Anda di halaman 1dari 9

Ketidaksetaraannya Keadilan di Indonesia

A. Pendahuluan dan Latar Belakang Masalah


Keadilan Sosial termasuk kedalam salah satu sila dasar negara kita yaitu
Pancasila. Namun dalam nyatanya, belakangan ini pada prakteknya masih belum
terwujud. Ketidakadilan terjadi di berbagai wilayah dan di berbagai kesempatan di
Indonesia. Menurut Aristoteles, dengan adanya hukum di suatu negara dan jalannya
pemerintahan dijamin oleh hukum, maka diharapkan bahwa keadilan akan lebih dapat
diraih. Semua warga negara tentunya menginginkan keadilan yang merata (tanpa
pandang bulu). Artinya, tidak peduli dia adalah orang kaya (menengah ke atas), pejabat,
maupun orang miskin (menengah ke bawah), kasta (kelas) tidak menjadi penghalang
untuk mendapatkan keadilan melalui jalur hukum. Hukum tidak dapat dibeli dengan uang
atau jabatan. Adanya hukum untuk meraih keadilan yang merata.
Faktanya, di negara Indonesia masih banyak masyarakat menengah ke bawah
yang mengalami ketidakadilan hukum dengan alasan yang tidak logis. Sedangkan
masyarakat menengah ke atas yang terjerat kasus hukum sangat mudah “mendapatkan”
keadilan itu, dikarenakan mereka dapat “membeli” hukum dengan uang (seolah-olah
uanglah yang berkuasa atas hukum). Dari sinilah terbentuk istilah “Hukum: Tumpul ke
atas, Tajam ke bawah”, pada akhirnya yang tidak bersalah di hukum, dan yang bersalah
justru bebas merdeka berkeliaran melakukan kejahatan, karena memiliki “uang banyak”
untuk membeli hukum. Untuk itu penulis ingin menjelaskan ketidakadilan yang ada di
Indonesia sekarang. Tugas Akhir dengan judul “Ketidaksetaraannya Keadilan di
Indonesia” ini membahas tentang Penyelewangan meliputi bidang hukum.
TEORI
A. Pengertian Keadilan Sosial
Keadilan berasal dari kata “adil”, yang berarti tidak berat sebelah. Dan keadilan
sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik
materi maupun spiritual. Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang
berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang
berbeda yaitu (1) Secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya
justness); (2) Sebagai tindakan yang berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan
untuk menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature); dan (3)
Orang, artinya pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu
perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).
Sedangkan menurut Prof. Notonagoro (1971: 162), adil ialah dipenuhinya segala
sesuatu yang merupakan hak di dalam hidup bersama sebagai sifat penghubung antara
satu dengan yang lain, yang mengakibatkan terpenuhinya tiap-tiap hak di dalam
hubungan antara yang satu dengan yang lain, dan disebut sebagai suatu kewajiban. Adil
pada hakikatnya mempunyai makna adanya pemenuhan wajib yang merupakan hak
dalam hidup manusia; lebih mengutamakan wajib daripada hak; dan pemenuhan wajib
dan hak itu sendiri meliputi: (1) hubungan negara dengan warga negara yang selanjutnya
disebut keadilan distributif, (2) hubungan warga negara dengan negara yang disebut
keadilan legal, dan (3) hubungan antar sesama warga Negara dan disebut keadilan
komutatif.
Kata “sosial” dalam sila kelima dari Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”, yakni memiliki dua pengertian. Pertama, mengarah ke dimensi
keadilan sosial dalam kehidupan nasional. Keadilan sosial harus melibatkan seluruh
rakyat Indonesia dan harus diterapkan dalam setiap bidang kehidupan. Yang berarti
bahwa keadilan sosial yaitu tidak hanya menjadi milik satu kelompok tetapi milik seluruh
masyarakat Indonesia. Dan yang kedua, mengacu pada kata “masyarakat”, yang mana
dapat menjadi “subjek” dan “objek” keadilan. Jadi, keadilan sosial ialah usaha yang
dilakukan demi terciptanya kesejahteraan nasional dan rasa keadilan sosial tersebut
mewajibkan masyarakat dan pemerintah untuk memberikan barang dan jasa secara adil
kepada masyarakat untuk mencapai derajat yang sah dalam pembangunan manusia.
