980 M): pakar teologi dan pengikut
1. Aliaran Mu’tazilah
mazhab Maliki.
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpandapat
2. Imam Abu Zaid al-Marwazi (301-371 H / 913-982 M): ulama bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.
besar yang menyandang gelar al-Mufti, al-Zahid, guru para ulama Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan
mazhab Syafi'i dan perawi Shahih al-Bukhari dari al-Farabri. buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Didalam Al-
3. Imam Ibn Khafif al-Dhabbi (276-371 H / 890-982 M): ulama sufi Qur’an pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim . Ayat-ayat
yang menyandang gelar al-Imam al-'Arif, fakih bermazhab Syafi'i, Al-Qur’an yang dijadiakn dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung
menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan dan guru kaum pendapatnya di atas adalah surat Al-Anbiya:23 dan Ar-Rum:8.
sufi.       
4. Al-Hafizh Abu Bakar al-Ismaili (277-371 H / 890-982 M): ulama ” Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan
yang menyandang gelar al-Hafizh, al-Hujjah, al-Faqih, Syaikh al- ditanyai”.
Islam, guru ulama mazhab Syafi'i, dan pengarang kitab al-Shahih.      •  
5. Imam Abu al-Hasan al-Bahili: guru para teolog dan ahli dalam     
ilmu-ilmu rasional.     •   ••
6. Imam Bundar al-Syirazi al-Sufi (w. 353 H / 964 M): pakar dalam    
bidang teologi dan ushul fikih, penganut mazhab Syafi'i, dan salah “ dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?
seorang tokoh sufi. Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya
7. Imam Ali bin Mahdi al-Thabari (324-380 H / 936-990 M): tokoh melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan
terkemuka dalam bidang teologi, pakar dalam berbagai bidang Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan
ilmu pengetahuan, ulama yang sangat produktif, memiliki Pertemuan dengan Tuhannya.”
kehebatan dalam bidang fikih, teologi, tafsir, dan sejarah.
8. Imam Abu al-Husain bin Sam'un (300-387 H / 912-997 M):
menyandang gelar Imam al-Mutakallimin (penghulu para teolog),
ulama sufi yang dikenal zuhud dan wara', ulama terkemuka dalam Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan
mazhab Hambali. Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya.
9. Imam Abu Sahal al-Shu'luki (296-369 H / 908-980 M): pakar fikih Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata
terkemuka dalam mazhab Syafi'i, ahli dalam bidang tasawuf, berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu.
teologi, tafsir, gramatika (nahwu), bahasa, syair, ilmu 'arudh, dan Adapun ayat yang kedua mengandung petunjuk bahwa tidak pernah dan tidak
lain-lain. akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
10. Imam Abu Bakar al-Qaffal (291-365 H / 904-976 M): ulama Dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
terkemuka pada masanya dalam bidang fikih mazhab Syafi'i, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan
hadis, teologi, ushul fikih, bahasa dan sastra, juga dikenal zuhud mempunyai kewajiban terhadap manusia . Aliran Mu’tazilah memunculkan
dan wara'. faham kewajiban Allah berikut ini:
 Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan
Karya tulis[sunting | sunting sumber] faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka
Dia meninggalkan karya-karya tulis, kurang lebih berjumlah 90 kitab dalam tentang keadilan Tuhan.Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi
berbagai fase pemikirannya. Ada tiga kitabnya yang terkenal: beban yang terlalu berat kepada manusia.
 Kewajiban Mengirinkan Rasul
Bagi Aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui
1. Al-Luma; hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka
memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu (kafir) Biarlah ia kafir". (QS.Al-Kahf [18]:29)
kewajiban Tuhan. Dalam surat Ali Imran [3]: 165 disebutkan
 Kewajiban Menepati Janji dan Ancaman     
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran     
Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannyadenga dasar keduanya, yaitu keadilan.       •   
Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala   
kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang “. dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud),
berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-
ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
karena itu, menepati jajni dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan. (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri".
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran [3]:
2. Aliran Asy’ariyah 165)
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik Dalam Surat Ar-Rad [13] : 11 disebutkan
bagi manusia. Aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai
kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. “. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. “ (QS Ar-Rad
wajib (jaiz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib . [13]: 11)
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan Dalam Surat An-Nisa’ [4]:11 disebutkan
tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham “ Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia
pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri, dengan mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha
tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An- Nisa’ [4]:111)
yang dapat dipikul pada manusia.
3. Aliran Mu’tazilah
3. Aliran Maturidiyah Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara bebas. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan
Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliaran Maturidiyah ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya
Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak sendiri.
mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan perbuatan Tuhan Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi
hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Mu’tazilah denagn tegas
mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. DEmikian juga menyatakan bahwa daya juga beraal dari manusia. Daya yang terdapat pada
pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan
Tuhan. dalam perbutan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama denagan mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban, Dengan faham ini aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal,
Namun, sebaigaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti menepati janji- sedagkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah
Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan bentuknya.
mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besa. Adapun Untuk membela fahanya, aliran mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut
pandanagn Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan   •     
faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tdaklah    
bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. “ yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang
memulai penciptaan manusia dari tanah.” (QS As-sajdah [32]:7
Yang dimaksud dengan ahsana dalam ayat diatas adalah, semua perbuatan
B. PERBUATAN MANUSIA
manusia bukanlah perbuatan Tuhan adalah baik. Denagn demikian, perbuatan
manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang
terdapat perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa
dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian
manusia akan mendapat balasan atas perbuatnnya. Sekiranya perbuatan
dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah,
manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.
Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah
4. Aliran Asy’ariyah
pencipta alam semesta, teermasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia
bersifat Mahakuasadan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini
ibaratkan anak kecil yang tida memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena
timbulah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan
itu, aliran ini lebih dekat denagn faham jabariyah dariada dengan faham
bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam mengatur hidupnya
Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori al-
oleh Tuhan, atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan
kasb. Teori al-kasb Asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu
kekuasaan mutlak Tuhan.
terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan
bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai
1. Aliran Jabariyah
konsekuensinya teori ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia
Ada perbedaan pandangan antara jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat
bersikap pasif dalam perbuatannya.
dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa
Argument yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyainannya adalah
segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari
firman Allah
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Adapun jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan
    
manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
mempunyi peranan di dalamnya.
(QS Ash-Shaffat [37]:96)
Pada prinsipnya aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia
2. Aliran Qadariyah
diciptakan Allah , sedagkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
Aliran Qadariyah mengtakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
mewujudkannya.
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan
segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, bagi berbuat baik maupun
berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
5. Aliran Maturidiyah
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
Ada perbedaan antara Maturidiyyah Samarkand dan Maturidyah Bikhara
diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran siksa dengan
mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham
balasan neraka kelak di akhiat, semua itu berdasarkan pilihan pribainya
mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariyah.
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia meneerima
Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah
siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukann atas keinginan dan
Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya, dan
kemampuannya sendiri.
bukan dalam arti kiasan. . Perbedaan dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat
untuk bebuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan
menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-
perbuatannya. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah
doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak
sebebas manusia dalam mu’tazilah.
ayat Al-Quran yang mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal seperdapat dengan Maturidiyah
Kahf:29
Samarkand. Hanya saja golongan ini membeerikan tambahan dalam masalah
       
daya. Menurutnya, untuk perbuatan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia
    tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuuhanlah yang
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin
dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah
diciptakan Tuhan baginya

Anda mungkin juga menyukai