Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PANCASILA

“SILA KELIMA – KEADILAN SOSIAL BAGI


SELURUH RAKYAT INDONESIA”
Kata Pengantar

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan perwujudan


dari jiwa bangsa dalam sikap mental dan tingkah laku serta amal perbuatan. Pancasila
sebagai filsafat hidup, dan juga sebagai ideologi dan moral bangsa yang harus
dikembangkan sesuai kodrat manusia. Perbuatan yang menyimpang dari Pancasila
berarti juga menyimpang dari kehidupan tatanan Bangsa Indonesia yang luhur.

Pada kenyataanya penerapan Pancasila debagai Ideologi Bangsa Indonesia


masih jauh dari harapan Pancasila itu sendiri. Masih banyak masyarakat yang belum
memahami betul makna yang terkandung dari Sila pertama sampai ke lima. Banyak
masyarakat hanya memahami bacaan dari sila-sila Pancasila namun belum
memahami butir-butirnya sehingga banyak penyelewengan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dan yang masih banyak penyelewengan adalah timpang
tindihnya keadilan di bangsa ini, antara Pemerintah dengan rakyatnya. Dan potret
kehidupan bangsa ini yang kaya akan semakin berkuasa dan yang miskin akan
semakin sengsara.

1.2 RUMUSAN MASALAH

 Apa nilai dari Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” ?
 Bagaimana realita dari sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”?
 Apa dampak dari sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
 Bagaimana Solusi dari masalah yang ditimbulkan sila “Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”

1.3 TUJUAN

 Untuk mengetahui nilai dari Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”
 Untuk mengetahui realita dari sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”
 Untuk mengetahui dampak dari sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”
 Untuk mengetahui Solusi dari masalah yang ditimbulkan sila “Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

4
5
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Keadilan

Menurut Plato keadilan adalah apapun yang ditentukan oleh si terkuat. Plato
dalam karyanya “Republik”, berpendapat bahwa sebuah negara ideal akan bersandar
pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan), dan
keadilan. Plato menggunakan padanan keadilan dalam bahasa Yunani yaitu Dikaisyne
sebagai padanan yang artinya sangat dekat dengan moralitas atau keutamaan. Plato
berpendapat bahwa keadilan adalah kualitas jiwa, suatu keutamaan di mana manusia
menyingkirkan hasrat akan setiap kesenangan dan mendapatkan kepuasan sendiri.

Keadilan adalah suatu keadaan dimana seseorang menerima perlakuan yang


sesuai dengan Haknya dan sesuai dengan Harkat dan martabatnya sehingga tampak
sama derajadnya dimata orang lain.

Keadilan dilindungi Undang-Undang untuk kebaikan bersama. Tidak pilih


kasih dan pandangan siapapun, setiap orang diperlakukan sesuai hak dan
kewajibannya.

Dalam Pancasila sila ke-5 berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” yang artinya seluruh warga Indonesia berhak mendapatkan keadilan yang
merata.

2.2 Keadilan Sosial

Konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu pemikiran flosofs presiden
Soekarno : “Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil
dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada
penindasan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan”. Pemikiran flosofs tersebut
mengandung pemahaman bahwa Soekarno sangat memprioritaskan nilai keadilan dan
menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup berbangsa dan
bernegara. Lahirnya gagasan tentang defnisi keadilan sosial merupakan hasil refeksi
Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah
mengalami penderitaan, penindasan, penghinaan dan penghisapan oleh penjajahan
Belanda dan Jepang. Pemikiran tersebut di atas membuktikan bahwa Soekarno ingin
mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika bangsa Indonesia yang harus
diraih. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu

6
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang
kaya, - tetapi “semua buat semua”.

Keadilan social adalah keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala


bidang kehidupan, baik materil maupun spiritual. Hal ini berarti keadilan itu tidak
hanya berlaku bagi orang kaya saja, tetap diberlaku pula bagi orang miskin, bukan
hanya untuk para pejabat, tetapi untuk rakyat biasa pula, dengan kata lain seluruh
rakyat Indonesia baik yang berada di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun
bagi Warga Negara Indonesia yang berada di negara lain

Sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung
sebelasmakna, yaitu:

1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap


dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.

2. Bersikap adil.

3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

4. Menghormati hak-hak orang lain.

5. Suka memberipertolongan kepada orang lain.

6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.

7. Tidak bergaya hidup mewah.

8. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.

