Anda di halaman 1dari 14

HUKUM TAKLIFI DAN PEMBAGIANNYA

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu Bapak Dr. H. Syufa’at, M. Ag.

Oleh:

Hilda Febriana (214110302031)

2 HKI C

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UIN Prof. KH SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

2022
HUKUM TAKLIFI DAN PEMBAGIANNYA

A. Pendahuluan

Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu

pada yang lain”. Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu.

Sedangkan istilah para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu Azhar adalah

“titah (khitab) syari’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa

tuntutan, pilihan atau wadh’i.

Ketentuan syar’i yang dikemukakan dalam bentuk tuntutan kemudian

terbagi dua, yaitu tuntutan untuk dikerjakan dan tuntutan untuk ditinggalkan.

Masing-masing dari dua tuntutan ini ada yang mengikat dan ada pula yang tidak

mengikat. Tuntutan untuk dikerjakan dengan mengikat menimbulakan hukum

wajib, sedangkan yang tidak meningkat menimbulkan hukum mandub. Adapun

tuntutan untuk ditinggalakan dengan mengikat dengan menimbulkan hukum haram,

sedangkan yang tidak mengikat menimbulkan hukum makruh. Sementara

ketentuan syar’i yang dinyatakan dalam bentuk pilihan/takhyiri menimbulkan

hukum mubah.

Dalam makalah ini kami akan memaparkan mengenai;

1. Definisi dari hukum taklifi

2. Pembagian hukum taklifi

1
2

HUKUM TAKLIFI DAN PEMBAGIANNYA

B. Pembahasan

Sebagaimana dikatakan imam al-Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’

merupakan tujuan pokok mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Target kedua

disiplin ilmu ini memang untuk mengetahui hukum syara’ yang berhubungan

dengan perbuatan orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ilmu

ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari aspek proses metodologis dan sumber-

sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi produk penggalian hukum

syara’, yakni ketetapan Allah swt. yang berhubungan dengan perbuatan orang-

orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (tuntutan, perintah dan larangan), takhyir

(pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab-akibat). Ketentuan Allah swt. dalam

konteks ini adalah ketentuan yang diberikan oleh Allah swt. terhadap hukum yang

berhubungan dengan orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunah,

mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang

merupakan objek pembahasan ilmu ushul fiqh.1

Ketentuan syar’i terhadap para mukallaf itu ada tiga bentuk yaitu tuntutan,

pilihan dan wadh’i. Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut

1
Moh. Baharuddin, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Raharja), 2019,
Hal.77
3

hukum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedangkan yang

mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadh’i.2

1. Pengertian Hukum Taklifi

Taklifi secara bahasa berasal dari kata kallafa-yukallifu-taklif, yang artinya

beban. Secara istilah, hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki mukalaf

untuk mengerjakan, atau memilihnya antara mengerjakan dan meninggalkannya.

Dari segi yang dituntut, taklifi terbagi menjadi dua, yaitu; tuntutan untuk

memperbuat (perintah) dan tuntutan untuk meninggalkan (larangan).3 Misalnya

hukum tentang perintah shalat yang menunjukan hukum wajib untuk dikerjakan,

dan larangan membunuh, yang menunujukan hukum haram untuk dilakukan.4

2. Macam – macam Hukum Taklifi

1. Ijab adalah sebagai tuntutan syar’i yang bersifat supaya dapat

melaksanakan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan dan apabila

meninggalkannya maka akan dikenai sanksi.

2. Nadb adalah suatu permintaan untuk melakukan suatu tindakan yang

tidak wajib, tetapi sebagai saran, sehingga tidak dilarang seseorang

meninggalkan dan yang harus dilakukan adalah mandub, sedangkan

hasil dari permintaan disebut nadb.

2
Shidu Irwansyah, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bingkai Ushul Fiqih, Jurnal
Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No. 1 (Maret, 2018), Hal.90
3
Imam al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyah), Hal. 106
4
Riza Pachrudin, Analisis Hukum Taklifi dan Pembagagiannya dalam Ushul Fiqh, jurnal stima, Vol
2 No 2, 2021
4

3. Tahrim adalah salah satu tuntutan supaya dapat mengerjakan suatu

perbuatan atas tuntutan dari Allah.

4. Karahah adalah salah satu tuntutan supaya dapat meninggalkan suatu

perbuatan dengan melalui redaksi bersifat memaksa sehingga seseorang

dapat mengerjakan perbuatan yang baik sesuai dengan perintah dan

hukum Allah.

