Anda di halaman 1dari 5

Kelompok 4

1.Sulistiawati

2.Sukirdam

3.Ibnu Khoir

IMAN DAN KUFUR MENURUT ALIRAN ALIRAN ILMU KALAM

1. Khawarij

Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang
berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-
amal juz’un al-iman).

Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka
orang itu kafir.

Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka
orang itu kafir.

Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka
orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, oleh dirampas hartanya. Demikianlah
menurut faham Khawarij.

Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka
dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka
kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir, akrena tidak sesuai
dengan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh
sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan dosa-dosa lainnya
bukan lagi mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang
menurut golongan ini terbatas pada dosa.

` 2. Murji’ah

Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun
soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka
berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena
melakukan dosa besar.Yang di maksud Murjiah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah kafir.meskipun disiksa di neraka ,ia tidak kekal di
dalamnya,bergantung pada dosa yang di lakukannya.kendatipun demikian,masih terbuka
kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa api neraka.ciri
khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai sebagian penting dari iman,disamping
tashdiq (ma,rifah)
3. Mu’tajilah

Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi,


orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya,
tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman
adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif
karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.

Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan
mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.

Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin


tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum
Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati
tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).

4. Asy’ariyah

Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah


memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur.
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal.. Manusia
dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan
dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka
adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan
kaum Jabariyah.

Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung


ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).
Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman,
tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl,
ayat 106.

‫من كفر باهلل من بعد أيمانه األمن أكره و قلبه مطمئن باإليمان‬

Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan


terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap
dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di
luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada
dalam hatinya.

5. Al-Maturidiyah

Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman


adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini
dikemukakan oleh Al- Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu
subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat 14.

Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan


itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa
yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak
mengakui ucapan lidah. Al- Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya,
tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari
ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.
Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah
ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta
kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada
Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati.
Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum
beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat
meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah
tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama
sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun
pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-
Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang
keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun
yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok
ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan
Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari
keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai