Anda di halaman 1dari 14

cover

“Tanda-tanda orang mu’min menurut alqur’an”

1
DAFTAR ISI

Contents
“Tanda-tanda orang mu’min menurut alqur’an”................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
A. Latar Belakang.......................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
A. Pengertian mu’min.................................................................................................5
B. Sifat Orang Mu’min...............................................................................................6
C. Ciri-Ciri Orang Mu’min.........................................................................................9
BAB III............................................................................................................................13
PENUTUP.......................................................................................................................13
A. Kesimpulan..........................................................................................................13
B. Saran....................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14
Bibliography....................................................................................................................14

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur'an merupakan kitab suci bagi umat Islam yang diturunkan sebagai
petunjuk bagi manusia untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia maupun di
akhirat. Seluruh isi dan kandungan Al-Qur'an meliputi segala hal aspek kehidupan
manusia. Salah satu hal yang sering dibicarakan di dalam Al-Qur'an adalah
masalah keimanan. Karena keimanan merupakan satu hal yang fundamental di
dalam agama Islam, dan juga merupakan landasan utama bagi kehidupan manusia.
Selain itu, pembahasan iman tidak akan lepas dari kata Islam. Iman dan Islam
adalah salah satu ajaran penting bagi agama Islam. Bahkan, telah menjadi garis
besar agama Islam, yang terdiri dari tiga rukun, yaitu Akidah (Rukun Iman),
Syari'ah (Rukun Islam) dan Akhlak (Ihsan).

Dua istilah muslim dan mu’min telah digunakan secara terpisah didalam
Alquran. Sayangnya jarang dari sekian banyak umat yang beragama islam yang
mengerti dan mengetahui akan adanya perbedaan dari dua istilah tersebut. Seperti
seseorang yang merupakan muslim namun belum tentu dia seorang mukmin bisa
karena tidak adanya keyakinan atau keimanan yang teranam didalam hatinya.
Kemudian, pada saat itu para penyembah adalah orang-orang yang beriman, yang
hatinya secara konsisten memperhatikan nama Allah untuk menimbulkan
perasaan takjub yang luar biasa kuat, dan selama hidup mereka didikte oleh pola
pikir kepatuhan yang mendalam. Jadi enkapsulasi ini berarti bahwa penganutnya
adalah individu yang berdedikasi.

Dengan demikian, bagi seorang penyembah perasaan bahwa semuanya


baik-baik saja dengan dunia dan keharmonisan tidak akan didapat selain dengan
menggantungkan hakekat hidup ini kepada Allah. Konsekuensi dari keyakinan
kepada Allah adalah keyakinan pada kurir, buku, dan alam semesta yang besar.
Percaya diri mengandung arti menoleransi sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa,
Seperti Tuhan, Penentu Kepastian, Maha Penyayang, Maha Bersedia,
sebagaimana yang dilakukan terhadap manusia yang merupakan pilihan baginya
dan terekspresikan dalam arahannya.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mu’min ?
2. Bagaimana sifat orang mu’min ?
3. Bagaimana sifat ciri-ciri sifat orang mu’min ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Mu’min.
2. Untuk Mengetahui bagaimana sifat Orang Mu’min.
3. Untuk mengetahui ciri-ciri sifat orang mu’min.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian mu’min
Orang beriman dalam Alquran disebut mukmin. Mukmin ialah orang yang
benar-benar beriman kepada Allah SWT. Mematuhi segala perintah dan menjauhi
seluruh larangan-Nya Itulah mukmin sejati. Dalam hal tersebut mengutip ayat Al
Qur'an surat Al Anfal ayat 2-3 yang mengungkap tanda seorang mukmin.

       


      
      
  

2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang bila disebut nama
Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki
yang Kami berikan kepada mereka.

[594] Maksudnya: orang yang sempurna imannya.

[595] Dimaksud dengan disebut nama Allah Ialah: menyebut sifat-sifat yang mengagungkan
dan memuliakannya.

Kalimat tauhid, sebagai sebuah kalimat agung, harus digunakan untuk


mengagungkan Yang Maha Agung, tentunya harus dibarengi dengan
pengagungan kepada Allah SWT melalui akhlak yang baik. Kalimat Tauhid lebih
bijak digunakan untuk mengagungkan Allah SWT, menghadirkan rasa aman
kepada orang yang mendengarnya, bukan malah sebaliknya, yaitu membuat orang
takut karena ucapan asma Allah yang diucapkan".

