PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap amal perbuatan manusia di muka bumi ini terutama umat islam diatur dengan
hukum-hukum Allah SWT. Dalam agama islam, hukum-hukum Allah SWT tersebut bisa
dikenal dengan hukum syara’. Dengan adanya hukum-hukum ini, diharapkan umat islam di
muka bumi ini dapat beribadah sesuai dengan syariat atau tuntunan islam yang benar yaitu
sesuai dengan dasar hukum islam yang berlaku yakni Al-Qur’an, Al-hadits maupun sumber
hukum islam yang lain seperti Ijma’ dan Qiyas.
Hukum syara’ ini sangat penting untuk dipelajari karena peraturannya yang bersifat
mengikat bagi seluruh umat islam di dunia terutama bagi mereka yang sudah mampu untuk
dikenai kewajiban menunaikan ibadah sesuai dengan syariat islam (baligh).
Untuk itu, sebagai umat islam supaya amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT
hendaknya kita mau belajar untuk lebih memahami tentang hukum-hukum islam yang
berlaku. Agar kita termasuk ke dalam hamba Allah yang senantiasa bertaqwa yaitu
menjalankan segala apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala larangan-
Nya.
Beralih agar tidak terjadi kesalahan dalam menjalankan hukum-hukum Allah SWT,
maka kelompok kami menyusun makalah yang membahas tentang “Hukum Syara”. Untuk
keterangan yang lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan
Hukum Syara’, akam dijelaskan dalalm bab berikutnya yaitu bab pembahasan.
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Makalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum syari’at atau hukum syara’ adalah firman Allah yang ditujukan kepada orang
mukallaf berupa perintah dan larangan serta wewenang meemilih sesuatu perbuatan. Juga
dapat diartikan, kaidah hukum yang ditentukan syari’at mengenai ketentuan hukum. Syari’at
atau syara’ dalam bahasa Arab secara harfiah berarti jalan yang harus dituruti oleh seorang
muslim dalam penghidupannya atau dengan perkataan lain merupakan pedaman hidup (way
of life) bagi setiap orang islam.1 Hukum syara menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqih ialah
Khithab Syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam
bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.2
Seperti firman Allah SWT:
ْ َاح َعلَ ْي ِه َما فِ ْي َما ا ْفتَد هّٰللا
ۗ َت بِ ٖه َ فَاِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل يُقِ ْي َما ُح ُدوْ َد ِ ۙ فَاَل ُجن
Artinya:“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya”. (Q S Al-Baqarah: 229).
Ayat tersebut adalah khithab Allah yang berhubungan dengan pengambilan ganti oleh
suami dari istrinya sebagai imbangan menjatuhkan talaq kepada istri, dalam bentuk pilihan
melakukannya.
Nash yang keluar dari syari’ yang menunjukkan bentuk tuntutan, pilihan atau penetapan
itulah yang disebut hukum syara’ dalam istilah para ahli ilmu hukum fiqih. Ini sesuai dengan
istilah para hakim dewasa ini. Merek memaksudkan hukum sebagai teks putusan yang keluar
dari hakim itu sendiri. Oleh karena inilah mereka berkata: Bunyi hukummya begini “ Kasus
telah menjelaskan bunyi hukum”.
Adapun hukum syara menurut istilah ahli fiqih, maka ia adalah efek yang dikehendaki
oleh khithab syar’i pada perbuatan, seperti: kewajiban, keharaman, dan kebolehan.
Dari definisi hukum syara menurut istilah para ahli ilmu fiqih dan ushul fiqih, yaitu
khithab syar’i yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, maka seseorang
akan salah faham bahwasanya hukum syara adalah khusus nash-nash saja. Karena hanya
nashlah khitab dari syar’i dan ia tidak meliputi dalil-dalil syara lainnya, yaitu ijma’atau qiyas
atau lainnya, karena dalil-dalil tersebut bukanlah nash ketika dibbuktikan pada nash. Namun
pada hakekatnya ia adalah khithab dari syar’i, akan tetapi tidak bersifat langsung. Dengan
demikian, setiap dalil syar’i yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf, baik menurut
istilah para ahli ilmu ushul fiqih.
____________________
1
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rikena Cipta, 2001), hal 36.
