Anda di halaman 1dari 31

11

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


2

PENGANTAR ILMU FIQIH


Sebelum memasuki pembahasan hukum-hukum syara’, kita
harus mengenal terlebih dahulu beberapa permasalahan berikut
ini: arti fiqh dan keistimewaanya, pengenalan singkat tentang
tokoh-tokoh fiqh dalam berbagai madzhab, tingkatan para ahli/
iqh, kitab-kitab, istilah-istilah yang banyak digunakan dalam
kajian fiqh dan istilah-istilah penyebutan kitab fiqih dalam
beberapa madzhab, sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat
dalam fiqih, dan rancangan pembahasan dalam kitab ini.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


3

BAB PERTAMA
DEFINISI FIQIH
Al - Fiqh dalam bahasa Arab berarti al - fahm (pemahaman).
sebagaimana yang bisa kita pahami dari firman Allah SWT.
ُ ُ َ َّ ً َ ُ َ ْ َ َ ُ ْ َ ُ َ ُ َ
‫يرا ِمما تقول‬‫قالوا يا شعيب ما نفقه ك ِث‬
“Mereka berkata: ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang
apa yang kamu katakan itu...’”. (Huud:91)
dan juga
“Maka mengapa orang-orang itu (orangorang munafik) hampir-
hampir tidak memehami (yafqahuuna) pembicaraan (sedikit pun)?.”
(An-nisa:78)
Adapun menurut terminologi Syariah -Sebagaimana yang
didefinisikan oleh imam Abu Hanifah r.a- al-fiqh adalah “Mengetahui
hak dan kewajiban diri”. Yang dimaksud dengan mengetahui
disini adalah memahami permasalahan - permasalahan parsial
dengan memahami dalilnya (terlebih dahulu). Dengan kata lain,
kata mengetahui di sini maksudnya adalah kemampuan pada diri
seseirang yang muncul setelah melakukan penelitian - penelitian
atas beberapa kaidah.
Imam Az-Zarkasyi mendefinisakan ilmu fiqih sesuai dengan
keterangan dalam kitab al-Qawaa’id “mengetahui hukun amalan -
amalan yang bersifat atribut (al-hawadits) berdasarkan nash syara’
dan juga penyimpulan hukum (istinbath) menurut salah satu dari
beberapa madzhab yang ada.
Adapun objek kajian ilmu fiqih adalah semua pekerjaan manusia
mukallaf dari perspektif dituntut atau tidaknya pekerjaan tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang mukallaf adalah orang
yang sudah baligh, mempunyai akal sehat, dan pekerjaannya
menjadi objek tuntunan syariah.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


4

Bila kita memperhatikan hukum - hukum fiqih yang mengatur


semua perilaku manusia mkallaf, scara umum dapat diklasifikasikan
ke dalam dua kelompok.
Pertama, hukum - hukum ibadah seperti bersuci, shalat, puasa,
haji, zakat, nadzar, sumpah, dan perkara - perkara lainnya yang
mengatur hubungan manusia dengan sang pencipta.
Kedua, hukum - hukum muamalah seperti hukum transaksi,
hukum membelanjakan harta, hukuman, hukuman kriminal, dan
lain-lain. Yang dimajsud untuk mengatur hubungan antar sesama
manusia.
Dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahwa kajian fiqih
sangat luas. Hal ini tidak lain disebabkan karena beragamnya
pembahasan yang disinggung sunnah nabawiyah (yang merupakan
salah satu sumber hukum islam) positif yang ada. Dalam fiqih, setiap
pekerjaan yang termasuk kategori muamalah pasti dihubungkan
dengan konsep halal dan haram, maka hukum - hukum muamalah
dapat dikategorikan dalam dua kelompok.
Pertama, hukum duniawi, yaitu keputusan hukum yang didasarkan
atas tindakan atau perilaku lahiriah. Inilah yang dinamakan dengan
“hukum pengadilan” (al-hukm al-qadaa’i) karena seorang hakim
memutuskan hukum berdasarkan pengamatan yang ia mampui saja.
Kedua, hukum ukhrawi, yaitu keputusan hukum yang didasarkan
kepada kondisi yang sebenarnya, meskipun kondisi tersebut tidak
diketahui oleh orang lain. hukum ini digunakan untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Hukum ini dinamakan
dengan “hukum agama” (al-hukm ad-diyaani) dan yang digunakan
oleh mufti dalam memberikan fatwa.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


5

BAB KEDUA
NIAT DAN PENDORONG DALAM IBADAH

Pada bab ini kita akan membahas niat yang dibenarkan oleh
agama (al-qashdu). Perkara - perkara yang dibahas meliputi hukum,
cara niat dalam ibadah (seperti bersuci, shalat, puasa, zakat, haji,
dan lain-lain).
Diantara faktor terpenting dalam hukum islam yang wajib
dilakukan oleh orang yang mukallaf adalah niat yang benar. Niat
yang benar ini merupakan alat untuk menilai sebuah amal. Jika
niatnya benar, maka amalnya juga benar. Begitu juga sebaliknya,
jika niatnya salah maka amalnya juga salah. Amalan yang dilakukan
oleh orang - orang beriman tidak akan diakui oleh syara’ dan juga
tidak akan diberi pahala jika tidak disertai dengan niat.
Pembahasan niat ini akan mencakup beberapa pembahasan yaitu:
1. Hukum niat
2. Tempat niat
3. Waktu niat
4. Cara niat

