Anda di halaman 1dari 4

TUGAS FIQIH

KELOMPOK 3 (XII IPA 2)

Nama-nama kelompok:
1. Alfathir Hikmal
2. Anisa D. Afifah
3. Fadilah Ema Sinun
4. Muhammad Zikri Taby
5. Mutya Aqmarinah Ramadhani
6. Tsalitsa Farica Cahayani
A. Al-Hakim
Para ulama sependapat, bahwa sumber hukum syari’at bagi semua perbuatan mukallaf adalah Allah
Swt. Hukum-hukum ini diberikan Allah adakalanya secara langsung berupa nash-nash yang diwahyukan
kepada Rasul-Nya dan adakalanya dengan perantara petunjuk yang diberikan kepada ulama mujtahid
untuk mengistimbathkan hukum terhadap perbuatan mukallaf, dengan bantuan dalil-dalil dan tanda-
tanda yang disyari’atkan.
Sudah masyhur di kalangan ulama bahwa pembuat hukum itu adalah Allah Swt., sebagaimana firman
Allah Swt. sebagai berikut:
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu
mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am [6]:57)

Dengan kata lain, pengertian ini mengisyaratkan bahwa kewenangan penciptaan hukum syara’ itu
adalah Allah Swt. sendiri. Oleh karena itu, Allah Swt. disebut pula dengan istilah syari’ .Di sini timbul
perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul. Golongan pertama mengatakan, bahwa pembuat
atau pencipta hukum syara’ itu adalah Allah semata.

Pembuat hukum hanya Allah saja, sedangkan Rasul sebagai penyampai dan penggali hukum-hukum
syara’ yang diciptakan oleh Allah Swt (yang tampak) dari penuturan nash baik perintah maupun laangan.
Mazhab ini tidak membahas masalah ‘illat hukum dan tidak mengakui qiyas sebagai dalil atas sumber
hukum.

Sementara itu, pendapat kedua mengatakan bahwa di samping Allah Swt. sebagai pembuat hukum,
Rasul dan mujtahid juga mempunyai peran sebagai penyampaian hukum-hukum Allah serta melahirkan
hukum-hukum syara’ yang tidak dijelaskan oleh Allah secara tekstual dalam wahyu-Nya. Atas dasar ini,
maka Rasulullah dan para mujtahid mempunyai peran yang cukup besar dalam penetapan hukum syara’
yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Banyak ketentuan hukum syara’ yang ditetapkan langsung
oleh Rasulullah sendiri lewat Sunnahnya. Salah satu di antaranya ketentuan hukum syara’ tentang
pelaksanaan shalat jenazah. Ketentuan penyelenggaraan jenazah, termasuk kaifiat shalatnya, ditetapkan
oleh Rasulullah lewat Sunnahnya, tidak lewat al-Qur’an. Lebih-lebih lagi, setelah Rasulullah wafat peran
mujtahid hingga sekarang bahkan sampai akhir zaman sangat besar dalam melahirkan hukum-hukum
syara’.

sNamun demikian, dapat dipahami bahwa peran para mujtahid pada hakikatnya bukan pencipta hukum,
melainkan hanya melahirkan dan menggali hukum (istimbath hukum) dengan memperhatikan dalil-dalil
dan isyarat-isyarat yang dapat dijadikan patokan dalam penetapan suatu ketetapan hukum. Dengan kata
lain, sekalipun Rasul dan para mujtahid memiliki peran yang cukup besar dalam menetapkan hukum,
tetapi pada hakikatnya pencipta hukum itu (al-Hakim) hanya Allah Swt. semata.

B. Menganalisis Al-Hukmu
1. Pengertian al-Hukmu
Hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu terhadap sesuatu. Definisi hukum secara istilah
menurut Muhammad Abu Zahra adalah:Hukum itu adalah tuntutan syar’i (seruan) Allah Swt. yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik sifatnya mengandung perintah maupun larangan,
adanya pilihan atau adanya sesuatu yang dikaitkan dengan sebab, atau hal yang menghalangi adanya
sesuatu Memahami hukum-hukum syara’ adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Hal ini karena hukum-
hukum syara’ memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan perbuatan dan tingkah laku manusia dalam
kehidupan praktis mereka, baik berkaitan dengan berbagai perintah maupun laranagan-larangan yang
tidak boleh dilanggar. Hukum ada dua macam :

2. Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan pasti,
tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan tidak pasti, tuntutan untuk meninggalkan dengan
tuntutan pasti, tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan tidak pasti, tuntutan untuk memilih
mengerjakan atau meninggalkan. Menurut jumhur ulama, hukum taklifi ada lima, yaitu:

a. Al-Ijab (wajib)

Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan pasti.Contoh firman Allah Swt :
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.(QS. Al-Baqarah
[2]:43)

b. An-Nadb (sunah)Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan tidak pasti.
Contoh firman Allah Swt : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. AlBaqarah[2]:282)

c. At-Tahrim (haram)Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan pasti.
Firman allah:Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’ [17]:32)

d. Al-Karahah (makruh)

Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan tidak pasti.Firman allah:Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu akan menyusahkan kamu. (QS. Al-Maidah [5]:101).

e. Al-Ibahah (mubah)

Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.Contoh firman Allah
Swt.: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. (QS. Al-Baqarah [2]:101).

3. Hukum Wadh'i

Hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani ' , azimah , rukhsah , sah dan batal bagi
sesuatu , Jadi yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum taklifi disebut hukum wadh'i .
Pembagian hukum wadh'i ada lima yaitu :

a . Sebab Ulama ushul mendefinisikan sebab


adalah sifat zahir , tetap dan menetapkan suatu hukum karena syari'at mengaitkan sebab dengan sifat
Tanda - tanda sebab adalah adanya sebab mengharuskan keberadaan hukum , dan tidak adanya sebab
mengharuskan ketiadaan hukum . Contohnya Allah Swt . berfirman Dirikanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam dan ( dirikanlah pula shalat ) subuh . Sesungguhnya shalat
subuh itu disaksikan ( oleh malaikat ) . ( QS . Al - Isra ' [ 17 ] : 78 )

b . Syarat Syarat

adalah sesuatu yang tiadanya mengharuskan ketiadaan , dan keberadaannya tidak mengharuskan
keberadaan ataupun ketiadaan rukun juga mengharuskan ketiadaan hukum ketika rukun tidak ada .
Dengan kata lain , syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi dulu sebelum suatu perbuatan dilakukan .
Dalam hal ini , rukun sama seperti syarat . Bedanya , rukun seperti takbiratul ihram dan sujud dalam
shalat , dan menjadi bagian dari hakikat shalat . Sedangkan syarat adalah bagian di luar hakikat shalat .
Syarat ada dua macam :

1 ) Syarat wajib , contohnya nisab zakat sebagai syarat wajib zakat .

2 ) Syarat sah , contohnya suci dari hadats besar dan kecil ( thaharah ) menjadi
syarat sah shalat .

e. Mani ' Mani ' ( penghalang )

adalah sifat zahir yang pasti , yang menghalangi tetapnya hukum , atau dengan istilah lain sesuatu yang
mengharuskan tidak adanya hukum atau batalnya sebab . Mani ' terbagi menjadi dua macam : 1 ) Mani '
terhadap hukum , yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syari'at yang menjadi penghalang bagi hukum . 2 )
Mani ' terhadap sebab , yaitu suatu penghalang yang ditetapkan oleh syari'at yang menjadi
penghalang berfungsinya

d . Azimah dan rukhshah TMEL FOC Azimah

adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf tanpa adanya uzur . Contohnya kewajiban
sholat lima waktu sejak semula dan berlaku untuk setiap mukallaf dalam berbagai keadaan , kewajiban
meninggalkan ( haram ) makan bangkai dan darah sebagai yang disyari'atkan sejak semula dan berlaku
untuk setiap mukallaf dalam berbagai keadaan . Rukhshah adalah hukum yang berkaitan dengan suatu
perbuatan karena adanya uzur sebagai pengecualian dari azimah , contoh shalat bagi seorang musafir ,
memakan daging binatang buas dalam keadaan terpaksa . Sah dan batal Sah dan batal adalah sesuatu
yang dituntut oleh Allah dari para mukallaf berupa perbuatan dan apa yang ditetapkan - Nya untuk
mereka berupa syarat dan sebab , apabila mukallaf melaksanakannya terkadang menghukuminya sah
dan terkadang menghukuminya tidak sah , sebab dan syarat tersebut . Jika yang dilakukan itu perbuatan
wajib ; contohnya sholat , puasa dan haji , serta disempurnakan syarat dan rukunnya , maka efek yang
diperoleh adalah terbebas kewajibannya , tidak mendapat hukuman di dunia dan berbak mendapat
pahala akhirat . Jika yang dilakukan itu sebab syar'i contohnya perkawinan dan memenuhi syarat dan
rukunnya , maka efek yang diperoleh adalah halal bergaul suami istri .r

Anda mungkin juga menyukai