2
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hal 90.
2
Contoh sesuatu yang menuntut pengerjaan dari mukallaf adalah firman Allah SWT:
ُخ ْذ ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم.
Artinya:“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. (Q S At-Tubat: 103).
Contoh sesuatu yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan ialah firman Allah SWT:
اَل يَ ْس َخرْ قَوْ ٌم ِم ْن قَوْ ٍم
Artinya: “ Janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain”. (Q S Al-Hujurat: 11).
Dan firman-Nya:
َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّزنَا
Artinya: “ Janganlah kamu mendekati zina...”. (Q S Al-Isra: 32).
Sedangkan contoh hukum yang menghendaki pilihan oleh si mukallaf antara
mengerjakan dan meninggalkan, ialah firman Allah:
ِ ْصاَل ةُ فَا ْنتَ ِشرُوا فِي اَأْلر
ض َّ ت ال ِ ُفَِإ َذا ق..
ِ َ ضي
Artinya: “Maka apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebarlah kamu di muka bumi..”. (Q
S Al-Jum’at: 10).
Adapun hukum wadh’i adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab
bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang baginya.
Contoh sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagi sebab sesuatu yang lain ialah,
firman Allah SWT:
ِ ِصاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى ْال َم َراف
ق َّ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ال...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku-siku...” (Q S Al-Maidah: 6).
Dan firman Allah:
ِ َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَ ا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ ع
َزي ٌز َح ِكي ٌم ُ َّار
ِ ق َوالس ِ َوالس
Artinya; “Laki-laki yang mencuri dan permpuan yang mencuri, potonglah kedua tangan
mereka...” (Q S Al-Maidah: 38).
Sedangkan contoh sesuatu yang menghendaki penetapan sesuatu sebagai syarat bagi
sesuatu lainnya adalah firman Allah SWT:
ِ اس ِحجُّ ْالبَ ْي
ت َم ِن ا ْستَطَا َع ِإلَ ْي ِه َسبِياًل ِ َّ َوهَّلِل ِ َعلَى الن..
Artinya: “...mengerjakan hajji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...” (Q S Ali ‘Imran:
97).
Adapun contoh sesuatu yang menghendaki penetapan sesuatu sebagai penghalang bagi
sesuatu lainnya ialah sabda Nabi SAW:
Artinya:
“Pembunuh tidaklah berhak harta warisan (dari si terbunuh)”.
Hukum-hukum tersebut dinamakan hukum wad’i, karena yang menjadi tuntutannya
adalah penetapan berbagai sebab bagi musabbab-musabbabnya, atau syarat bagi segala yang
disyaratkannya, atau penghalang dari berbagai hukum.
Dari uraian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan antara hukum
taklifi dan hukum wadh’i adalah dari dua segi, yaitu:
Pertama: bahwasanya hukum taklifi itu dimaksudkan untuk menuntut perbuatan
mukallaf atau meninggalkan perbuatan, atau memberikan pilihan kepadanya antara
melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i maka ia tidaj
dimaksudkan sebagai pentaklifan atau pemberian pilihan, akan tetapi hanyalah dimaksudkan
untuk menjelaskan sesuatu ni adalah sebab bagi musabbab ini, atau bahwasanya ini adalah
syarat bagi masyruth ini, atau bahwasanya ini adalah penghalang terhadap hukum ini.
Kedua: bahwasanya sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan,
atau diberikan pilihan anatar mengerjakannya dan meninggalkannya sesuai dengan tuntutan
3
hukum taklifi, maka ia haruslah dalam jangkauan kemampuan si mukallaf. Ia mampu
mengerjakannya dan meninggalkannya, karena tidak ada taklif kecuali dengan sesuatu yang
dikuasai, dan tidak ada pilihan kecuali antara sesuatu yang dikuasai dan sesuatu yang
dikuasai lainnya.
Adapun sesuatu yang ditetapkan sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang, maka ia
terkadang merupakan hal yang dalam kemampuan si mukallaf, dimana sekira ia
mengerjakannya, maka muncukkah pengaruhnya, dan kadangkala ia merupakan hal yang
berada diluar kekuasaan si mukallaf, dimana apabila hal itu ada, maka pengaruhnya akan
timbul.
