Anda di halaman 1dari 4

Hakikat iman

A. PENGERTIAN IMAN
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa
dicampuri keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah
percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan
berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan,
amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan
berkurang karena kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari
pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai
keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga
lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari
pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah
setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin.
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu
indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara
beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu


adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang
yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)

Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama
memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap
keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian
ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang
tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan
saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka
berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria
bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1)   Diyakini dalam hati

2)   Diucapkan dengan lisan          

3)   Diamalkan dengan anggota tubuh.


Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari
adanya rukun Iman yang enam, yaitu:

1)   Iman kepada Alloh

2)   Iman kepada malaikatNya

3)   Iman kepada kitabNya

4)   Iman kepada rosulNya

5)   Iman kepada Qodho dan Qodar

6)   Iman kepada hari akhir

B. HAKEKAT IMAN

Para Ulama membagi hakikat iman dalam 5 tingkatan, yaitu

Iman Al Wasithu, yaitu iman yang dimiliki oleh para malaikat, dimana tingkatan iman ini
tidak pernah berkurang dan tidak pula bertambah
  Iman Al Ma’sum yaitu iman yang dimiliki oleh para Nabi dan Rosul Allah SWT. Dimana
tingkatan iman ini tidak pernah berkurang dan akan selalu bertambah ketika wahyu datang
kepadanya
Iman Al Makbul  yaitu iman yang dimiliki oleh muslim dimana iman tingkatan ini selalu
bertambah jika mengerjakan amal kebaikan dan akan berkurang jika melakukan maksiat
Iman Al Maukuf yaitu iman yang dimiliki oleh ahli bid’ah, yaitu iman yang ditangguhkan
dimana jika berhenti melakukan bid’ah maka iman akan diterima, diantaranya kaum
rafidhoh, atau dukun, sihir, dan yang  sejenisnya
Iman Al Mardud yaitu iman yang ditolak, dimana iman ini yang dimiliki oleh orang-orang
musrik, murtad , munafik dan kafir dan sejenisnya.
Macam-macam Iman
Di dalam kitab tafsir Ruhul Bayan disebutkan bahwa pengertian iman secara hakikat
adalah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 16 :
 “ Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang Telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya Telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik “.
Dari pengertian iman secara syari’at dan hakikat ini, imam Ghazali membagi iman
manusia kepada tiga tingkatan:
Iman Taqlidi ( Imannya orang-orang awam ) yaitu imannya kebanyakan orang yang tidak
berilmu. Mereka beriman karena taklid semata. Sebagai perumpamaan iman tingkat
pertama ini, kalau kamu diberi tahu oleh orang yang sudah kamu uji kebenarannya dan
kamu mengenal dia belum pernah berdusta serta kamu tidak merasa ragu atas ucapannya,
maka hatimu akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya
mendengar saja.
Ini adalah perumpamaan imannya orang-orang awam yang taklid. Mereka beriman
setelah mendengar dari ibu bapak dan guru-guru mereka tentang adanya Allah dan Rasul-
Nya dan kebenaran para Rasul itu beserta apa-apa yang dibawanya. Dan seperti apa yang
mereka dengar itu, mereka menerimanya serta tidak terlintas di hati mereka adanya
kesalahan-kesalahan dari apa yang dikatakan oleh orang tua dan guru-guru mereka,
mereka merasa tenang dengannya, karena mereka berbaik sangka kepada bapak, ibu dan
guru-guru mereka, sebab orang tua tidak mungkin mengajarkan yang salah kepada anak-
anaknya, guru juga tidak mungkin mengajarkan yang salah kepada murid-muridnya. Karena
kita percaya kepada orang tua dan kepada guru, maka kita pun beragama Islam.
Iman yang semacam ini tidak jauh berbeda dengan imannya orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang juga merasa tenang dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu, bapak
dan guru-guru mereka. Bedanya adalah mereka memperoleh ajaran yang salah dari orang
tua dan guru-guru mereka, sedangkan orang-orang Islam mempercayai kebenaran itu bukan
karena melihat kebenaran karena penyaksiannya terhadap Allah, tetapi karena mereka telah
diberikan ajaran yang haq, yang benar.

 Imanu Istidlali ( Imannya orang-orang ahli Ilmu Kalam )


yaitu dimana mereka beriman cukup berdasarkan dalil aqli dan naqli, dan mereka
merasa puas dengan itu. Iman tingkat kedua ini tidak jauh berbeda derajatnya dengan iman
tingkat pertama. Sebagai contoh, apabila ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa
Zaid itu di rumah, kemudian kamu mendengar suaranya, maka bertambahlah keyakinanmu,
karena suara itu menunjukkan adanya Zaid di rumah tersebut. Lalu hatinya menetapkan
bahwa suara orang tersebut adalah suara si Zaid.
Iman pada tingkat ini adalah iman yang bercampur baur dengan dalil dan kesalahan
pun juga mungkin terjadi karena mungkin saja ada yang berusaha menirukan suara tadi,
tetapi yang mendengarkan tadi merasa yakin dengan apa yang telah di dengarnya, karena
ia tidak berprasangka buruk sama sekali dan ia tidak menduga ada maksud penipuan dan
peniruan. Jadi imannya orang-orang ahli ilmu kalam masih terdapat kesalahan dan
kekeliruan padanya.

 Imanut Tahqiqi / Arifi ( Imannya orang-orang ahli makrifat )


Yaitu imannya para ahli makrifat dan Hakikat. Mereka beriman kepada Allah dengan
pembuktian melalui penyaksian kepada Allah. Sebagai perumpamaan: Apabila kamu masuk
ke dalam rumah, maka kamu akan melihat dan menyaksikan Zaid itu dengan pandangan
mata kamu. Inilah makrifat yang sebenarnya dan inilah yang dikatakan iman yang
sebenarnya. Karena mereka beriman dengan pembuktian melalui penyaksian mata hatinya,
maka mustahil mereka terperosok ke jurang kesalahan.
Dari ketiga tingkatan iman ini dapatlah kita ketahui bahwa hanya orang-orang ahli
makrifatlah atau orang-orang ahli hakekatlah yang dikatakan benar-benar telah beriman
kepada Allah. Adapun imannya orang-orang awam dan imannya orang-orang ahli ilmu
kalam adalah beriman secara syari’at, namun secara hakikat mereka belum beriman kepada
Allah, disebabkan karena ketiadaan ilmu dan ketidaktahuan mereka. Jadi hanya dengan
mempelajari tarekatlah kita baru dapat lepas dari syirik khafi (syirik yang tersembunyi) dan
syirik yang jali (syirik yang nyata). firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 22 :
 “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam
lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?
Maka Kecelakaan besarlah bagi mereka yang Telah membatu hatinya untuk mengingat
Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata “.

Anda mungkin juga menyukai