Kata Mukmin bila dilihat dari kaca mata linguistik, berasal dari kata iman
yang merupakan bentuk kata benda verbal keempat dari akar kata ‫ أمن‬,yang
bermakna aman, mempercayakan, dan berpaling kepada. Kemudian maknanya
berkembang dan memunculkan makna-makna baru seperti keyakinan yang baik,

5
ketulusan, ketaatan atau kesetiaan. Sedangkan dalam bentuk keempatnya, masdar
(amanah), mempunyai makna ganda, yakni percaya dan menyerahkan keyakinan.
Makna dasar (primer) dari bentuk ini adalah menjaga kesetiaan pada apa yang
telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan keyakinan teguh di dalam hati,
bukan hanya di lidah. Lazimnya, ketika kata ‫ أمن‬dilekatkan dengan partikel bi (‫ ب‬,
(maka maknanya berubah menjadi mengakui atau mengenali. Bisa juga bermakna
percaya, yaitu ketika seseorang merasa aman untuk mempercayakan sesuatu
kepada seseorang.

B. Sifat Orang Mu’min


Tanda dari keimanan itu sendiri adalah melaksanakan syarat-syarat
keimanan tersebut yang diimplementasikan dalam sebuah perbuatan. Sedangkan
menurut syara’, iman adalah membenarkan segala apa yang telah diberitakan atau
disampaikan oleh Rasulullah Saw., dari Allah Swt. Pada tataran ini, maka iman
adalah masalah hati dan perbuatan batin dari hati.

Konsep keimanan yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah
pengakuan terhadap al-Qur'an yang telah diwahyukan kepadanya, baik yang
dibacakan kepadanya maupun tidak. Hal itu sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Rasulullah Saw. sebagai sebuah penafsiran dari ayat-ayat yang ada dalam al-
Qur'an. Seperti halnya jumlah rakaat dalam salat, kadar takaran dari zakat, dan
hukuman-hukuman terhadap kejahatan. Beriman secara global sudah mencukupi
keimanan seseorang. Hanya saja tidak diperbolehkan untuk mengingkari kitab-
kitab yang telah diturunkan sebelum al-Qur'an, baik Taurat, Injil, Zabur maupun
Suhuf Ibrahim dan Suhuf Musa. Sedangkan keimanan terhadap akhirat atau hari
akhir, mengindikasikan keimanan terhadap segala sesuatu yang berkaitan secara
eskatologis seperti beriman kepada hisab, mizan, shirat al-mustaqim, surga,
neraka dan sebagainya.

Konsep keimanan ini diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari- hari


dengan meyakini sesuatu yang ghaib sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi
Muhammad Saw., dan melaksanakan salat dan segala perbuatan yang disyariatkan
baik yang wajib maupun yang sunnah, menafkahkan sebagian rezeki yang telah
dianugerahkan oleh Allah Swt. dan membelanjakannya untuk hal-hal yang wajib

6
dan sunnah, beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
dan kitab-kitab lainnya yang diturunkan kepada para nabi sebelumnya, dan
meyakini secara tegas terhadap persoalan-persoalan eskatologis sebagaimana yang
telah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. pula. Apa yang telah dipaparkan
oleh KH. Zaini Mun’im seputar pengertian keimanan di atas secara filosofis
mendasarkan pandangannya pada keterangan al-Qur'an dalam Surat al-Baqarah
yang berbunyi:

Konsep keimanan kepada yang ghaib adalah poin dan sifat pertama yang
harus dilakukan dan dimiliki oleh orang yang beriman. beriman kepada yang
ghaib memiliki pengertian mengakui dan membenarkan segala sesuatu yang telah
dibawa dan disampaikan oleh Rasulullah Saw. dari Allah SWT. , baik melalui al-
Qur'an, sunnah, hadis mutawatir atau Hadith yang sahih. Alam ghaib ini meliputi
wujud atau dhat Allah Swt., wujud malaikat dan eksistensi kiamat, serta segala
sesuatu yang tidak terlihat dan hanya diketahui dengan dalil-dalil Qur'ani atau
pembuktian yang rasional.