Diantara hukum yang dijadikan sebagai sebab yang dikuasai oleh si mukallaf adalah:
berbagai bentuk (shighat) perjanjian dan pengelolaan, dan seluruh perbuatan dosa, baik
berupa kriminal, kedurhakaan, maupun pelanggaran, sekiranya seorang mukallaf
mengadakan akad atau pengelolaan, maka hukunya akan timbul padanya, dan apabila ia
melakukan suatu dosa ia mendapatkan hukumannya.
Diantara sesuatu yang ditetapkan sebagai sebab yang berada diluar kekuasaan mukallaf
ialah kekerabatan menjadi sebab bagi pewarisan, kewalian dan pewarisan merupakan sebab
bagi pemilikan, dan keadan darurat merupakan sebab bagi pembolehan yang terlarang.
Diantara sesuatu yang dijadikan syarat yang berada dalam kekuasaan mukallaf adalah
menghadirkan dua orang saksi pada akad perkawinan sebagai syarat bagi sahnya akad
tersebut, penyampaian jumlah maskawin yang disebutkan sampai sepuluh dirham sebagai
syarat bagi sahnya penyebutan maskawin, dan menentukan harga dan tempo pada jual beli
sebagai syarat sahnya akad itu.
Sedangkan diantara sesuatu yang menjadi syarat yang diluar kemampuan mukallaf
adalah: datangnya baligh sebagai persyaratan bagi berakhirnya kewalian pribadi, datngnya
kedewasaan menjadi syarat kelangsungan perjanjian tukar-menukar harta kekayaan.
Demikian pula yang menjadi penghalang (mani’), diantaranya ada yang berada dalam
kekuasaan mukallaf, seperti pembunuhan oleh si ahli waris terhadap orang yang
mewariskannya, sebagaimana keberadaan orang yang diberi wasiat sebagi ahli waris.
a) Hukum Taklifi
4
I. Wajib
Definisi Wajib
Wajib menurut syara’ adalah sesuatu yang dituntut oleh syari’ untuk dikerjakan oleh
mukallaf dengan suatu tuntutan yang mengharuskan, sebagaimana tuntutan itu disertai
dengan sesuatu yang menuntut untuk mengharuskan mengerjakannya. Misalnya apabila
shighat thalab bentuk tuntutan itu menunjukkan pengharusan, atau pengharusan
melakukannya ditunjukkan oleh konsekuensi hukuman karena meninggalkannya, atau ada
qarinah (pertanda) lainnya yang menunjukkannya.
Puasa adalah wajib, karena shighat yang dipergunakan untuk menuntut puasa
menunjukkan atas pengharusan puasa. Dimana Allah SWT berfirman :
ِّ ب َعلَ ْي ُك ُم ال
صيَا ُم َ ُِكت
Artinya :"...diwajibkan atas kamu berpuasa...". (Q S Al-Baqarah : 183).
Selanjutnya mendirikan shalat, menerimakan zakat, melaksanakan hajji di Baitullah,
berbakti kepada kedua orang tua, dan perintah-perintah lain yang datang sengan shighat
perintah secara mutlaj, dan keharusan menegrjakannya ditunjuki oleh apa yang terdapat pada
sejumlah nash, berupa pengenaan siksaan terhadap mukallaf karena meninggalkannya.
Apabila syar'i menuntut suatu perbuata dan qarinah (tanda-tanda) menunjukkan bahwasanya
tuntutannya adalah bersifat mewajibkan, maka perbuatan itu adalah wajib. Baik qarinah itu
merupakan shighat thalab (tuntutan) itu sendiri atau merupakan hal yang bersifat luar.
Pembagian wajib
Wajib itu terbagi menjadi empat pembagian berdasarkan tinjauan yang berbeda, yaitu:
Pembagian pertama:
Wajib ditinjau dari segi waktu melaksanakannya ada kalanya :
1) Muaqqat (terikat waktunya).
2) Muthlaq dari pembatasan waktu.
Adapun wajib muaqqat ialah sesuatu yang dituntut oleh syar'i untuk dikerjakan dengan
pasti pada waktu tertentu. Seperti shalat lima waktu. Syar'i telah menentukan waktu tertentu
untuk melaksanakan masing-masing shalat dari lima shalat itu, sekira shalat itu tidak wajib
sebelum waktu itu, dan seorang mukallaf berdosa jika ia mengakhirkannya dari waktuny
tanpa suatu alasan.
