BAB PERTAMA
DEFINISI FIQIH
Al - Fiqh dalam bahasa Arab berarti al - fahm (pemahaman).
sebagaimana yang bisa kita pahami dari firman Allah SWT.
ُ ُ َ َّ ً َ ُ َ ْ َ َ ُ ْ َ ُ َ ُ َ
يرا ِمما تقولقالوا يا شعيب ما نفقه ك ِث
“Mereka berkata: ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang
apa yang kamu katakan itu...’”. (Huud:91)
dan juga
“Maka mengapa orang-orang itu (orangorang munafik) hampir-
hampir tidak memehami (yafqahuuna) pembicaraan (sedikit pun)?.”
(An-nisa:78)
Adapun menurut terminologi Syariah -Sebagaimana yang
didefinisikan oleh imam Abu Hanifah r.a- al-fiqh adalah “Mengetahui
hak dan kewajiban diri”. Yang dimaksud dengan mengetahui
disini adalah memahami permasalahan - permasalahan parsial
dengan memahami dalilnya (terlebih dahulu). Dengan kata lain,
kata mengetahui di sini maksudnya adalah kemampuan pada diri
seseirang yang muncul setelah melakukan penelitian - penelitian
atas beberapa kaidah.
Imam Az-Zarkasyi mendefinisakan ilmu fiqih sesuai dengan
keterangan dalam kitab al-Qawaa’id “mengetahui hukun amalan -
amalan yang bersifat atribut (al-hawadits) berdasarkan nash syara’
dan juga penyimpulan hukum (istinbath) menurut salah satu dari
beberapa madzhab yang ada.
Adapun objek kajian ilmu fiqih adalah semua pekerjaan manusia
mukallaf dari perspektif dituntut atau tidaknya pekerjaan tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang mukallaf adalah orang
yang sudah baligh, mempunyai akal sehat, dan pekerjaannya
menjadi objek tuntunan syariah.
BAB KEDUA
NIAT DAN PENDORONG DALAM IBADAH
Pada bab ini kita akan membahas niat yang dibenarkan oleh
agama (al-qashdu). Perkara - perkara yang dibahas meliputi hukum,
cara niat dalam ibadah (seperti bersuci, shalat, puasa, zakat, haji,
dan lain-lain).
Diantara faktor terpenting dalam hukum islam yang wajib
dilakukan oleh orang yang mukallaf adalah niat yang benar. Niat
yang benar ini merupakan alat untuk menilai sebuah amal. Jika
niatnya benar, maka amalnya juga benar. Begitu juga sebaliknya,
jika niatnya salah maka amalnya juga salah. Amalan yang dilakukan
oleh orang - orang beriman tidak akan diakui oleh syara’ dan juga
tidak akan diberi pahala jika tidak disertai dengan niat.
Pembahasan niat ini akan mencakup beberapa pembahasan yaitu:
1. Hukum niat
2. Tempat niat
3. Waktu niat
4. Cara niat
A. Hukum Niat
Hukum niat menurut jumhur fuqaha (selain madzhab Hanafi)
adalah wajib apabila perbuatan yang dilakukan itu tidak sah jika
tanpa niat seperti wudhu, mandi (selain memandikan mayat),
tayammum, berbagai macam shalat, zakat, puasa, haji, umrah, dan
lain sebagainnya.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa niat adalah
disunnahkan ketika berwudhu, mandi, dan perbuatan lain yang
menjadi pembuka (wasilah) untuk shalat, supaya mendapatkan
pahala. Namun, niat adalah syarat sah shalat sebagaimana yang
ditetapkan juga oleh madzhab Maliki dan Hambali.
Hal ini sebagaimana diketahui bahwa ulama telah bersepakat
untuk menetapkan bahwa niat untuk shalat adalah wajib, supaya
antara ibadah dengan adat kebiasaan dapat dibedakan, dan supaya
keikhlasan dapat direalisasikan dalam shalat, karena shalat adalah
ibadah dan maksud dari ibadah adalah mengikhlaskan amal dengan
menggunakan semua daya dan upaya orang yang ibadah hanya
untuk Allah SWT.
