Anda di halaman 1dari 37

C.

Pengertian Akal
Kata akal yang telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, secara etimologis
berasal dari bahasa Arab, yaitu al-aql ( ) yang berarti: ikatan, pikiran, pemahaman
dan pengertian.[8] Kata dapat diartikan sebagai cahaya rohaniah yang dengannya
dapat dijangkau sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indra.[9]
Kata akal dapat juga ditemui penggunaannya dalam Alquran sebanyak 49 kali,
meski hanya dalam bentuk kata kerja () . Dalam hal ini, kata 1 kali, kata 24
kali, kata 1 kali, kata 1 kali, sedangkan kata sebanyak 22 kali. Dari katakata tersebut mempunyai dua arti pokok, yaitu berarti faham dan mengerti.[10]
Secara terminologis, kata akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang
memberikan kekuatan kepada manusia untuk merancang dan mengoreksi serta
mengukuhkan sesuatu dan menetapkan keputusan di antara berbagai macam hal yang
ditemui manusia dalam mencapai apa yang diinginkan.[11]
Selain itu, Harun Nasution mendefinisikan akal sebagai daya pikir yang
dianugrahkan Allah kepada manusia untuk menghasilkan pengetahuan melalui kesankesan yang diperoleh pancaindra.[12] Akal dalam pengertian Islam, tidak dimaksudkan
sebagai otak, tetapi merupakan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia untuk
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam
pengertian inilah yang kemudian dikontraskan (dalam Islam) dengan wahyu, sebagai
sumber pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Allah Swt.[13]
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa akal yang terdapat dalam diri
manusia, merupakan suatu daya yang dengannya manusia dapat hidup bermutu dan
dinamis, karena tingkah laku dan perbuatan manusia dilakukan atas dasar pengertian
atau pengetahuan dan motivasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
D. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab yaitu yang berarti suara, api,dan
kecepatan. Di samping itu, kata wahyu juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.
Selanjutnya, ia juga mengandung makna pemberitahuan secara sembunyi dan dengan
cepat.[14]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wahyu diartikan sebagai petunjuk
dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan
sebagainya.[15] Dalam kedudukannya sebagai petunjuk, wahyu juga dapat diartikan
sebagai pemberitahuan (informasi) dari Allah yang diberikan kepada orang-orang
pilihannya (Rasul) untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan sebagai
pegangan hidup. Ia mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang berguna bagi
manusia untuk perjalanan hidupnya di dunia dan akhirat.[16]
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ia mengatakan
bahwa wahyu adalah pengetahuan yang didapat sesorang pada dirinya sendiri dengan
suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah swt.[17] Di sini, Muhammad
Abduh melihat wahyu tidak hanya ditujukan kepada Nabi dan Rasul saja, tetapi juga
kepada manusia biasa.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akal dapat dimiliki oleh setiap
manusia dan inheren dalam dirinya. Sedangkan wahyu merupakan informasi dari Tuhan
yang berada di luar diri manusia. Namun, fungsi kedua alat ini sama-sama untuk
menghasilkan pengetahuan, meskipun tingkat kebenarannya berbeda. Dalam hal ini,
kebenaran yang diperoleh dari wahyu bersifat absolut, sedangkan kebenaran yang
diperoleh melalui akal bersifat relatif. Wahyu bersumber dari Allah, sedangkan akal
bersumber dari manusia.

E. Pandangan Beberapa Aliran Teologi Dalam Islam Tentang Iman dan Kufur
Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam masalah iman dan
kufur. Persoalan itu dimunculkan pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir
sejumlah tokoh sahabat Nabi saw. Yang dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu
Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asyari, Amr bin Al-Ash,
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah saw.[18]
1. Aliran Khawarij
Kaum Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan
Ali, karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim /
arbitrase judge between parties to a dispute. Dari persoalan politik, kemudian kaum
khawarij memasuki juga persoalan teologi Islam. Menurut golongan Khawarij al-

Muhakkimah, Ali, Muawiyah, kedua pengantara Amr ibn al-Ash dan Abu Musa
al-Asyari adalah kafir.
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan
ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Menurut
kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya
yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin
melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi
serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta ghonimah.
2. Aliran Murjiah
Iman menurut Murjiah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun ucapan dan
perbuatan tiadak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam qolbu.
Menurut sub sekte Murjiah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan
bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud Murjiah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan
dosa besar, kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan
dosa besar dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham Murjiah lebih bersikap positif.
Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arjaa, mereka lebih cenderung
menyerahkan saja kepada Tuhan soal pelaku dosa besar.
3. Mutazilah
Menurut paham mutazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan
dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan
iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep
ini dianut pula olah Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajibankewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban
itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif,

menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mutazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan
dosa besar dan mati sebelum taubat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi
dihukumi sebagai orang fasik.
4. Asyariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah
tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan
melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu(cabangcabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan
kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa
dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Keimanan seseorang tidak akan hilang
kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum Asyariyah yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mutazilah
memaksakan paham khalq Alquran banyak membicarakan persoalan iman dan kufur.
Asyariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan marifah dan amal.
Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan marifah dan amal. Manusia
dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui
Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu,
iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan
Mutazilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asyariyah merupakan
pengakuan dalam hati yang mengandung marifah terhadap Allah
5. Maturidiyah
Dalam aliran Maturidiyah terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok
Samarkhand, dan kelompok Bukhara
a. Maturidiyah golongan Samarkand
Dalam masalah iman, aliran Matur idiyah Samarkand berpendapat bahwa iman
adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Apa yang diucapkan oleh
lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan
lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang

dipahami di atas, harus diperoleh dari marifah. Tashdiq hasil dari marifah ini
didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, AlMaturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada
surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk
memperlihatkan

bukti

dengan

Nabi

Ibrahim

meminta

kepada

Tuhan

untuk

memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan


Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan
tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat
menjadi iman hasil marifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang
berdasarkan marifah. Meskipun demikian,mar ifah menurutnya sama sekali bukan
esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
b. Maturidiyah golongan Bukhara
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan
oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang
keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun
yang dimaksud dengan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok
ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan As
yar iyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari
keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.[19]
F. Pandangan Beberapa Aliran Teologi Dalam Islam Tentang Akal Dan Wahyu
1.

