Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH HAKIKAT IMAN, ISLAM DAN IHSAN

Posted on 25 May 2013 | 19 Comments

17 Votes

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-
rukun yang membangunnya.

Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang
tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang
memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang
makna dan hukumnya tersendiri.

Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat
baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan
pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang
berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.

B. Rumusan Masalah

Mengetahui Hakikat Iman, ?

Mengetahui Hakikat Islam ?

Mengetahui Hakikat Ikhsan?


BAB II

PEMBAHASAN

1. Hakikat iman

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan
sedikitpun.[1] Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-
malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman
mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada
cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali
jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari
segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku
keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim
adalah mukmin[2]

Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang
terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam Qur’an
surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-
ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan
kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang
keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah
dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan
sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka
seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara
keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya
Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1) Diyakini dalam hati

2) Diucapkan dengan lisan

3) Diamalkan dengan anggota tubuh.

Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun
Iman yang enam, yaitu:

1) Iman kepada Alloh

2) Iman kepada malaikatNya

3) Iman kepada kitabNya

4) Iman kepada rosulNya

5) Iman kepada Qodho dan Qodar

6) Iman kepada hari akhir


Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang
mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang
sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.

Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka
yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman
kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita
karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.

Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya
Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman:
Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang
yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran
sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).

Unsur keimanan kepada malaikat

Beriman kepada Malaikat mengandung empat unsur, yaitu :

Beriman terhadap keberadaan mereka, wujud mereka benar-benar ada, mereka bukanlah kekuatan
maknawi berupa kekuatan baik yang tersembunyi pada setiap makhluk sebagaimana anggapan
segolongan orang.

Beriman kepada nama-nama mereka yang telah dijelaskan dalam Qur’an dan Sunnah. Adapun mereka
yang tidak dijelaskan namanya kita mengimaninya secara global. Maksudnya kita mengimani bahwa
Alloh telah menciptakan mereka meskipun kita tidak tahu namanya.

Beriman terhadap sifat mereka yang telah dijelaskan. Seperti ciri-ciri malaikat Jibril yang dikisahkan
dalam hadits di atas.

Beriman terhadap tugas-tugas para Malaikat sebagaimana telah dijelaskan. Mereka melaksanakan tugas
itu tanpa rasa capek dan bosan
Unsure keimanan kitab

Pertama, adalah beriman bahwa kitab-kitab itu benar-benar diturunkan dari sisi Allah ta’ala.

Kedua, beriman kepada apa yang telah Allah namakan dari kitab-kitabNya dan mengimani secara global
kitab-kitab yang kita tidak ketahui namanya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” Ayat ini
menunjukkan bahwa terdapat kitab bagi setiap Rasul, akan tetapi kita tidak mengetahui seluruh
namanya.

Ketiga, yaitu membenarkan berita-berita yang benar dari kitab-kitab tersebut sebagaimana pembenaran
kita terhadap berita-berita Al-Qur’an dan juga berita-berita lainnya yang tidak diganti atau dirubah, dari
kitab-kitab terdahulu (sebelum Al-Qur’an).

Keempat, yaitu mengamalkan hukum-hukum yang tidak dihapus (nasakh) serta dengan rela dan pasrah
menerimanya, baik kita ketahui hikmahnya atau tidak. Ketahuilah saudariku, bahwa seluruh kitab yang
ada telah terhapus (mansukh) dengan turunnya Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai muhaimin terhadap kitab-kitab
yang lain itu.” (QS. Al-Maa’idah 5:48). Artinya, Al-Qur’an sebagai ‘hakim’ atas kitab-kitab yang ada
sebelumnya. Maka tidaklah diperbolehkan untuk mengamalkan hukum apapun dari hukum-hukum
terdahulu, kecuali yang sah dan diakui oleh Al-Qur’an.

rosul

1. Mengimani ahwa Allah swt. benar-benar mengutus para nabi dan rasul.
2. Mengimani nama-nama nabi
. Membenarkan berita-berita yang sahih dari para nabi dan rasul.
4. Mengamalkan ajaran (syariat) nabi,

Hari akhir
1. Mengiman Ba'ts (Kebangkitan), yaitu dihidupkannya kembali orang-
orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua. Pada waktu itu
semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak
beralas kaki, bertelanjang dan tidak disunat.
2. Mengimani Hisab (perhitungan) yang dilakukan secara detail
dan Jaza (pembalasan) yang dilakukan dengan seadil-adilnya.
3. Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang
abadi. Surga adalah tempat abadi bagi orang yang beriman, sementara
Neraka adalah tempat yang abadi bagi orang-orang kafir.
Taqdir