Pemikiran filosofis Sukarno mengenai konsep keadilan sosial yaitu terinspirasi
oleh konsep Jawa Ratu Adil (The Lord Hanya), seorang penguasa Jawa mesianis yang
membebaskan orang-orang dari segala macam penindasan. Sukarno memberikan
pengertian keadilan sosial dalam sebuah perkataannya yang berbunyi “Keadilan sosial
ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat
semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan”. Jelas
sekali bahwa Sukarno sangat memprioritaskan nilai keadilan dan menjunjung tinggi nilai
hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Dari hasil refleksi
Sukarno tentang masa gelap sejarah bangsa Indonesia yang kemudian melahirkan
gagasan tentang definisi keadilan sosial ini. Penjajahan Belanda dan Jepang telah
mengakibatkan penderitaan, penindasan, penghinaan dan penghisapan bagi bangsa
Indonesia. Pernyataan Sukarno tersebut, telah membuktikan bahwa ia mencanangkan
keadilan sosial sebagai warisan dan etika bangsa Indonesia yang harus diraih.
B. Tujuan Luhur Sila Kelima Pancasila
Di dalam sila kelima Pancasila terkandung tujuan luhur yang juga merupakan
tujuan bangsa Indonesia dalam hidup bersama. Secara tampak maupun tidak, sila kelima
ini mengandung tujuan luhur yaitu tercapainya atau terciptanya masyarakat Indonesia
yang adil, makmur dan sejahtera baik secara jasmani maupun rohani sesuai bunyi alinea
kedua UUD 1945. Yang mana kesejahteraan rakyat secara jasmani yaitu terjaminnya
sandang, pangan, papan, dan rasa aman di lingkungan masyarakat. Dan kesejahteraan
rakyat secara rohani yaitu adanya keadilan dan kebebasan dalam memeluk agama dan
kepercayaan oleh seluruh elemen masyarakat yang tinggal di negara Indonesia.
Sedangkan tujuan luhur yang lain dari sila keadilan sosial yaitu tidak adanya kemiskinan
di dalam negara Indonesia merdeka dan rakyat hidup dalam kesejahteraan (welfare state);
adanya kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia baik itu dalam arti yang
dinamis maupun meningkat; serta seluruh kekayaan alam Nusantara dan sebagainya
untuk dipergunakan bagi kebahagiaan bersama berdasarkan potensinya masing-masing.
PEMBAHASAN
A. Kasus Ketidakadilan Yang Berkaitan Dengan Sila Kelima
Menurut Aristoteles, pemerintahan dengan supremasi hukum adalah ideal karena
keadilan lebih dapat diraih. Saya pribadi setuju dengan pandangan Aristoteles ini, karena
benar adanya bahwa keadilan akan lebih dapat diraih, serta warga negaranya tidak akan
ada yang bertindak seenaknya. Sebenarnya sistem pemerintahan hukum (polity) ini sudah
diterapkan di Indonesia, namun bagi saya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Melihat
kasus yang terjadi di Indonesia dewasa ini, banyak kasus-kasus berkaitan dengan hukum
yang makin marak terjadi.
Yang lebih menyedihkan lagi, ketika masyarakat menengah ke bawahlah yang
menjadi sasaran ketidakadilan hukum ini. Kasus hukum ini sudah melanggar sila kelima,
yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Saya bertanya dalam hati,
“mana wujud nyata dari sila kelima ini?” sedangkan faktanya masih ada yang mengalami
ketidakadilan di negara ini. Keadilan itu sendiri seolah menjadi “hal tabu”, yang tidak
akan bisa diraih jika manusia-manusianya sendiri berlaku culas, tidak bersikap adil pada
sesamanya, mementingkan egoisme dan mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.
