Prodi : PGMI/6
Matkul : Aswaja
1. Pengertian syirik
Wacana tentang syirik begitu santer dikumandangkan banyak kalangan terutama
olehkelompok-kelompok yang mengklaim dirinya sebagai komunitas yang paling murni
ketauhidannya. Menganggap bahwa keyakinan yang diyakini dan amaliah yang dilakukan
adalah yang paling benar merupakan kewajaran. Dalam pandangan islam, syirik
merupakan pelanggaran serius yang harus dihindari.
Dalam Al-Qur’an Q.S At-Tawbah/9:28 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati
Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah
nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dan karunianya, jika diamenghendaki.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.
Syirik juga merupakan sebuah dosa yang tidak terampuni, sebagaimana ditegaskan
didalam ayat Al-Qur’an Q.S An-Nisa/4:48 yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu,
bagi siapa yangdikehendakinya. Barang sapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Secara bahasa kata “syirik” berasal dari lafal رك:: شyang berarti sekutu atau
persekutuan.
Menurut syekh Abdurrahman ibn nashir as-sa’di mengatakan bahwa syirik adalah
menjadikan sekutu bagi Allah dimana seseorang berdo’a kepadanya sebagaimana
berdoakepada Allah, takut kepadanya, berharap kepadanya, dan mencintainya
sebagaimana mencintai Allah, atau seseorang mempersembahkan salah satu bentuk
ibadah untuk selain Allah.
2. Posisi khalik dan makhluk
Secara sederhana dapat ditegaskan bahwa al khalik merupakan zat yang
menentukan segalnya mendatangkan manfaat dan mudarat, dan juga menentukan
segalasesuatu yang terjadi di dunia ini. Hal ini adalah posisi khalik yang tidak dimiliki
oleh makhluk. Sedangkan makhluk tidak lebih hanyalah hamba yang sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat, bahaya, kematian, kehidupan, dan
lain sebagainya.
3. Takzim antara ibadah dan adab
Takzim yang dipersembahkan oleh seseorang kepada orang lain dapat
mengandung dua kemungkinan.kemungkinan pertama,takzim tersebut memang
dimaksudkan untuk ibadah(menyembah). Kemungkinan kedua takzim yang dilakukan
tidak dimaksudkan untuk ibadah, tetapi sekedar bentuk adab atau kesopanan. Kedua
keungkinan itu pasti ada sehingga keliru besar jika ada orang yang melakukan
generalisasi dengan berkeyakinan secara pasti bahwa semua bentuk takzim yang
dilakukan oleh seorang muslim kepada muslim lainnya pastilah termasuk ibadah.
4. Majaz ‘aqliy dan penggunaannya
Ketika berbicara tentang isti'mdl al-lafzh fi al-ma'nd dalam konteks ushul fikih,
maka arti sebuah lafaz dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu makna hakikat dan
makna majas. Hakikat didefinisikan sebagai setiap lafaz yang diartikan untuk sesuatu
yang sudah diketahui sesuai dengan makna aslinya. Sedangkan majas adalah setiap lafaz
yang dipinjam untuk sesuatu yang lain, atau tidak diartikan sesuai dengan arti aslinya
karena adanya kesesuaian di antara keduanya atau karena adanya hubungan yang khusus
1. Makna bid’ah
Menurut bahasa segala hal yang ada pertama kalinya tanpa ada contoh
sebelumnya disebut bid’ah, tidak peduli apakah itu baik atau buruk, terkait dengan
masalah agama maupun bukan masalah agama. Secara garis besar diketahui bid’ah
adalah hal baru dalam agama dan menjadi lawan dari Al-Qur’an dan as sunnah
(bertentangan dengan syariat islam). Imam Mujtahid Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i
beliau membagi bid’ah menjadi dua yakni, hal baru yang selaras dengan dalil syariat,
yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan hal baru yang bertentangan dengan dalil
syariat, yaitu bid’ah sayyi’ah/madzmumah (bid’ah yang buruk). Para sahabat nabi juga
memahami bid’ah dengan pendekatan kebahasaan sebagaimana para ulama di kelompok
ini. Hal ini dibuktikan dengan kasus-kasus berikut:
a. Pengumpulan mushaf menjadi satu buku
b. Shalat tarawih
c. Kasus shalat dhuha dalam pandangan ibnu umar
Ketika Islam datang, salah satu tradisi Jahihiah yang hendak diberangus adalah
takhayul dan khurafat. Sebab, manakala pikiran masyarakat berada dalam cengkeraman
takhayul, maka akan sangat sulit hagi mereka menerima kebenaran melalui cara berpikr
yang jemih. Tidak sediku dan para ulama yang menyatakan bahwa keyakiman terhadap
takhayul dan khurafat menyebabkan ta'thil al-uqul,yaitu menghabisi nalar berpikir dan
menyebabkan masyarakat udak rasional. Salah satu bukti sejarah yang memperlihatkan
betapa Islam sangat memerangi takhayul adalah ketika para sahabat Nabi mengaitkan
gerhana matahari dengan wafatnya Sayvidina Ibrahim
1. Kenapa tasya’um dilarang
Perbedaan antara tafaul-tabarruk dengan tahayyur-tasya'um sangat tipis. Hal yang
pertama adalah harapan dan firasat yang baik, sementara yang kedua adalah kekhawatiran
dan firasat buruk. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa orang yang melakukan tafa'ul-
tabarruk secara otomatis dia melakukan tathayyur-tasya'um. Orang yang beranggapan
demikian salah satunya, adalah Ibnu ar-Rumi (w. 221-283 H), seorang pujangga
termasyhur di masa berkuasanya Dinasti “Abbasyiyah. Ar-Rami menyatakan:
“Sesungguhnya Nabi menyukai tafa'ul dan membenci tathayyur. Lalu apakah bisa engkau
bayangkan, beliau ber-tafa'ul dengan sesuatu, tetapi tidak bertathayyur dengan
sebaliknya?”
a. Tasya’um menyebabkan kekeliruan akidah
b. Tasya’um menyebabkan kekeliruan sikap
2. Konsekuensi tasya’um antara syirik dan tidak syirik
Secara garis besar, hokum melakukan tasya’um bias dibagi menjadi dua, yaitu tasya’um
yang syirik dan tasya’um yang tidak syirik.
3. Kesimpulan hukum tasya’um
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
a. Tasya'um merupakan perbuatan syirik jika disertai keyakinan akan adanya pengaruh
atau kekuatan selain Allah yang terlepas dari takdir. Dalam konteks ini,
kekeliruannya menyangkut persoalan akidah.
b. Tasya'um diharamkan jika dipelihara dan dijadikan landasan untuk melakukan atau
menggagalkan suatu rencana, sekalipun tetap meyakini bahwa semuanya adalah
takdir Allah. Kekeliruannya menyangkut sikap dan amaliah.
c. Tasya'um hukumnya boleh, jika hanya perasaan yang tidak dipelihara dan tidak
dijadikan landasan untuk melakukan atau menggagalkan suatu rencana, sekaligus
dengan tetap meyakini bahwa semua terjadi karena takdir Allah.
d. Perincian hukum di atas berlaku untuk tasya’um yang tidak ada kaitannya dengan
perintah atau larangan syariat, maka bukan tasya’um
Beberapa pedoman di atas sangat penting untuk mengukur praktik takhayul dan tasya'um
yang terjadi di masyarakat. Sementara ini, ada kelompok tertentu yang terlalu ekstrem
sehingga menganggap segala bentuk takhayul dan tasya'um sebagai bentuk kesyirikan.
Ada pula kelompok tertentu yang terlalu longgar sehingga menganggap semua bentuk
takhayul dan tasya'um boleh-boleh saja selagi tetap meyakini bahwa semuanya terjadi
karena takdir Allah. Kedua sikap ekstrem itu sama-sama tidak benar karena tidak sesuai
dengan pemahaman komprehensif para ulama atas pelbagai dalil yang terkait dengan
persoalan tersebut.