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


6

A. Hukum Niat
Hukum niat menurut jumhur fuqaha (selain madzhab Hanafi)
adalah wajib apabila perbuatan yang dilakukan itu tidak sah jika
tanpa niat seperti wudhu, mandi (selain memandikan mayat),
tayammum, berbagai macam shalat, zakat, puasa, haji, umrah, dan
lain sebagainnya.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa niat adalah
disunnahkan ketika berwudhu, mandi, dan perbuatan lain yang
menjadi pembuka (wasilah) untuk shalat, supaya mendapatkan
pahala. Namun, niat adalah syarat sah shalat sebagaimana yang
ditetapkan juga oleh madzhab Maliki dan Hambali.
Hal ini sebagaimana diketahui bahwa ulama telah bersepakat
untuk menetapkan bahwa niat untuk shalat adalah wajib, supaya
antara ibadah dengan adat kebiasaan dapat dibedakan, dan supaya
keikhlasan dapat direalisasikan dalam shalat, karena shalat adalah
ibadah dan maksud dari ibadah adalah mengikhlaskan amal dengan
menggunakan semua daya dan upaya orang yang ibadah hanya
untuk Allah SWT.
Bahwa madzhab Maliki dan Syafi’i menyepakati niat itu sebagai
salah satu rukun shalat, apabila tidak berniat dalam shalat maka
ia tidak dianggap telah melakukan shalat sama sekali. Sedangkan
madzhab Hanafi dan Hambali menyepakati bahwa niat merupakan
salat satu syarat sah shalat, yang artinya jika tidak dilakukan maka
shalatnya dianggap tidak sah.
Dari semua itu dapat disimpulkan dua hal, pertama bahwa
keinginan atau kehendak hati untuk melakukan shalat itu harus
semata-mata hanya karena Allah, tanpa sebab lain yang tidak
diakui dalam agama. Kedua: penghayatan di dalam hati dan tidak
sibuk memikirkan urusan duniawi. Untuk kesimpulan yang pertama,
hal itu memang diharuskan di dalam shalat, sedangkan untuk
kesimpulan yang kedua, hal itu bukanlah menjadi salah satu syarat
sahnya shalat, namun sudah semestinya-lah bagi seorang hamba
yang menghadap Tuhannya untuk menanggalkan dari dirinya segala
sesuatu yang tidak berkaitan dengan shalat.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


7

B. Tempat Niat
Semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Niat
dengan hanya melafalkan saja belum dianggap cukup. Melafalkan
niat bukanlah suatu syarat, namun ia disunnahkan oleh jumhur
ulama selain madzhab Maliki, dengan maksud untuk membantu
hati dalam menghadirkan niat. Bagi madzhab Maliki, yang terbaik
adalah meninggalkan niat, karena tidak ada dalil yang bersumber
dari Rasulullah SAW dan sahabatnya bahwa mereka melafalkan niat.
Sebab mengapa niat dalam semua ibadah harus di hati adalah
karena niat merupakan bentuk pengungkapan keikhlasan, dan
tempat keikhlasan hanya ada di hati atau karena hakikat niat adalah
keinginan. Apabila dia melafalkan dengan lisan namun tidak berniat
dalam hati, maka tidak mencukupi. Dan jika dia berniat dalam hati,
namun tidak melafalkannya, maka niatnya itu cukup.

C. Waktu Niat
Secara umm waktu niat adalah di awal melakukan ibadah,
kecuali pada beberapa kasus.
a. Wudhu
Niat wudhu adalah ketika membasuh muka. Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa niat wudhu disunnahkan dilakukan ketika
melakukan amalan sunnah yang pertama, yaitu ketika membasuh
kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan, supaya pahala
kesunnahannya sebelum membasuh muka dapat diperoleh. Madzhab
Maliki mengatakan, bahwa waktu berniat adalah ketika membasuh
muka. Ada juga yang mengatakan bahwa waktunya adalah ketika
melakukan amalan bersuci yang bertama yaitu membasuh kedua
telapak tangan hingga pergelangan tangan. Madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa membarengkan niat dengan basuhan pertama
kali pada bagian wajah adalah wajib. Namun, disunnahkan
melakukan niat sebelum membasuh kedua telapak tangan, supaya
niatnya tersebut dapat mencakup seluruh amalan sunnah dan fardhu
wudhu. Sehingga, kesemua amalan tersebut akan mendapat pahala,
sebagaimana yang dikatakan madzhab Hanafi. Madzhab Hambali
mengatakan bahwa waktu niat wudhu adalah ketika pertama kali
melakukan amalan wajib, yaitu ketika membaca basmalah
Ringkasan Fiqih 4 Madzhab
8

b. Shalat
Niat shalat adalah ketika takbiratul ihram. Madzhab Hanafi
mensyaratkan bersambungnya niat dengan shalat, sehingga
tidak ada pemisah yang lain antara niat dan takbiratul ihram,
yang dimaksud pemisah yang lain adalah perbuatan yang tidak
pantas dilakukan ketika sholat seperti makan, minum, dan hal-
hal yang membatalkan shalat. Sedangkan jika terpisahkan dengan
perbuatan yang masih ada kaitannya dengan pelaksanaan shalat
seperti berjalan menuju tempat shalat, atau berwudhu, maka niat
itu dianggap sah. Misalkan saja ada seseorang yang bemiat untuk
shalat zuhur, lalu setelah itu ia pergi ke ruang kecil untuk berwudhu,
lalu setelah itu ia berangkat ke masjid, dan setelah itu barulah ia
melaksanakan shalat, tanpa bemiat lagi, maka shalatnya tetap sah.
Jika demikian, apakah kemudian niat shalat sebelum masuk
waktu tetap dianggap sah? Misalnya seseorang berniat di dalam
hati untuk melaksanakan shalat beberapa saat sebelum masuk
waktu, lalu ia berwudhu, lalu ia bergerakmenuju masjid tanpa
diselingi denganpercakapanapa pun/ lalu ia duduk di masjid sambil
menunggu adzan dikumandangkan, dan setelahitu barulah ia
melaksanakan shalat, apakahniat shalahrya tetap sah? jawaban:
Menurut pernyataan yang dikutip dari Abu Hanifah, niat itu tidak sah
jika dilakukan sebelum masuk waktu. Sedangkan menurut beberapa
ulama madzhab Hanafi, niat itu tetap sah, karena niat adalah
persyaratan, dan persyaratan boleh didahulukan daripada sesuatu
yang membutuhkan syarat tersebut, Karena itu, mendahulukan niat
daripada pelaksanaan shalat adalah hal yang biasa saja.
Namun demikian, seluruh ulama dari madzhab Hanafi sepakat
bahwa yang paling baik dalam berniat adalah menyeragamkan antara
niat dengan takbiratul ihram, tanpa ada hal lain yang memisahkan
keduanya. Karena itu, bagi para pengikut madzhab Hanafi sebaiknya
memperhatikan hal tersebut, yakni tidak melakukan hal lain yang
dapat memisahkan antara takbiratul ihram dengan niat, karena
itulah yang paling utama dan menghilangkan perbedaan dengan
madzhab yang lain.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


