Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN HUKUM WADH’I SERTA CARA

PENERAPANNYA

OLEH :
Nama : Anggie Ramadhanie Baksa
NIM : H1A119402
Kelas :G
Jurusan : ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
2020/2021
A. PENGERTIAN HUKUM WADH’I
Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Hukum wadh’i merupakan hokum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang
mengandung persyaratan, sebab atau mani’.
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua
sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang
tidak sah.
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal
yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain.
Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i adalah hukum yang menghendaki
dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’),
atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau
rukhshah.
Jadi, Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus azimah dan
rukhsah.

• Macam-Macam Hukum Wad’i


Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam yaitu ;
1. Sebab
Secara etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan
kepada maksud atau tujuan. Secara bahasa Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang
dijelaskan leh nash al-qur’an atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi
hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu
hukum.Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6].
Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu,
tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.
2. Syarat
Syarat ialah: suatu yang menyebabkan adanya hukum dengann adanya syarat dan bila tidak ada
syarat maka hukum pun tidak ada. Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali
Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.
3. Mani’
Mani’ yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak
ada sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan terjadinya
hubungan kewarisan. Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat
(tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil
sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan
bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah
terhadap perbuatan yang sah.
4. Sah dan Batil
Lafadz sah dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta
memperlah pahala dan ganjaran di akhirat. Sholat diakatakan sah karena telah dilaksanakan
sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan akan mendatangkan pahala di akhirat.
Lafadz batal dapat diartikan tidak lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan
kewajiban di dunia dan akhirat tidak memperolah pahala.
5. Aziman dan Rukhsah
Aziman dan rukhsah: adalah hukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruh hambanya sejak
semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga seluruh
makhluk wajib mengikuti sejak hukum tersebut disyariatkan. Misalnya: jumlah rakaat sholat
dzuhur adalah empat rakaat, jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula dimana
sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat sholat dzuhur, hukum
tentang rakaat sholat dzuhur itu adalah empat rakaat disebut dengan aziamh, apabila ada dalil
lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dzuhur dua
rakaat seperti orang musafir, maka hukum itu disebut rukhsah.
Adapun alasan mengapa rukhshah dan ‘azîmah bukan termasuk dalam hukum wadh’îe
akan tetapi masuk dalam hukum taklîfîe adalah karena kedua hukum tersebut mengandung
kehendak atau permintaan (iqtidhâ`) dalam hukum ‘azîmah dan kebebasan memilih (takhyîr)
dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa ‘azîmah dan rukhshah
merupakan bagian dari hukum wadh’îe dan bukan termasuk dalam hukum taklîfîe mengatakan
bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syâri’ sebagai sebab peringanan
suatu hukum syariat, sedangkan ‘azîmah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang
menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain
sebagainya.
Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fâsid tidak termasuk dalam
hukum wadh’îe akan tetapi bagian dari hukum taklîfie, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah
adalah pembo1ehan dari Syâri’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan
memanfaatkan mabî’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli. Sebaliknya al-buthlân adalah
keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabî’ jika akad jual beli
batal atau tidak sah.

• Contoh Hukum Wad’I


Contoh hukum wad’I menurut firman Allah swt.dan sunah Rasulullah saw.berikut
1. Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Sebab yang Lain
Allah swt.berfirman dalam Surah al-Isra’ Ayat 78
( ‫اإلسراء(أقم الصالة لدلوك الشمس‬: 78)
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isrâ`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya
kewajiban salat dzuhur.
‫وس ُك ْم َو َأ ْر ُج َل ُك ْم ِإ َلى ا ْل َك ْعبَ ْي ِن‬
ِ ‫س ُحوا ِب ُر ُء‬ َ ‫ق َوا ْم‬ ِ ِ‫سلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َو َأ ْي ِديَ ُك ْم ِإ َلى ا ْل َم َراف‬ ِ ‫اغ‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإ َلى‬
ْ ‫الص ََل ِة َف‬
‫سا َء فل ْم ت َِجدُوا َما ًء‬َ َ َ ِّ‫ستُ ُم الن‬ َ َ ْ ْ َ
ْ ‫سفر أ ْو َجا َء أ َح ٌد ِمن ُك ْم ِمنَ الغائِ ِط أ ْو ََل َم‬ َ َ َ
َ ‫ضى أ ْو َعلى‬ َ َ ‫َوإِنْ ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّ ُروا َو ِإنْ ُك ْنتُ ْم َم ْر‬
ُ‫َّللاُ ِل َي ْج َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِمنْ َح َرج َولَ ِكنْ يُ ِري ُد ِليُطَ ِّه َر ُك ْم َو ِليُ ِت َّم ِن ْع َمتَه‬ َّ ‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ َما يُ ِري ُد‬ َ ‫ص ِعيدًا طَ ِّي ًبا فَا ْم‬َ ‫فَتَ َي َّم ُموا‬
َ‫ش ُكرُون‬ ْ َ‫َعلَ ْي ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم ت‬
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur”
2. Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Syarat yang Lain
Allah berfirman dalam Surah an-Nisa Ayat 6 Setelah memperhatikan contoh di atas, di sana
tidak ditemukan kesesuaian yang tampak antara adanya al-sabab dan munculnya suatu hukum
syariat, kecuali yang diketahui oleh Syâri’ sendiri. Dalam hal seperti ini para ulama ushûl
menyebutnya sebagai al-sabab dan al-‘illah, namun ada sebagian ulama yang menyebutnya al-
sabab saja dan bukan al-‘illah, karena menurut pandangan mereka al-‘illah adalah yang
mempunyai kesesuaian yang cocok antara hukum syariat dan al-‘illah.
3. Khitab Rasullulah saw.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Penghalang (Mani’).
Rasulullah saw.bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya
: “Tidak ditulis sebagai dosa dari tiga hal, yaitu dari orang gila sampai ia sembuh (berakal),
dari orang tidur sampai bangun, dan dari anak kecil sampai dia dewasa. ( H.R. Abu Dawud dari
Ibnu Abbas : 3823)”
Hadits diatas menggambarkan bahwa gila menjadi penghalang terhadap pembebanan
suatu hukum dan menjadi penghalang (Man’i) terhadap perbuatan yang sah. Selain hadits
diatas, terhadap pula hadits yang lain, yang artinya :
“Orang islam tidak mewarisi orang fakir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam. (
H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid : 6267 dan Muslim : 3027)”
Berlainan agama antara orang yang mewariskan hartanya dan orang yang mewarisi menjadi
penghalang seseorang untuk menerima harta waris.
Berdasarkan ketentuan dan contoh-contoh tersebut, hukum wad’I pada dasarnya sebagai
petunjuk dalam melaksanankan hukum taklifi. Mengenai hukum wad’I para ulama berpendapat
bahwa hukum wad’I tidak hanya mengandung lima hal diatas, tetapi juga mengandung rukhsah
(kemurahan), dan sihah (sah

B. PENERAPAN DALAM ISLAM


Hukum wadh’I adalah yang menunjukan bahwa sesuatu telah dijadikan
sebab,syarat,dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara
Contoh sebab : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dang tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5) : 6].
Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu
Contoh syarat :”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.’ [QS. Ali Imran (3) :97].
Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.
Seorang muslim atau muslimah yang menerapkan hukum wadh'i akan senantiasa
beribadah kepada Allah swt dengan dilandasi niat ikhlas karena allah swt dan sesuai dengan
ketentuan syara'

Anda mungkin juga menyukai