Anda di halaman 1dari 6

HUKUM SYARIAT TAKLIFI DAN WADH’I

M.ADITYA RIZKY
MAHASISWA JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM SEMESTER 3
UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL DARUL LUGHAH WAD DA’WAH

A. PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara’

Secara etimologis, hukum berarti mencegah, putusan.[1]

Adapun secara terminologis, hukum menurut Al-‘amidi dan ‘abdul Wahhab Khallaf adalah Tuntutan
Allah Swt yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan
sesuatu sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah.[2]

Secara global, tujuan syara’ dalam menerapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan
manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana’ ini, maupun kemaslahatan di hari yang
(kekal) kelak. Ini berdasarkan antara lain:

Adapun firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 107:

Artinya: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam”. [3]

B. Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan atau ditinggalkan
oleh para mukallaf ) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan[4]

Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu:

a) Wajib

· Pengertian wajib

‫الواجب هو الفعل المطلوب على وجه اللزوم بحيث يثاب فاعله ويعاقب تاركه‬

Artinya :”wajib adalah suatu perbuatan yang di tuntut Allah SWT untuk di lakukan secara tuntutan
pasti.yang di beri pahala bagi yamg melakukan dan di ancam dengan dosa bagi yang meningggalkan”

Misalnya dalam QS, 2 : 110 Allah swt berfirman:

Artinya : “dan dirikanlah sholat dan tunakanlah sholat”

· Pembagian wajib

Bila dilihat dari sisi orang yang di bebani kewajiban hukum wajib di bagi menjadi dua
1. Wajib ‘aini yaitu kewaiban yang di bebenkan kepada setiap orang yang sudah berakal (mukallaf)
tanpa kecuali. Kewajiban ini tidak bisa gugur kecuali di lakukan sendiri, misalnya melakukan solat
lima waktu.

2. Wajib kifayah yaitu kewajiban yang di berikan kepada seluruh mukallaf , namun bilamana telah
dilakukan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi. Wajib kifayah
terkadang berubah menjadi wajib ‘aini , bilamana di suatu negara tidak ada lagi orang yang mwmpu
melaksanaakannya selain dirinya, contoh sholat jenazah

Bila dilihat dari sisi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi dua macam:

1. Wajib muayyan yaitu suatu kewajiban di mana orang yang menjadi obyeknya adalah tertentu
tanpa ada pilihan lain . seperti kewajiban sholat lima waktu , puasa romadlon dan zakat.

2. Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban di mana yang menjadi obyeknya boleh di pilih antara
beberapa alternative seperti kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah (QS , 5:89)

Bila dilihat dari sisi waktu pelaksanaannya hukum wajib di bagi menjadi dua macam

1. Wajib mutlaq adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak di batasi dengan waktu
tertentu. seperti kewajiban membayar puasa romadlon yang tertinggal.

2. Wajib muaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya di batasi waktu tertentu.

b) Mandub

· Pengertian mandub

Mandub secara lughowi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Secara istilah , sebagian ulama
mendefinisikan mandub adalah:

‫ما يثاب على فاعله وال يعاقب على تاركه‬

Artinya: “sesuatu yang di beri pahala orang yang melakukannya dan tidak di siksa orang yang
meninggalkannya”

Selain kata mandub , juga digunakan lafadz lain yang artinya samadengan kata mandub, seperti
sunnah, nafal, tathawu’, mustahab, dan mustahsan.

· Pembagian mandub

1. Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat di anjurkan, yaitu perbuatan yang biasa di
lakukan oleh rasul dan jarang di tinggalkannya. Misalnya sholat sunnah sebelum fajar dsb.

2. Sunnah ghairu muakkad adalah sunnah biasa, sesuatu yang di lakukan rasul, namun bukan
menjadi kebiasaannya

3. Sunnah al zawaid yaitu mengikuti kebiasaan rasul sehari hari sebagai manusia, seperti sopan
santun, makan dan minum, dll
c) Haram

· Pengertian haram

Haram (‫ )الحرام‬atau muharram (‫ )المحرم‬secara lughowi beraeti sesuatu yang lebih banyak
kerusakannya atau larangan,

‫ما طلب الشارع الكف عن فعلهعلى وجه اللزم‬

Artinya:” sesuatu yang dianut syari’(pembuat hukum) untuk tidak melakukannya)

Dari segi bentuk dan sifatnya , haram di rumuskan dengan:

‫ما يذم شرعا فاعله‬

Artinya: “suatu perbuatan yang pelakunya dicela”

· Pembagian haram

1. Al muharram li dzatihi sesuatu yang di haramkan oleh syariat karna esensinya mengandung
mudharat bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya misalnya :
larangan zina(QS,17:32), memakan bangkai(QS, 5:38), dan mencuri(QS. 5:38),