keghaiban ini juga meliputi kisah-kisah umat terdahulu, syariat, hikmah,


dan hukum Tuhan yang memiliki orientasi kemaslahan umat. Untuk
mengetahuinya hanya dapat diteropong melalui dunia ghaib dan pengamatan yang
mendalam dengan olah data dan menelusuri sejarah umat-umat terdahulu.35
Dengan begitu, maka segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan indra
manusia, baik di dunia maupun di akhirat adalah sesuatu yang ghaib dan harus
diyakini selagi terdapat dalil-dalil Qur'ani dan Hadith Nabawi atau dapat
dibenarkan dengan rasio manusia. Kenyataan ini sejalan dengan pandangan
Quraish Shihab yang menyatakan bahwa banyak hal ghaib bagi manusia dan
beragam pula tingkat keghaibannya. Sedangkan hal ghaib yang dimaksudkan
dalam ayat di atas adalah yang diinformasikan oleh al-Qur'an dan Hadis.
Selanjutnya dari dua sumber ajaran Islam itu diketahui bahwa ada yang ghaib
mutlak yang tidak dapat terungkap sama sekali dan ada yang relatif
pengungkapannya.

Sifat kedua bagi orang Mukmin adalah senantiasa melaksanakan salat,


sebuah ritual peribadahan yang telah disyariatkan oleh Allah Swt. untuk nabi

7
Muhammad SAW dan umatnya. Dalam ibadah tersebut, fardu-fardu dan sunnah-
sunnahnya telah digariskan, dan tidak ketinggalan pula dengan rukun- rukun,
syarat-syarat, adab dan tata caranya sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Rasulullah Saw.38 Sedangkan orang yang bermalas-malasan untuk melaksanakan
salat dan telah dikuasai oleh kesenangan duniawi, atau dengan kata lain hanya
mengakui sesuatu yang bersifat kenikmatan semu sehingga mereka menjadi budak
dan hamba hawa nafsu mereka, maka mereka tidak akan mendapatkan keimanan
yang sempurna dan tidak termasuk orang yang beriman.

Menafkahkan sebagian rezeki yang telah dianugerahi oleh Allah Swt. dan
membelanjakannya untuk hal-hal yang wajib dan sunnah adalah sifat orang
mukmin yang ketiga. Apabila seseorang lebih menyukai harta kekayaan akan
tetapi tidak menafkahkannya, maka mereka adalah orang yang tuli dan buta yang
tidak mendengar dan melihat keutamaan dan kemuliaan al-Qur'an. Barangsiapa
yang tamak dengan kekayaan duniawi dan tidak memiliki kepedulian terhadap
nilai-nilai kemanusiaan dengan menafkahkan sebagian hartanya, maka dia tidak
ubahnya dengan para kapitalis korup yang telah mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan dan mengadu-domba bangsa untuk mendapatkan keuntungan besar.

Sifat keempat adalah beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. dan kitab-kitab lainnya yang diturunkan kepada para nabi
sebelumnya. Sebaliknya, fanatisme golongan adalah hanya mengakui sebuah kitab
yang telah diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan tidak mengakui kitab-kitab
yang telah diturunkan kepada para nabi sebelumnya. Fanatisme ini bukanlah
sebuah fanatisme terhadap kebenaran tetapi fanatisme golongan yang penuh
dengan arogansi dan sikap egois.

Sedangkan sifat yang terakhir adalah meyakini konsep eskatologis atau


segala sesuatu yang bersifat ukhrawi. Kehidupan ukhrawi ini meliputi hisab,
mizan, pemberian kitab, sirat al- mustaqim, surga, neraka, siksa, pahala, syafaat,
keabadian di surga bagi orang- orang mukmin dan di neraka bagi orang-orang
kafir yang tidak meyakini kehidupan akhirat.

8
Apabila seseorang telah menerapkan lima dasar keimanan di atas dalam
setiap sendi kehidupannya, maka dia orang mukmin yang telah mendapatkan
hidayah dan seruan al-Qur'an. Mereka ini adalah orang yang selalu mendapatkan
hidayah rabbani dan berupaya mendalami keimanannya serta melakukan
perbuatan-perbuatan saleh ketika di dunia sehingga menjadi orang yang benar-
benar beruntung di akhirat kelak, baik selamat dari siksa api neraka atau abadi di
dalam surga.