Sedangkan wajib muthlaq 'an at-tauqit ialah sesuatu yang dituntut oleh syar'i untuk
mengerjakannya dengan pasti dan tidak menentukan waktu untuk melaksanakannya.
Misalnya : kaffarat yang wajib atas orang yang bersumpah dengan suatu sumpah kemudian ia
melanggarnya, maka untuk mengerjakan kaffarat ini tidak ada waktu tertentu. Jika si
pelanggar mau, maka ia melaksanakan kaffarat langsung sesudah pelanggaran. Jika ia
menghendaki, ia dapat menunaikan kaffarat sesudah itu.
Wajib muaqqat, apabila dilaksanakan oleh mukallaf pada waktunya secara sempurna
dan dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka pelaksanaannya itu
disebut dengan ada', dan apabila ia mengerjakan wajib tersebut pada waktunya secara tidak
sempurna, kemudian ia mengulangi wajib itu pada waktunya secara sempurna, maka
pelaksanaannya itu disebut dengan i'adah, dan apabila ia mengerjakan lagi sesudah waktunya,
maka pekerjaannya itu disebut dengan qadha'.
Barang siapa yang melakukan shalat Dzuhur pada waktunya dengan sempurna, maka
shalatnya itu merupakan ada' terhadap yang wajib. Barang siap yang mengerjakan shalat
Dzuhur itu pada waktunya dengan tayammum disebabkan ketidak adaan air, kemudian pada
waktu itu juga ia menemukan air, lalu berwudhu dan shalat Dzuhur kedua kalinya, maka
5
shalat Dzuhur yang belakangan disebut dengan i'adah (pengulangan). Selanjutnya, barang
siap yang mengerjakan shalat Dzuhur itu setelah wajtunya, maka shalat tersebut adalah s
Wajib muaqqat tersebut, apabila waktunya yang telah ditentukan oleh Syar'i itu
mencukupi untuk wajib itu dan mencukupi untuk lainnya yang sejenis, maka waktu ini
disebut dengan muwassa' (diluaskan) dan Zharf (bebas). Jika waktu wajib muaqqat yang
telag ditentukan oleh Syar'i itu hanya cukup untuknya saja dan tidaj cukup untuk lainnya
yang sejenis, maka waktu tersebut dinamakan dengan mudhayyaq (sempit) dan mi'yar
(terbatas). Yang pertama adalag seperti waktu shalat Dzuhur. Waktunya adalag waktu yang
muwassa' (leluasa) yang cukupuntuk melaksanakan shalat Dzuhur dan melaksanakan shalat
lain manapun. Dan seorang mukallaf berhak untuk melaksanakan shalat Dzuhur itu pada
salah satu bagian dari waktu itu. Yang kedua wajib mudhayyaq adalah seperti bulan
Ramadhan. Bulan itu merupakan waktu yang mudhayyaq (sempit), yang tidak cukup kecuali
puasa Ramadhan saja. Apabila waktunya wajib muaqqat itu tidak mencukupi lainnya dari
satu segi, dan mencukupinya dari segi lainnya, maka waktu tersebut dinamakan Dzusy-
Syabhain (mempunyai dua kesamaan).
6
kepada para fakir, apabila ia wajib dengan nazar, memberikan makan kepada orang yang
lapar, serta menolong orang yang kesulitan, serta kewajiban-kewajiban yang lainnya yang
tidak dibatasi oleh syar'i. Sebab yang dimaksudkan adalah memenuhi kebutuhan, dan ukuran
dari sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan berlainan karena berbedanya kebutuhan, orang-
orang yang membutuhkan dan situasi dan kondisi.
II. Mandub
Definisi Mandub
Mandub adalah sesuatu yang dituntut pengerjaannya oleh syar'i dari mukallaf dengan
suatu tuntutan yang tidak pasti. Sebagaimana shighat (bentuk) tuntutannya itu sendiri tidak
menunjukkan terhadap pengharusannya atau tuntutannya disertai dengan beberapa qarinah
(tanda) yang menunjukkan ketidak wajiban. Misalnya firman Allah SWT:
ٓ
ُيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ه.ٰ
Artinya :"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...". (Q S Al-Baqarah : 282).