Aliran Mutazilah
Kaum Mutazilah dikenal sebagai aliran yang paling banyak menggunakan akal

dalam pembahasan-pambahasan teologinya, sehingga ia dijuluki sebagai kaum


rasionalis Islam. Dalam pandangannya mengenai peranan akal dan wahyu untuk
mengetahui keempat hal tersebut di atas, tokoh-tokoh aliran Mutazilah sependapat,
bahwa pokok-pokok pengetahuan (tentang Tuhan serta baik dan buruk) dan
mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum turunnya wahyu.[20] Hal ini berarti, bahwa
mengetahui Tuhan; mengetahui baik dan buruk; kewajiban bersyukur atas nikmat yang

diberikan

Tuhan;

serta

mengetahui

kewajiban

mengerjakan

yang

baik

dan

meninggalkan yang buruk dapat diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya
tidak ada wahyu pun, manusia tetap dapat mengtahuinya. Dengan penalaran akalnya,
manusia bisa berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib
sebelum datangnya wahyu.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa Mutazilah menafikan peranan
wahyu. Wahyu menurut mereka tetap memiliki peranan yang sangat penting dalam
keempat masalah tersebut. Dalam kaitan ini, wahyu memiliki fungsi konfirmasi dan
informasi, memperkuat apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa yang
belum diketahui oleh akal.[21] Hanya saja, menurut Mutazilah, wahyu tidak selamanya
yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal, bagi Mutazilah
dapat mengetahui sebagian yang baik dan sebagian dari yang buruk.[22] Dalam artian,
akal dapat mengetahui garis-garis besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui
wahyu. Misalnya, sungguhpun akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak
dapat menentukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan
oleh akal itu dapat saja berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan baik dan
buruk, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya, penyembelihan
binatang untuk keperluan tertentu.[23]
Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum Mutazilah
membedakan antara serta perbuatan-perbuatan yang tidak baik
menurut akal dan Serta perbuatan-perbuatan yang tidak baik
menurut wahyu. Begitu pula dibedakan antara kewajiban-kewajiban yang ditentukan
oleh akal serta dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh
wahyu serta [24]. Dalam kaitan ini, akal hanya dapat mengetahui
garis-garis besarnya saja dari kewajiban-kewajiban manusia, sedangkan perinciannya sebagaimana pendapat Abdul Jabbar hanya dapat diketahui melalui wahyu.[25]
Selanjutnya, fungsi lain dari wahyu, menurut al-Syahrastani adalah untuk
mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya
atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.[26]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa meskipun aliran Mutazilah
memberikan peranan yang besar kepada akal, namun, tetap dalam keterbatasannya

sebagai akal manusia, yang hanya mampu mengetahui baik dan buruknya sesuatu
secara universal. Sedangkan kebaikan yang bersifat lokal dan varsial hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Selanjutnya, wahyu menurut Mutazilah, di samping sangat
berperan untuk mengetahui perincian dari apa yang baik dan buruk, juga dimaksudkan
sebagai dasar pembenaran bagi Tuhan untuk memberikan ganjaran terhadap manusia
di hari kemudian.
2.

Aliran Asyariyah
Berbeda dengan aliran Mutazilah, aliran Asyariyah yang termasuk dalam

golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memberikan peranan yang lebih besar kepada
wahyu dalam mengetahui keempat persoalan tersebut di atas.
Menurut al-Asyari, segala kewajiban (yang harus dilakukan oleh) manusia
hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuatu sesuatu menjadi
wajib dan tidak dapat mengetahui, bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan
yang jahat (buruk) itu adalah wajib bagi manusia.[27] Memang betul, bahwa akal dapat
mengetahui Tuhan dan perlunya berterima kasih kepadaNya. Namun, melalui wahyulah
manusia dapat mengetahui, bahwa orang yang taat kepada Tuhan akan mendapat
pahala (balasan baik) dan orang yang berbuat maksiat kepada-Nya akan mendapat
hukuman (siksa).[28]Akal menurut Asyari, tidak mampu mengetahui kewajiban
manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan,[29] yakni untuk menetapkan mana yang wajib
dan mana yang tidak, mana perintah dan mana larangan dari Tuhan.
Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak akan tahu
kewajiban-kewajibannya, bahkan kata al-Gazali sekiranya syariat tidak ada,
manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak wajib pula berterima
kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan kepada manusia. Demikian juga
soal baik dan buruk, ia hanya diketahui melalui perintah dan larangan Tuhan.[30]
Dalam penjelasannya, al-Syahrastani menyatakan bahwa semua kewajiban
diketahui melalui wahyu, sedangkan pengetahuan, semuanya dapat diperoleh melalui
akal. Karena itu, akal tidak dapat mewajibkan untuk berbuat baik dan meninggalkan
kejahatan, juga tidak bisa menuntut dan menentukan suatu kewajiban.[31] Dalam kaitan
ini, al-Taftazani menjelaskan, bahwa (bagi Asyariyah) sanksi hukum untuk perbuatan

orang yang berakal belum ada, sebelum datangnya syara. Jadi tetapnya suatu hukum
adalah atas landasan syara, bukan dengan akal. Akal dalam hal ini, hanyalah
merupakan alat untuk memahami khitab syara.[32] Pendapat ini juga didukung oleh alGazali, bahkan ia menegaskan, bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah swt.,
dan tidak ada sanksi hukum sebelum datangnya ketentuan syara.[33] Hal ini lebih
dipertegas lagi oleh al-Amidi dengan mengatakan, bahwa tidak ada hakim (pembuat
hukum) kecuali Allah swt., dan tidak ada hukum kecuali yang telah ditetapkan oleh
Allah. Akal tidak punya wewenang menilai sesuatu perbuatan apakah baik atau buruk,
dan tidak ada hukum sebelum datangnya ketentuan syara.[34] Tegasnya, tidak ada
hukum taklif (tuntutan dan larangan) sebelum datangnya wahyu.[35]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa akal bagi Asyaariyah hanya
dapat mengetahui Tuhan. Namun, akal tidak punya otoritas (wewenang) untuk
menetapkan kewajiban. Yang menetapkan adalah al-Hakim (pembuat hukum) yakni
Allah swt. Berbeda dengan Mutazilah yang menjadikan akal sebagai al-Hakim. Dengan
kata lain, Asyariyah memberikan fungsi yang lebih kecil kepada akal, sedangkan
Mutazilah wewenang akal lebih banyak. Dalam hal ini, akal menurut Asyariyah
kemampuannya terbatas dalam hal mengetahui eksistensi Tuhan. Akal diperlukan untuk
memahami wahyu.
3.

Aliran Maturidiyah
Nama aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad Ibnu

Mahmud al-Maturidy. Dalam faham teologinya, al-Maturidy banyak terpengaruh oleh


pemikiran Imam Abu Hanifah, yang juga banyak menggunakan rasio dalam pandangan
keagamaannya. Meski demikian, sistem pemikiran teologinya masih dalam kategori
Ahlu Sunnah.[36]
Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini aliran
Maturidiyah terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara.
a. Maturidiyah Samarkand.
Aliran ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak pemikirannya
kepada Mutazilah dalam bidang teologi dari pada ke Asyariyah.[37]

Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya dengan


keempat masalah pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal
dapat mengetahui eksistensi Tuhan, oleh karena Allah sendiri yang memerintahkan
manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Hal ini menunjukkan bahwa akal
manusia dapat mencapai marifatullah.[38] Oleh karen itu, akal sudah mengetahui
tentang kewajiban mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan
berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu.[39]
Demikian halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, menurut
Maturidiyah Samarkand, akal dapat mengetahui keawajiban menusia untuk berterima
kasih kepada Tuhan, meski tampa bantuan wahyu.[40]
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik
yang terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan
demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa yang buruk adalah buruk dan berbuat
baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang
manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan.
Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Namun,
yang diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu. Adapun
mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk
mewajibkannya. Karena kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh wahyu.[41]
Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran Maturidiyah
Samarkand berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari empat persoalan
pokok tersebut, yakni: Mengetahui Tuhan; kewajiban mengetahui Tuhan (berterima
kasih kepada Tuhan); serta mengetahui baik dan buruk. Sedangkan yang terakhir,
kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat adalah wewenang
wahyu atau Tuhan.
b. Maturidiyah Bukhara
Jika Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al-Maturidy sendiri, maka
Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr Muhammad al-Bazdawy. Pemikiran
teologi dari kedua tokoh ini sedikit berbeda dan tidak terlalu mendasar. Perbedaannya
hanya pada sekitar masalah kewajiban-kewajiban manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan.

