Anda di halaman 1dari 10

HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Mat Sholikin Nur, M.Ag

Disusun Oleh:

Afif Alan Nur Hidayat (1903026023)

Sabrina Maulina Zahro (1903026024)

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum didalam
Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya,akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum
syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan),
maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah
ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan
dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah,
mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan
kami jelaskan pada makalah ini yang semuanya itu merupakan objek pembahasan
ilmu Ushul fiqh.

Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum
syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga
makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh.

2. Rumusan Masalah
A. Apakah yang dimaksud hukum taklifi dan hukum wadh’i?
B. Bagaimanakah pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i?
3. Tujuan Masalah
A. Untuk mengetahui pengertian hukum taklifi dan hukum wadh’i
B. Untuk menjelaskan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i

1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Taklifi
Yang dimaksud hukum taklifi adalah :

َ ِ‫ال ال ُم َكلَّفِي َْن بِاااْل ِء ْقت‬


‫ء اَ ِو التَ ْخيِي ِْر‬Cِ ‫ضا‬ ُ ِ‫ِخطَابُ هَّللا َ ال ُمتَ َعل‬
ِ ‫ق بِا َ ْف َع‬
“Hukum yang berupa titah Allah yang mengandung beban bagi orang mukallaf,
baik itu berupa tuntutan untuk mengerjakannya, meninggalkannya atau memilih
mengerjakan atau tidak mengerjakannya.”1

Yang dimaksud dengan titah adalah kemauan atau kehendak Allah


SWT yang berupa firman-firman-Nya, baik firman itu berupa ayat-ayat al-
Qur’an maupun yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW selaku
utusan-Nya. Titah Allah itu untuk mengatur orang mukallaf, apakah harus
dikerjakan atau tidak dikerjakan.

Dengan demikian, hukum taklifi itu berkaitan dengan titah Allah


yang berhubungan dengan tuntuttan dan pilihan berbuat,yang terinci dalam
hukum wajib,nadab,mubah,makruh,dan haram.2

2. Macam-macam hukum taklifi


Menurut jumhur ulama’, hukum taklifi ada lima yang biasa disebut dengan
al-ahkam al-khomsah. Lima hukum tersebut yaitu:3
a) Al-ijab (wajib) yaitu tuntutan untuk memperbuat secara pasti dengan arti harus
diperbuat sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak
dapat sama sekali ditinggalkan, sehingga orang yang meninggalkan patut
mendapat ancaman Allah. Contohnya: sholat.
b) An-nadb (sunah) yaitu tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti dengan
arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Orang yang mengerjakan berhak

1
Zen Amiruddin , Ushul Fiqih, (Yogyakarta, Teras, 2009) hlm. 28
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta,KENCANA) hlm.55
3
Mukhtar Yahya, Dasar dasar pembinaan hukum fiqh islami (Bandung,PT.Alma’arif) hlm. 125

2
mendapat ganjaran, sedangkan orang yang tidak mengerjakan tidak apa-apa.
Contohnya: menulis atau mencatat hutang.
c) At-tahrim (haram) yaitu tuntutan untuk meninggalkan secara pasti dengan arti
yang dituntut harus meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat pahala dan orang yang mengerjakannya akan mendapat ancaman
Allah. Contohnya: zina
d) Al-karahah (makruh) yaitu tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara
tidak pasti dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.
Orang yang meninggalkannya berhak mendapat ganjaran dan orang yang
mengerjakannya tidak mendapat apa-apa. Contohnya: membuang-buang
waktu.
e) Al-ibahah (mubah) yaitu hak pilihan kepada mukallaf untuk berbuat atau
meninggalkan. Jadi mukallaf yang mengerjakan maupun yang tidak
mengerjakannya, mereka tidak akan mendapat apa-apa. Contohnya: makan.