C. Ciri-Ciri Orang Mu’min


Ciri pertama, wajilat quluu buhum, dalam ayat di atas (surah al-anfal ayat
2-3) dapat dipahami dalam dua hal. Pertama, bergetar hati ketika disebut asma
Allah karena cintanya kepada Allah, sehingga getaran ini mendorongnya untuk
ingin cepat bertemu dengan Allah sebagaimana layaknya sesorang kekasih yang
sudah lama berpisah dengan kekasihnya. Ketika disebut nama kekasihnya itu
hatinya bergetar ingin bertemu dengan Allah Yang Maha Kasih. Sebab, memang
manusia telah ada di alam ruh bersaksi dengan Allah sebagai Rabb: alastu
birabbiku qaaluu balaa syahidna (apakah kalian mengakui saya sebagai Tuhan
kalian, betul kami bersaksi).Tentu kaum muslimin pernah jatuh cinta dan pernah
juga berpisah dengan yang dicintai, kemudian ketika namanya disebut pasti
bergetar hatinya, itu baru kita cinta dengan sesama. Demikian juga cinta kepada
Allah, kalau kita memang cinta kepada-Nya.

Kedua, bergetar hati karena takut kepada Allah. Sebab sudah sekian lama
kita berpisah dari Allah, ingat telah banyak kesalahan dan hal-hal yang tidak
disukai kekasihnya (Allah), maka timbul rasa takut dalam hatinya kalau-kalau
Allah menolak perjumpaan-Nya nanti di akhirat. Itulah yang membuat kita takut
akan kesalahan dan dosa kita, sehingga ketakutan ini mendorong kita untuk
memperbaiki diri dengan kembali kepada Allah yang dicintainya dengan bertaubat
(taba-yatubu-taubatan, kembali). Dan Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat (innallaha yuhibbut-tauwabin).

Kedua bentuk getaran ini mendorong kita sebagai orang mukmin semakin
memperbaiki diri sesuai dengan yang dikehendaki dan dimaui oleh yang kita

9
cintai, yaitu Allah SWT. Sudah demikiankah getaran hati kita ketika disebuh asma
Allah, tentu kaum muslimin yang bisa jawab.

Ciri kedua, zaa dathum iimaana. Ada dua bentuk ayat Allah, yaitu
ayat qauliyah (al-Qur’an al-Karim, yang tertulis) dan ayat qauniyah (alam
sementa ciptaan Allah, dan bahkan diri kita sendiri). Semua ini adalah ayat-ayat
yang menunjukkan Keagungan, Kemuliaan dan Kebesaran Allah. Kita harus baca
untuk menambah keimanan kita.

Bagi kita yang awam tentu membaca ayat-ayat Allah dengan mengerti
pesannya, memahami maknanya dan mengamalkan isinya. Bagi para akademisi-
ilmuan, membaca al-Qur’an selain dengan cara orang awam tentu dilanjutkan
dengan melakukan riset untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berfanfaat bagi manusia dan kehidupan semesta.

Ciri ketiga, tawakal. Sebagai orang beriman kita yakin bahwa kita lahir ke
dunia ini bukan atas kehendak dan kemauan kita, tetapi adalah atas takdir Allah
SWT untuk misi sebagai Hamba dan Khalifah Allah. Kedua misi ini harus kita
jalankan dengan beribadah/beramal/berusaha/bekerja sebaik mungkin dengan niat
ikhlas karena Allah. Sebab, tanpa niat ikhlas semua akan sia-sia. Dalam
bekerja/beramal tentu ada yang berhasil dan ada yang belum berhasil. Ketika
berhasil kita harus bersyukur dan ketika belum berhasil kita harus sabar dan
optimis-jangan putus asa, sebab putus asa adalah karakter iblis/setan.

Dalam berusaha/bekerja kita harus berikhtiar yaitu memilih jalan dan cara-
cara yang terbaik sesuai dengan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan. Kemudian
dilanjutkan dengan berdoa, memohon kepada Allah agar ikhtiar kita disampaikan
oleh Allah sesuai dengan harapan dan tujuan yang diinginkan.

Setelah itu dilanjutkan dengan tawakal, yaitu


mewakilkan/menitipkan/menyandarkan ikhtiar kepada Allah agar apa-apa yang
kita sudah ikhtiarkan kiranya Allah berkenan mengabulkannya. Apa pun hasil dari
ikhtiar kita, itulah yang terbaik menurut Allah bagi kita. Mungkin saja hasilnya
belum baik menurut kita, itulah esensi tawakal. Janji Allah bagi hamba-Nya yang
tawakal adalah akan dicukupkan keperluan atau kebutuhannya (QS al-Thalaq: 3).