Al-Bazdawy mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban


mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui
baik dan buruk saja. Sedangkan yang menentukan kewajiban mengenai yang baik dan
buruk itu adalah Tuhan sendiri. Demikian halnya dengan kewajiban mengetahui Tuhan.
Akal hanya mampu mengetahui Tuhan, tetapi ia tidak dapat mengetahui dan
menentukan kewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang mengetahui dan
menentukannya adalah wahyu.[42]
Pada perinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah Bukhara, tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui sebab-sebab
dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh karenanya, mengetahui Tuhan dalam arti
berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.
Bahkan mereka (para alim ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum datangnya
Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah
suatu dosa.[43] Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih mendekati faham
Asyariyah yang lebih mempungsikan wahyu ketimbang akal.
4.

Analisis Perbandingan

Merujuk pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu dengan
yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri dalam menempatkan
peranan akal dan wahyu. Mutazilah misalnya, memberikan porsi paling besar kepada
akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi Mutazilah, keempat masalah yang
diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui akal. Hal ini berarti, bahwa porsi
kekuatan wahyu bagi Mutazilah lebih kecil dibanding dengan akal.
Berbeda dengan Mutazilah, aliran Asyariyah justru memberikan porsi yang besar
kepada wahyu jika dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Menurut kaum Asyariyah,
hanya satu di antara keempat pengetahuan itu yang dapat diketahui oleh akal.
Sedangkan tiga yang lainnya, hanya bisa dicapai dengan wahyu. Hal ini berarti, bahwa
aliran Asyariyah memberikan porsi paling besar kepada wahyu dan paling kecil kepada
akal.

Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati
posisi tengah antara Mutazilah dan Asyariyah. Meski demikian, kedua cabang
Maturidiyah tersebut sedikit mempunyai perbedaan.
Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada Mutazilah, karena aliran ini
berpendapat bahwa dari keempat pokok masalah tersebut, tiga diantaranya dapat
diketahui oleh akal, sedangkan yang satunya hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Adapun Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan wahyu,
lebih mendekati pemikiran Asyariyah. Meskipun pada kenyataannya memberikan porsi
yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, dari empat masalah pokok tersebut,
dua di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan dua yang lainnya lagi hanya
dapat diketahui melalui wahyu.
Untuk lebih jelasnya, perbandingan ini dapat dianalogikan ke dalam bentuk nilai
(harga),

yaitu,

jika

disusun

dalam

skala

prioritas,

sesuai

dengan

tingkat

penghargaannya antara akal dan wahyu, maka akan terlihat dalam urutan sebagai
berikut:
1. Mutazilah: Memberikan nilai 4 (empat) kepada akal, dan nilai positif (0 +) pada wahyu
2. Maturidiyah Samarkand: Memberikan nilai 3 (tiga) pada akal, dan nilai 1 (satu) pada
wahyu.
3. Maturidiyah Bukhara: Memberikan nilai 2 (dua) pada akal dan 2 (dua) pada wahyu.
4. Sedangkan Asyariyah: Memberikan nilai 1 (satu) pada akal dan nilai 3 (tiga) pada
wahyu.
Menyangkut tentang eksistensi masyarakat terpencil dan mayarakat modern
yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengetahui Islam secara baik, hubungannya
dengan persoalan teologi, menurut Mutazilah pedomannya adalah akal pemimpinnya.
Dalam arti, mereka harus berpedoman pada aturan atau ketentuan yang telah berlaku
dalam kelompoknya. Sedangkan menurut Asyariyah persoalannya diserahkan kepada
kemahakuasaan mutlak Tuhan. Namun secara teologis tidak dibebani kewajiban.
Karena menurut Asyariyah, selama seseorang belum sampai dakwah kepadanya,
maka selama itu pula tidak ada taklif atasnya.

Menurut hemat penulis, mereka tetap harus dihisab menurut ketentuan yang
berlaku dalam kelompoknya, kalau dia seorang beriman (menurut kepercayaannya) dan
beramal saleh maka ia berhak masuk surga. Demikian sebaliknya, kalau dia tidak
beriman dan berpilaku buruk, maka ia harus dimasukkan ke neraka sebagai ganjaran
dari perbuatannya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 62:




(62)
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada
Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (Q.S. 2:62)[44]
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa agama dan kepercayaan apa
saja yang dimiliki seseorang, asalkan ia termasuk orang yang beriman dan beramal
shaleh, maka ia berhak mendapat pahala dari Tuhan dan memperoleh ganjaran atas
pahalanya itu.
III. PENUTUP
Bertitik tolak dari pembahasan tersebut di atas, maka kesimpulan yang dapat
ditarik adalah sebagai berikut:
1. Iman merupakan suatu bentuk urusan hati yang mendorong seseorang untuk
melakukan amaliah-amaliah serta iman merupakan dasar atau pondasi seseorang
untuk dapat dekat dengan Allah. Sebaliknya kufur adalah merupakan sesuatu yang
sangat dimurkai oleh Allah. Kufur juga merupakan ketidak percayaan terhadap Allah
swt. beserta segala Kekuasaan-Nya. Sehingga kufur merupakan suatu bentuk urusan
hati yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
tercela.
2. Akal dan wahyu adalah dua di antara nikmat Tuhan yang khusus diperuntukkan kepada
manusia. Keduanya merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Akal
bersumber dari dalam diri manusia, sedangkan wahyu bersumber dari luar diri manusia.
Kebenaran akal bersifat relatif, sedangkan kebenaran wahyu bersifat absolut.

3. Dalam kedudukannya sebagai alat untuk menghasilkan pengetahuan, pandangan


aliran-aliran teologi dalam Islam mengenai akal dan wahyu dikaitkan dengan
otoritasnya dalam mengatahui keempat masalah pokok yang menjadi landasan polemik
yakni: mengetahui Tuhan; mengetahui baik dan buruk; kewajiban mengetahui
Tuhan/berterima kasih kepada Tuhan; serta kewajiban mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang buruk, terjadi perbedaan dalam bentuk tiga kelompok besar, yaitu
aliran rasionalisme, aliran konservatif, dan poros tengah. Aliran rasionalisme diwakili
oleh Mutazilah, aliran konservatif diwakili oleh Asyariyah, sedangkan poros tengah
diwakili oleh Maturidiyah, yang pada pokoknya memberikan porsi plus dan minus antara
akal dan wahyu.