Adapun ulama Hanafiyah, merinci lagi tuntutan mengerjakan dan tuntutan


meninggalkan secara pasti yaitu:

1) Fardhu yaitu tuntutan mengerjakan secara pasti ditetapkannya melalui dalil


yang qath’i atau pasti.
2) Wajib yaitu bila dalil tuntutan mengerjakan itu tidak pasti (zhanni).
3) Karahah at-tahrim yaitu tuntutan meninggalkan yang ditetapkan dengan dalil
zhanni seperti hadis ahad.
4) Karahah at-tanzih yaitu larangan yang tidak pasti.

Dari keterangan tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa:

a. Perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu ada 2 macam yakni: ijab dan
nadb.
b. Perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu ada 2 macam yakni: tahrim dan
karahah.
c. Perbuatan yang diperkenankan dipilih untuk dikerjakan atau ditinggalkan ada 1
macam yakni: mubah.

3
Pembagian hukum wajib dapat ditinjau sebagai berikut:

- Ditinjau dari cara menunaikannya:


a. Wajib Mu’ayyan, ialah wajib yang sudah ditentukan cara menunaikannya.
b. Wajib Mukhayyar, ialah wajib yang cara menunaikannya boleh
diikhtiyarkan.
- Ditinjau dari waktu menunaikannya:
a. Wajib Mudhayaq yakni wajib yang waktu menunaikannya sangat sempit.
b. Wajib Muwasa’ yakni wajib yang waktu menunaikannya sangat luas.
- Ditinjau dari siapa yang menunaikannya:
a. Wajib ‘Ain yakni wajib yang harus ditunaikan oleh setiap orang tanpa
terkecuali.
b. Wajib Kifayah yakni wajib yang pada asalnya harus ditunaikan oleh setiap
orang, akan tetapi karena sudah ada yang menunaikannya maka yang
menunaikannya menjadi gugur kewajibannya.
- Ditinjau dari kadarnya:
a. Wajib Muhadad yakni wajib yang kadarnya telah ditentukan.
b. Wajib Ghairu Muhadad yakni wajib yang kadarnya tidak ditentukan.

Pembagian hukum nadb/sunah, adalah seperti berikut:

- Ditinjau dari siapa yang menunaikannya:


a. Sunat ‘Ain yakni yang bersifat perorangan, pahalanya hanya untuk yang
mengerjakannya saja.
b. Sunat Kifayah yakni apabila orang lain telah mengerjakannya maka orang
lain yang tidak mengerjakan ikut mendapat pahala.
- Ditinjau dari statusnya:
a. Sunah Muakkadah yaitu sunah yang sangat dianjurkan untuk
mengerjakannya.
b. Sunah Ghairu Muakkadah yaitu sunah yang tidak sangat dianjurkan untuk
mengerjakannya.

4
3. Pengertian hukum wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah hukum tuhan yang
berhubungan dengan sesuatu yang menjadi alamat atau tanda-tanda yang
menentukan ada atau tidaknya hukum taklifi, atau dengan kata lain sesuatu yang
mengakibatkan ada tidaknya hukum taklifi.4
Hukum wadh’i merupakan hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal
sekaligus azimah dan rukhsah.
4. Macam-macam hukum wadh’i

Hukum wadh’i ada beberapa macam yaitu:5

a. Sebab, adalah sesuatu sifat/keadaan yang karena adanya menjadi sebab


timbulnya hukum taklifi. Dengan adanya sebab maka muncullah hukum dan
tidak adanya sebab maka tidak muncul hukum. Contohnya: Q.S. Al-Isra’ ayat
78:

‫ق الَّي ِْل‬ ِ ‫صلَوةَ لِ ُدلُ ْو‬


ِ ‫ك ال َّش ْم‬
ِ ‫س اِلَى َغ َس‬ َّ ‫اَقِ ِم ال‬
“ Dirikanlah shalat, dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam…”6
Tergelincirnya matahari ke barat oleh syari’ dijadikan sebab wajibnya
sembahyang zhuhur.
b. Syarat , adalah sesuatu yang harus ada untuk terjadinya/adanya hukum, kalau
syarat itu tidak ada maka hukum taklifi menjadi tidak ada. Contohnya: Q.S. Ali
Imran ayat 97:

ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬


ً‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْيال‬ ِ َّ‫َوهَّلِل ِ َعلَى الن‬