Unsur iman kepada takdir


Untuk mewujudkan iman kepada takdir secara sempurna, haruslah dengan
mewujudkan unsur-unsur iman kepada takdir. Unsur-unsur iman kepada takdir terdiri
dari empat hal (Al Qadha’ wal Qadar, hal. 26) :

Pertama, mengimani bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Allah mengetahui
keadaan seluruh makhluk-Nya, dan Dia maha mengetahui peristiwa apa saja yang
telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Allah juga mengetahui apa saja yang
tidak terjadi, dan jikalau hal itu terjadi, Allah mengetahui bagaimana hal itu akan
terjadi.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (QS.
Al Baqarah : 282). Secara rinci, Allah mengabarkan, “Dan di sisi–Nya-lah kunci-
kunci hal yang gaib, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa saja
yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak
diketahui-Nya, tidak pula sebutir biji pun dalam kegelapan bumi (yang tidak
diketahui-Nya), tidak pula ada sesuatu yang basah atau yang kering yag tidak tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al An’am : 59)

Kedua, beriman bahwa Allah telah menulis seluruh takdir segala sesuatu dari awal
hingga hari kiamat di dalam Lauh Mahfuzh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengabarkan, “Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu
tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Ada tiga pencatatan
takdir (Syarh al Arba’in an Nawawiyyah, hal. 57):

– Pertama, catatan takdir yang ada di Lauh Mahfuzh. Dalam Lauh Mahfuzh ini,
tercatat takdir segala sesuatu secara terperinci.

– Kedua, catatan malaikat atas individu tertentu. Setiap janin yang telah berumur
empat bulan di dalam rahim ibunya akan diutuskan seorang malaikat yang bertugas
mencatat rezekinya, amalnya, ajalnya, dan apakah dia termasuk yang bahagia atau
yang celaka. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

– Ketiga, catatan tahunan para malaikat. Setiap malam lailatul qadar, terjadi
pemindahan catatan dari catatan yang ada dalam Lauh Mahfuzh ke catatan para
malaikat mengenai takdir segala sesuatu yang akan terjadi dalam setahun terhitung
sejak malamlailatul qadar. Allah berfirman (yang artinya), “Pada (malam itu)
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. AdDukhan : 4)
Ketiga, mengimani segala yang terjadi di dunia ini adalah berdasarkan kehendak
(masyi-ah) Allah. Semua perbuatan makhluk juga terjadi karena Allah berkehendak
agar terjadi. Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat berkehendak
(menempuh jalan yang lurus itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan
seluruh alam.” (QS. At Takwir : 29)

Keempat, mengimani bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Termasuk perbuatan


hamba, Allah-lah yang menciptakannya. Allah berfirman (yang artinya), “Padahal
Allah-lah yang telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (QS.
AshShaffat : 96)

Manusia diberi pilihan

Manusia melakukan perbuatan-perbuatannya dalam keadaan bebas tanpa paksaan.


Manusia diberi pilihan untuk melakukan kebaikan atau keburukan. Sejak zaman azali,
Allah telah mengetahui apa yang akan diperbuat oleh hamba-Nya, kapan akan
dilakukannya, dimana dia lakukan, dan bagaimana dia melakukannya. Allah telah
mengetahuinya sebelum Allah menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah
memberikan pilihan kepada para hamba antara kebaikan dan keburukan. Dan sebelum
Dia menciptakan hamba–Nya, Dia telah mengetahui apa yang akan dipilih hamba–
Nya apakah kebaikan atau keburukan. Kemudian dengan ilmu-Nya ini, Allah
takdirkan perbuatan hamba tersebut untuk terjadi, yakni Allah tuliskan di catatan
takdir di Lauh Mahfuzh bahwa hamba-Nya tersebut memilih untuk melakukan
perbuatannya itu.

Misalnya, si A pada suatu hari mencuri sandal di masjid. Sejak sebelum terciptanya
alam, Allah telah mengetahui bahwa si A ini akan mencuri sandal di masjid. Si A
pada hakikatnya sebelum melakukan perbuatannya itu diberi pilihan apakah dia akan
mencuri sandal atau tidak mencuri. Kemudian si A memilih untuk mencuri sandal.
Sebelumnya, Allah telah mengetahui bahwa si A ini akan memilih untuk mencuri
sandal. Maka Allah tuliskan dalam catatan takdir bahwa si A akan mencuri sandal
pada waktu sekian di tempat tertentu. Perbuatan mencuri sandal adalah pilihan si A
dan Allah yang menetapkan pilihan si A itu terjadi.