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Jabbar, al-Qadhi Abi Hasan. al-Mugni , Juz XII. Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-Ammah,
t.th.
Abduh, Muhammad. Risalah al-Tauhid. Qairo: t.p., 1969.
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah. Mesir: Dar al-Fikr, t.th.
Alkendra, Pemikiran kalam. Bandung: Kalam Pena, 2000.
Al-Bahi, Muhammad. al-Fikr al-Islam wa Mujtamaah al-Muasir. Kairo: Dar al-al-Qawaniyah li alTaah wa al-Nasr, t.th.
Al-Bazdawi, Abu Jusr. Kitab Usl al-Din. Mesir: al-Bab al-Halabi, 1963 M./1383 H.
Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977.
Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. III; Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Al-Habsyi, Husin. Kamus al-Kautsar Lengkap Arab Indonesia. Cet. III; Bangil: Yayasan
Pesantren Islam, 1406 H./1986 M.
Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Ujungpandang: Yayasan AHKAM, 1995.
Maluf, Louis. Munjid fi al-Lugah. Bairut: Dar al-Masriq, t.th.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Dalam Islam, Ed. I. Cet. II; Jakarta: UI-Press, 1986.

___________. Islam Rasionalis. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996.


___________. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UIPress, 1986.
Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.
Rasyidi, H.M. dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1988.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: t.p., 2000.
Rusyd, Ibn dan Afrizal M. Perdebatan Ulama Dalam Teologi Islam. Jakarta: Gelora Aksara
Pratama, 2006.
Al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I. Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967.
Al-Taftazany, Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Hammami, 1957.
Yunus,

Mahmud.
Kamus
Arab-Indonesia.
Penterjemah/Penafsiran Alquran, 1973.

Jakarta:

Yayasan

Penyelenggara

Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

1Lihat H.M. Rasyidi dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu (Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 16.
2Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran,
Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1986), h. 79-80.

Sejarah,

Analisa

[3]Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 42.


[4]Ibid., h. 46
[5]Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha
Putra, 1989), h. 182.
[6]Ibn Rusyd dan Afrizal M. Perdebatan Ulama dalam Teologi Islam (Jakarta:
Gelora Aksara Pratama, 2006), h. 42.
[7]Abdul Razak dan Roshihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: tp., 2000), h. 29.
8Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran al-Quran, 1973), h. 275. Lihat juga, Husin alHabsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap Arab Indonesia (Cet. III; Bangil: Yayasan Pesantren
Islam, 1406 H./1986 M.), h. 261.
9Lihat Louis Maluf, Munjid fi al-Lugah (Bairut: Dar al-Masriq, t.th.), h. 520
10Lihat selengkapnya, Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Ed. I
(Cet. II; Jakarta: UI-Press, 1986), h. 5.

11Lihat Muhammad al-Bahi, al-Fikr al-Islam wa Mujtamaah al-Muasir (Kairo:


Dar al-al-Qawaniyah li al-Taah wa al-Nasr, t.th.), h. 359-360.
12Lihat Harun Nasution, Akal, op. cit., h. 1.
13Lihat ibid., h. 13.
14Lihat ibid., h. 15. Bandingkan dengan, Husin al-Habsyi, op. cit., h. 518.
15Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 1005.
16Lihat Harun Nasution, Akal, op. cit., h. 15. Bandingkan dengan, al-Zarqani,
Manahil al-Irfan, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 63.
17Lihat Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Qairo: t.p., 1969), h. 96-97.
[18]Alkendra, Pemikiran Kalam (Bandung: Kalam Pena, 2000), h. 129.
[19]Harun Nasution, Teologi, op. cit., h. 49
20Lihat al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi alHalabi, 1967), h. 45. Lihat juga, al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII
(Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-Ammah, t.th.), h. 416-417.
21Lihat Harun Nasution, Teologi, op. cit., h. 99.
22Lihat ibid.
23Lihat ibid., h. 97.
24Lihat Harun Nasution, Akal, op. cit., h. 78.
25Lihat ibid., h. 77-78.
26Lihat Harun Nasution, Teologi, op. cit., h. 99.
27Lihat al-Syahrastani, op. cit., h. 101.
28Lihat ibid., h. 42. Bandingkan dengan Harun Nasution, Teologi, op. cit., h.
82. Lihat juga, Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Cet. III; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1995), h. 75.
29Lihat Harun Nasution, Teologi, op. cit., h. 82.
30Lihat ibid., h. 100.
31Lihat al-Syahrastani, loc. cit.
[32]Lihat al-Taftazany, Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah (Kairo: Dar alHammami, 1957), h. 109.
[33]Lihat al-Gazali dalam, ibid.
[34]Lihat al-Amidi dalam, ibid.
[35]Lihat selengkapnya, Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Ujungpandang:
Yayasan AHKAM, 1995), h. 20.
[36]Lihat Harun Nasution, Teologi, op. cit., h. 76.

[37]Lihat Harun Nasution, Islam Rasionalis (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h.
115.
[38]Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah (Mesir: Dar
al-Fikr, t.th.), h. 201.
[39]Lihat Abu Jusr al-Bazdawi, Kitab Usl al-Din (Mesir: al-Bab al-Halabi, 1963
M./1383 H.), h. 207.
[40]Lihat Harun Nasution, Teologi, op. cit., h. 87.
[41]Lihat ibid., h. 89-90.
[42]Lihat al-Bazdawy, op. cit., h. 209.
[43]Lihat Harun Nasution, Teologi, op. cit., h. 91.
[44]Departemen Agama RI., op. cit., h. 19.
http://abiavisha.blogspot.com/2013/03/perbandingan-aliran-iman-dan-kufurakal.html

MAKALAH KONSEP AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM

Senin, 26 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Hal yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia diberi
kemampuan oleh Allah untuk berpikir. Akal yang dimiliki manusia digunakan untuk
memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan
menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Quraan yang diturunkan
sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula,
manusia mampu menelaah sejarah islam dari masa ke masa dari masa lampau.
Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tak dapat dipungkiri, bahwa akal mempunyai kedudukan dalam wilayah
agama, yang penting dalam hal ini, menentukan dan menjelaskan batasan-batasan
akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslim berupaya dan
berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan
keyakinan agama secara argumentatif.
Akal
pengetahuan.

dan

wahyu

Akal

digunakan

digunakan

oleh

manusia

manusia

untuk

untuk

bernalar.

membahas
Sedangkan

ilmu
wahyu

digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
manusia. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia
mempunyai suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT yaitu akal.

BAB II
PEMBAHASAN

A.
a.

AKAL
Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-Aql (
), yang dalam bentuk kata benda. Al-Quran hanya membawa bentuk kata
kerjanya aqaluuh ( )dalam 1 ayat, taqiluun ( )24 ayat, naqil ( )1
ayat, yaqiluha ( )1 ayat dan yaqiluun ( )22 ayat, kata-kata itu datang
dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah
peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang
benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam
arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan

memecahkan masalah

(problem-solving

capacity).

Orang

berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk


menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata aqala mengandung arti mengerti,
memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal
adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang
membedakan manusia dari mahluk lain.

b.

Fungsi Akal

1.

Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.

2.

Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.

3.

Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.


Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai
mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan
dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal
yang akan dikerjakan tersebut. Dan Akal adalah jalan untuk memperoleh iman
sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar

pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan
pada Tuhan Yang Maha Esa.

c.

Kekuatan Akal

1.

Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

2.

Mengetahui adanya kehidupan di akhirat.

3.

Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan


dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan
pada perbuatan jahat.

4.

Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.