Perintah untuk menulis hutang (muamalah) itu adalah perintah sunnah bukan perintaj yang
diwajibkan, dengan dalil qarinah yang ada dalam ayat itu sendiri, yaitu firman Allah SWT :
ۗق هّٰللا َ َربَّه
ِ َّض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذى اْؤ تُ ِمنَ اَ َمانَتَهٗ َو ْليَت
ُ فَاِ ْن اَ ِمنَ بَ ْع.
Artinya :"...akan tetapi jiga sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka
hendaklah yang dipercayai iti menunaikan amanatnya (hutangnya)...". (Q S Al-Baqarah :
283).
Ayat ini memberikan isyarat bahwa seseorang yang memberi hutang boleh percaya dan
mempercayai orang yang menerima hutang tanpa mengadakan penulisan hutang atasnya.
Jika shighat tuntutannya itu sendiri tidak menunjukkan atas tuntutan yang wajib atau
tidak wajib, maka diambil dalil berdasarkan qarinah-qarinah, bahwa yang dituntut itu adalah
wajib atau mandub. Qarinah itu :
1) Ada kalanya berupa nash.
2) Terkadang berupa sesuatu yang diambil dari prinsip-prinsip syariat dan kaidah-
kaidah kulliyyah (yang bersifat umum).
3) Terkadang pula ia merupakan pemberian konsekuensi hukuman atas peninggalan
pekerjaan dan tidak adanya konsekuensi itu.
7
Pembagian Mandub
III. Muharram
Definisi Muharram
Haram menurut lughat adalah yang dilarang. Adapun menurut istilah syara' adalah
pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa dengan mengerjakannya atau apa yang dituntut
oleh syara' untuk tidak melalakukannya dengan tuntutan keras.Abu Hamid Al-Ghazali
mendefinisikan haram adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk ditinggalkan rnelalui tuntutan
secara pasti dan mengikat.4
Sebagaimana shighat tuntutan untuk meninggalkan itu sendiri menunjukkan bahwa
hal itu pasti, seperti firman Allah SWT:
ِ ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز
ير ْ حُرِّ َم...
Artinya: “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi...”. (Q S Al-
Maidah : 3).
Atau ia merupakan larangan untuk melakukan yang disertai dengan sesuatu yang
menunjukkan bahwa hal tersebut adalah pasti, misalnya firman Allah SWT:
ِ ََواَل تَ ْق َربُوا ال ِّزنَا ۖ ِإنَّهُ َكانَ ف
اح َشةً َو َسا َء َسبِياًل
Artinya: “Dan jangan kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji”. (Q S Al-Isra : 32).
Pembagian Muharram
8
2) Muharram li ‘aridh (karena suatu hak yang baru), maksudnya bahwa ia merupakan
satu perbuatan yang hukum syar’inya pada mulanya wujud, nadb, atau ibahah, akan
tetapi ada sesuatu hal yang baru menyertainya yang menjadikan sebagai yang
diharamkan, seperti melakukan shalat dengan mengenakan pakaian yang dighashab,
menjual sesuatu yang mengandung penipuan, perkawinan yang dimaksudkan untuk
semata-mata menghalalkan si istri bagi suami yang telah menceraikannya tiga kali,
puasa yang bersambung (tanpa buka di malam hari) dan talaq bid’i, dll.
IV. Makhruh
Definisi Makhruh
Makhruh secara lughat berasal kata karaha artinya yang tidak disukai, yang dibenci,
semakna dengan qubh artinya yang buruk. Makhruh secara syara’ adalah pekerjaan yang
dituntut kita meninggalkan dengan tidak kita rasakan, bahwa akan disiksa jika kita
mengerjakannya atau apa yang dituntut syara' untuk rneninggalkannya narnun tidak begitu
keras.5
Makhruh adalah suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan tidak
mendapat pahala apabila ditinggalkan.
