Anda di halaman 1dari 4

Hukum Wadh’i

Definisi Wadh’i (Ketentuan yang ditetapkan) adalah adanya kaitan antara perbuatan mukallaf
dengan sebab (assabab) atau syarat (asy-syarth) atau halangan (mani’) tertentu.

Definisi Hukum Wadh’i

‫ أو مانعا منه‬، ‫ أو شرطا له‬،‫ما اقتضى وضع شيء سببا لشيء‬

“Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang
menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).”

Dinamakan hukum wadh’i, karena yang menentukan atau menetapkan hukum itu adalah Syari’
(Pembuat hukum/Allah). Umpamanya, Allah-lah yang menentukan bahwa hendak melakukan
shalat sebagai sebab wajibnya berwudhu, istitha’ah (kemampuan) sebagai syarat bagi wajib
melaksanakan ibadah haji, pembunuhan pewaris terhadap ahli warisnya sebagai penghalang
mendapatkan warisan, tanpa berhubungan dengan permintaan dari mukallaf.

Contoh :

 Kaitan perbuatan mukallaf dengan sebab (asy-syabab)

Perintah melaksanakan shalat dzhuhur dengan sebab masuknya waktu shalat.

ْ ‫ق اللَّ ْي ِل َوقُ ْرآَنَ ا ْلفَ ْج ِر إِنَّ قُ ْرآَنَ ا ْلفَ ْج ِر َكانَ َم‬


‫ش ُهو ًدا‬ َ ‫س إِلَى َغ‬
ِ ‫س‬ َّ ‫صاَل ةَ لِ ُدلُو ِك ال‬
ِ ‫ش ْم‬ َّ ‫أَقِ ِم ال‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikan pula
shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat”. (Al-Isra/17: 78)

 Kaitan perbuatan mukallaf dengan syarat (asy-syarth) Suci sebagai syarat sahnya shalat.

ْ‫س ُك ْم َوأَ ْر ُجلَ ُك ْم إِلَى ا ْل َك ْعبَ ْي ِن ٰ َوإِن‬


ِ ‫س ُحوا بِ ُر ُءو‬ َ ‫ق َوا ْم‬ ِ ِ‫سلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ا ْل َم َراف‬ َّ ‫ييَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال‬
ِ ‫صاَل ِة فَا ْغ‬
‫وا‬OO‫ا ًء فَتَيَ َّم ُم‬OO‫ دُوا َم‬O‫ا َء فَلَ ْم ت َِج‬O‫س‬ ْ ‫ ِط أَ ْو اَل َم‬Oِ‫ ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ا ْل َغائ‬O‫ ا َء أَ َح‬O‫سفَ ٍر أَ ْو َج‬
َ ِّ‫تُ ُم الن‬O‫س‬ َ ٰ ‫ضى ٰ أَ ْو َعلَى‬ َ ‫ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّ ُروا ٰ َوإِنْ ُك ْنتُ ْم َم ْر‬
ٍ ‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ ٰ َما يُ ِري ُد هَّللا ُ لِيَ ْج َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِمنْ َح َر‬
‫ج َو َل ٰ ِكنْ يُ ِري ُد لِيُطَ ِّه َر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬ َ ‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم‬
َ
َ‫ش ُكرُون‬
ْ َ‫ت‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. al-Maidah/5: 6)

Pembagian Hukum Wadh’i

a. Hukum Wadh’i Sebab


Secara bahasa Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain.
Secara Istilah Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan
tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
Contoh:
Tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan
tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang
dirampok kepada pemiliknya.
Pembagian Hukum Wadh’i Sebab diantaranya:
1. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di luar
kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi,
karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh mukallaf.
Misal, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat
dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa
ramadhan.
2. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan kemampuannya.
Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang
ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli.
b. Hukum Wadh’i Syarat
Secara Bahasa adalah Tanda atau sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain.
Secara Istilah adalah Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, ia bukan
bagian dari sesuatu yang lain itu, tetapi berada di luar hakikat sesuatu itu, sebagaimana
adanya sesuatu itu tidak menuntut adanya sesuatu yang lain yang mensyaratkannya.
Contoh: Wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat, dalam arti adanya shalat
tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan
merupakan bagian dari pelaksanaan shalat.
Pembagian Hukum Wadh’i Syarat terbagi 2 diantaranya:
1. Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at itu sendiri. contoh ,
1) adanya haul (cukup satu tahun) bagi harta yang sudah mencapai nishab merupakan
syarat bagi wajibnya zakat.
2) Keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak
mubazir) menjadi syarat oleh syari’at untuk menyerahkan harta milik anak yatim.
sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”
2. Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri dalam
tindakan dan mu’amalah, bukan dalam masalah ibadah.
Contoh : Seorang suami berkata kepada istrinya:” Jika engkau memasuki rumah si
fulan, maka jatuhlah talakmu satu.”
c. Hukum Wadh’i Mani’
Secara Bahasa adalah Penghalang dari sesuatu.
Secara Istilah “Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum,
atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.”
Contoh:
Akad perkawinan yang sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukunnya adalah sebagai
sebab untuk saling mewarisi. Akan tetapi, saling mewarisi tersebut menjadi terhalang
(mani’) disebabkan suami “misalnya” telah membunuh istrinya. Dengan demikian
tindakan “pembunuhan” adalah mani’ (penghalang) bagi suami istri untuk mewarisi.
Pembagian Hukum Wadh’i Mani’ terbagi 2 diantaranya:
1. Mani’ Al-Hukm
Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya: haid wanita sebagai penghalang shalat.
2. Mani’ Al-Sabab
Seustu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab,
sehingga sebabitu tidak lagi mempunyai akibat hukum. (Batas nishab menjadi sebab
wajib zakat).

Anda mungkin juga menyukai