9

Madzhab Maliki mewajibkan menghadirkan niat (dihati) ketika


takbiratul ihram, atau sebelumnya dalam jangka waktu yang tidak
lama. Misalnya, berniat di sebuah tempat yang dekat dengan masjid,
lalu melakukan takbiratul ihram tanpa berniat lagi, maka shalatnya
tetap sah. Namun ada juga beberapa ulama madzhab Maliki yang
berpendapat bahwa niat tidak boleh sama sekali jika didahulukan
dari takbiratul ihram, apabila dilakukan seperti itu maka shalatnya
tidak sah. Akan tetapi, pendapat yang lebih diunggulkan adalah
pendapat yang pertama. Adapun jika niat tersebut didahulukan
dalam tenggat waktu yang cukup lama menurut kebiasaan yang
berlaku, maka shalatnya tidak sah menurut seluruh ulama madzhab
ini.
Madzhab Syafi’i mensyaratkan niat harus berbarengan dengan
pekerjaan shalat. Apabila niatnya terlambat maka dinamakan ‘Azam
dan shalatnya tidak sah.
Madzhab Hambali mengatakan niat boleh dilakukan beberapa
saat sebelum takbiratul ihram, selama niat itu dilakukan setelah
masuk waktu, sebagaimana kutipan dari Abu Hanifah. Karena itu,
apabila seseorang bemiat untuk melaksanakan shalat sebelum
masuk waktu, maka niatnya tidak sah. Alasannya, niat merupakan
syarat, maka niat yang mendahului pelaksanaan shalat tidak
mempengaruhi keabsahannya, seperti pendapat madzhab Hanafi,
hanya bedanya madzhab Hambali tetap mengesahkan niat yang
diselingi dengan percakapan. Karena itu, apabila seseorang telah
berniat untuk melaksanakan shalat lalu ia berbicara sesuatu di luar
shalat, lalu ia bertakbiratul ihram, maka shalatnya tetap sah.
Adapun alasan madzhab ini mensyaratkan niat itu harus dilakukan
setelah masuk waktu adalah untuk mempersempit jarak perbedaan
dengan pendapat madzhab lain yang memasukkan niat ke dalam
rukun shalat. Selain itu, madzhab ini juga berpendapat sama seperti
madzhab Hanafi, bahwa waktu yang paling utama untuk berniat
adalah seiring dengan takbiratul ihram.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


10

Niat Shalat Sebagai Imam dan Makmum


Madzhab Hanafi mengatakan apabila orang yang melakukan
shalat sendirian, maka ia harus menentukan dengan jelas jenis
shalat fardhu yang dilakukan. Namun, jika shalat sunnah, maka
cukup dengan niat shalat saja. Apabila ia menjadi imam, maka
wajib melakukan ta’yin. Apabila imamn dan makmumnya lelaki,
maka imamnya tidak disyariatkan niat mengimami lelaku. Makmum
sah mengikuti imam, meskipun imam tidak berniat mengimami
mereka. Apabila imamnya lelaki dan makmumnya perempuan,
maka imamnya disyariatkan niat mengimami wanita supaya niat
makmum wanita dalam mengikuti imam menjadi sah. Adapun
makmum, maka dia juga wajib melakukan ta’yin sebagaimana yang
telah diterangkan. Dia juga perlu menambah niat mengikuti imam.
Madzhab Maliki mengatakan menentukan dengan jelas (ta’yin),
merupakan keharusan dalam shalat - shalat fardhu, shalat sunnah
yang lima (witir, id, kusuf, dan istisqa’) dan shalat sunnah fajar.
Karena apabila imam tidak meniatkan diri untuk menjadi imam bagi
jama’ahnya maka shalat imam tersebut tidak sah sekaligus semua
jama’ahnya.
Madzhab Hambali mengatakan bahwa, apabila shalat yang
dilakukan adalah shalat fardhu, maka disyariatkan dua perkara:
1. Menyatakan dengan jelas jenis shalat yang dilakukan (ta’yin) dan
berkehendak untuk melaksanakannya
2. Tidak disyaratkan mengatakan niat kefardhuan.
Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa apabila shalat yang
dilakukan adalah shalat fardhu, meskipun fardhu kifayah atau
shalat qadha, maka yang diwajibkan dalam niat dalam shalat -
shalat tersebut ada tiga:
Pertama, niat kefardhuan shalat, yaitu dengan berniat dan
bermaksud melakukan shalat fardhu, supaya ia dapat dibedakan
dari shalat sunnah dan lainnya.
Kedua, menyatakan kehendak, yaitu kehendak melaksanakan
sesuatu perbuatan dengan cara menyatakan kehendak untuk shalat
supaya dapat dibedakan dari jenis perbuatan - perbuatan yang lain.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


11

Ketiga, menyatakan dengan jelas jenis shalat fardhu yang


dilakukan.
Menyatakan jumlah rakaat shalat bukanlah suatu syarat. Begitu
juga dengan menyatakan dengan jelas hari pelaksanaan shalat,
jenis shalat ada’ atau qadha’, mengaitkannya kepada Allah SWT,
menyebut rukun - rukun shalat, dan juga menyatakan menghadap
kiblat. Semua ini tidak disyaratkan dalam niat shalat, melainkan
hanya kesunnahan saja.
Imam tidak disyaratkan niat menjadi imam, melainkan hanya
disunnahkan saja supaya mendapatkan keutamaan shalat jama’ah.
Apabila ia tidak niat menjadi imam, maka ia tidak mendapatkan
keutamaan jama’ah. Karena seseorang akan mendapatkan sesuatu
sesuai dengan apa yang diniatkan.

D. Cara Berniat
Ibadah memerlukan niat untuk melaksanakannya yang dapat
membedakannya dari amalan yang lain, baik amalan lain itu berupa
ibadah yang satu bentuk dengannya atau satu jenis atau bukan
ibadah (adat kebiasaan). Hal ini karena maksud dari niat dalam
ibadah adalah untuk membedakannya dari adat kebiasaan, atau
untuk membedakan antara satu tingkatan ibadah dengan yang
lainnya.
Contohnya adalah, amalan wudhu akan menjadi ibadah jika
memang orang yang melakukan bermaksud menjadikannya sebagai
penyambung bagi pelaksanaan ibadah seperti shalat, thawal dll.
yang memang pelaksanaannya harus dengan wudhu. Amalan
wudhu tanpa niat ibadah akan menjadi amalan adat kebiasasan
seperti membersihkan anggota badan, mencari kesejukan, dll..
Apabila dalam melakukan wudhu seseorang berniat supaya dengan
wudhunya itu dia boleh melakukan shalat, atau berniat fardhu
mandi, maka sahlah wudhu orang tersebut.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