Bahwa madzhab Maliki dan Syafi’i menyepakati niat itu sebagai
salah satu rukun shalat, apabila tidak berniat dalam shalat maka
ia tidak dianggap telah melakukan shalat sama sekali. Sedangkan
madzhab Hanafi dan Hambali menyepakati bahwa niat merupakan
salat satu syarat sah shalat, yang artinya jika tidak dilakukan maka
shalatnya dianggap tidak sah.
Dari semua itu dapat disimpulkan dua hal, pertama bahwa
keinginan atau kehendak hati untuk melakukan shalat itu harus
semata-mata hanya karena Allah, tanpa sebab lain yang tidak
diakui dalam agama. Kedua: penghayatan di dalam hati dan tidak
sibuk memikirkan urusan duniawi. Untuk kesimpulan yang pertama,
hal itu memang diharuskan di dalam shalat, sedangkan untuk
kesimpulan yang kedua, hal itu bukanlah menjadi salah satu syarat
sahnya shalat, namun sudah semestinya-lah bagi seorang hamba
yang menghadap Tuhannya untuk menanggalkan dari dirinya segala
sesuatu yang tidak berkaitan dengan shalat.
B. Tempat Niat
Semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Niat
dengan hanya melafalkan saja belum dianggap cukup. Melafalkan
niat bukanlah suatu syarat, namun ia disunnahkan oleh jumhur
ulama selain madzhab Maliki, dengan maksud untuk membantu
hati dalam menghadirkan niat. Bagi madzhab Maliki, yang terbaik
adalah meninggalkan niat, karena tidak ada dalil yang bersumber
dari Rasulullah SAW dan sahabatnya bahwa mereka melafalkan niat.
Sebab mengapa niat dalam semua ibadah harus di hati adalah
karena niat merupakan bentuk pengungkapan keikhlasan, dan
tempat keikhlasan hanya ada di hati atau karena hakikat niat adalah
keinginan. Apabila dia melafalkan dengan lisan namun tidak berniat
dalam hati, maka tidak mencukupi. Dan jika dia berniat dalam hati,
namun tidak melafalkannya, maka niatnya itu cukup.
C. Waktu Niat
Secara umm waktu niat adalah di awal melakukan ibadah,
kecuali pada beberapa kasus.
a. Wudhu
Niat wudhu adalah ketika membasuh muka. Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa niat wudhu disunnahkan dilakukan ketika
melakukan amalan sunnah yang pertama, yaitu ketika membasuh
kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan, supaya pahala
kesunnahannya sebelum membasuh muka dapat diperoleh. Madzhab
Maliki mengatakan, bahwa waktu berniat adalah ketika membasuh
muka. Ada juga yang mengatakan bahwa waktunya adalah ketika
melakukan amalan bersuci yang bertama yaitu membasuh kedua
telapak tangan hingga pergelangan tangan. Madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa membarengkan niat dengan basuhan pertama
kali pada bagian wajah adalah wajib. Namun, disunnahkan
melakukan niat sebelum membasuh kedua telapak tangan, supaya
niatnya tersebut dapat mencakup seluruh amalan sunnah dan fardhu
wudhu. Sehingga, kesemua amalan tersebut akan mendapat pahala,
sebagaimana yang dikatakan madzhab Hanafi. Madzhab Hambali
mengatakan bahwa waktu niat wudhu adalah ketika pertama kali
melakukan amalan wajib, yaitu ketika membaca basmalah
Ringkasan Fiqih 4 Madzhab
8
b. Shalat
Niat shalat adalah ketika takbiratul ihram. Madzhab Hanafi
mensyaratkan bersambungnya niat dengan shalat, sehingga
tidak ada pemisah yang lain antara niat dan takbiratul ihram,
yang dimaksud pemisah yang lain adalah perbuatan yang tidak
pantas dilakukan ketika sholat seperti makan, minum, dan hal-
hal yang membatalkan shalat. Sedangkan jika terpisahkan dengan
perbuatan yang masih ada kaitannya dengan pelaksanaan shalat
seperti berjalan menuju tempat shalat, atau berwudhu, maka niat
itu dianggap sah. Misalkan saja ada seseorang yang bemiat untuk
shalat zuhur, lalu setelah itu ia pergi ke ruang kecil untuk berwudhu,
lalu setelah itu ia berangkat ke masjid, dan setelah itu barulah ia
melaksanakan shalat, tanpa bemiat lagi, maka shalatnya tetap sah.
