Anda di halaman 1dari 6

HUKUM TAKLIFI DAN PEMBAGIANNYA DALAM USHUL FIQIH

Nama Penulis : Septiana Dwi Mahmudah


Kelas : HES SM F

Pendahuluan

Salah satu aspek penting dalam ajaran islam adalah hukum. Hukum secara etimologi (bahasa)
berarti “memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan”. Secara istilah hukum merupakan
‘seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara
atau sekelompok masyarakat,berlaku dan bersifat mengikat untuk seluruh anggota
masyarakatnya’. Salah satu hukum islam adalah hukum taklifi. Taklif ialah hukum yang
menunjukkan tuntutan bagi mukallaf untuk berbuat atau meninggalkan atau memilih antara
berbuat atau meninggalkan. Hukum taklifi terdiri dari lima macam yaitu dari al-wujub (wajib), an-
nadbu (sunnat), al-ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram).

Rumusan masalah
1. Apa Definisi Hukum Taklifi?
2. Bagaimana Klasifikasi Hukum Taklifi?

Tujuan penulisan
1. Menjelaskan Definisi Hukum Taklifi.
2. Menjelaskan Klasifikasi Hukum Taklifi

Pembahasan

Definisi Taklifi
Hukum taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf (aqil-baligh) atau orang
yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak,
kewajiban, maupun dalam bentuk larangan. Apabila orang ingin mempelajari Islam dari sudut
disiplin ilmu hukum, ia tidak mungkin menggunakan “western approach” yang sudah terbiasa
semata-mata mengkaji kondisi dan pengaruh tipe tertentu dari sikap prilaku sosial yang penuh
dengan prasangka.1
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “ mencegah” atau “memutuskan”. Menurut
terminologi ushul fiqh, hukum (al-hukm) berarti: Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal
perbuatan orang mukallaf, baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau
anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan), atau Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau mani’ [penghalang]). Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang
dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya atau tidak
melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat. 2

1
Anshori ,“ Al-Ahkam Alkams Sebagai Klasifikasi dan Kerangka Nalar Normatif Hukum Islam: Teori dan
Perbandingan”. Vol 3 No.1 Januari-Juni 2017.33 (5 September 2022)
2
Fikri Muchtada dkk, “ Kajian Taklifi menurut Imam Madzhab”, Vol XVII No.2, Desember 2021, 247 (5 September
2022)
Hukum Taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan
menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum
taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal
sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan
dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-
Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33.
Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT
mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. 3

Klasifikasi Hukum Taklifi


Dalam mebicarakan pembagaian hukum taklifi ini, seperti pernah disinggung sebelumnya,
istilah hukum digunakan kepada sifat perbuatan mukalaf. Dari sisi ini hukum taklifi, seperti
dikemukakan Abdul Wahhab Khllaf, terbagi kepada lima macam, yaitu wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah.
1. Wajib
Wajib ialah sesuatu yang dituntut mengerjakannya dengan tuntutan yang pasti atau sesuatu
yang mengerjakannya berpahala dan meninggalknnya berdosa, seperti shalat lima waktu, puasa
Ramadhan, menghormati kedua orang tua dan rendah hati. Menurut Hanafiyah , wajib tidak sama
dengan fardhu. Fardhu ialah sesuatu yang dittapkan berdasarkan dalil yang qoth’i (al-Qur’an dan
hadis) dan tidak mengandung syubhat, seperti hukum yang ditetapkan berdasarkan nash qoth’i
sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah, sedangkan wajib adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil zhanni dan mengandung syubhat, seperti hukum yang ditetapkan
berdasarkan hadis ahad. Hukum taklifi dibagi menjadi beberpa bagian sesuai dengan kategorinya:

a) Dilihat dari segi keterikatan dengan waktu, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Wajib al-muthlaq yaitu sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh syara’ mengerjakannya, tetapi
tidak dijelaskan waktu pelaksanaannya. Contoh: waktu pembayaran kafarat sumpah atau
pembayaran nazar, hukumnya wajib tetapi tidak dijelaskan waktu pembayarannya
2) Wajib al-mu'aqqat yaitu sesuatu yang dituntut oleh syara’ mengerjakannya serta
ditentukan waktu pelaksaannya. Contoh tuntutan mengerjakan puasa bulam Ramadhan
atau shalat lima waktu, hukumnya wajib dan waktunya telah ditentukan
b) Wajib itu ditinjau dari segi subyek hukumnya atau tanggung jawab secara individual dan
kolektif, wajib di bagi dua, yaitu:
1) Wajib ‘Aini adalah wajib yang dibebankan kepada setiap oarng secara individu. Artinya,
setiap mukallaf dituntut melakukannya dan kewajiban tersebut tidak dapat diwakili oleh
sebagian orang saja, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan menjahui hal-hal yang
diharamkan.
2) Wajib Kifa’i/kifayah adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf,
tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah
terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya.
Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr ma'ruf nahi munkar, dan
menjawab salam ketika berkumpul bersama orang banyak..