5. Ibahah adalah salah satu perbuatan yang mengandung dan bersifat suatu

dari khithab Allah hal itu disebut mubah.5

Lima macam hukum taklifi diatas adalah hukum taklifi menurut

jumhur ulama. Itulah yang disebut “hukum yang lima” atau al-ahkam

al-khamsah.6

3. Pembagian Hukum Taklifi

Menurut Fuqoha’ Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam, yaitu;7

1) Wajib

Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan

yang diberi pahala jika mengerjakannya dan di beri siksa (‘iqab) apabila

meninggalkannnya. Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa sesuatu

yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap mukalaf. Jika

dikerjakan akan diberi balasan pahala, dan jika tidak dilaksanakan diancam

5
Moh. Baharuddin, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Raharja), 2019,
Hal.80-83
6
Amsori, Al-Ahkam Al-Khams sebagai Klasifikasi dan Kerangka Nalar Normatif Hukum Islam: Teori
dan Perbandingan, Pakuan law review, Vol. 3 no. 3, 2017, Hal.45
7
Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras), 2012, Hal.28-37
5

dengan dosa. Kemestian sesuatu untuk dilakukan bisa diketahui langsung

dari bentuk perintah, atau dengan adanya qorinah (indikasi) yang ada dalam

suatu redaksi, misalnya adanya ancaman atas diri orang yang tidak

melaksanakannya. Misalnya, sholat fardhu lima waktu dalam satu hari

semalam.

Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:

a. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,

wajib dapat dibagi dua:

• Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannnya

misalnya membaca fatihah dalam shalat.

• Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa

macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah

yang member pilihan tiga laternatif, memberi makan 10 orang

miskin atau memberi pakaian 10 orang miskin atau memerdekakan

budak.

b. Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya

wajib itu dtentukan waktunya, seperti shalat lima waktu dan puasa

ramadhan dan adakalanya tidak ditentukan waktunnya, seperti

membayar kifarat sumpah bagi orang yang melanggar sumpah. Wajib

yang ditentukan waktunya terbagi menjadi dua :

• Wajib mudhayyaa, waktu yang ditentukan untuk melaksanakan

kewajiban itu sama banyaknya dengan waktu yang dibutuhkan


6

untuk itu. Misalnya, bulan Ramadhan untuk melaksanakan puasa

Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan

Ramadhan.

• Wajib muwassa’, waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang

dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban tersebut. Mislnya, shalat

zhuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksankan shalat tersebut jauh

lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk

menunaikan shalat itu. Hal ini memberikan kemungkinan kepada

mukalaf untuk leluasa menunaikan shalatnya disembarang waktu

dalam batas waktu yang ditentukan diawal waktu dan dipertengahan

atau juga dipenghujungnnya.

c. Dilihat dari segi siapa saja yang harus memperbuatnya, wajib terbagi

kepada dua bagian:

• Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap

mukalaf. Misalnya, mengerjakan shalat lima waktu, puasa ramdhan,

dan lain sebagainya. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.

• Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah

seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang

mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah

seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya.

Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah

semua anggota masyarakat tersebut. Misalnnya mendirikan tempat


7

peribadatan, mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan

shalat jenasah dan lain sebagainya.

d. Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua:

• Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau

jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah

rakaat shalat, dan lan-lain.

• Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan

batas bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta dijalan Allah,

berjihad, tolong menolong dan lain sebagainya.

2) Haram

Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya.

Orang yang melakukkannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang

meninggalkannya diberi pahala. Misalnya, mencuri, membunuh, tidak

menafkahi orang yang menjadi tanggungan dan lain sebagainya. Perbuatan

ini disebut juga maksiat, qabih.

Secara garis besarnya haram dibagi menjadi dua:

a. Haram lidzati, Haram karena perbuatan itu sendiri atau haram

karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang

memang diharamkan sejak semula karena esensinya mengandung

kemudharatan bagi kehidupan manusia. Misalnnya, membunuh,

berzina, mencuri dan lain-lain.


8

b. Haram lighoirihi, Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain

atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Haram ini

dilarang bukan disebabkan oleh esensinya karena secara esensinya

tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu,

suatu itu dilarang karena adanya pertimbangan eksternal yang akan

membawa kepada suatu yang dilarang secara esensial. Misalnnya,

puasa ramadhan yang semulanya wajib berubah menjadi haram

karena dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit yang

mengancam keselamatan jiwa.

3) Mandub

Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendpatkan

pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab).8

Mandub disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan

adilah. Istilah tersebut memiliki pengertian yang sama.

Sunah dibagi menjadi;

a. Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu

perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang

ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunah dua raka’at sebelum fajar.

b. Sunnah ghair al-Muakkaddah (sunnah biasa), yaitu sesuatu yang

dilakukan Rasulullah saw., namun bukan menjadi kebiasaannya.

Misalnya, melakukan shalat sunah dua kali dua raka’at sebelum

8
Rusyada Basri, Ushul Fiqih 1, (IAIN PAREPARE NUSANTARA PRESS), Hal. 27
9

shalat zuhur, dan seperti memberikan sedekah sunah kepada orang

yang tidak dalam keadaan terdesak. Jika dalam keadaan terdesak,

maka hukum membantunya adalah wajib.