12

Amalan shalat-meskipun ia tidak menyerupai jenis amalan adat


kebiasaan, melainkan ia adalah ibadah yang murni (mahdhah)-
namun shalat ada banyak jenisnya. Shalat dapat dikelompokkan
ke dalam dua jenis; shalat fardhu dan shalat sunnah. Shalat fardhu
dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk; fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah. Contoh shalat fardhu ‘ain adalah shalat wajib lima waktu,
sedangkan contoh shalat fardhu kifayah adalah salah jenazah.
Sementara itu, shalat sunnah dapat dikelompokkan kepada dua
macam; shalat sunnah yang mengikuti shalat fardhu-seperti shalat
Witir, shalat Id, shalat gerhana matahari, shalat gerhana rembulan,
shalat Istisqa’ shalat tarawih-dan shalat sunnah mutlak. Shalat
fardhu wajib dilakukan dengan niat, yaitu niat melakukannya
dengan menyebut nama shalat tersebut secara tepat supaya dia
dapat dibedakan dari shalat-shalat fardhu yang lain. Dalam niat
shalat fardhu juga harus disebut kefardhuannya, supaya dia dapat
dibedakan dari shalat-shalat sunnah. Sebagian fuqaha mengatakan
bahwa penyebutan kefardhuan dalam niat shalat fardhu tidak
disyaratkan, cukup dengan menyebutkan nama shalat tersebut
secara tepat. Karena, memang nama shalat yang disebut itu adalah
shalat fardhu.
Melakukan shalat sunnah rawotib dan shalat sunnah mu’akkadah
(bukan shalat sunnah mutlak) juga harus dengan niat yaitu niat
melakukannya dan menentukan secara pasti jenisnya seperti shalat
sunnah yang mengikuti shalat fardhu Zhuhur, atau shalat Idul Fitri,
atau shalat Kusuf, dll.. Shalat sunnah mutlak cukup hanya dengan
niat melakukannya, supaya dia berbeda dengan shalat-shalat yang
lain. Karena, memang shalat sunnah mutlak ini tidak ada ketentuan
waktu dan sebabnya.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


13

A. wudhu
Cara niat wudhu adalah dengan berniat menghilangkan hadats,
atau berniat untuk melakukan shalat, atau niat wudhu, atau niat
melaksanakan perintah AIlah, atau niat supaya boleh melakukan
perkara-perkara yang melakukannya memang harus dengan
wudhu seperti shalat, thawal dan memegang mushaf, atau niat
menghilangkan janabah, atau niat fardhu mandi, atau niat mandi
wajib. Semuanya itu dilakukan sewaktu membasuh bagian pertama
dari badan seperti bagian kepala atau yang lain.
Apabila wudhunya dibantu oleh orang lain, maka niat yang
diakui adalah niat yang dilakukan oleh orang yang berwudhu, bukan
orang yang membantunya berwudhu. Karena, orang yang wudhulah
yang dituntut oleh perintah syaral Adapun orang yang hadatsnya
berterusan seperti wanita yang mengalami istihadhah, atau
orang yang selalu keluar kencing dan semacamnya, maka niatnya
adalah niat supaya boleh melakukan shalat, bukan niat untuk
menghilangkan hadats. Karena, hadatsnya tidak mungkin hilang.172
B. shalat
Shalat itu bisa jadi hukumnya fardhu airy seperti shalat lima
waktu, bisa jadi hukumnya fardhu kifayah, seperti shalat jenazah
atau shalat nazar, dan bisa jadi hukumnya sunnah muakkad ataupun
tidak muakkad sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Adapun untuk niat shalat fardhu sendiri, maka ada cara yang
harus diketahui. Begitu juga dengan niat shalat fardhuDan, kami akan
menguraikan pendapat para ulama dari tiap madzhab mengenai hal
itu pada catatan di bawah ini.
Menurut madzhab Hanafi: ada beberapa hal yang terkait dengan
pembahasan ini, pertama: diwajibkan bagi setiap mukallaf untuk
mengetahui bahwa Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka
untuk melaksanakan shalat lima waktu. Apabila ada di antara
mereka yang tidak mengetahui shalat fardhu yang akan dilakukan
maka shalatnya tidak sah, meskipun shalat itu telah dilakukan tepat
pada waktu yang telah ditentukan, kecuali jika ia melakukannya
dengan bermakmum kepada seorang imam dan ia meniatkan
shalatnya sesuai dengan shalat imamnya.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


14

Kedua: cara berniat untuk shalat fardhu adalah dengan


mengetahui di dalam hati shalat apa yang akan dilakukan, apakah itu
zuhur, ashar, maghrib, isyak, atau subuh. Apabila seorang pelaksana
shalat mengetahui di dalam hatinya shalat apa yang akan dilakukan
maka artinya ia telah berniat untuk shalat.
Apabila shalat tersebut tepat waktu, maka pelaksana shalat
cukup menegaskan waktu shalat yang dilakukannya, tanpa
tambahan lain. Sejumlah ulama madzhab ini berpendapat, bahwa
pelaksana shalat harus berniat hendak melakukan shalat fardhu pada
hari ini atau untuk waktu yang lain, dengan alasan karena waktu
yang dipergunakannya untuk melakukan shalat dapat menerima
pelaksanaan shalat fardhu lain secara qadha-an. Karena itu, jika
ia hanya berniat shalat zuhur saja, maka ada dua kemungkinan,
apakah ia hendak melakukan shalat zuhur untuk hari itu ataukah ia
hendak melakukan shalat zuhur untuk hari yang lain yang belum ia
lakukan.
Kedua pendapat ini sama-samabenat, hanya saja untuk
sekadarbentuk kehati-hatian alangkah lebih baik jika niatnya
ditambahkan “untuk hari ini” atau “unfuk waktu sekarang ini”.
Ketiga: niat shalat sunnah tidak perlu diidentifikasikan, namun
cukup diniatkan melakukan shalat saja. Hanya saja sebagai
bentuk kehati-hatian alangkah lebih baik jika shalat sunnah juga
diidentifikasikan sesuai ajaran Nabi SAW, misalnya meniatkan shalat
tarawih untuk shalat tarawih, atau meniatkan shalat setelah zuhur
untuk shalat sunnah setelah zuhur, atau meniatkan shalat tahajud
untuk shalat tahajud. Sedangkan jika seseorang melihat adanya
jamaah yang sedang melakukan shalat di malam hari misalnya,
dan ia tidak tahu shalat apa yang sedang dilakukan, apakah shalat
tarawih ataukah shalat isyak, padahal ia ingin ikut bergabung
dengan jamaah tersebut, maka bagi masbuq tersebut hendaknya
meniatkan shalat fardhu isyak saja, karena jika jamaah itu sedang
shalat isyak maka niatnya tepat, sedangkan jika jamaah itu temyata
sedang shalat tarawih maka niat dan shalat isyanya tetap dianggap
sah.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