Jika demikian, apakah kemudian niat shalat sebelum masuk
waktu tetap dianggap sah? Misalnya seseorang berniat di dalam
hati untuk melaksanakan shalat beberapa saat sebelum masuk
waktu, lalu ia berwudhu, lalu ia bergerakmenuju masjid tanpa
diselingi denganpercakapanapa pun/ lalu ia duduk di masjid sambil
menunggu adzan dikumandangkan, dan setelahitu barulah ia
melaksanakan shalat, apakahniat shalahrya tetap sah? jawaban:
Menurut pernyataan yang dikutip dari Abu Hanifah, niat itu tidak sah
jika dilakukan sebelum masuk waktu. Sedangkan menurut beberapa
ulama madzhab Hanafi, niat itu tetap sah, karena niat adalah
persyaratan, dan persyaratan boleh didahulukan daripada sesuatu
yang membutuhkan syarat tersebut, Karena itu, mendahulukan niat
daripada pelaksanaan shalat adalah hal yang biasa saja.
Namun demikian, seluruh ulama dari madzhab Hanafi sepakat
bahwa yang paling baik dalam berniat adalah menyeragamkan antara
niat dengan takbiratul ihram, tanpa ada hal lain yang memisahkan
keduanya. Karena itu, bagi para pengikut madzhab Hanafi sebaiknya
memperhatikan hal tersebut, yakni tidak melakukan hal lain yang
dapat memisahkan antara takbiratul ihram dengan niat, karena
itulah yang paling utama dan menghilangkan perbedaan dengan
madzhab yang lain.
D. Cara Berniat
Ibadah memerlukan niat untuk melaksanakannya yang dapat
membedakannya dari amalan yang lain, baik amalan lain itu berupa
ibadah yang satu bentuk dengannya atau satu jenis atau bukan
ibadah (adat kebiasaan). Hal ini karena maksud dari niat dalam
ibadah adalah untuk membedakannya dari adat kebiasaan, atau
untuk membedakan antara satu tingkatan ibadah dengan yang
lainnya.
Contohnya adalah, amalan wudhu akan menjadi ibadah jika
memang orang yang melakukan bermaksud menjadikannya sebagai
penyambung bagi pelaksanaan ibadah seperti shalat, thawal dll.
yang memang pelaksanaannya harus dengan wudhu. Amalan
wudhu tanpa niat ibadah akan menjadi amalan adat kebiasasan
seperti membersihkan anggota badan, mencari kesejukan, dll..
Apabila dalam melakukan wudhu seseorang berniat supaya dengan
wudhunya itu dia boleh melakukan shalat, atau berniat fardhu
mandi, maka sahlah wudhu orang tersebut.
A. wudhu
Cara niat wudhu adalah dengan berniat menghilangkan hadats,
atau berniat untuk melakukan shalat, atau niat wudhu, atau niat
melaksanakan perintah AIlah, atau niat supaya boleh melakukan
perkara-perkara yang melakukannya memang harus dengan
wudhu seperti shalat, thawal dan memegang mushaf, atau niat
menghilangkan janabah, atau niat fardhu mandi, atau niat mandi
wajib. Semuanya itu dilakukan sewaktu membasuh bagian pertama
dari badan seperti bagian kepala atau yang lain.