Jadi, yang dituntut adalah meninggalkan pengerjaannya; jika shighat tuntutannya itu
sendiri menunjukkan bahwa hal itu merupakan tuntutan pasti maka ia adalah muharram (yang
diharamkan). Jika shighatnya itu sendiri menunjukkan bahwa hal itu merupakan tuntutan
yang tidak pasti, maka ia adalah makhruh. Kemudian, jika shighatnya adalah larangan secara
mutlak, atau perintah untuk menjauhi secara mutlak, maka dipergunakan dalil dengan
berbagai qarinah bahwa hal itu adalah tuntutan pasti atau tidak pasti. Diantara berbagai
qarinah adalh timbulnya konsekuensi hukuman dan tidaknya. Oleh karena inilah, maka
sebagian ahli ilmu ushul fiqih mendefinisikan muharram sebagi sesuatu yang pelakunya
menerima hukuman, namun terkadang menerima celaan.
V. Mubah
Definisi Mubah
Mubah ialah sesuatu yang diberikan oleh syar’i kepada mukallaf untuk memilih antara
mengerjakannya dan meninggalkannya. Jadi, syar’i tidak menuntut supaya mengerjakan
perbuatan ini dan tidak pula menuntut supaya ia meninggalkannya.6
Pada suatu kali, pembolehan suatu perbuatan diperoleh ketetapannya berdasarkan nash
yang menunjukkan kebolehannya, sebagaimana apabila syar’i menashkan bahwsanya tiada
dosa pada suatu perbuatan, maka berdasarkan hal ini maka ia menunjukkan atas
kebolehannya, seperti firman Allah SWT:
ْ فَاِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل يُقِ ْي َما ُح ُدوْ َد هّٰللا ِ ۙ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِ ْي َما ا ْفتَد.
ۗ َت بِ ٖه
Artinya: “jika kamu kuatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya”. (Q S Al-Baqarah : 229).
____________________
5
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hal 187.
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hal 166..
9
Kadang kalau pembolehan suatu perbuatan diperoleh ketetapan berdasarkan ibahah
ashliyyah (kebolehan yang bersifat asli). Apabila tidak ada nash syar’i atas hukum suatu
akad, atau suatu tindakan, atau suatu perbuatan, dan tidak ada dalil syar’i lainnyayang
menunjukkan hukumnya, maka akad, atau tindakan, atau perbuatan tersebut adalah mubah,
berdasarkan baraah ashliyyah (kebebasan asli), karena asal sesuatu adalah ibahah.
Jalan untuk mengetahui rnubah adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan keterangan nash syara'. (a) Syara' mengatakan, jika kamu suka
perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka, tinggalkanlah dia itu, (b)
Syara'mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
2) Tidak ada keterangan syara ', yakni syara'tidakmencegahnya dan tidak pula
menyuruhnya. Suatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara',
maka hukumnya mubah.
b) Hukum Wadh’i
Sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain atau
menjadi syarat baginya atau menjadi penghalang baginya. Contohnya adalah sesuatu yang
menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain.7
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima bagian:
1) Sebab
Definisi Wadh’i
Sebab merupakan suatu sifat yang terlihat dan tercakup dalamnya, sehingga wajiblah
dengan adanya itu ada pula hukumnya dan karena ia tidak ada, maka tidak ada pula
hukumnya, dengan zat sifat itu.8
Definisi lain dari sebab ialah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas
musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan
musabab dengan ketiadaannya. Jadi, dari keberadaan sebab, maka ditetapkan adanya
musabab dan dari ketiadaan sebab itu ditetapkan ketiadaannya. Dengan demikian, sebab
merupakan hal yang zhahir (nyata) dan pasti, yang dijadikan oleh syar’i sebagi alamat
(pertanda) atas hukum syara’ yaitu musababnya.
Macam-macam Sebab
a) Kadangkala sebab menjadi sebab bagi penetapan kepemilikan, atau penghalalan, atau
menghilangkan dua-duanya: sebagaimana jual beli menetapkan kepemilikan dan
menghilangkannya, pemerdekaan dan waqat untuk menggugurkannya, akad
perkawinan untuk menetapkan kehalalan, talaq untuk menghilangkan kehalalan,
kekerabatan, hubungan semenda, dan wala’ untuk menetapkan hal pewarisan,
pengrusakan harta orang lain untuk menetapkan kewajiban mengganti rugi atas orang
yang merusakkan.