Contoh kasus yang tidak asing kita dengar dan paling sering terjadi adalah kasus
korupsi. Jika di luar negeri, kasus korupsi ditangani dengan cepat dan setimpal dengan
perbuatannya. Berbeda dengan kasus di Indonesia yang penangannya sangat lama untuk
diproses. Di sisi lain ada seorang nenek yang mencuri pisang karena kelaparan, dan
malangnya ia langsung dijatuhi hukuman.
Pernahkah terpikir dalam benak orang yang menjatuhkan hukuman, jika anggota
keluarganya ada yang mengalami ketidakadilan hukum? apalagi dalam keadaan
menengah ke bawah?. Saya saja yang bukan keluarga dari nenek yang mencuri pisang
merasa miris dan tidak tega melihat keadaan yang sebenarnya. Di usia yang sudah renta
ia hanya berusaha mencari makan dan mungkin caranya yang salah, namun bukan berarti
harus di hukum dengan berat karena hal sepele. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan
dengan kepala dingin tanpa harus merugikan pihak lain.
Bagi saya, hati nurani sangat amat berperan penting dalam kasus-kasus yang
menyangkut hukum. Orang yang menggunakan hati nuraninya tidak akan tega membawa
kasus di atas ke jalur hukum. Ia malah akan merasa iba, dan tidak tega melihat kondisi si
nenek yang sebenarnya. Lain halnya dengan orang yang tidak menggunakan hati
nuraninya dengan baik, dengan mudahnya ia membawa kasus di atas ke jalur hukum
tanpa memikirkan dahulu kondisi yang sebenarnya terjadi. Hal ini juga bisa terjadi pada
hakim yang menjatuhkan vonis/hukuman, jika ia tidak menggunakan hati nuraninya
maka dengan mudah ia menjatuhkan hukuman yang tidak adil, apalagi jika motivasi
utamanya karena “diberi uang”.
Banyak contoh-contoh kasus ketidakadilan hukum di negara ini, yang membuat
hati serasa teriris, miris, dan prihatin. Menurut saya, sistem pemerintahan Polity menurut
pandangan Aristoteles sangat cocok untuk tetap diterapkan di Indonesia demi mencapai
keadilan bagi seluruh warga negara, dan bagi saya sistem hukum di Indonesia perlu
ditingkatkan lagi, perlu dipertegas, dan yang paling penting tidak membuat hukum itu
menjadi “Tumpul ke atas, namun Tajam ke bawah” supaya keadilan dapat dirasakan oleh
seluruh lapisan masyarakat.
B. Kesenjangan Hukum Di Indonesia
Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum
yang tidak memihak telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 dimana semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Untuk menerapkan
Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang
dijalankan oleh negara hukum. Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari
masyarakat maupun dari negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang
berbunyi : “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh
rakyat indonesia berhak mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah
itu pejabat, rakyat kecil, orang kaya atau miskin.
Banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi. Salah satu contohnya adalah
kisah yang dialami Nenek Saulina pada 29 Januari tahun lalu, seorang nenek bernama
Saulina Boru Sitorus (92) divonis hukuman 1 bulan 14 hari oleh hakim di Pengadilan
Negeri Balige, Toba Samosir.
Perempuan yang akrab disapa Opung Linda itu menebang pohon durian berdiameter
5 inchi milik kerabatnya, Japaya Sitorus (70), karena ingin membangun makam untuk
leluhurnya. Namun, keputusan hakim itu dipertanyakan karena saksi yang dihadirkan
adalah anak dan istri pelapor sendiri.