5.

Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban pula menjauhi perbuatan


jahat untuk kebahagiannya di akhirat.

6.

Membuat hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban


tersebut.

B.
a.

WAHYU
Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab , dan al-wahy adalah kata asli Arab
dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan
ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat.
oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat
kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan
ketika berbentuk maful wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam
Allah yang diberikan kepada Nabi
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa
wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri
disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara

maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga
ataupun lainya.

b.

Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi
informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima
kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang
buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima
manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah
kepada Nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang
yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan
sang pencipta yaitu Allah SWT.

c.

Kekuatan wahyu

1.

Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.

2.

Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.

3.

Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.

4.

Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.

5.

Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.

C.

KEDUDUKAN WAHYU DAN AKAL DALAM ISLAM


Kedudukan antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak
akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat
berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar
wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang

identik dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil
kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum
tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang
diberikan

Allah

namun

kalau

wahyu

hanya

orang-orang

tertentu

yang

mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan akal adalah hadiah


terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan
berartiakal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki
aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang
sehat akan selalu cocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan
Wahyu baik berupa Al-quran dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi
Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang
sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku
umum atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan waktu, baik perintah
itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu
tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip
akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu
itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah
maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-quran dan as-sunnah
turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring
perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah
anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan
keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya
pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu. Seperti pendapat Abu
Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik
lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain,
demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk
lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya
dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang
menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.

Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan
dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi
sumber

pengetahuan

manusia

tentang

Tuhan,

tentang

kewajiban

manusia

berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para
aliran islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antra lain:
1.

Aliran

Mutazilah

sebagai

penganut

pemikiran

kalam

tradisional,

berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep


tersebut.
2.

Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran


kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan
yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.

3.

Sebaliknya aliran Asyariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional


juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal
lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia
berdasarkan wahyu.

4.

Sementara itu aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam


pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada
tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk
hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand
dan Mutazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat
As - Sajdah, surat Al Ghosiyah ayat 17 dan surat Al - Arof

ayat 185. Di samping

itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat
hukum

sebelum

bisah

atau

nabi

diutus,

menjelaskan

bahwa

Mutazilah

berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. dan untuk memperkuat
pendapat mereka dipergunakan dalil al-Quran surat Hud ayat 24.Sementara itu
aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-quran sebagai dalil dalam

rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa ayat-ayat tersebut adalah ayat
15 surat Al Isro , ayat 134 Surat Taha, ayat 164 Surat An Nisa dan ayat 18 surat
Al Mulk.
Dalam

menangani

hal

tersebut

banyak

beberapa

tokoh

dengan

pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal.


Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai
kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah
suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam yang dinilai dogmatis
tersebut,

yang

menyebabkan

kemunduran

umat

islam

karena

kurang

mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu
pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan
memahami agama tersebut.

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kelompok kami bahwa Akal adalah daya pikir untuk
memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman
yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar. Wahyu adalah firman Allah yang
disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan
kepada umat. Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu
adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat
manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu
dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus
berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya
budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan
dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan
wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi

sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya
saling menyempurnakan.

KONSEP PERBANDINGAN AKAL DAN WAHYU


Juni 17th, 2012

The King

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Persoalan akal dan wahyu serta hubungan antara keduanya, sudah lama menjadi bahan diskusi
dalam gelanggang sejarah umat manusia.Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna
diciptakan Allah SWT mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan makhlukmakhluk ciptaan Allah yang lainnya. Bukti otentik dari kebenaran bahwa manusia merupakan
makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lainnya adalah ayat alquran surat At-Tin ayat 4
sebagai berikut:
s)s9 $uZ)n=y{ z`|SM}$# `|mr& 5Oq)s?
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Satu hal yang membuat manusia lebih baik dari makhluk yang lain yaitu manusia mampu
berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah SWT dengan akal sehimgga
dengannya manusia mampu memilih, mempertimbangkan, menentukan jalan pikirannya sendiri.
Dengan akal, manusia mampu memahami alquran sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi
Muhammad SAW. Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang
memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada Sang Kholiq, akal
pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang
menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari Rasulullah SAW. Dari penjelasan tentang
wahyu dan akal tersebut muncul beberapa persoalan yang harus kita ketahui, ialah: sampai
dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban
manusia? Dan juga sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal ini?

Pada makalah ini kami akan menjelaskan tentang analisa dan konsep perbandingan wahyu dan
akal. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang sangat luas dan mendetail.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Pengertian wahyu dan akal
2. Perbandingan akal dan wahyu
3. Fungsi wahyu

1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengertian wahyu dan akal
2. Mengetahui perbandingan akal dan wahyu
3. Mengetahui fungsi wahyu

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi wahyu dan Akal


2.1.1 definisi wahyu
Wahyu adalah isyarat yang cepat, itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan
lambang, dan terkadang melalui suara semata,dan terkadang pula melalui isyarat dengan
sebagian anggota badan.
Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar, dan materi kata itu menunjukan dua pengertian dasar
yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi,
cepat dan khusus yang ditunjukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Secara istilah wahyu didefinisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi.
Definisi ini menggunakan pengertian maful yaitu almuha (yang diwahyukan), Muhammad
Abduh membedakan antara wahyu dengan ilham, ilham itu intuisi yang diyakini jiwa seseorang
sehingga terdorong untuk mengikuti apa apa yang dicintai tanpa mengetahui dari mana
datangnya. Hal seperti itu serupa dengan rasa lapar, haus,sedih dan senang. Dalam penjelasan
lain dijelaskan bahwa wahyu adalah penyampaian sabda Allah kepada orang yang menjadi
pilihannya untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidupnya agar
dalam perjalanan hidupnya senantiasa pada jalur yang benar.
2.1.2 cara turunnya wahyu Allah kepada para Rosul
Turunnya wahyu Allah kepada para Rosul-Nya ada yang melalui perantaran dan ada yang tidak
melalui perantara, berikut adalah penjelasan diturunkannya Wahyu Allah kepada para Rosul-Nya,
1. Tanpa melalui perantara

Pada tahap ini wahyu diturunkan kepada Rosul-Nya melalui beberapa cara, diantaranya:
1. Mimpi yang benar didalam tidur

Dari Aisyah ra, berkata: sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rosulullah SAW adalah
mimpi yang benar diwaktu tidur, Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu dating
bagaikan terangnya diwaktu pagi hari.
Diantara alasan yang menunjukan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi adalah mimpi Nabi
Ibrahim agar menyembelih anaknya Ismail
Mimpi yang benar bagi para Nabi diwaktu tidur itu merupakan bagian pertama dari sekian
macam cara Allah SWT cara Allah berbicara, Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:
tBur tb%x. A|u;9 br& myJk=s3 !$# w) $mur rr& `B !#uur A>$pgo rr& $ *
@ Zwqu zrqs mR*/ $tB !$to 4 mR) ;?t O6ym

51. dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

1. Kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara

Hal ersebut terjadi pada nabi Musa AS. Sebagai mana firman Allah SWT:
Js9ur u!%y` 4yqB $uZFs)J9 myJ=x.ur m/u tA$s% b>u Tr& $
Rr& s9) 4 tA$s% `s9 _1ts? `3s9ur R$# n<) @t6yf9$# b*s
s)tG$# mtR$x6tB t$q|s _1ts? 4 $Jn=s 4?pgrB m/u @t7yf=9
&s#yy_ $y2y yzur 4yqB $Z)| 4 !$Jn=s s-$sr& tA$s% oYys6
M6? s9) O$tRr&ur Arr& tZBsJ9$#
143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan
berfirman: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. tatkala Tuhannya

Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun
jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat
kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.
Menurut pendapat yang paling rajih Allah pun telah berbicara langsung kepada Rosul kita,
Muhammad SAW pada peristiwa Isro dan miroj
1. Melalui perantara Malaikat

Pada tahap ini terdapat dua tahap penyampaian wahyu melalui perantara malaikat kepada Rosul,
ialah:
1.