Dengan demikian, manusia pada hakekatnya diberi pilihan untuk melakukan


perbuatan-perbuatan mereka. Manusia secara hakekat adalah pelaku perbuatan-
perbuatannya dan Allah yang menciptakan dia juga perbuatannya.

Dalam masalah ini, ada dua kelompok manusia yang menyimpang. Kelompok
pertama adalah kelompok Qodariyyah, yaitu mereka yang menolak adanya takdir.
Mereka berkeyakinan bahwa Allah tidak pernah menetapkan takdir dan manusia
adalah penentu dirinya sendiri. Konsekuensi dari keyakinan mereka ini adalah bahwa
Allah tidak mengetahui apa yang akan diperbuat hamba-Nya sampai si hamba
melakukan perbuatannya. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah.

Kelompok kedua adalah kelompok Jabariyyah. Kelompok ini berkeyakinan bahwa


manusia tidak memiliki kehendak dan pilihan. Allah yang mengatur apa saja yang
akan diperbuat hamba tanpa si hamba memiliki pilihan untuk menentukan apa yang
akan dia perbuat. Dapat diungkapkan, manusia ibarat wayang yang tidak bisa
melakukan perbuatan apa-apa. Mereka hanya bergerak sesuai arahan dalang yang
menggerakkan mereka. Bila memang demikian, lantas untuk apa Allah menurunkan
perintah dan larangan, mengutus para rasul dan menurunkan kitab jika pada akhirnya
manusia sebenarnya hanya bergerak sesuai arahan takdir yang telah ditentukan untuk
mereka tanpa mereka memiliki pilihan untuk melakukan perbuatan mereka sendiri?

Adapun ahlus sunnah wal jama’ah, mereka bersikap pertengahan. Mereka meyakini
bahwa Allah yang menentukan takdir dan mencatat amalan para hamba di catatan
takdir. Bersama dengan itu para hamba diberi pilihan untuk menentukan perbuatan
mereka sebagaimana telah diterangkan di atas.

Keburukan tidak dialamatkan kepada Allah

Takdir ada yang berupa hal-hal baik dan terkadang berupa hal-hal yang buruk. Kita
wajib meyakini takdir yang baik dan takdir yang buruk. Namun, hal-hal buruk tidak
dialamatkan kepada Allah. Semisal terjadi kejahatan, perbuatan buruk, dan dosa, hal-
hal tersebut sudah ditakdirkan akan terjadi. Namun, kita tidak boleh mengalamatkan
hal-hal buruk tersebut kepada Allah dengan mengatakan misalnya, “Keburukan ini
datangnya dari Allah.” Ini tidak beradab kepada Allah. Allah memang menakdirkan
perbuatan buruk terjadi, namun itu disebabkan oleh makhluk sendiri. Di samping itu,
Allah mengizinkan terjadinya perbuatan buruk untuk terwujudnya hikmah yang lebih
besar.

Hal ini dapat kita perhatikan seperti pada firman Allah, “Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan apa yang telah diperbuat oleh manusia.” (QS. Ar Rum :
41) Kerusakan di bumi adalah hal buruk, namun sebabnya adalah perbuatan manusia.
Maka Allah takdirkan dan izinkan terjadinya keburukan, yaitu kerusakan di muka
bumi. Namun di balik timbulnya kerusakan ini, Allah menghendaki hikmah yang
lebih besar, “Allah mengendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Rum : 41).
Terkadang, setan menggoda manusia agar melakukan perbuatan dosa. Lalu,
dilakukanlah dosa tersebut oleh si hamba. Terjadinya dosa telah ditakdirkan oleh
Allah sebelumnya dan Allah izinkan untuk terjadi. Sejatinya, Allah tidak mencintai
perbuatan dosa tersebut, namun Dia izinkan hal itu terjadi supaya terwujud maslahat
dan hikmah yang besar. Setelah si hamba berbuat dosa, dia menjadi menyesal dan
bertaubat. Taubat hamba ini adalah maslahat besar di balik dosa yang ia kerjakan.