3
M. Ridha.DS, “Perbandingan Hukum Syara’(Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi”, Vol 8 Desember 2012, ISSN:
1858-1099, 77-78 (5 september 2022)
c) Dilihat dari segi jumlah (kadarnya) wajib dibagi menjadi dua yaitu:
1) Wajib Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara' dengan
ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka'at dalam
shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.
2) Wajib Ghoiru Muhaddad yaitu perkara wajib yang belum ditentukan batasan bilangannya,
seperti berinfak dijalan Allah, menyantuni fakir miskin, dan nazar.
d) Dilihat dari tertentu atau tidaknya obyek yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Wajib Mu’ayyan yaitu kewajiban yang sudah ditentukan dan tidak ada pilihan selain yang
telah ditentukan itu, seperti kewajiban haji, puasa Ramadhan, dan shalat.
2) Wajib Mukhayyar yaitu perkara wajib yang jenis perbuatannya belum ditentukan, tetapi
boleh memelih alternatif-alternatif yang sudah ditentukan syara’. Misalnya firman Allah
dalam surat al-Maidah:89 seperti kewajiban mebayar kafarat kerena menggauli istri pada
siang hari di bulan Ramadhan. Dalam hal ini memilih tiga hal berikut: berpuasa selama
dua bulan berturut-turut, memberikan makan kepada 60 orang fakir miskin, atau
memerdekan budak. 4

2. Mandub (Sunah)
Mandub (sunah) dibagi menjadi:
1. Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
 Sunah muakkadah Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada
keteranganyang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
 Sunah ghairu muakkadah Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi
tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.
2. Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;
 Sunah hadyu Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar
faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat.
Contohnya shalat hari raya.
 Sunah zaidah Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila
ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak
dicela bila ditinggalkan. Sunah nafal Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan
bagi ibadah wajib. 5

3. Haram
Menurut istilah ushul fiqh, haram adalah tuntutan asy-Syari’ (Allah) untuk meningalkan
suatu perbuatan dengan bentuk tuntutan yang tegas. Adapun menurut istilah fikih, haram adalah
perbuatan yang dilarang oleh agama. Jika dilakukan mendapat dosa dan jika ditinggalkan
mendapatkan pahala. Dalam Al-Qur’an, bentuk-bentuk redaksi keharaman (larangan)
bermacam-macam, seperti firman Allah swt. berikut: (QS. Al-Maidah: 3) (QS. al-Isra: 32) (
QS. al- Maidah: 90)
Haram dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Muharram li dzatihi (yang diharamkan secara asli menurut zat-nya), maksudnya, sesuatu
yang diharamkan karena zatnya itu sendiri, bukan karena hal lain diluar zatnya, seperti
zina, mencuri membunuh, berdusta, meminum khamr, dan memakan bangkai. Hal-hal
tersebut dilarang karena ia sendiri mengandung bahaya atau kerusakan.

4
Riza Pachrudin, “Analisis Hukum Taklifi Dan Pembagiannya Dalam Ushul Fiqh”, Vol 2 No 2, 5 (5 September 2022)
5
M. Ridha.DS, “Perbandingan Hukum Syara’(Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi”, Vol 8 Desember 2012, ISSN:
1858-1099, 80 (5 september 2022)
2) Haram lighairihi, yaitu sesuatu yang diharamkan karena adanya hal lain yang menyertainya
atau karena suatu hal yang baru. Menurut asalnya, perbuatan itu sendiri bisa wajib, atau
sunnah atau mubah, tetapi karena ada sesuatu yang baru ia menjadi haram. Misalnya, shalat
menggunakan baju yang dighasab (mengambil barang orang lain tanpa izin), jual beli yang
mengandung penipuan, perkawinan yang dimaksudkan untuk semata-mata menghalalkan
si istri bagi suami yang telah menceraikan tiga kali. Jadi, pengharaman itu bukan karena
esensi perbuatan itu, akan tetapi karena yang bersifat luar, maksudnya, bahwa esensi
perbuata itu tidak mengandung kerusakan maupun bahaya. Akan tetapi ada sesuatu yang
mengandung mafsadah (kerusakan) dan bahaya yang datang kemudian dan menyertainya. 6