15

Menurut madzhab Maliki: niat shalat fardhu harus diidentifikasi


fardhu apa yang hendak dilakukan, misalnya dengan menanamkan
di dalam hati keinginan untuk shalat zuhur atau shalat ashar, dan
seterusnya. Karena itu, jika tidak diidentifikasi shalat fardhu apa
yang hendak dilakukan maka shalat itu tidak sah. Bahwa harus
mengidentifikasi shalat fardhu apa yang hendak dilakukan.
Sedangkan cara berniat pada saat hendak shalat sunnah ialah
pelaksana shalat diharuskan untuk mengidentifikasikan shalat
sunnah yang dilakukannya, misalnya dengan berniat shalat faiar
bagi yang hendak melaksanakan shalat sunnah fajar, atau dengan
berniat shalat witir bagi yang hendak melaksanakan shalat witir,
dan seterusnya. Sedangkan untuk klasifikasi yang ketiga maka
cukup bagi pelaksana shalat untuk meniatkan shalat sunnah
saja, tanpa klasifikasi, karena waktu pelaksanaannya pun telah
mengklasifikasikan shalat sunnah itu dengan sendirinya.
Menurut madzhab Hambali: dalam berniat untuk melakukan
shalat fardhu, diharuskan ada identifikasi shalat apa yang akan
dikerjakan, apakah itu shalat zuhur, ashar, dan seterusnya. Karena
ifu, tidak cukup bagi pelaksana shalat yang meniatkan shalat
fardhu saja tanpa menegaskan fardhu apa. ]ika sudah disebutkan
shalatfardhu apa maka pelaksana shalat tidak perlu meniatkan yang
lainnya.
Untuk shalat sunnah rawatib tidak disyaratkan agar niatnya
diidentifikasi, misalnya meniatkan shalat sunnah sebelum ashar
untuk shalat sunnah sebelum ashar, atau zuhur, atau yang lainnya,
sebagaimana tidak disyaratkan pula ketika melakukan shalat sunnah
tarawih. Sedangkan untuk shalat sunnah yang mutlak (tidak terikat
waktu dansebab), maka pelaksana shalatsama sekali tidakperlu pula
untuk mengidentifikasinya, ia cukup berniat shalat sunnah saja.
Menurut madzhab Syafi’i: berniat untuk shalat fardhu
disyaratkan empat hal:
Pertama: niat fardhu, yakni pelaksana shalat menanamkan di
dalam hatinya bahwa shalat yang akan dilakukannya adalah shalat
fardhu.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


16

Kedua: bayangan untuk melakukan rangkaian shalat, yakni


pelaksana shalat harus membayangi rangkaian shalat yang akan
dilakukannya dan membayangi pelaksanaannya, meski hanya
secara global saja. Syarat ini harus dilakukan dengan alasan agar
apa yang hendak dilakukannya dapat dibedakan dengan perbuatan
lain. Ketiga: mengidentifikasi shalat fardhu yang akan dilakukan,
apakah shalat zuhur, ashar, dan seterusnya. Keempat: ketiga syarat
di atas harus dilakukan secara beriringan dengan takbiratul ihram.
Apabila ada salah satu syarat ini tidak dipenuhi maka niatnya tidak
satu dan dampaknya membuat shalat menjadi batal, karena niat
termasuk salah satu fardhu yang harus dilakukan di dalam shalat.
Mungkin sebagian orang akanmerasa kesulitan unfuk menerapkan
kesemua syarat itu, namun faktanya seorang pelaksana shalat yang
berhadapan dengan Tuhannya memang harus fokus bermunajat dan
tidak boleh lengah dari ibadah yang hendak dilakukannya.
Rangkaian shalat yang harus dibayangkan ketika berniat tidak
harus semuanya, karena madzhab Syafi’i pun mengakui bahwa hal
itu akan sangat memberatkan dan sulit dilakukan namun pelaksana
shalat harus dapat membayanginya meski hanya rukuk atau
sujudnya, berdiri atau duduknya, ataupun bacaan yang akan ia
baca di dalam shalat, karena dengan membayanginya sejak awal
maka pelaksana shalat akan merasa termotivasi untuk khusyuk di
hadapan Tuhannya.
Shalat sunnah itu ada yang terikat dengan waktu, seperti shalat
sunnah rawatib (shalat sunnah yang dilakukan sebelum atau setelah
shalat fardhu), atau shalat dhuha, atau yang lain. Ada pula shalat
sunnah yang tidak terikat dengan waktu namun terikat dengan
sebab, seperti shalat istisqa atau yang lainnya. Dary ada pula shalat
sunnah mutlak (tidak terikat waktu ataupun sebab tertentu).
Untuk shalat sunnah yang terikat dengan waktu, atau sebab,
pelaksana shalat diharuskan untuk mengidentifikasi shalat
sunnahnya itu, misalnya dengan menyebutkan shalat dhuha atau
semacamnya, dan pelaksana shalat juga diharuskan untuk lebih
spesifik dalam identifikasinya jika shalat sunnah yang dilakukan
adalah shalat sunnah rawatib, yaitu dengan menyebutkan qabliyah
atau ba’diyahnya (sebelum shalat fardhu atau setelahnya).