2. Al muharram li ghairihi sesuatu yang di laramg bukan karna esensinya tapi karna ada
pwrtimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang di laang secara esensial.
Misalnya, larangan jua beli di waktu sholat jumat(QS, 62:9)

d) Makruh

· Pengertian makruh

Makruh (‫)المكروه‬secara lughowi berrarti yang di benci semakna dengan (‫)القبه‬yang buruk, secara istilah
ada dua definisi. Dari segi esensinya makruh adalah

· ‫ما طلب الشارع تركه طالباغير جازم‬

Artinya: “sesuatu yang apabila ditinggalkan mendapat pujian dan apabila dikerjakan pelakunya
mendapat celaan”

· Pembagian makruh

Menurut hanafiyah makruh dibagi menjadi dua macam

1. Makruh tahrim adalah sesuatu yang yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang dilarangnya
bersifat dzanni, seperti larangan memakai sutera dan perhiasan.

2. Makruh tanzih adalah yang di anjurkan oleh syariat untuk menjalakannya . misalnya memakan
daging kuda
e) Mubah

· Pengertian mubah

Mubah (‫ )المباح‬secara lughowi berarti boleh smakna dengan ‫( الماذون‬yang di izinkan), ‫االظهار‬
(penjelasan), ‫(الحالل‬halal), dan ‫( الجاءز‬boleh)[5]

· Pembagian mubah

Mubah dibagi menjadi tiga bagian

1. Perbuatan yang di tetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’ dan manusia di beri
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya.

2. Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah
untuk melakukannya.

3. Perbutan yang sama sekali tidak ada keteranagan dari syara’ tentang kebolehan atau ketidak
bolehannya

C. Pengertian Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i sebagaimana telah di sebutkan dalam kitab Al-wadhih fii Usulil Fiqih, yang di tulis
oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT dalam kitabnya, dengan
menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang lainnya.

Adapun menurut pendapat yang lainnya, dalam buku Ushul Fikih Bagi Pemula yang ditulis oleh;
Abdul Mughits, M.Aghukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara
dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak
sah.

Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, dalam karyanya yang berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil
Fiqh, bahwasannya hokum wadh’i adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan
menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya, larangannya, kemudahannya,
hokum asal yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah).

Hukum ini dinamakan hokum wadh’i karena dalam hokum tersebut terdapat dua hal yang saling
berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain.Tapi pendapat lain
mengatakan bahwa definisi hokum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan
sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya
sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah
menurut Imam Amidi, Ghazali, danSyathibi.

Hukum wadh’I adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang
lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu
yang lain tersebut.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hokum wadh’i adalah hukum yang yangberkaitan dengan dua hal,
yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya: orang yang junub menyebabkan orang tersebut
harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan
orang tersebut harus berzakat.

Adapun pembagian hokum wadh’i dalam buku UshulFiqih yang di karangoleh Prof. Muhammad Abu
Zahrah, bahwasannya hokum wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu; Sebab, Syarat, dan Mani’
Penghalang. Namun sebagian ulama memasukkan sah dan batal,azimah dan rukhshah.

a) Sebab, adalah segala sesuatu yang di jadikan oleh syar’I sebagai alasan bagi ada dan tidak
adanya hukum.

Ulama membagi sebab menjadi 2 bagian:

1. Sebab yang di luar kemampuan orang mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab
bolehnya memakan bangkai.

2. Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Misalnya,perkawinan menjadi sebabnya hak
warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua.

b) Syarat, adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hokum dengan adanya sesuatu tersebut,
dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Misalnya, wajib zakat barang
dagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu
tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib.

Ulama ushuliyyin membagi syarat menjadi beberapa bagian:

1. Syarat hakiki (syar’i), yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan yang
lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) apabila pekerjaan yang pertama belumdi lakukan.

2. Syarat ja’li, yaitu segala syarat yang di buat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan
dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut.

a. Mani’,adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat
membatalkan sebab hukum.

Mani’ terbagi menjadi 2 macam:

1. Mani’ terhadap hukum. Misalnya, najis yang terdapat pada tubuh atau pakaian orang yang
sedang shalat, dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat sah shalat, yaitu suci dari najis. Oleh
sebab itu ,tidak ada hukum sahnya shalat. Hal ini disebut mani’ hukum.

2. Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib
mengeluarkan zakat. Namun, karena iya mempunyai utang yang jumlahnya sampai mengurangi
nisab zakat ia tidak wajib membayar zakat. Hal ini disebut mani’ sebab[6]
B. KESIMPULAN

Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi
adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para
mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi
menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub, haram, makruh, mubah.

Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang
lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya
sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani

Anda mungkin juga menyukai