4
Ja’far Amir, Ushul Fiqh Juz I, (Semarang, Toha Putra, 1972) hlm. 31.
5
Zen Amiruddin , Ushul Fiqih, (Yogyakarta, Teras, 2009) hlm. 37
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan, (Bandung, CV Darus Sunnah)

5
“ Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi
orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”7

c. Mani’/penghalang: adalah sesuatu yang menjadi penghalang adanya hukum


taklifi. Contohnya: HR. Bukhori dan Muslim:

‫ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكافِ َر َواَل ال َكافِ ُر ْال ُم ْسلِ َم‬


ُ ‫اَل يَ ِر‬

“ Orang Muslim tidak dapat mempusakai orang kafir dan orang kafir tiddak
dapat mempusakai orang Muslim.”

Perihal hukum wadh’i ini Imam al-Amidi menambahkan dengan shahih, rukhsah,
bathal, fasid, dan azimah:8

a. Sahih atau sah, yaitu sesuatu perbuatan yang telah memenuhi syarat dan
rukunnya. Contohnya: shalat dihukumi sahih (sah) apabila telah memenuhi
syarat rukunnya.
b. Bathal, sesuatu perbuatan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya: shalat tidak membaca fatihah maka bathal shalatnya.
c. Fasid atau rusak, yakni sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan melanggar
pantangan syara’, misalnya: nikah dengan saudara seayah atau seibu maka
dihukumi fasid.
d. Azimah (ketentuan dasar), yakni keharusan yang sifatnya umum mutlak tidak
dibatasi baik oleh masa atau tempat atau sesuatu hal. Misalnya: kewajiban
shalat lima waktu, dalam keadaan apapun dan kapanpun harus ditunaikan apa
adanya.
e. Rukhsoh atau keringanan, yakni karena adanya sesuatu maka ketentuan azimah
itu diringankan, misalnya: karena bepergian seseorang dapat keringanan yaitu
boleh mengqashar dan menjama’ sholatnya.
5. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i

Perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i adalah:9

7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan, (Bandung, CV Darus Sunnah)
8
Ja’far Amir, Ushul Fiqh Juz I, (Semarang, Toha Putra, 1972) hlm. 34.
9
Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta, Wijaya, 1981), hlm. 20.

6
1. Hukum taklifi menuntut adanya perbuatan, mencegah perbuatan atau
membolehkan memilih antara memperbuat atau tidak memperbuat. Sedangkan
hukum wadh’i tidak termaksud menuntut adanya perbuatan, melarang atau
memperbolehkan memilih perbuatan, akan tetapi hanya menerangkan
timbulnya sesuatu hukum, baik berupa sebab, syarat atau penghalang.
2. Hukum taklifi senantiasa dalam kesanggupan orang mukallaf, baik untuk
mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan hukum wadh’i
terkadang terkait dengan kesanggupan pekerjaan orang mukallaf terkadang
tidak terkait.

BAB III

7
PENUTUP

Kesimpulan

Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum yang mengandung


beban kepada mukallaf, berupa tuntutan mengerjakannya, meninggalkannya atau
memilih mengerjakan atau tidak mengerjakannya.

Macam-macam hukum taklifi:

a. Al-Ijab (wajib)
b. An-Nadb (sunah)
c. At-Taahrim (haram)
d. Al-Karahah (makruh)
e. Al-Ibahah (mubah)

Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah hukum Tuhan yang


berhubungan dengan sesuatu yang menjadi alamat/tanda-tanda yang
menentukan ada atau tidaknya hukum taklifi.

Macam-macam hukum wadh’i

a. Sebab
b. Syarat
c. Mani’/ penghalang
d. Sahih dan bathal
e. Fasid
f. Azimah dan rukhsah

DAFTAR PUSTAKA

8
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an Terjemahan. Bandung: CV Darus
Sunnah.

Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh
islami. Bandung. PT. Alma’arif

Amir, Ja’far. 1972. Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra

Hanafi,A. 1981 . Ushul Fiqih . Jakarta:Wijaya

Anda mungkin juga menyukai