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


17

Dan, identifikasi niat shalat tersebut harus dilakukan secara


beriringan dengan takbiratul ihram, karena itu adalah yang
dimaksud dengan pembayangan dan penghayatan dalam berniat
seperti halnya pada shalat fardhu. Sedangkan untuk shalat sunnah
mutlak yang tidak terkait dengan waktu ataupun sebab, pelaksana
shalat cukup meniatkan shalat sunnah saja saat melafalkannya
pada takbiratul ihram, tidak perlu diidentifikasi shalat apa yang
hendak dilakukan.
Memasukkan Ada’an dan Qadha’an dalam Niat Pelaksana
shalat tidak diharuskan untuk memberi penegasan dalam niatnya
apakah shalat yang dilakukannya itu secara ada’an (tepat waktu)
atau(qadha) (di luar waktu). Jika ia hendak shalat zuhur di waktu
zuhur misalnya, maka ia tidak harus meniatkan shalatnya secara
ada’an begitu pula jika ia terpaksa melakukan shalat zuhurnya
setelah waktu zuhur itu berakhir, maka ia tidak harus meniatkan
shalatnya secara qadha’an. Namun jikapun ia meniatkan hal itu di
dalam hatinya saja, atau melafalkannya dengan lisan bersama niat
di dalam hati, maka shalatnya tetap sah, selama sifat waktu yang
disebutkan sesuai dengan kenyataan. Sedangkan jika tidak, misalnya
ia berniat shalat zuhur secara ada’an padahal waktu zuhurnya sudah
berakhir, apabila ia mengetahui bahwa waktunya sudah keluar dan
sengaja berniat seperti itu maka shalatnya tidak sah, karena ia
dianggap memperrnainkan niatnya, namun jika ia tidak tahu bahwa
waktunya sudah berakhir maka shalahrya tetap sah.
Selain itu, jika seseorang memasukkan jumlah rakaat dalam
niatnya, dan jumlah tersebut tidak benar, misalnya meniatkan shalat
maghrib dengan empat rakaat, atau meniatkan shalat isyak dengan
lima rakaat, maka shalatnya tidak sah lagi, meskipun pelafalan itu
hanya salah ucap saja. Ini penurut pandangan madzhab Syafi’i dan
Hambali. Sedangkan untuk mengetahui pendapat madzhab Maliki
dan Hanafi, lihatlah pada catatan berikut ini.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


18

Menurut madzhab Hanafi: apabila seseorang meniatkan


shalat zuhur dengan lima rakaat atau tiga rakaat, namun pada
pelaksanaannya ia mengerjakan empat rakaat, maka shalatnya
masih sah dengan niat yang sudah terbatalkan.
Menurut madzhab Maliki: jika demikian maka shalatnya tidak
batal kecuali disengaja.

Bab Ketiga
Thaharah
(Washilah atau Muqaddimah Shalat)

Pembahasan mengenai thaharah (bersuci) mengandung tiga


bagian.
A. Konsep Thaharah
Perkara yang dibincangkan dalam bab ini meliputi pengertian,
kepentingan, jenisjenis benda yang menyucikan, jenis-jenis air,
hukum mengenai sisa dan telaga air, dan jenis-jenis benda yang suci.
B. Najis
Pembahasan dalam pasal ini meliputi jenis najis, kadar najis yang
dimaafkan, cara menyucikan najis, dan hukum air basuhan.
C. Wudhu dan Ferkara yang Berkaitan
Pasal ini dibagi kepada tiga pembahasan. Pembahasan pertama,
fardhu, syarat, dan sunnah wudhu, di samping perkara yang
membatalkan wudhu serta wudhu orang yang uzur. Pembahasan
kedua mengenai bersiwak
termasuk pengertian, hukum, cara, dan faedah bersiwak.
Pembahasan ketiga mengenai menyapu dua khuf.Ini meliputi
pengertian, dasar pensyariatan, cara, syarat, waktu menyapu,
perkara yang membatalkannya, menyapu serban, menyapu sarung
kaki, dan menyapu pembalut jabirah).

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


19

A. Konsep Thaharah
Para ahli fiqih mendahulukan pembahasan thaharah sebelum
pembahasan shalat. Alasannya adalah thaharah merupakan
kunci dan syarat sahnya shalat. Syarat mestilah didahulukan dari
masyruth (perkara yang memerlukan syarat).
Dalam pasal ini, akan dibahas beberapa perkara berikut ini:
• Pertama : Pengertian Thaharah
• Kedua : Syarat Wajib Thaharah
• Ketiga : Jenis - Jenis Air
1. Pengertian Thaharah
Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran
atau najis hissi (yang dapat terlihat) seperti kencing atau lainnya,
dan najis ma’nawi lyang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan
maksiat. Adapun menurut istilah syara’, thaharah ialah bersih dari
najis baik najis haqiqi, yaitu khabats (kotoran) atau najis hukmi,
yaitu hadats.
Khabats ialah sesuatu yang kotor menurut syara’. Adapun hadats
ialah sifat syara’ yang melekat pada anggota tubuh dan ia dapat
menghilangkan thaharah (kesucian). Demikian definisi thaharah
secara umum, berikut ini definisi thaharah menurut keempat ulama
madzhab
Madzhab Hanafi: Thaharah secara syar’i adalah bersih dari
hadats maupun kotoran dan najis. Dalam pandangan madzhab
Hanafi, thaharah atau bersuci dapat berupa perbuatan seseorang
membersihkan sesuatu yang najis atau kotor, sebagaimana thaharah
dapat pula berupa bersihnya sesuatu yang kotor atau najis dengan
sendirinya. Misalnya, karena benda tersebut tersiram air bersih
tanpa ada orang yang menyirarnnya. Sementara hadats meliputi
hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil dapat berupa keluamya
angin melalui lubang dubur, air kencing, dan semacarmya. Hadats
kecil dapat dihapus dengan berwudhu. Adapun hadats besar
adalah berupa keadaan junub yang dapat dihilangkan dengan
cara melakukan mandi wajib. Madzhab Hanafi mengartikan hadats
sebagai sesuatu yang bersifat syar’i yang dapat dihapus dengan cara
membersihkan sebagian anggota badan maupun seluruh tubuh.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