Padahal, masyarakat yang ada di sekitar lokasi tidak pernah melihat Japaya menanam
pohon durian yang diperkarakan. Ia mengaku sudah pernah meminta maaf kepada
Japaya, namun yang bersangkutan meminta uang ganti rugi senilai ratusan juta Rupiah
sebagai bentuk damai. Saulina pun tidak mampu memenuhi permintaan tersebut hingga
akhirnya dilaporkan ke polisi. Tak sendiri, enam anak Saulina juga turut ditahan yang
masing-masing dipenjara selama 4 bulan 10 hari dipotong masa tahanan.

KESIMPULAN
Keadilan berasal dari kata “adil”, yang berarti tidak berat sebelah. Dan keadilan sosial
berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materi
maupun spiritual.
Sedangkan menurut Prof. Notonagoro (1971: 162), adil ialah dipenuhinya segala sesuatu
yang merupakan hak di dalam hidup bersama sebagai sifat penghubung antara satu dengan
yang lain, yang mengakibatkan terpenuhinya tiap-tiap hak di dalam hubungan antara yang
satu dengan yang lain, dan disebut sebagai suatu kewajiban. Adil pada hakikatnya
mempunyai makna adanya pemenuhan wajib yang merupakan hak dalam hidup manusia.
Kata “sosial” dalam sila kelima dari Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, yakni memiliki dua pengertian. Pertama, mengarah ke dimensi keadilan sosial
dalam kehidupan nasional. Keadilan sosial harus melibatkan seluruh rakyat Indonesia dan
harus diterapkan dalam setiap bidang kehidupan.
Di dalam sila kelima Pancasila terkandung tujuan luhur yang juga merupakan tujuan
bangsa Indonesia dalam hidup bersama. Secara tampak maupun tidak, sila kelima ini
mengandung tujuan luhur yaitu tercapainya atau terciptanya masyarakat Indonesia yang adil,
makmur dan sejahtera baik secara jasmani maupun rohani sesuai bunyi alinea kedua UUD
1945.
Ketidakadilan bisa dilihat dari kasus yang tidak asing kita dengar dan paling sering
terjadi adalah kasus korupsi. Jika di luar negeri, kasus korupsi ditangani dengan cepat dan
setimpal dengan perbuatannya. Berbeda dengan kasus di Indonesia yang penangannya
sangat lama untuk diproses. Di sisi lain ada seorang nenek yang mencuri pisang karena
kelaparan, dan malangnya ia langsung dijatuhi hukuman.
Banyak contoh-contoh kasus ketidakadilan hukum di negara ini, yang membuat hati
serasa teriris, miris, dan prihatin. Menurut saya, sistem pemerintahan Polity menurut
pandangan Aristoteles sangat cocok untuk tetap diterapkan di Indonesia demi mencapai
keadilan bagi seluruh warga negara, dan bagi saya sistem hukum di Indonesia perlu
ditingkatkan lagi, perlu dipertegas, dan yang paling penting tidak membuat hukum itu
menjadi “Tumpul ke atas, namun Tajam ke bawah” supaya keadilan dapat dirasakan oleh
seluruh lapisan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Yunie Herawati, Konsep Keadilan Sosial Dalam Bingkai Sila Kelima Pancasila,
Paradigma: Jurnal Masalah Sosial, Politik, dan Kebijakan, Vol. 18 No. 1, 2014,
Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.
BIODATA PENULIS

Ahmad Fauzi (210101020759) merupakan penulis baru yang memiliki potensi untuk membuat
buku tentang bahasa Arab. Pria kelahiran Banjarbaru 03 Oktober 2002 ini mengawali karir
menulisnya saat duduk di bangku Kuliah.
Fauzi merupakan anak kedua dari pasangan Ahmad Rizani dan Karmila. Asal Sekolah Fauzi
yaitu dari Pondok Pesantren Darussalam Martapura dan iya melanjutkan pendidikannya dan
mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa Arab pada tahun 2021.

Anda mungkin juga menyukai