Tidak boleh berpangku tangan

Islam mengajarkan kita untuk semangat dan tidak berpangku tangan serta berpasrah
begitu saja menunggu nasib tanpa berusaha menempuh sebab. Setiap manusia tidak
mengetahui apa yang ditakdirkan untuknya. Untuk itu, dia harus berusaha meraih
yang terbaik untuknya. Suatu hari seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, kenapa kita tidak berpasrah saja pada catatan takdir kita dan tidak usah
beramal?” Rasulullah pun mengajarkan, “Beramallah karena semua orang akan
dimudahkan menuju tujuan penciptaannya. Barangsiapa yang tercatat sebagai
penduduk surga, dia akan dimudahkan mengerjakan amalan penduduk surga. Dan
barangsiapa yang tercatat sebagai penduduk neraka, dia akan dimudahkan
mengerjakan amalan penduduk neraka.” Lantas, beliau membaca firman Allah (yang
artinya), “Barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta
membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga) maka akan Kami mudahkan
baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Adapun orang yang kikir dan
merasa dirinya cukup (tanpa memerlukan pertolongan Allah), serta mendustakan
pahala yang terbaik, akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran
(kesengsaraan).” (QS. Al Lail : 5-10).

Takdir adalah rahasia Allah, yang semua kita kembalikan kepada Allah. Kita tidak
boleh bertanya mengapa dan bagaimana tentang perbuatan Allah. Sehingga
mengimani takdir adalah mengimani kekuasaan Allah. Kewajiban kita adalah beramal
menjalani syari’at, yang akan ditanya oleh Allah kelak di akhirat.

Penulis : Miftah Hadi Syahputra Anfa (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Takdir muallaq secara bahasa artinya sesuatu yang digantungkan. Takdir muallaq yaitu
ketentuan Allah Swt. yang mengikut sertakan peran manusia melalui usaha atau ikhtiarnya.
Manusia diberi peran untuk berusaha, hasil akhirnya akan ditentukan oleh Allah Swt.
Perhatikan firman Allah Swt berikut ini: ‫َّللا ََل يُغَيِ ُر َما بِقَ ْو ٍم َحت َّ ٰى يُغَيِ ُروا َما بِأ َ ْنفُ ِس ِه ْم‬
َ َّ ‫ إِ َّن‬Artinya:
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri …” (QS. Ar-Ra’du:11) Contoh-contoh Takdir
Muallaq: a. Kepandaian Seseorang yang ingin pandai maka harus berusaha meraihnya.
Usaha-usaha tersebut antara lain dengan cara rajin belajar dan disiplin membagi waktu. b.
Kesehatan Seseorang yang ingin sehat maka harus berusaha dengan cara berolah raga
teratur, menjaga kebersihan, menjaga gizi dan pola makan. Jika melakukan usaha-usaha
tersebut maka tubuh akan sehat. c. Kemakmuran Kemakmuran bisa diraih dengan giat
bekerja, kreatif, pantang menyerah, rajin menabung, dan hemat. Agar seseorang menjadi
pandai, sehat, dan hidup makmur maka harus berusaha meraihnya, bukannya pasrah
menunggu nasib. Tidak mungkin seseorang menjadi pandai kalau malas belajar, tidak
mungkin seseorang menjadi sehat kalau tidak pernah olah raga, dan tidak mungkin
seseorang menjadi kaya kalau malas bekerja. Jadi meskipun Allah Swt. telah menentukan
segalanya, manusia tetap harus berusaha mengubah nasibnya. Seseorang yang beriman
kepada qada’ dan qadar akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya ia
pantang berpangku tangan, justru sebaliknya ia akan giat berusaha dan bekerja guna
meraih cita-cita. Allah Swt. telah mengkaruniakan beragam potensi kepada manusia untuk
digunakan sebagai bekal hidup. Setiap manusia dikaruniai akal untuk berfikir, dan organ-
organ tubuh untuk bergerak. Allah Swt. juga menciptakan manusia sebagai makhluk paling
mulia di antara makhluk-makhluk-Nya. Oleh karena itu, semua potensi ini harus digunakan
untuk berusaha dan ikhtiar meraih cita-cita. b) Takdir Mubram. Takdir mubram secara
bahasa artinya sesuatu yang tidak dapat dielakkan atau sudah pasti. Jadi, takdir mubram
adalah ketentuan mutlak dari Allah Swt. yang pasti berlaku dan manusia tidak diberi peran
untuk mewujudkannya. Contoh takdir mubram di antaranya jenis kelamin manusia, ajal,
panjang/pendek usia, api memiliki sifat panas, bumi berbentuk bulat, gaya gravitasi,
kejadian kiamat dan sebagainya.

Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2017/08/pengertian-takdir-muallaq-takdir-


mubram.html
Terima kasih sudah berkunjung.

Anda mungkin juga menyukai