20

Dengan demikian maka thaharah tersebut dapat menghapus


hadats. Sebagian dari kalangan Hanafi mengartikan hadats sebagai
najis maknawi (non fisik). Dalam hal ini, seolah-olah pembuat
syariat menghukumi hadats sebagai najis yang menghalangi sahnya
shalat, sebagaimana halnya najis fisik yang juga menghalangi
sahnya shalat.
Madzhab Maliki: Thaharah adalah sifat maknawi yang
memungkinkan orang yang disifati boleh mengerjakan shalat dengan
mengenakan pakaian yang dikenakannya, serta tempat di mana
shalat tersebut dikerjakan. Makna dari sifat maknawi adalah bahwa
thaharah merupakan keadaan (kondisi) yang ditetapkan Allah
sebagai syarat sahnya shalat dan atau semacarmya. Manakala sifat
tersebut terdapat pada tempat yang akan digunakan untuk shalat,
maka seseorang boleh melaksanakan shalat di tempat tersebut.
Begitu pula ketika sifat tersebut ada pada pakaian yang akan
digunakan untuk shalat, maka orang tersebut boleh mengenakan
pakaiarurya unfuk melakukan shalat. Sifat seperti ini merupakan
perkara maknawi, bukan perkara yang dapat diindera atau dilihat.
Sebagai lawan thaharah dalam. makna seperti ini adalah najis dan
hadats. Najis sendiri merupakan sifat maknawi yang mengharuskan
orang yang disifatinya terlarang melakukan shalat, baik dengan
pakaian ataupun tempat di mana shalat tersebut dikerjakan.
Sementara hadats adalah sifat maknawi yang mengharuskan orang
yang disifatinya terlarang melakukan shalat. Ringkasnya, najis
merupakan sifat maknawi yang ada kalanya melekat pada pakaian
sehingga terlarang menggunakannya untuk shalat. Ada kalanya
melekat pada tempat di mana shalat tersebut dikerjakan, sehingga
terlarang mengerjakannya di tempat tersebut. Dan ada kalanya
juga melekat pada diri seseorang yang disebut hadats. Karena itu
ia terlarang melakukan shalat dalam keadaan berhadats. Intinya,
bahwa hadats adalah sifat yang ditetapkan oleh Allah, yang biasa
dikenal sebagai perkara yang membatalkan wudhu, sedangkan najis
biasa dikenal sebagai kotoran-kotoran tertentu seperti urine, tinja,
darah, dan yang lainnya.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


21

Madzhab Syafi’i: Thaharah secara syar’i mencakup dua makna


Pertama; Melakukan sesuatu yang mengakibatkan dibolehkannya
mengerjakan shalat. Sesuatu di sini berupa wudhu, mandi, tayamum,
serta membersihkan kotoran (najis), atau perbuatan dalam makna
serta bentuk yang sama dengan wudhu dan mandi, misalnya
melakukan tayamum, mandi sunnah, ataupun berwudhu saat masih
dalam keadaan suci. Penjelasan dari definisi ini bahwa membasuhkan
air pada wajah dan anggota badan lain dengan niat berwudhu
dapat dikatakan sebagai thaharah. Jadi thaharah merupakan
tindakan seseorang. Artinya, thaharah merupakan sebutan atau
nama dari perbuatanseseorang. Akan tetapi thaharah seperti ini
tidak berdampak pada bolehnya melakukan shalat. Pasalnya,
dibolehkannya shalat adalah karena telah terpenuhinya wudhu
yang dilakukan saat seseorang berhadats, atau yang disebutwudhu
pertama. Sedangkan wudhu yang dilakukan saat seseorang sudah
dalam keadaan suci atau yang biasa disebut wudhu setelah
wudhu tidak berdampak pada boleh tidaknya melakukan shalat.
Demikian pula dengan mandi sunnah, sebab yang menghalangi
dapat dilaksanakannya shalat adalah keadaan junub, di mana cara
mensucikannya adalah dengan melakukan mandi wajib, bukan
mandi sunnah. Kedua; Thaharah adalah menghilangkan hadats, atau
membersihkan kotoran, atau sesuatu dalam pengertian serta bentuk
yang sama dengan hal itu. Misalnya, tayamum, mandi sunnah,
dan semacamnya. Di sini, thaharah diartikan sebagai semacam
sifat maknawi yang berdampak pada,munculnya suatu perbuatan.
jadi hadats dapat dihilangkan dengan wudhu atau mandi iika itu
adalah hadats besar, di mana arti menghilangkan atau dihilangkan
didasarkan pada perbuatan seseorang. Sedangkan najis atau kotoran
dapat dihilangkan dengan cara menyiramnya. Ini adalah makna
thaharah yang dimaksud. Adapun makna thaharah yang pertama
sebagai suatu perbuatan tidak lain merupakan makna kiasan.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


22

Madzhab Hambali: Thaharah secara syar’i adalah


menghilangkan hadats atau semacamnya, membersihkan najis
atau menghilangkan hukumnya. Maksud dari menghilangkan
hadats adalah menghilangkan segala sifat yang menghalangi dapat
dilaksanakannya shalat atau sejenisnya. Sebab, hadats merupakan
semacam sifat maknawi yang melekat pada seluruh anggota badan
ataupunsebagian. jadi thaharah berarti mengangkat sifat tersebut.
Sementara yang dimaksud dengan’atau semacarmya’ dalam
pengertian thaharah adalah tindakan yang mengandung makna
seperti menghilangkan hadats. Misalnya, memandikan mayat,
meskipun hal itu tidak mengangkat hadats, akan tetapi itu merupakan
perkara ibadah. Contoh lain adalah melakukan wudhu ketika masih
memiliki wudhu, hal mana juga bukan untuk menghilangkan hadats.
Semua itu masuk dalam pengertian seperti menghilangkan hadats
meskipun tidak menghilangkan hadats. Sedangkan yang dimaksud
dengan’membersihkan najis’ dalam pengertian di atas mencakup baik
perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang seperti menyiramkan
air di tempat yang terkena najis, ataupun najis yang hilang dengan
sendirinya, seperti berubahnya khamer menjadi cuka. Sedangkan
maksud dari’menghilangkan hukumnya’ dalam pengertian thaharah
di sini adalah menghilangkanhukum hadats maupun najis atau
apa saja yang semakna dengan itu. Ini dapat dilakukan dengan
menggunakan debu (tanah), yaitu tayamum dari hadats mauPun
kotoran. Jadi, tayamum dapat menghilangkan hukum hadats
maupun hukum najis, yang mana dapat menghalangi pelaksanaan
shalat. Thaharah secara syar’i adalah menghilangkan hadats atau
semacamnya, membersihkan najis atau menghilangkan hukumnya.
Maksud dari menghilangkan hadats adalah menghilangkan segala
sifat yang menghalangi dapat dilaksanakannya shalat atau
sejenisnya. Sebab, hadats merupakan semacam sifat maknawi
yang melekat pada seluruh anggota badan ataupunsebagian.
jadi thaharah berarti mengangkat sifat tersebut. Sementara yang
dimaksud dengan’atau semacarmya’ dalam pengertian thaharah
adalah tindakan yang mengandung makna seperti menghilangkan
hadats. Misalnya, memandikan mayat, meskipun hal itu tidak
mengangkat hadats, akan tetapi itu merupakan perkara ibadah.
Contoh lain adalah melakukan wudhu ketika masih memiliki wudhu,
hal mana juga bukan untuk menghilangkan hadats. menggunakan
debu (tanah), yaitu tayamum dari hadats mauun kotoran.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


