Anda di halaman 1dari 7

A.

Hukum Syari’at: Pengertian al-Hukmu, al-Hakim, al-Mahkum Fih, dan al-Mahkum


‘alaih.
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian ushul
fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum
syara’ dari sumber-sumbernya. Mengingat begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam
kajian ini, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu sendiri serta
berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam. Berbicara
tentang hukum syara’ maka tidaklah lepas dari pembicaraan tentang al-hakim (pembuat
hukum), almahkum fih (perbuatan manusia), dan tentang al-mahkum ‘alaih (mukalaf).
(Effendi dan Zein, 2017: 33)
a. Pengertian al-Hukmu (Hukum)
Hukum menurut Bahasa adalah menetapkan sesuatu terhadap sesuatu. Definisi
hukum secara istilah menurut Muhammad Abu Zahra adalah:
‫أو ْال َوضْ ِع‬
ِ ‫أو التَّ ْخيِي ِْر‬ َ ِ‫ق بَِأ ْف َعا ِل ْال ُم َكلَّفِ ْينَ بِاِإل ْقت‬
ِ ‫ضا ِء‬ ُ ّ‫ار ْال ُمتَ َعل‬
ِ ‫ِخطَابُ ال َّش‬
Artinya:
Hukum itu adalah tuntunan syar’i (seruan) Allah SWT yang berkaitan dengan
perbuatan orang mukallaf, baik sifatnya mengandung perintah maupun larangan,
adanya pilihan atau adanya sesuatu yang dikaitkan dengan sebab, atau hal yang
menghalangi adanya sesuatu.

Memahami hukum-hukum syara’ adalah kewajiban bagi setiap muslim. Hal ini karena
hukum syara’ memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan perbuatan dan tingkah laku
manusia dalam kehidupan praktis mereka, baik berupa perintah maupun larangan yang
tidak boleh dilanggar. Hukum ada dua macam, yaitu hukum taklifi, dan hukum wadh’i.
(Kemenag, 2020: 82)
a) Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah seruan syariat yang berhubungan dengan segala perbuatan
para hamba, menyangkut tuntutan dan pilihan. Hukum tersebut dinamakan dengan
taklifi karena mengandung taklif (pembebanan) kepada manusia dalam bentuk
tuntutan melaksanakan atau tuntutan meninggalkan, ataupun memilih antara
melaksanakan dan meninggalkan. (Ali, 2021: 78)
Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam, yaitu: (Kemenag, 2021: 82-83)
1) Al-Ijab (wajib)
Hukum yang mengandung tuntutan mengerjakan sesuatu dengan tuntutan pasti
atau tegas. Contoh: Perintah melaksanakan shalat dan zakat (Qs. Al-Baqarah
[2]: 43)
2) An-Nadb (Sunah)
Hukum yang mengandung tuntutan mengerjakan sesuatu dengan tuntutan tidak
pasti atau tegas.
Contoh: Perintah menulis dalam bermuamalah tidak secara tunai. (QS. Al-
Baqarah [2]: 282)
3) At-Tahrim (Haram)
Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dengan
tuntutan pasti atau tegas.
Contoh: Larangan (mendekati) berbuat zina (QS. Al-Isra’ [17]: 32)
4) Al-Karahah (Makruh)
Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dengan
tuntutan yang tidak pasti atau tegas.
Contoh: Bertanya sesuatu kepada Nabi Saw, yang jika diterangkan akan
menyusahkan (QS. Al-Maidah [5]: 101)
5) Al-Ibahah (Mubah)
Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan.
Contoh: Meminang seseorang dengan sindiran (QS. Al-Baqarah [2]: 235)
b) Hukum wadh’i
Hukum wadh’i adalah seruan syari’at yang berhubungan dengan segala tingkah
laku para hamba berkaitan dengan keadaan. Hukum-hukum wadh’i adalah segala
perkara yang buat (dikondisikan) untuk hukum-hukum taklifi, seperti sabab,
syarat, mani’ dan lain-lainnya demi merealisasikan hukum-hukum tersebut dan
menyempurnakannya.
1) Sabab (Sebab)
Sebab adalah sifat zahir, tetap dan menetapkan suatu hukum karena syariat
mengaitkan sebab dengan sifat. Ketika seseorang melakukan sebab, maka
akibatnya akan timbul, baik kita berniat untuk menimbulkan akibat atau tidak,
karena kaitan antara sebab dan akibat adalah berkaitan dengan hukum syar’i.
Contoh: Tergelincirnya matahari sebagai sebab, yaitu tanda untuk menetapkan
wajibnya shalat dzuhur.
2) Syarat
Contoh: Bersuci dari hadats besar dan kecil (thaharah) merupakan syarat sah
shalat, maka keadaan tidak suci dari hadats menjadikan tidak sahnya shalat.
3) Mani’ (Pencegah)
Mani’ yaitu sifat Zahir yang menghalangi tetapnya hukum, atau sesuatu yang
mengharuskan tidak adanya hukum dan batalnya sebab.
Contoh: Haid pada wanita menjadi mani’ (pencegah) melaksanakan shalat dan
puasa.
4) Azimah (hukum asli) dan rukhsah
Azimah adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf tanpa
adanya udzur. Contoh: kewajiban shalat lima waktu.
Sedang rukhsah adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan karena adanya
udzur sebagai pengecualian dari azimah. Contoh: kebolehan shalat jama’ dan
qashar bagi musafir
5) Sah dan batal
Contoh: Shalat dan puasa yang telah sempurna rukun dan syaratnya, maka akan
menjadi ibadah yang sah, begitu pula sebaliknya.
b. Pengertian al-Hakim
Dalam kajian sharf, kata hakim merupakan bentuk isim fa’il yang berarti seorang
pelaku, dengan makna etimologi yang berarti orang yang memutuskan atau
menetapkan hukum. (Ma’shum, 1965: 2). Kata hakim ini berasal dari Bahasa Arab
yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia yang berarti orang yang
memutuskan atau menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, dan yang
mengetahui hakikat seluk-beluk sesuatu. (Kemenag, 2020: 5) Dalam istilah fikih kata
hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama
maknanya dengan qadi. (Julita, dkk, 2021: 2)
Dalam kajian usul fikih kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum
syari’at secara hakiki. Ulama ushul fikih sepakat bahwa yang menjadi sumber atau
pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah. (Julita, dkk, 2021: 2-3) Hal ini
diisyaratkan melalui firman Allah dalam QS. Al-An’am (6) ayat 57:
َّ ‫……… اِ ِن ْال ُح ْك ُم اِاَّل هّٰلِل ِ ۗيَقُصُّ ْال َح‬
ِ ‫ق َوه َُو خَ ْي ُر ْال ٰف‬
َ‫صلِ ْين‬
Artinya:
“…….. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan
Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS. Al-An’am (6): 57)