4. Makruh
Makruh adalah bentuk isim maful (objek) dari kata kariha-yakrahu-karhan-karihun-
makruhun, yang secara bahasa berarti membenci. Jadi, makruh artinya sesuatu yang dibenci.
Istilah lain yang sering digunakan adalah karahah. Menurut ushul fikih, makruh adalah
perbuatan yang dituntut asy-Syari’ (Allah) untuk ditinggalkan tetapi tuntutannya tidak bersifat
tegas. Adapun menurut istilah fikih, makruh adalah perbuatan yang jika dikerjakan mendapat
celaan dari Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika ditinggalkan mendapat pahala. Sesuatu yang
menunjukan bahwa larangan itu untuk karahah, bukan untuk menghramkan. Misalnya firman
Allah SWT.: (QS. al-Maidah: 101).
Menurut Ulama Hanafiyyah, makruh dibagi dua, yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
Makruh tanzih adalah adalah sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang
tidak pasti, seperti memakan daging kuda, meninggalkan sunnah-sunnah muakkadah, mengelap
air wudhu dan lain-lain.
Sedangkan makruh tahrim adalah sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan dengan
tuntutan yang pasti, hanya saja dalil yang menuntutnya brsifat zhanni. Misalnya, keharaman
jual beli atas jual beli orang lain dan meminang perempuan yang sudah dipinang orang lain.
Kedua perbuatan tersebut dilarang, tetapi tidak diharamkan. Contoh lain, Seperti larangan
memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki dan halal bagi wanita. Perbedaan antara
haram dan makruh tahrim terletak pada kekuatan dalilnya, haram ditetapkan berdasarkan dalil
yang qoth’i, sedangkan makruh tahrim ditetapkan berdasarkan dalil zhanni. 7
5. Mubah
Pengertian Mubah yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah: “apa yang
diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih antara memperbuat atau
meninggalkannya. Pembagian Mubah Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu: yang
diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak memperbuat
o Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan akan dapat memberi
kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya
o Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang seperti itu kembali
pada kaidah bara’tul ashliyah. Menurut Amir Syarifuddin bahwa hukum taklifi tentang
mubah yaitu :Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan
atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau
meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk
ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu
disebut “mubah”. Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam
ibadah haji dan lain-lain.

6
Riza Pachrudin, “Analisis Hukum Taklifi Dan Pembagiannya Dalam Ushul Fiqh”, Vol 2 No 2, 7 (5 September 2022)
7
Riza Pachrudin, “Analisis Hukum Taklifi Dan Pembagiannya Dalam Ushul Fiqh”, Vol 2 No 2, 8 (5 September 2022)
Menurut Amir Syarifuddin bahwa hukum taklifi tentang mubah yaitu Sesuatu yang
memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini
tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan
tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang
diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”. Contohnya: melakukan perburuan
setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji dan lain-lain. 8

KESIMPULAN
1. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut
untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya. Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:Ijab,
Nadb, Ibahah, Karahah, Tahrim.

2. Pembagian Hukum Taklifi


a) Wajib
1) Dilihat dari segi waktu, yaitu wajib al-muthlaq dan wajib al-mu’aqqat.
2) Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan wajib ghairu
al-muhaddad.
3) Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, yaitu wajib al-‘aini dan wajib al-
kifa’i.
4) Dilihatdarisegikandunganperintah, yaituwajibal-mu’ayyandanwajib al-mukhayyar.
b) Mandub
1) Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang sangatdianjurkan).
2) Sunahghairu al-Mu’akkadah (sunahbiasa).
c) Haram
1) Haram li dzatihi.
2) Haram li ghairihi.
d) Makruh
1) Makruhtanzih.
2) Makruhtahrim.
e) Mubah.
Pengertian Mubah yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah: “apa yang
diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih antara memperbuat atau
meninggalkannya.

8
Fikri Muchtada dkk, “ Kajian Taklifi menurut Imam Madzhab”, Vol XVII No.2, Desember 2021, 257-258 (5
September 2022)
Referensi
Anshori ,“Al-Ahkam Alkams Sebagai Klasifikasi dan Kerangka Nalar Normatif Hukum Islam:
Teori dan Perbandingan”. Vol 3 No.1 Januari-Juni 2017.

Muftada, Fikri dkk. “ Kajian Hukum Taklifi Menurut Para Imam Madzhab” .Vol 17 No.2
2021.

M.Ridha DS. “ Perbandingan Hukum Syara’ (Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi)”. Vol 8
Desember 2012. ISSN: 1858-1099.

Pachrudin, Riza. “Analisis hokum Taklifi dan Pembagian Dalam Ushul Fiqh”. Vol 2 No.2
2021.

Anda mungkin juga menyukai