____________________
7
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hal 93.
8
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rikena Cipta, 2001), hal 40.
10
b) Terkadang pula, sebab merupakan suatu perbuatan mukallaf yang dikuasainya, seperti
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja menjadi sebab adanya pengqiyasan
terhadapnya, akad jual beli, atau perkawinannya, sewa menyewanya, atau lainnya
merupakan sebab bagi hukum-hukum hal tersebut, dan kepemilikannya terhadap
ukuran nishab bagi wajibnya zakat atasnya.
2) Syarat
Definisi Syarat
Syarat ialah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu
itu dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut.
Syarat merupakan hal yang diluar hakekat sesuatu yang disyaratkan. Ketiadaan syarat
menetapkan ketiadaan yang disyaratkan, namun adanya syarat tersebut tidak memastikan
adanya yang disyaratkan. Misalnya: wadhu’ adalah syarat bagi keabsahan mendirikan shalat.
Apabila tidak ada wudhu’, maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wadhu’
tidak memastikan pendirian shalat.
____________________
9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hal 174.
10
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rikena Cipta, 2001), hal 43.
11
3) Mani’
Definisi Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum atau batalnya
sebab. Terkadang sebab syar’i telah ada, dan seluruh syarat-syaratnya terpenuhi, akan tetapi
ada mani’ (penghalang) yang menghalangi timbulnya konsekuensi hukum padanya.
Sebagaimana apabila ada perkawinan yang sah atau kekerabatan, akan tetapi konsekuansi
pewaris terhalang pada salah satu dari keduanya, sebagaimana perbedaan agama antara ahli
waris dan yang mewariskannya, atau pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
orang yang mewariskannya, dan sebagaimana pembunuhan sengaja yang mengandung
kedzaliman, akan tetapi pewajiban pengqishashannya terhalang oleh bahwa si pembunuh
adalah ayah si terbunuh.
Jadi, mani’ dalam istilah para ahli ushul fiqih adalah suatu hal yang ditemukan bersama
keberadaan sebab dan terpenuhinya syarat-syaratnya, namun ia mencegah timbulnya
musabab pada sebabnya. Ketiadaan syarat tidaklah disebut mani’ dalam peristilahan mereka,
meskipun ia menghalangi munculnya musabab pada sebabnya.11
Macam-macam Mani’
12
d) Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum. Umpamanya khiyar ru'yah, Khiyar ini
tidak menghalangi memiliki barang, hanya milik itu belum sempurna sebelum melihat
barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual
barang kepada orang lain, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli mdka
penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah
pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan
mengurungkannya tanpa meminta persetujuan penjual.
e) Mani'yang menghalangi kemestian (kelaziman) hukum. Seperti khiyar 'aib. Si pembeli
boleh melakukan kekuasaanya terhadap barang yang telah dibeli, sebelum ia periksa
barang itu, baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang
dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada
penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar 'aib
adalah tiga hari lamanya.12
Rukhshash adalah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk
maksud memberikan keinginan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus
yang menghendaki keringanan ini. Atau rukhshash ialah sesuatu yang disyariatkan karena
suatu alasan yang memberatkan dalam berbagai keadaan khusus, atau ia adalah pembolehan
sesuatu yang terlarang dengan suatu dalil, disertai adanya dalil larangan.
‘Azimah ialah hukum-hukum umum yang disyariatkan sejak semula oleh Allah, yang
tidak tertentu pada satu keadaan saja bukan keadaan lainya, bukan pula khusus seirang
mukallaf, dan tidak mukallaf lainnya.13
Macam-macam Rukhshash
Rukhshah yang ditetapkan berbeda dengan dalil disebabkan adanya udzur, berlaku
dalam empat bentuk hukum syara', yaitu ijab, nadb, karahah, dan ibahah. Misalnya:
a) Rukhshah terhadap wajib,yaitu memakanbangkai bagi orang yang dalam keadaan
darurat. Hukum ini wajib menurut jumhurulama.
b) Rukhshah bersifat mandub seperti mengqashar shalat bagi musafir. Menurut jumhur
ulama ushul fiqih, mengqashar shalat dalam pejalanan hukumnya mandub tetapi
menurut ulama Hanafiyah mengqashar shalat bagi rnusafir tidak termastk rukhshash,
tetapi termasuk 'azirnah.