Apabila wudhunya dibantu oleh orang lain, maka niat yang
diakui adalah niat yang dilakukan oleh orang yang berwudhu, bukan
orang yang membantunya berwudhu. Karena, orang yang wudhulah
yang dituntut oleh perintah syaral Adapun orang yang hadatsnya
berterusan seperti wanita yang mengalami istihadhah, atau
orang yang selalu keluar kencing dan semacamnya, maka niatnya
adalah niat supaya boleh melakukan shalat, bukan niat untuk
menghilangkan hadats. Karena, hadatsnya tidak mungkin hilang.172
B. shalat
Shalat itu bisa jadi hukumnya fardhu airy seperti shalat lima
waktu, bisa jadi hukumnya fardhu kifayah, seperti shalat jenazah
atau shalat nazar, dan bisa jadi hukumnya sunnah muakkad ataupun
tidak muakkad sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Adapun untuk niat shalat fardhu sendiri, maka ada cara yang
harus diketahui. Begitu juga dengan niat shalat fardhuDan, kami akan
menguraikan pendapat para ulama dari tiap madzhab mengenai hal
itu pada catatan di bawah ini.
Menurut madzhab Hanafi: ada beberapa hal yang terkait dengan
pembahasan ini, pertama: diwajibkan bagi setiap mukallaf untuk
mengetahui bahwa Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka
untuk melaksanakan shalat lima waktu. Apabila ada di antara
mereka yang tidak mengetahui shalat fardhu yang akan dilakukan
maka shalatnya tidak sah, meskipun shalat itu telah dilakukan tepat
pada waktu yang telah ditentukan, kecuali jika ia melakukannya
dengan bermakmum kepada seorang imam dan ia meniatkan
shalatnya sesuai dengan shalat imamnya.
Bab Ketiga
Thaharah
(Washilah atau Muqaddimah Shalat)
A. Konsep Thaharah
Para ahli fiqih mendahulukan pembahasan thaharah sebelum
pembahasan shalat. Alasannya adalah thaharah merupakan
kunci dan syarat sahnya shalat. Syarat mestilah didahulukan dari
masyruth (perkara yang memerlukan syarat).
Dalam pasal ini, akan dibahas beberapa perkara berikut ini:
• Pertama : Pengertian Thaharah
• Kedua : Syarat Wajib Thaharah
• Ketiga : Jenis - Jenis Air
1. Pengertian Thaharah
Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran
atau najis hissi (yang dapat terlihat) seperti kencing atau lainnya,
dan najis ma’nawi lyang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan
maksiat. Adapun menurut istilah syara’, thaharah ialah bersih dari
najis baik najis haqiqi, yaitu khabats (kotoran) atau najis hukmi,
yaitu hadats.
Khabats ialah sesuatu yang kotor menurut syara’. Adapun hadats
ialah sifat syara’ yang melekat pada anggota tubuh dan ia dapat
menghilangkan thaharah (kesucian). Demikian definisi thaharah
secara umum, berikut ini definisi thaharah menurut keempat ulama
madzhab
Madzhab Hanafi: Thaharah secara syar’i adalah bersih dari
hadats maupun kotoran dan najis. Dalam pandangan madzhab
Hanafi, thaharah atau bersuci dapat berupa perbuatan seseorang
membersihkan sesuatu yang najis atau kotor, sebagaimana thaharah
dapat pula berupa bersihnya sesuatu yang kotor atau najis dengan
sendirinya. Misalnya, karena benda tersebut tersiram air bersih
tanpa ada orang yang menyirarnnya. Sementara hadats meliputi
hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil dapat berupa keluamya
angin melalui lubang dubur, air kencing, dan semacarmya. Hadats
kecil dapat dihapus dengan berwudhu. Adapun hadats besar
adalah berupa keadaan junub yang dapat dihilangkan dengan
cara melakukan mandi wajib. Madzhab Hanafi mengartikan hadats
sebagai sesuatu yang bersifat syar’i yang dapat dihapus dengan cara
membersihkan sebagian anggota badan maupun seluruh tubuh.
B. Syarat Thaharah
Jika pakaian dan tempat wajib dibersihkan, maka membersihkan
badan adalah utama. Karena, ia lebih diutamakan bagi yang hendak
shalat.