Meskipun para ulama ushul fiqh sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah, namun
mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah
hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah, atau akal
secara independen bisa juga mengetahuinya. (Effendi dan Zein, 2017: 63)
c. Pengertian al-Mahkum Fih (Objek Hukum)
Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan
taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap
perbuatan-perbuatannya (Ali, 2021: 85). Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa
mahkum fih adalah perbuatan orang mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’.
Esensi mahkum fih berkenan dengan objek hukum yang berkaitan dengan perbutana
mukallaf, baik kaitannya dengan tuntutan untuk berbuat (perintah) maupun tuntutan
untuk meninggalkan (larangan) maupun pilihan. Lebih lanjut, zahrah menyebutkan
bahwa mahkum fih dapat direalisasikan dalam lima kategori ketentuan hukum syara’,
yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. (Kemenag, 2020: 89)
Adapun apabila berupa hukum wadh’i, maka terkadang berupa perbuatan
mukallaf seperti pada muamalah dan jinayat. Dan terkadang tidak berupa perbuatan
mukallaf seperti menyaksikan bulan Ramadhan yang oleh syari’ dijadikan sebab bagi
wajibnya berpuasa.
Berikut contoh mahkum fih yang berkaitan dengan tuntutan untuk berbuat
sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 183:
َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ۙن‬ َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬
:Artinya
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Adapun contoh mahkum fih yang berkeitan dengan tuntutan untuk meninggalkan
terdapat dalam QS. Al-Isra’ (17) ayat 32:
‫الز ٰن ٓى اِنَّهٗ َكانَ فَا ِح َشةً َۗو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬
ِّ ‫َواَل تَ ْق َربُوا‬
Artinya:
“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan
jalan terburuk.”
(Keterangan: mahkum fih dari dua contoh di atas adalah perintah berpuasa, dan
larangan berbuat zina)
d. Pengertian al-Mahkum ‘alaih (Subjek Hukum)
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa maḥkūm ‘alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah yang disebut mukallaf. Khitab/tuntutan Allah
tersebut dapat berupa hukum taklifi maupun waḍ‘i. Hukum taklifi meliputi ketentuan
wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan hukum waḍ’i meliputi ketentuan
sebab, syarat, dan mani’. Dalam definisi ini, maḥkūm ‘alaih hanya dipahami kepada
orang (syakhṣ) saja, tidak termasuk di dalamnya badan hukum. Istilah mukallaf disebut
juga maḥkūm ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta
pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapatkan pahala
atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan
larangan-Nya akan mendapat siksa atau risiko dosa karena melanggar aturan-Nya.
(Julita, 2021: 4)
Seseorang dianggap layak mendapat beban hukum taklifi bilamana memenuhi
syarat sebagai berikut:
a) Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri maupun dengan bantuan
orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat
Al-Qur’an atau hadis rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi ini
didapatkan saat seesorang memiliki akal sempurna dan telah melalui batasan
baligh. Pada saat baligh inilah seorang dianggap mampu untuk memahami
petunjuk-petunjuk taklif. Maka secara otomatis, orang gila dan anak kecil tidak
tercakup dalam kategori mukallaf.
b) Seorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan yang
ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna Shalahiyah/ kecakapan.
Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa terwujud dengan akal. Ulama ushul fiqh
membagi jenis kecakapan ini menjadi dua bagian yaitu:
1. Ahliyah al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak dan
kewajiban. Kecapakan ini dilihat dari kepantasan seseorang dalam menjalankan
hak dan kewajiban, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Ahliyah al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak. Artinya, tindakan
orang tersebut baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara syariat telah
dianggap “absah” (mu’tabaran syar’an).
Terkait dengan konsep ini, manusia terbagi menjadi tiga jenis klasifikasi, yaitu:
Pertama, Seseorang tidak mempunyai kecakapan bertindak sama sekali seperti
orang gila dan anak kecil. Kedua, seorang tersebut mempunyai kecakapan
bertindak namun belum sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum sampai
pada taraf baligh dan orang idiot (ma’tuh). Ketiga, seseorang yang mempunyai
kecakapan bertindak secara sempurna seperti seworang yang telah berakal dan
baligh.(Ali, 2021: 87)