10
         
           
  

3. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Secara vertical, esensi shalat adalah untuk mengingat Allah (inna shalata
li zikri) dan secara horizontal shalat harus menjadi motor dan benteng untuk
mencegah dari perbutan keji dan munkar (inna shalata tanha `anil fakhsa-ii wal
munkar). Shalat juga sebagai media komunikasi dengan Allah, karena itu kita
harus mengerti dan paham tentang apa yang kita baca, jangan kita shalat seperti
orang mabuk, yaitu mereka yang tidak tahu apa makna yang diucapkannya dalam
shalat sebagaimanana firman Allah, “Hai orang yang beriman! Janganlah kamu
mendekati ashalah dan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu baca atau katakan”.

Untuk dapat shalat menjadi shalat sebagai benteng dalam hidup kita. maka
kita harus kusyuk dalam shalat dan nilai-nilai yang ada dalam shalat harus
menginternalisasi dalam jiwa kita serta tampak pada perilaku nyata kita. Sebagai
contoh shalat mengajari kita hidup bersih, teratur, disiplin, dan taat aturan, maka
di luar shalat kita juga harus menjadi manusia yang bersih, disiplin dan taat
aturan. Karena itu mari kita terus menerus mendirikan shalat kita dengan
menjawantahkan di luar shalat.

Semua rezki yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita adalah milik Allah.
Kita hanya diberi amanah atau titipan menggunakannya. Karena itu kita harus
mendapatkan rezki itu dengan cara yang benar sesuai dengan hukum syariat dan
menggunakannya juga demikian. Dalam rezki yang kita usahakan itu ada hak
Allah dan orang lain yang wajib kita keluarkan melalui zakat, infaq, dan
shadakah. Bahkan al-Qur’an mengakan kita belum akan dikatakan berbuat baik
secara sempurna kalau rezki yang kita infakkan itu tidak dari yang terbaik yang
kita miliki, sebagaimana firman Allah: “Kamu sekali-kali tidak akan disebut

11
berbuat kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya” (QS Ali Imran: 92).

        


       

92. kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Rezki kita yang sesungguhnya adalah apa yang kita zakatkan, infakkan
dan sedekahkan di jalan Allah dan itulah amalan yang akan kita bawa menghadap
Allah nanti. Karena itu jangan menumpuk-numpuk dan kikir terhadap harta.
Sebab semua nikmat yang kita usahakan akan ditanya tentang mendapatkan dan
menggunakannya di akhirat nanti

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian iman adalah “Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan
lisan dan mengamalkan dengan anggota badan”. Allah telah menciptakan manusia
sama, segi keimanan manusia tergantung manusianya sendiri. Ada manusia yang
mengimanai Allah SWT dan semua firman-firmannya, dan ada pula yang
setengah-setengah dan khufur dan ingkar atas semua kebenaran. Orang berimana
sudah tentu orang yang masuk ke golongan mu’min, namun tidak semua orang
islam masuk ke golongan mu’min.

B. Saran
Sebagai umat islam kita harus memiliki keimanan secara totalitas; dengan
hati, lisan, dan perbuatan. Artinya kepercayaan dan keyakinan kepada Allah Swt
harus dibarengi dengan perbuatanperbuatan yang baik (amal shalih) dalam setiap
kesempatan dan dimanapun berada. Karena orang hidup di dunia hakikatnya
hanya etape (tempat singgah sementara) untuk menjalankan pengabdian diri
sebagai bekal yang baik. Bekal tersebut menuju kampung akhirat, sehingga tidak
ada alasan untuk tidak melakukan hal-hal yang baik (Islam), baik itu kepada diri
sendiri maupun kepada orang lain secara ikhlas dan kepatuhan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bibliography
Mun’im, A. R. (2013). KONSEP MUKMIN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN BI
AL-IMLA’ KARYA KH. ZAINI MUN’IM. JURNAL AL-FIKR, 18-31.

Shofaussamawati. (2016). IMAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL. Riwayah: Jurnal


Studi Hadis, 2(2), 211-224.

14

Anda mungkin juga menyukai