4) Makruh

Makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang

meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang tidak

meninggalakannya tidak mendapat dosa (‘iqab).9 Misalnya merokok,

memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap dan lain

sebagainnya.

Pada umumnya, ulama membagi makruh pada dua bagian yaitu:

a. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk

meniggalkannya. Misalnya, memakan daging kuda dan meminum

susunya pada waktu sangat butuh diwaktu perang. Menurut sebagian

kalangan Hanafiyah, pada dasarnya memakan daging kuda

hukumnya haram karena ada larangan memakannya berdasarkan

hadits riwayat Daruquthni. Namun ketika sangat butuh waktu

perang dibenarkan memakannya meskipun dianggap makruh.

b. Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil

yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya

dari Rasulullah saw. hanya sampai ke dugaan keras) tidak bersifat

pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam

9
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit KENCANA), 2017, Hal. 54
10

pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang

dalam tawaran orang lain

5) Mubah

Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang diperbolehkan atau

diizinkan”.10 Mubah berasal dari fi’il madhi lafadz “ibah”, dengan arti

menjelaskan dan memberitahukan. Mubah merupakan ketentuan syar‟i

yang mengandung pilihan bagi orang-orang mukallaf untuk menjalankan

atau meninggalkan.11

Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-

Syariah membagi mubah menjadi tiga macam:

1) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada

sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum

adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan

seseorang sampai ia mengerjakan kewajiban-kewajiban yang

dibebankan kepadanya seperti shalat dan berusaha mencari rizki.

Mubah seperti ini, hanya dianggap mubah dalam memilih makanan

halal mana yang akan dimakan dan minumnan halal mana yang akan

diminum. Akan tetapi, seseorang tidak diberi kebebasan untuk

memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan makan

sama sekali dalam hal ini membahayakan dirinya.

10
Misbahuddin, Ushul Fiqh 1, (Makasar: Alauddin University Press), 2013, Hal. 45
11
Sahlul Fuad, Ahkam Al- Khams dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, Vol. 4 No. 1, 2020, Hal. 24.
11

2) Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya dilakukan sekali-sekali,

tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya,

bermain dan mendengar nyanyian hukumnya adalah mubah bila

dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan

waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.

3) Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai

sesuatu yang mubah pula. Misalnya, membeli perabot rumah untuk

kepentingan kesenangan, hidup senang hukumnya adalah mubah,

dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat

persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula,

karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan

menggunakan sesuatu yang dilarang.


12

KESIMPULAN

Hukum Taklifi adalah hukum yang menunjukan tuntutan bagi

mukallaf untuk berbuat atau meninggalkan, atau memilih antara berbuat

atau meninggalkan.

Hukum taklifi terbagi menjadi lima, Pertama, Wajib adalah perintah

Allah yang menunjukan adanya tuntutan mengerjakan sesuatu dengan

tuntunan yang pasti, atau mengerjakannya berpahala dan meninggalkannya

berdosa. Kedua, Sunnah adalah perintah Allah yang menunjukan adanya

tuntutan mengerjakan sesuatu dengan tuntutan yang tidak pasti atau

mengerjakannya berpahala dan meninggalkannya tidak berdosa. Ketiga,

Haram adalah perintah Allah yang menunjukan adanya larangan

mengerjakan sesuatu dengan larangan yang pasti atau sesuatu yang apabila

dikerjakan berdosa dan ditinggalkan berpahala. Keempat, Makruh adalah

perintah Allah yang menunjukan adanya larangan mengerjakan sesuatu

dengan larangan yang tidak pasti. Kelima, Mubah adalah perintah Allah

yang memberikan kebebasan seorang mukallaf untuk menengerjakan atau

tidak mengerjakan suatu perkara.


13

DAFTAR PUSTAKA

Amsori, 2017, Al-Ahkam Al-Khams sebagai Klasifikasi dan Kerangka Nalar

Normatif Hukum Islam: Teori dan Perbandingan, Pakuan law review,

Vol. 3 no. 3.

Imam al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyah).

Misbahuddin, 2013, Ushul Fiqh, (Makasar: Alauddin University Press).

Moh. Baharuddin, 2019, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandar Lampung: AURA CV.

Anugrah Utama Raharja).

Riza Pachrudin, 2021, Analisis Hukum Taklifi dan Pembagagiannya dalam Ushul

Fiqh, jurnal stima, Vol.2 No. 2.

Rusyada Basri, Ushul Fiqih 1, (IAIN PAREPARE NUSANTARA PRESS).

Sahlul Fuad, 2020, Ahkam Al- Khams dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam

dan Perubahan Sosial, Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan,

Vol. 4 No. 1.

Satria Effendi M. Zein, 2017, Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit KENCANA).

Shidu Irwansyah, 2018, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum Dalam

Bingkai Ushul Fiqih, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No. 1.

Suwarjin, 2012, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras).

Anda mungkin juga menyukai