Referensi

Ali, Isnu Cut. (2021). Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih (Studi Pemahaman
Dasar Ilmu Hukum Islam). Jurnal Al-Madaris. Vol. 2 No. 1

Julita, dkk. (2021). Signifikansi al-Hukm, al-Hakim, Al-Mahkumfihi, dan Al-Mahkum’alaih.


Jurnal Islahiyah

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kemenag RI. (2020). Ushul Fikih. (Jakarta: Direktorat
KSKK Madrasah)

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kemenag RI. (2020). Fikih. (Jakarta: Direktorat KSKK
Madrasah)

Effendi, Satria dan M. Zein. (2017). Ushul Fiqh Cet. 7. (Jakarta: Kencana)

Ma’shum, Muhammad. (1965). Al-Amtsilah at-Tashrifiyah. (Surabaya: Salim Nabhan)

Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah
Syabab al-Azhar, 1990), h. 23.

Ma unggulan KH.wahab Hasbulloh. Modul Ushul Fiqih. (Jombang: MAUWH, 2017)

Ahmad Warson Munawir, Kamus al- Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
1178.

Asmawi, Muhammad said. Nalar Kritis Syari’ah. Terjemahan Luthfi Tomafi. (Yogyakarta:
LKiS, 2004), h. 96.
Umar Hubeis dan A. Yazid, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid II, Cet. IX, (Surabaya Pustaka
Progresif, 1985), h. 187.

Darmawati. Ushul Fiqh. (Jakarta: PRENADAMEDIA Group, 2019)

Imam Syafi’i, Al-Risalah, diterjemahkan oleh Ahmadi Toha, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1986), h. 241.

Nurhayati, ali Imran. Fiqh & Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019).

Moh Bahrudin. Ilmu Ushul Fiqh. (bandar lampung: CV. Anugrah Utama Raharja, 2019)

Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. VII, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group, 2017),

Ali Sodiqin. 2012. Fiqh&Ushul Fiqh. (Yogyakarta: Beranda Publishing)

H.A.Khisni,SH.MH.2015.epistemologi hukum Islam.UNISSULA Semarang.

Anda mungkin juga menyukai