Cara pertama :datang kepadanya seperti suara dencingan lonceng dan suara
yang sangat kuat yang sangat mempengaruhi factor kesadaran sehingga Ia
dengan segala kekuatannya siap memerima pengaruh itu, dan cara ini
merupakan cara yang paling berat bag Datang kepadanya suara seperti di
Rosul.

Apabila wahyu yang turun kepada Rosulullah dengan cara ini maka Ia mengumpulkan semua
kekuatankesadarannya untuk menerima, menghafal, dan memahaminya.
1. Cara kedua: Malaikat menjelma kepada rosul sebagai seorang laki-laki dalam
bentuk manusia. Cara ini lebih ringan daripada yang sebelumnya. Karena ada
kesesuaian antara pembicara dan pendengar

Kedua cara diatas dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan dari Aisyah R.A bahwa Haris bin
Hisyam R.A bertanya kepada Rosulullah SAW mengenail hal itu dan Nabi menjawab: Kaddangkadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku,
lalu ia pergi dan aku telah menyadarinya apa yang dikatakannya. Dan terkadang Malaikat
menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku dan akupun
memahami apa yang ia katakan.
2.1.2 definisi akal
Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan
manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga
digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi terminologi bisa
bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa
bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.
Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam
kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:

1. Akal instink: Akal manusia di awal penciptaannya, yakni akal ini masih bersifat potensi dalam
berpikir dan berargumen
2. Akal teoritis: Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada
(berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana
perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan
dengan ilmu fiqih dan akhlak).
3. Akal praktis: Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan
ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya .
4. Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima
oleh semua orang karena logis dan nyata.
5. Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk
premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.
6. Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.
Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan akal disini adalah akal yang berfungsi dalam
argumentasi dimana didasarkan atas alasan-alasan yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat
diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti.
2.2 Perbandingan Akal dan Wahyu
Ada yang benar mengharapkan untuk melihat Mutazilah sekarang ini berbicara sebagai wakil
dari teori rasionalis tentang iman pengetahuan, karena Mutazilah tak diragukan lagi
merupakan Islam rasionalis yang paling radikal yang pernah lahir. Namun harapan ini segera
pupus. Perlu kita perhatikan bahwa teori tentang iman bukanlah merupakan landasan bagi
Mutazilah. Mereka memiliki masalah penting.

Ashari sebagai wakil pendapat dari Mutazilah mengenai masalah ini, maka kita akan segera
melihat bahwa perhatian mereka berada pada masalah lain. Semua pendapat memiliki kesamaan
bahwa mereka selalu menegaskan pentingnya perbuatan di dalam iman. Sehingga kita
memperoleh kesan bahwa dalam pikiran mereka iman hampir sepenuhnya diidenfitikasikan.
Penekanan terhadap perbuatan ini menurut pemahaman Mutazilah mengenai iman tidaklah sulit
untuk dijelaskan karena konsep tentang perbuatan memiliki kandungan langsung dan bersifat
sentral terhadap masalah janji dan ancaman al- wad wa al- waid yang merupakan salah satu
dari lima pendirian fundamental mutazilisme.

Sifat rasional iman menurut konsepsi Mutazilah dibuat sangat jelas berdasarkan kesimpulan
yang ditariknya, yakni penolakan iman atas dasar otoritas orang lain. Masalah iman bi al taqlid
atau kepercayaan berdasarkan otoritas dan melalui kabar angin, akan dijadikan sebagai subjek
tersendrii dalam bagian selanjutnya. Untuk sementara ini cukup untuk diketahui bahwa apabila
Mutazilah menolah keabsahan kepercayaan yang naf pada orang-orang awam yang sama sekali
tidak tahu-menahu tentang dialetika dan pemikiran filosofik, hal ini karena bentuk
kepercayaannya tidak berdasarkan pada arumentasi logik. Persoalan ini saja menyebabkan
konsep rasionalis iman sebagai pengetahuan diantara orang-orang Mutazilah menjadi tersebar.
Bahkan wahyu dimata mereka adalah merupakan bentuk pengetahuan yang benar-benar
kehilangan landasan rasional.
Teori rasionalistik jauh lebih konsisten tentang iman diuraikan oleh maturidiyyah, pengikut Abu
Hanifah di Transoxiana. Yang sangat menarik adalah pandangan mereka mengenai masalah
tentang hubungan antar akal dan wahyu dalam kaitannya dengan konsep iman, masalah yang
muncul adalah apabila seseorang mendefinisikan iman dengan pengetahuan, dimana
pengetahuan dipahami sebagai suatu aktivitas akal. Pendirian utama Maturidiyah terletak pada
pertanyaan apakah menyebabkan pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib. Akalkah? Atau
Hukum Ilahi?.
Disini sifat wajib terhadap pengetahuan tentang Tuhan (marifah Allah) dianggap sebagai
kebenaran, marifah dalam konteks ini menjadi sinonim dengan iman.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib bagi
seseorang apabila ia telah mencapai kemampuan untuk berfikir, atau apakah pengetahuan
masyarakatnya untuk memberitahukan semuanya yang perlu diketahui oleh manusia. Pada
umumnya Maturidiyyah memilih alternatif yang pertama, sedangkan Asharyyah memilih
alternatif yang kedua, dan mereka saling bertentangan secara tajam dalam masalah ini.
Posisi Ashariyyah dilukiskan oleh pengarang al- Raqdah al- bahiyyah sebagai berikut:
Berkenaan dengan wajibnya pengetahuan tentang Tuhan, tidak terdapat perselisihan sama sekali
antara dua kelompok tersebut. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Ashari mengatakan: Yang
mewajibkan adalah wahyu atau Hukum ilahi (shar), sedangkan Maturidi mengatakan: karena
akal (aql). Wajibnya tersebut menurut Ashari semata-mata didasarkan pada bukti firman Tuhan.
Tentang hal posisi Ashariyyah terhadap posisi Maturidiyyah bertentangan secara diametrik. Sifat
wajib terhadap pengetahuan tentang tuhan didasarkan akal. Yakni, manusia harus mengetahui
tentang Tuhan dengan akalnya bahkan ketika belum ada wahyu. Jelaslah bahwa akal merupakan
kata kunci paling penting disini. Kita perlu memulainya dengan menjelaskan konsepsi
Maturidiyyah tentang akal. Berikut ini adalah apa yang dikatakan oleh Bayadi teolog
hanbaliyyah Maturidiyah tentang akal.