9. Suka bekerja keras.

10. Menghargai hasil karya orang lain.

11. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkead

2.3 Nilai dari Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

Menurut Darmodihardjo (1979), ‘Keadilan Sosial’ berarti keadilan yang


berlaku dalam masyarakat di bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual,
sedangkan ‘seluruh rakyat Indonesia’ berarti setiap orang yang menjadi rakyat
Indonesia, baik yang berdiam di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun
warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Jadi, ‘keadilan sosial bagi seluruh

7
rakyat Indonesia’ berarti bahwa setiap orang Indonesia berhak mendapat perlakuan
adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Sila Keadilan
Sosial ini merupakan tujuan dari empat sila yang mendahuluinya dan merupakan
tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya ialah tata masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Darmodihardjo 1979).

Ada tiga prinsip keadilan sosial yang dikemukakan oleh Suryawasita (1989),
yaitu keadilan atas dasar hak, keadilan atas dasar jasa, dan keadilan atas dasar
kebutuhan. Keadilan atas dasar hak adalah keadilan yang diperhitungkan berdasarkan
hak untuk diterima oleh seseorang. Keadilan atas dasar jasa adalah keadilan yang
diperhitungkan berdasarkan seberapa besar jasa yang telah seseorang berikan.
Sedangkan keadilan atas dasar kebutuhan adalah keadilan yang diperhitungkan
berdasarkan yang seseorang butuhkan.

Konsep keadilan sosial penting untuk dibahas di Indonesia, karena merupakan


bagian dari hukum dasar negara Indonesia. Walaupun Rawls, Qutb, dan Habermas
menyampaikan gagasannya mengenai hal tersebut, istilah keadilan sosial, sepanjang
pengetahuan saya, tidak disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi Amerika Serikat,
Mesir, atau Jerman. Realitas tersebut membawa semangat bahwa istilah keadilan
sosial seharusnya dihidupkan dalam dunia hukum di Indonesia, baik dalam fase
penyusunan perundang-undangan maupun dalam penyelesaian sengketa atau
penindakan terhadap pelanggaran hukum. Namun paradigma positivistik hukum telah
membuat Pancasila, termasuk di dalamnya sila mengenai keadilan sosial, menjadi
tidak hidup dalam dunia hukum di Indonesia(Brian,2017)

Nilai yang terkandung dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab , Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan atau Perwakilan.

Dalam sila ke – 5 tersebut terkandung nilai- nilai yang merupakan tujuan


Negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Maka dalam sila ke – 5 tersebut
terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama ( kehidupan
sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia yaitu
keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia
lain , manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia
dengan Tuhannya

1) Keadilan Distributif

8
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal
yang sama diperlukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlukan tidak
sama. Keadilan distributif sendiri yaitu suatu hubungan keadilan antara negara
terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta
kesempatan dalam hidup bersama yang didasrkan atas hak dan kewajiban.

2) Keadilan Legal (Keadilan Bertaat)

Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara dan
dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk
mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara. Plato
berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani umum dari
masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil
setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya.
Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan untuk yang lainnya disebut
keadilan legal.

3) Keadilan Komulatif

Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara
timbal balik. Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asan
pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung
ekstrem menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan
pertalian dalam masyarakat.

Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus


diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara yaitu
mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan
wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan
tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antara negara sesama bangsa di dunia dan
prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar
bangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa,
perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan bersama).

2.4 Realita dari sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

Jika berbicara mengenai keadilan sosial, dimensi yang menonjol adalah


dimensi structural atau “kesenjangan antara kelompok yang memperoleh banyak dan

9
ada yang sedikit.” Berkaitan dengan hal ini, upaya pencapaian keadilan sering kali
dikaitkan dengan pengurangan kesenjangan (Sujatmiko, 2006). Jika demikian, realitas
di Indonesia yang menunjukkan lebarnya jurang kesenjangan sosial yang mengantarai
kaum elite dan kaum yang termarjinalkan telah mengindikasikan adanya masalah
ketidakadilan sosial di Indonesia.