23

B. Syarat Thaharah
Jika pakaian dan tempat wajib dibersihkan, maka membersihkan
badan adalah utama. Karena, ia lebih diutamakan bagi yang hendak
shalat.
Siapa yang wajib melakukan shalat, makan ia wajib melakukan
thaharah. Kewajiban ini bergantung kepada kesepuluh syarat, yaitu:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Berhentinya darah haid dan nifas
5. Masuknya waktu
6. Tidak tidur
7. Tidak lupa
8. Tidak dipaksa
9. Ada air atau debu yang suci
10. Mampu melakukan sesuai kemampuan
C. Jenis-Jenis Air
Dari segi sah tidaknya untuk bersuci, air terbagi menjadi tiga
bagian: air suci mensucikan (thahur), air suci tidak mensucikan
(thahir ghairu thahur), dan air najis (mutanajjis).Dan untuk masing-
masing bagian dari tiga bagian tersebut ada pembahasan tersendiri.
Air suci mensucikan (thahur) adalah semua air yang turun dari
langit atau yang bersumber dari dalam tanah. Dimana salah satu dari
tiga sifatnya tidak ada yang berubah, yaitu: warna, rasa, dan aroma,
baik disebabkan oleh sesuatu dan lain hal yang menghilangkan
kesucian air tersebut, dan juga bukan air bekas.
Air suci tidak mensucikan (thahir ghairu thahur) adalah air
yang tidak dapat digunakan untuk ibadah, seperti wudhu, mandi,
atau semacamnya. Sebagaimana pula tidak dapat digunakan untuk
membersihkan najis maupun kotoran. Penggunaannya dibolehkan
hanya pada hal-hal keseharian saja, seperti untuk minum, mandi,
cuci pakaian, perkakas, dan sebagainya.
Ringkasan Fiqih 4 Madzhab
24

Air najis (mutanajis) adalah air yang terkena benda najis yang
tidak dimaafkan oleh syara’ seperti tahi yang sedikit, dan air tersebut
tidak mengalir dan juga sedikit. Air yang mengalir menjadi najis
apabila ada bekas najis padanya. Yang dimaksud bekas najis ialah
rasa najis, warnanyam atau baunya.
Oleh sebab itu, air najis terbagi menjadi dua jenis. Pertama,
air sedikit yang mempunyai sifat menyucikan, dan kejatuhan
najis meskipun salah satu sifatnya tidak berubah. Kedua, air yang
mempunyai sifat menyucikan, dan kejatuhan najis serta berubah
salah satu sufatnya (warna, bau, dan rasa). Para ulama sepakat
bahwa air jenis kedua adalah najis, yaitu yang berubah salah satu
sifatnya. Kadar air sedikit menurut pendapat ulama adalah dua
kullah (270 liter), lalu ada najis yang jatuh ke dalamnya, baik najis
itu beku atau cair, dan tidak ada perubahan rasa, warna atau bau air,
maka air itu dianggap suci dan menyucikan.

B. Najis
Najis terbagi kepada dua jenis, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi.
Dari segi bahasa, najis haqiqi ialah benda - benda yang kotor seperti
darah, air kencing, dan tahi. Menurut syara’ ialah segala kotoran yang
menghalangi sahnya shalat. Najis hukmi ialah najis yang terdapat
pada beberapa bagian anggota badan yang menghalangi sahnya
shalat. Najis ini mencakup hadats kecil yang dapat dihilangkan
dengan wudhu dan hadats besar (janabah) yang dapat dihilangkan
dengan mandi. Najis haqiqi terbagi kepada beberapa jenis, yaitu
mughallazhah (berat), mukhaffafah (ringan), najis yang keras, najis
yang cair, najis yang dapat dilihat, dan najis yang tidak dapat dilihat.
a. Najis yang disepakati dan yang tidak dipertikaikan oleh ulama
1. Najis yang disepakati oleh ulama Madzhab
Para fuqaha telah bersepakat mengenai najisnya perkara -
perkara berikut:
a. Babi
Babi adalah najis meskipun disembelih secara syara’, karena ia
dihukumi sebagai najis ‘ain (najis pada dirinya) melalui nash Al -
Qur’an. Maka, daging dan juga semua bagian badannya seperti bulu,

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


25

tulang, dan kulit di hukumi najis meskipun kulitnya disamak.


b. Darah
Darah manusia selain darah orang yang mati syahid, dan darah
binatang selain binatang laut, yang mengalir keluar dari tubuhnya
baik semasa hidupnya ataupun sesudah matinya, jika memang ia
mengalir banyak, maka darah tersebut dihukumi najis. Oleh sebab
itu, darah orang yang mati syahid selama darahnya masih berada di
badannya tidaklah termasuk najis. Begitu juga darah ikan, jantung,
limpa, dan hati dan semua darah yang berada dalam saraf binatang
sesudah ia disembelih selama ia tidak mengalir, juga tidak termasuk
kedalam hukum najis.
Darah yang mengalir adalah najir, meskipun ia keluar dari
binatang seperti ikan, lalat, dan kutu anjing. ini adalah menurut
ulama madzhab Syafi’i.
Berdasarkan perbedaan pendapat ini, maka memakan ikan yang
diasinkan (fasikh) yang disusun secara bertindih - tindih dalam
keadaan darah masing - masing ikan itu masih mengalir dari seekor
kepada yang lainnya, adalah tidak boleh menurut pendapat ulama
madzhab Syafi’i, dan juga menuru pendapat terkuat di kalangan
madzhab Maliki. Kecuali, ikan - ikan yang berada di lapisan atas saja
ataupun ikan yang diduga berada di bagian atas atau yang ada di
tempat lainnya.
Menurut pendapat madzhab Hanafi dan Ibnul Arabi dari madzhab
Maliki, semua ikan itu boleh dimakan. Karena menurut pendapat
mereka, apa yang keluar dari badan ikan itu bukanlah darah,
melainkan ia adalah benda basah. Oleh sebab itu, ia dihukumi bersih.
C. Air kencing, Muntah, dan Tahi manusia
Semuanya dihukumi najis kecuali kencing anak - anak lelaki yang
masih menyusu.

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


26

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


27

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


28

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


29

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


30

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab


31

Ringkasan Fiqih 4 Madzhab

Anda mungkin juga menyukai