Satu-satunya teori yang benar tentang akal adalah sebagai berikut. Manusia sejak dini memiliki
potensi untuk mengembangkan akal dan kecendrungan untuk memahami hal-hal yang harus
dipahami secara intelektual. Potensi atau kesiapan ini disebut potensi akal (aql bi-al quwwah)
atau akal bawaan (aql gharizi). Kemudian akal ini berkembang sedikit demi sedikit melalui
aktivitas kreatif Tuhan sehingga mencapai kesempurnaannya. Dengan demikian akal yang
sempurna disebut akal yang diperoleh (aql mustafad).
Sekarang kita berada pada posisi yang lebih baik untuk memahami posisi maturidiyyah
mengenai masalah hubungan dasar antara akal dan wahyu, berkenaan dengan iman sebagaimana
dipahami menurut pengertian pengetahuan. Teks kunci ini diberikan melalui kata-kata Abu
Hanifah sebagaimana disampaikan oleh Abu Yusuf: Sekalipun Tuhan tidak mengirim seorang
utusan pun kepada umat manusia, manusia masih tetap di tuntut untuk memiliki pengetahuan
(marifah) tentang dia melalui akal. Berikut ini merupakan penafsiran terhadap kunci tersebut
oleh Bayadi. Teks asli Abu Hanifah yang dikutif disini oleh Bayadi diberikan kata-kata
penjelasan dalam kurung.
Sekalipun Tuhan belum mengirim umat manusia seorang Utusan pun (yang akan menjelaskan
kepada mereka semuanya yang diwajibkan bagi mereka), manusia masih tetap dituntut untuk
memiliki pengetahuan tentang Dia. (yakni pengetahuan tentang eksistensi-Nya, kemudian setelah
itu pengetahuan tentang keesaan-Nya, pengetahuan-Nya, kekuasaan-Nya, Firman-Nya,
kehendak-Nya dan Dia saja yang telah menciptakan dunia), dengan akal mereka (yakni akal
yang diperoleh sebagaimana dirumuskan diatas yang merupakan tugas yang dibebankan kepada
manusia untuk merenungkan dan memikirkan selama masa sementara tersebut.
Beberapa perkataan penting berdasarkan apa yang ditulis oleh Bayadi dan Abu Udhibah
mengenai teori Maturidiyyah tentang akal adalah:
(1) Akal tidak lain adalah di tangan manusia yang dengannya dapat mengetahui sesuatu yang
harus diketahuinya tentang Tuhan. Akal adalah alat pengetahuan, sehingga untuk tujuan itu tidak
diperlukan Hukum Ilahi.
Perbedaan antara Maturidiyyah dan Mutazilah (semoga Tuhan membinasakan mereka) adalah
bahwa Mutazilah menganggap akal saja sudah cukup diwajibkannya pengetahuan, sedangkan
Maturidiyyah menganggap bahwa akal tidak lain adalah sebagai alat yang dengannya
pengetahuan menjadi wajib, sedangkan yang sesungguhnya menjadikan wajib adalah Tuhan
sendiri. Dengan kata lain. Dia (menjadikan pengetahuan wajib) dengan menggunakan akal
manusia sebagai alat.
Perbedaan maupun keserupaan antara Mutazilah dengan Maturidiyyah diungkap dengan jelas
oleh posisi masing-masing berkenaan dengan masalah apakah anak-anak sebelum dewasa atau

orang-orang yang kepada mereka belum sampai berita kenabian dikenakan tanggungjawab
karena kurangnya pengetahuan dan iman.
Abu Udhbah melihat bahwa perbedaan antara Ashariyah dan Maturidiyyah dalam hal ini jauh
lebih besar dibandingkan antara Maturidiyyah dengan Mutazilah. Ia mengatakan bahwa
sesungguhnya Maturidiyyah dan Mutazilah saling sepakat dalam beberapa persoalan karena
penekanan mereka yang sama tentang akal.
Misalnya ada seseorang yang lahir di pucuk gunung, dibesarkan di sama, sehingga tidak
berkesempatan untuk (mendengarkan tentang utusan sehingga tidak) percaya kepada Tuhan.
Apabila ia mati dalam keadaan tersebut, apakah ia akan dihukum atau tidak (di akhirat) karena ia
tidak percaya?
Inilah jawaban Ashariyyah: tidak, dia tidak akan dihukum karena selama masa hidupnya syarat
mewajibkan untuk percaya kepada Tuhan tidak terdapat, dan syarat tersebut adalah wahyu.
Maturidiyyah, dalam pada itu menegaskan: Ya, ia akan dihukum karena telah terdapat syarat
yang mewajibkan iman, dan syarat tersebut adalah akal. Kita memperoleh jawaban yang sama
mengenai hal ini dari Mutazilah.
Menurut Mutazilah, siapa saja yang memiliki akal maka tidak ada alasan untuk tidak memiliki
pengetahuan yang diperlukan, apakah ia seorang anak kecil atau seorang dewasa. Karena
(akalnya) tersebut mewajibkan kepadanya untuk mencari kebenaran. Sehingga seorang anak
yang memiliki akal mau tidak mau perlu memiliki iman karena ia memiliki akal. Apabila ia mati
tanpa kepercayaan maka ia akan dihukum.
Menurut Maturidiyyah, tidak ada yang mewajibkan kepada anak-anak sebelum ia dewasa, karena
keadaannya berdasarkan sabda Utusan Tuhan: hukuman dihapus karena tiga perkara. Salah satu
diantaranya adalah anak-anak sebelum ia mencapai dewasa. Dengan demikian anak seperti itu
akan diampuni, menurut pandangan Maturidiyah, apabila ia mati tanpa kepercayaan.
(2) Penegasan yang dikemukakan oleh Maturidiyyah tentang akal bagaimamapun tidak harus
diartikan bahwa menurut Maturidiyah hukum ilahi tidak berguna apabila kita telah memiliki
akal.
(3) Pertanyaan yang timbul dari (2) sesungguhnya merupakan perkara yang sangat rumit.
Sehingga secara historic menjadikan perpecahan para pengikut Maturidi ke dalam mazhab
Bukhara dan mazhab Samarqand. Secara keseluruhan, mazhab Samarqand tetap lebih setia
kepada intelektualisme Abu Hanifah.