Salah satu contoh konkret adalah kasus ketidakadilan yang terjadi di bumi
Papua. Berdasarkan hasil studi dan penelitian yang dilakukan LIPI pada 2008,
wacana pembangunan dalam perspektif rakyat Papua dimaknai sebagai upaya negara
dalam melakukan marjinalisasi rakyat Papua dan mengenalkan sistem kapitalisme
yang bermuara pada eksploitasi sumber alam di Tanah Papua. Selain itu, mereka yang
relatif lebih diuntungkan dari pembangunan di Tanah Papua adalah warga pendatang
(Widjojo, dkk., 2009).

Ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh para penduduk asli Papua ini secara
jelas dinyatakan oleh mantan Ketua DPRD Papua (1974-1977) dan Wakil Gubernur
(1977-1982) Ellyas Paprindey. Menurutnya, perasaan tidak puas, ketidakadilan bagi
rakyat Papua dalam pembangunan—khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan—
mengakibatkan munculnya tuntutan kemerdekaan oleh masyarakat Papua (Maniagasi,
2001). Hal ini juga didukung oleh hasil studi dan penelitian yang dilakukan Yayasan
Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Sipil Indonesia
(YAPPIKA) yang menyatakan bahwa para penduduk Papua merasa diperlakukan
secara tidak adil oleh pemerintah dan aparat keamanan yang dianggap lebih berpihak
kepada kaum pemilik modal yang merupakan masyarakat pendatang dibandingkan
dengan penduduk asli Papua. Alat-alat produksi juga dikuasai kaum pendatang,
sehingga penduduk lokal sangat tergantung kepada mereka. Selain itu, masyarakat
lokal juga sulit mencapai akses ke pasar, sehingga membatasi pengembangan produk
pertanian dan pengolahan hasil bumi lainnya (Raweyai, 2002). Daftar panjang
ketidakadilan yang diterima rakyat Papua itu ditambah lagi dengan penanganan
konflik di Papua yang cenderung diabaikan atau hanya diselesaikan secara sepihak,
sehingga tidak hanya menimbulkan kebingungan, kecurigaan serta apatisme di
kalangan masyarakat Papua (Widjojo, dkk., 2009).

Realitas ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Papua juga
ternyata mendapat menimbulkan konflik kekerasan dan mendorong munculnya
kelompok identitas lokal, baik dalam bentuk kelas atau kelompok bersenjata maupun
kelompok ideologi (Widjojo, dkk., 2009). Salah satu contoh kelompok identitas lokal
tersebut adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sering kali bersikap
antipemerintah dan menyuarakan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika keadaan

10
ketidakadilan ini terus berlanjut, dapat diprediksi dalam beberapa tahun ke depan
Indonesia akan kehilangan Papua— sebagaimana telah terjadi dengan Timor Leste—
sebagai salah satu bagi an dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui kasus di Tanah Papua ini dapat dikatakan bahwa masalah


ketidakadilan sosial kini telah menjadi salah satu masalah utama bangsa Indonesia
yang dapat mengancam kebersamaan dan keintegrasian bangsa. Masalah yang
berakar pada adanya ketimpangan sosial akibat pengimplementasian keadilan sosial
yang tidak sempurna ini akan menimbulkan kecemburuan bagi kaum yang merasa
tertindas dan berdampak pada hilangnya perasaan senasib dan tekad bersama untuk
bersatu sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Jika kelompok-kelompok
identitas yang menunjukkan adanya gerakan separatis mulai muncul, integrasi
bangsa, yang lebih merupakan suatu ikatan moril, akan terancam keberadaannya.

Ancaman terhadap integrasi bangsa seperti ini tidak boleh dibiarkan terus
berlanjut. Berangkat dari Suryawasita (1989), bahwa fokus utama dari asas keadilan
sosial adalah perhatian pada nasib anggota masyarakat yang terbelakang, maka
terhadap anggota masyarakat yang terbelakang inilah fokus perhatian perlu lebih
diberikan, sehingga mereka juga tetap dapat merasakan keadilan social sebagai
bagian dari bangsa Indonesia (Suryawasita, 1989). Keadilan dan persatuan di
Indonesia haruslah mengacu pada sikap peduli yang berimbang, bukan hanya terfokus
pada salah satu bagian Pancasila, Keadilan Sosial atau wilayah saja. Redistribusi
sumber daya kesejahteraan yang merata oleh negara sebagai agensi publik perlu
diperhatikan dan diimplementasikan dengan lebih sempurna (Bagir, dkk., 2011).

