MAKALAH
Disusun Oleh:
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum didalam
Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya,akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum
syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan),
maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah
ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan
dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah,
mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan
kami jelaskan pada makalah ini yang semuanya itu merupakan objek pembahasan
ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum
syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga
makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh.
2. Rumusan Masalah
A. Apakah yang dimaksud hukum taklifi dan hukum wadh’i?
B. Bagaimanakah pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i?
3. Tujuan Masalah
A. Untuk mengetahui pengertian hukum taklifi dan hukum wadh’i
B. Untuk menjelaskan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Taklifi
Yang dimaksud hukum taklifi adalah :
1
Zen Amiruddin , Ushul Fiqih, (Yogyakarta, Teras, 2009) hlm. 28
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta,KENCANA) hlm.55
3
Mukhtar Yahya, Dasar dasar pembinaan hukum fiqh islami (Bandung,PT.Alma’arif) hlm. 125
2
mendapat ganjaran, sedangkan orang yang tidak mengerjakan tidak apa-apa.
Contohnya: menulis atau mencatat hutang.
c) At-tahrim (haram) yaitu tuntutan untuk meninggalkan secara pasti dengan arti
yang dituntut harus meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat pahala dan orang yang mengerjakannya akan mendapat ancaman
Allah. Contohnya: zina
d) Al-karahah (makruh) yaitu tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara
tidak pasti dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.
Orang yang meninggalkannya berhak mendapat ganjaran dan orang yang
mengerjakannya tidak mendapat apa-apa. Contohnya: membuang-buang
waktu.
e) Al-ibahah (mubah) yaitu hak pilihan kepada mukallaf untuk berbuat atau
meninggalkan. Jadi mukallaf yang mengerjakan maupun yang tidak
mengerjakannya, mereka tidak akan mendapat apa-apa. Contohnya: makan.
a. Perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu ada 2 macam yakni: ijab dan
nadb.
b. Perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu ada 2 macam yakni: tahrim dan
karahah.
c. Perbuatan yang diperkenankan dipilih untuk dikerjakan atau ditinggalkan ada 1
macam yakni: mubah.
3
Pembagian hukum wajib dapat ditinjau sebagai berikut:
4
3. Pengertian hukum wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah hukum tuhan yang
berhubungan dengan sesuatu yang menjadi alamat atau tanda-tanda yang
menentukan ada atau tidaknya hukum taklifi, atau dengan kata lain sesuatu yang
mengakibatkan ada tidaknya hukum taklifi.4
Hukum wadh’i merupakan hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal
sekaligus azimah dan rukhsah.
4. Macam-macam hukum wadh’i
4
Ja’far Amir, Ushul Fiqh Juz I, (Semarang, Toha Putra, 1972) hlm. 31.
5
Zen Amiruddin , Ushul Fiqih, (Yogyakarta, Teras, 2009) hlm. 37
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan, (Bandung, CV Darus Sunnah)
5
“ Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi
orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”7
“ Orang Muslim tidak dapat mempusakai orang kafir dan orang kafir tiddak
dapat mempusakai orang Muslim.”
Perihal hukum wadh’i ini Imam al-Amidi menambahkan dengan shahih, rukhsah,
bathal, fasid, dan azimah:8
a. Sahih atau sah, yaitu sesuatu perbuatan yang telah memenuhi syarat dan
rukunnya. Contohnya: shalat dihukumi sahih (sah) apabila telah memenuhi
syarat rukunnya.
b. Bathal, sesuatu perbuatan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya: shalat tidak membaca fatihah maka bathal shalatnya.
c. Fasid atau rusak, yakni sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan melanggar
pantangan syara’, misalnya: nikah dengan saudara seayah atau seibu maka
dihukumi fasid.
d. Azimah (ketentuan dasar), yakni keharusan yang sifatnya umum mutlak tidak
dibatasi baik oleh masa atau tempat atau sesuatu hal. Misalnya: kewajiban
shalat lima waktu, dalam keadaan apapun dan kapanpun harus ditunaikan apa
adanya.
e. Rukhsoh atau keringanan, yakni karena adanya sesuatu maka ketentuan azimah
itu diringankan, misalnya: karena bepergian seseorang dapat keringanan yaitu
boleh mengqashar dan menjama’ sholatnya.
5. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan, (Bandung, CV Darus Sunnah)
8
Ja’far Amir, Ushul Fiqh Juz I, (Semarang, Toha Putra, 1972) hlm. 34.
9
Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta, Wijaya, 1981), hlm. 20.
6
1. Hukum taklifi menuntut adanya perbuatan, mencegah perbuatan atau
membolehkan memilih antara memperbuat atau tidak memperbuat. Sedangkan
hukum wadh’i tidak termaksud menuntut adanya perbuatan, melarang atau
memperbolehkan memilih perbuatan, akan tetapi hanya menerangkan
timbulnya sesuatu hukum, baik berupa sebab, syarat atau penghalang.
2. Hukum taklifi senantiasa dalam kesanggupan orang mukallaf, baik untuk
mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan hukum wadh’i
terkadang terkait dengan kesanggupan pekerjaan orang mukallaf terkadang
tidak terkait.
BAB III
7
PENUTUP
Kesimpulan
a. Al-Ijab (wajib)
b. An-Nadb (sunah)
c. At-Taahrim (haram)
d. Al-Karahah (makruh)
e. Al-Ibahah (mubah)
a. Sebab
b. Syarat
c. Mani’/ penghalang
d. Sahih dan bathal
e. Fasid
f. Azimah dan rukhsah
DAFTAR PUSTAKA
8
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an Terjemahan. Bandung: CV Darus
Sunnah.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh
islami. Bandung. PT. Alma’arif