Siapa yang wajib melakukan shalat, makan ia wajib melakukan
thaharah. Kewajiban ini bergantung kepada kesepuluh syarat, yaitu:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Berhentinya darah haid dan nifas
5. Masuknya waktu
6. Tidak tidur
7. Tidak lupa
8. Tidak dipaksa
9. Ada air atau debu yang suci
10. Mampu melakukan sesuai kemampuan
C. Jenis-Jenis Air
Dari segi sah tidaknya untuk bersuci, air terbagi menjadi tiga
bagian: air suci mensucikan (thahur), air suci tidak mensucikan
(thahir ghairu thahur), dan air najis (mutanajjis).Dan untuk masing-
masing bagian dari tiga bagian tersebut ada pembahasan tersendiri.
Air suci mensucikan (thahur) adalah semua air yang turun dari
langit atau yang bersumber dari dalam tanah. Dimana salah satu dari
tiga sifatnya tidak ada yang berubah, yaitu: warna, rasa, dan aroma,
baik disebabkan oleh sesuatu dan lain hal yang menghilangkan
kesucian air tersebut, dan juga bukan air bekas.
Air suci tidak mensucikan (thahir ghairu thahur) adalah air
yang tidak dapat digunakan untuk ibadah, seperti wudhu, mandi,
atau semacamnya. Sebagaimana pula tidak dapat digunakan untuk
membersihkan najis maupun kotoran. Penggunaannya dibolehkan
hanya pada hal-hal keseharian saja, seperti untuk minum, mandi,
cuci pakaian, perkakas, dan sebagainya.
Ringkasan Fiqih 4 Madzhab
24
Air najis (mutanajis) adalah air yang terkena benda najis yang
tidak dimaafkan oleh syara’ seperti tahi yang sedikit, dan air tersebut
tidak mengalir dan juga sedikit. Air yang mengalir menjadi najis
apabila ada bekas najis padanya. Yang dimaksud bekas najis ialah
rasa najis, warnanyam atau baunya.
Oleh sebab itu, air najis terbagi menjadi dua jenis. Pertama,
air sedikit yang mempunyai sifat menyucikan, dan kejatuhan
najis meskipun salah satu sifatnya tidak berubah. Kedua, air yang
mempunyai sifat menyucikan, dan kejatuhan najis serta berubah
salah satu sufatnya (warna, bau, dan rasa). Para ulama sepakat
bahwa air jenis kedua adalah najis, yaitu yang berubah salah satu
sifatnya. Kadar air sedikit menurut pendapat ulama adalah dua
kullah (270 liter), lalu ada najis yang jatuh ke dalamnya, baik najis
itu beku atau cair, dan tidak ada perubahan rasa, warna atau bau air,
maka air itu dianggap suci dan menyucikan.
B. Najis
Najis terbagi kepada dua jenis, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi.
Dari segi bahasa, najis haqiqi ialah benda - benda yang kotor seperti
darah, air kencing, dan tahi. Menurut syara’ ialah segala kotoran yang
menghalangi sahnya shalat. Najis hukmi ialah najis yang terdapat
pada beberapa bagian anggota badan yang menghalangi sahnya
shalat. Najis ini mencakup hadats kecil yang dapat dihilangkan
dengan wudhu dan hadats besar (janabah) yang dapat dihilangkan
dengan mandi. Najis haqiqi terbagi kepada beberapa jenis, yaitu
mughallazhah (berat), mukhaffafah (ringan), najis yang keras, najis
yang cair, najis yang dapat dilihat, dan najis yang tidak dapat dilihat.
a. Najis yang disepakati dan yang tidak dipertikaikan oleh ulama
1. Najis yang disepakati oleh ulama Madzhab
Para fuqaha telah bersepakat mengenai najisnya perkara -
perkara berikut:
a. Babi
Babi adalah najis meskipun disembelih secara syara’, karena ia
dihukumi sebagai najis ‘ain (najis pada dirinya) melalui nash Al -
Qur’an. Maka, daging dan juga semua bagian badannya seperti bulu,