Pemberdayaan segala sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia secara


maksimal, termasuk di dalamnya sumber daya manusia, juga menjadi salah satu
solusi konkret bagi permasalahan ketidakadilan sosial yang berujung pada
disintegrasi bangsa. Pemberdayaan atau pengembangan sumber daya manusia yang
dimaksud dapat berupa pelatihan atau pendidikan, seperti yang telah dilakukan oleh
Prof. Yohanes Surya yang bersedia memberi diri untuk mendidik sejumlah siswa
Papua berprestasi. Apabila seluruh elemen masyarakat, termasuk masyarakat yang
paling terbelakang, diikutsertakan dalam pembangunan dan dapat memberikan
sumbangsih yang nyata, rasa kesatuan bangsa akan dapat lebih kental terlihat dalam
setiap individu bangsa.

2.5 Dampak dari sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

• Dampak Positif :
1. Perlakuan yang adil dalam berbagai kehidupan atau tidak diskriminasi

11
2. Menghilangkan politik dinasti (kekuasaan turun menurun; dari orang tua
ke anaknya)
3. Kamakmuran masyarakat yang berkeadilan, meratakan keadilan tanpa
memandang status dan kepentingan
4. Keseimbangan yang adil dalam antara kehidpan pribadi dan masyarakat
5. Keseimbangan yang adil antara kebutuhan jasmani dan rohani, materi dan
spiritual
• Dampak Negatif :
1. Membedakan fasilitas umum antara pejabat dan rakyat biasa.
2. Keadilan hanya untuk golongan tertentu, dalam artian menindak suatu
permasalahan selalu tebang pilih dan menguntungkan pihak yang seharusnya
salah
3. Membeda-bedakan perhatian antar suku

2.6 Solusi dari masalah yang ditimbulkan sila “Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”

1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana


kekeluargaan dan kegotongroyongan.

2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.

3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

4. Menghormati hak orang lain.

5. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan


terhadap orang lain.

6. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal bersifat pemborosan dan gaya
hidup mewah.

7. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan


kepentingan umum.

8. Suka bekerja keras.

9. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.

10. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.

12
13
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Dari hasil pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa ketimpang tindihan keadilan
di negri ini masih banyak terjadi.

b. Pemerintah seakan mengabaikan peraturan yang telah diatrunya sendiri, kini


perlahan UU dan Pancasila mulai diabaikan dan lebih mementingkan kepentingan
partai ataupun koalisi partai.

c. Melimpahnya sumber daya manusia dan alam tidak menjamin negri ini untuk
memakmurkan semua rakyatnya, yang mendapatkan hasilnya hanya segelintir rakyat
yang berkuasa saja.

3.2 Saran

Seharusnya Pemerintah melaksanakan apa yang menjadi tujuan utama dari


sila ke-5. Seperti pada bidang hukum, ekonomi, pendidikan, dll. Bukan saja
Pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk terwujudnya tujuan dari sila ke-5,
namun juga peran masyarakat dan lingkungan serta para pendidik untuk ikut
menanamkan rasa keadilan kepada setiap orang tanpa membedakan ras, agama, latar
belakang, warna kulit, dll. Sehingga para calon penerus bangsa Indonesia memiliki
jiwa sesuai dengan isi dari sila ke-5, yang akhirnya tercipta rasa persatuan sebagai
rakyat Indonesia yang kekeluargaan, kegotongroyongan dan penuh keadilan.

14
DAFTAR PUSTAKA

• Darmodiharjo, Darji, Prof.S.H., dkk. 1978. Santiaji Pancasila. Surabaya.


Usaha Nasional.
• https://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/21/pancasila-menjadi-solusi-dalam-
permasalahan-bangsa-dan-negara/
• Ms Bakry,Noor(1997), Orientasi Filsafat Pancasila ,Liberty ,Yogyakarta.
• Raweyai, Y. T. H. (2002). Mengapa Papua Ingin Merdeka. Jayapura:
Presidium Dewan Papua.
• Sujatmiko, I. G. (2006). Keadilan Sosial dalam Masyarakat Indonesia. Dalam
Irfan Nasution dan
• Ronny Agustinus (Eds.), Restorasi Pancasila. Bogor: Brighten Press.
• Suryawasita, A. (1989). Asas Keadilan Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
• Widjojo, M. S., Elisabeth, A., Al Rahab, A., Pamungkas, C., & Dewi R.
(2009). Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving Present and
Securing the Future. Jakarta: LIPI.

15

Anda mungkin juga menyukai