Bukti teks yang paling penting bagi Ashariyah adalah ayat yang menerangkan bahwa Kami
tidak pernah menghukum sampai Kami mengirimkan seorang Utusan. Ayat ini jelas-jelas
menolak terjadinya hukuman ilahi sebelum datangnya hukum tersebut.
Mereka menegaskan bahwapendapat di atas hanya berlaku bagi Mutazilah tetapi tidak berlaku
bagi Maturidiyyah.
Karena hukuman adhab yang dibicarakan disini merupakan hukuman yang paling berat yakni
istisal. Hal ini dibuktikan oleh ayat yang langsung mengikuti ayat yang baru dikutip: Dan jika
kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Tuhan) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam
negeri itu, maka sudah seantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Menurut ayat ini, ayat yang sebelumnya tidak lain artinya bahwa Tuhan tidak pernah
memberikan hukuman yang sangat berat kepada seluruh masyarakat sebelum Dia memberikan
peringatan kepada orang-orang melalui seorang utusan. Dengan demikian ayat tersebut tidak
menolak kemungkinan bahwa Tuhan mengirimkan hukuman yang lebih ringan terhadap orangorang yang telah mengabaikan untuk memenuhi apa yang telah diwajibkan (yakni oleh akal)
bahkan sebelum diutusnya seorang utusan.
Sehingga kesimpulannya bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dapat diketahui oleh akal
tanpa bantuan hukum ilahi dapat dihukum oleh Tuhan.
Setiap orang yang dikaruniai akal, apabila ia mengamati penciptaan langit dan bumi dan
penciptaan dirinya sendiri dan orang-orang lain, mau tidak mau akan menuju kepada
pengetahuan tentang eksistensi sang pencipta setelah melewati suatu proses pemikiran.
(4) Sebagaimana telah dinyatakan dengan jelas pada pembicaraan terdahulu, yang paling penting
diantara semua kewajiban menurut Maturidisme adalah kewajiban merenungkan dan berfikir
untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Ini adalah asas, sedangkan yang lainnya
hanyalah tergantung kepada pengetahuan tersebut.
(5) Masih ada dua masalah yang lebih kecil untuk disebutkan dalma kontek ini. Yang satu
bersifat sederhana, yakni mengenai sifat atau tingkatan kewajiban untuk mengetahui. Menurut
Bayadi, jenis pengetahuan tentang Tuhan yang berdasarkan pada penggunaan akal yang umum
dan luas, dan yang menyebabkan manusia berfikir dan menggunakan akal diatas tingkatan paling
rendah dari mengikuti dengan membuta terhadap otoritas, adalah merupakan tugas yang
dibebankan kepada setiap muslim. Dengan kata lain, ini merupakan fard ayn, bukan nya fard
kifayah.

Masalah kedua berkenaan dengan cara dimana penggunaan akal menuju kepada pengetahuan.
Bagaimanakah penggunaan akal yang benar untuk menghasilkan pengetahuan yang benar?
Terhadap pertanyaan ini Mutazilah menjawab, melalui generasi (tawlid). Sedangkan jawaban
para filusuf berbeda dengan jawaban tersebut. Mereka mengatakan melalui keharusan logik
(ijab).
Berlawanan dengan jawaban khas tadi, Maturidiyyah menegaskan, terjadinya pengetahuan
setelah suatu proses penggunaan akal yang benar adalah dikarenakan oleh adat yang
dikembangkan secara ilahiyah. Hubungan antara pengetahuan dengan akal pada hakikatnya
merupakan masalah adat yang ditetapkan oleh Tuhan; yang tidak memiliki hubungan logik dan
bukan mrupakan sesuatu dari hasil alamiah.

2.3

Fungsi Wahyu

Pertanyaan tentang apa perlunya wahyu tentu banyak dihadapkan kepada kaum Mutazilah.
Sebagai telah dilihat dalam sistim teologi mereka wahyu tak mempunyai fungsi apa-apa dalam
soal ke empat masalah yang menjadi bahan kontroversi dalam teologi Islam.
Mengenai soal Tuhan, betul kaum Mutazilah berpendsapat bahwa Tuhan tak mempunyai sifat,
tetapi sebagai telah dijelaskan sebelumnya, mereka tetap berpendapat bahwa Tuhan mengetahui,
berkuasa melihat, mendengar dan sebagainya. Hanya apa yang disebut sifat oleh golongan lain,
bagi mereka adalah esensi Tuhan, dan untuk menggambarkan hal itu mereka tetap memakai kata
sifat. Dalam faham mereka, semua sifat Tuhan dapat diketahui. Termasuk dalamnya sifatsifat mendengar dan melihat yang menurut aliran lain dapat diketahui hanya melalui wahyu.
Argument yang dimajukan kaum Mutazilah dalam hal ini ialah: karena Tuhan hidup dan karena
ia hidup dan karena ia suci dari segala kekurangan, maka ia mesti mempunyai pendengaran dan
penglihatan.
Kalau untuk mengetahui Tuhan dan sifat sifat-Nya, wahyu , dalam pendapat Mutazilah, tak
mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu
diperlakukan. Akal betul dapat mengetahui kawajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi
wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan.
Mengenai soal baik dan buruk, kaum Mutazilah, menurut apa yang terkandung dalam
keterangan Al- Syahrastani, berkeyakinan bahwa akal dapat mengetahui segala apa yang baik
dan segala apa yang buruk.

Selanjutnya wahyu bagi kaum Mutazilah mempunyai fungsi member penjelasan tentang
perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Sebagai kata Abd alJabbar, akal tak dapat mengetahui bahwa upah suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang
ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain; demikian pula akal tak mengetahui bahwa
hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk
yang lain. Semua ini dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu Jubbai. Wahyulah yang
menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mutazilah mempunyai
fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan
menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan dengan demikian menyempurnakan
pengetahuan yang telah diperoleh akal. Bahwa wahyu mempunyai fungsi konfirmasi bagi
Mutazilah dikandung dalam keterangan al-Syahrastani.
Fungsi selanjutnya dari wahyu, sebagai disebut al-Syahrastani, ialah mengingatkan manusia akan
kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan. Jadi akal telah tahu pada
Tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap Tuhan, dan wahyu datang untuk mengingatkan
manusia pada kewajiban itu. Akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi melalui jalan yang panjang.
Dari uraian di atas diperoleh kesan bahwa wahyu bagi kaum Mutazilah lebih banyak
mempunyai fungsi konfirmasi dari fungsi informasi.
Bagi kaum Asyariyah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu
mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui
kewaijban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu.
Jelas bahwa dalam pendapat aliran Asyariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali.
Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan bebas
berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam
kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat
kaum Asyariyah. Salah satu fungsi wahyu, kata al-Dawwani, ialah memberi tuntunan kepada
manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang
dari pada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya unyuk
mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang dalam pendapat golongan ke dua, wahyu
perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu
mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asyariah dan fungsi terkecil dalam faham
Mutazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam sesuatu aliran bertambah

besar daya akal dalam aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas
usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan
manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu ditunkan
Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar, dan materi kata itu menunjukan dua pengertian dasar
yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi,
cepat dan khusus yang ditunjukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, sedangkan secara terminologi bisa
bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa
bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.
Perbandingan konsep wahyu dan akal lebih difokuskan kepada pendapat golongan mutazilah,
mathuridiyah,dan asariyah
3.2 Saran

Pembahasan tentang konsep perbandingan tentang wahyu dan akal merupakan pembahasan yang
sangat luas, maka dari itu kami menyarankan untuk membaca dan memahami lebih lanjut bukubuku yang menjelaskan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Al-shabuny. 1985. Al-TIbyan fi Ulum Al quran. Beirut: Alam Al-Kutub.
Al-Syarif Ali ibn Muhammad al-Jurjani.2000. Kitab al-Tarifat. Sankapura: Al-Haramain
DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Bandung
Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Perbandingan Jakarta: Universitas
Indonesia (UI).
Nazar Karim, Muhammad.2004. Dialektika Teologi Islam. Bandung: Nuansa.

Anda mungkin juga menyukai