c) Rukhshash bersifat mubah bagi para dokter yang melihat aurat orang lain, (laki-laki
atau wanita), ketika berlangsungnya pengobatan. Melihat aurat orang lain pada
dasarnya haram, tetapi dibolehkan demi untuk menghilangkan kesulitan bagi umat
manusia.
d) Rukhshah bersifat makruh, apabila seseorang yang karena terpaksa mengucapkan
kalimat kufur (mengaku kafir) sedangkan hatinya tetap beriman. Mengaku kafir
adalah haram bagi umat Islam, karena hal itu menunjukkan bahwa ia telah rnurtad,
tetapi karena ia dipaksa dengan ancaman hukuman untuk mengucapkan kalimat kufur
tersebut, sementara hatinya tetap beriman, maka dalam hal ini berlaku
rukhshaah,tetapi bersifat mal
____________________
12
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hal 194.
13
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hal 176.
13
Satu hal yang perlu dicatat bahwa seluruh ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa
melakukan berbagai amalan dengan memilih yang rukhshah saja, bisa menjurus kepada
beramal sesuai dengan hawa nafsu pribadi, serta menjunrs kepada sikap pelarian dari 'azimah.
Ulama Hanafiyah membagi rukhshash kepada dua macam, yaitu:
a) Rukhshash tarfih (peringanan), hukum ‘azimah masih tetap bersamanya dan dalilnya
juga masih tetap, akan tetapi diberikan rukhshash untuk meninggalkannya sebagai
suatu peringanan pada mukallaf.
b) Rukhshash isqath (pengguguran), hukum ‘azimah tidak lagi bersamanya, bahkan
sesungguhnya keadaan yang mengharuskan peringanan telah menggugurkan hukum
‘azimah, dan hukum yang disyariatkan adalah rukhshash.14
Suatu perbuatan yang dituntut oleh syar’i dari mukallaf, dan sesuatu yang disyariatkan
kepada mereka berupa sebab dan syarat, apabila dilakukan oleh mukallaf maka ia dihukumi
dengan kesahannya, dan kadang pula dihukumi dengan ketidak sahannya.
Pengertian sah menurut syara adalah timbulnya berbagai konsekuensinya secara
syar’iyyah atas perbuatan itu. Jika sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf perbuatan yang
wajib, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut
memenuhi semua rukun dan syaratnya, maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya
dari kewajiban itu telah lepas, dan ia tidak mendapatkan hukuman di dunia, serta
mendapatkan pahala di akhirat.
Jika sesuatu yang dikerjakannya adalah sebab syar’i seperti perkawinan, talaq, jula beli,
dll, dan si mukallaf telah memenuhi rukun-rukunnya san syarat-syaratnya yan bersifat syar’i,
maka timbullah konsekuensinya yang bersifat syar’i terhadap setiap sebab, dimana syar’i
telah menyusun konsekuensi itu atasnya, baik berupa penetapan kehalalan, atau
menghilangkannya, pertukaran milik dua barang yan dipertukarkan, atau pemilihan tanpa
ganti, atau lainnya.
Ulama Hanafiyah berkata: “Sesunggguhnya pembagian hanyalah dua dalam ibadah,
yaitu: ada kalanya shahih dan ada kalanya tidak shahih”.15
____________________
14
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hal 290.
15
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hal 184.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa hukum syara’ adalah khithab syar’i yang bersangkutan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
ketetapan.
Terkait macam-macam hukum syara’ dibagi menjadi dua bagian:
a) Hukum taklifi.
b) Hukum wadh’i.
Terakir mengenai pembagian hukum syara’, hukum taklifi dibagi menjadi lima
bagian:
a) Wajib.
b) Mandub.
c) Muharram.
d) Makhruh.
e) Mubah.
Hukum wadh’i juga terbagi lima bagian:
14
a) Sebab.
b) Syarat.
c) Mani’.
d) Rukhshah dan ‘azimah.
e) Shah dan batal.
SARAN
Dalam menyelesaikan makalah ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan, maka
dari penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994).
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rikena Cipta, 2001).
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih.
15