Anda di halaman 1dari 12

E.

Landasan Teori

1. Pengertian Mahar

Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan

wanita, yaitu memberinya dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya

hak untuk memegang urusannya. Dalam Islam mahar merupakan tanda cinta,

mahar juga merupakan simbol penghormatan dan pengagungan perempuan yang

disyariatkan oleh Allah sebagai hadiah laki-laki terhadap perempuan yang dilamar

ketika menginginkannya menjadi pendamping hidup dan juga sebagai

pengakuannya terhadap kemanusiaan dan kehormatannya.

Menurut Damis (2016: 19) Mahar secara bahasa berarti pandai, mahir, karena

dengan menikah dan membayar mas kawin, pada hakikatnya seorang pria sudah

dipandang pandai dan mahir dalam hal urusan rumah tangga, pandai membagi

waktu, uang, dan perhatian kepada keluarga. Mahar disebut dengan istilah

shaduqah, yang seakar dengan kata shidqu berarti kesungguhan. Hal ini

merupakan isyarat bahwa apa yang diberikan merupakan bukti kesungguhan

suami untuk menikah.

Mahar adalah iwadh (ganti) yang wajib diberikan kepada istri sebagai

konsekuensi dari menikahinya dan menyetubuhinya baik secara syubhat maupun

tidak. (Al-fauzan, 2007:153) Kata mahar berasal dari bahasa Arab yang termasuk

kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni mahran atau kata kerja, yakni fi’il

dari mahara yamruhu mahran. Lalu, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni

al-mahr, dan sudah diindonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau

7
karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, sehingga mahar diidentikkan

dengan maskawin. (Saebani, 2013: 69)

Mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai “sesuatu yang wajib diberikan oleh

seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota

badannya (Ghazali, 2012:85). Mazhab Hambali mendefinisikan sebagai pengganti

dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad, atau ditetapkan

setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim.

Menurut Syarifuddin (2003: 101) Mahar adalah pemberian dari calon

mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau

jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. (ps. 1 huruf d. KHI).

Hukumnya wajib, yang menurut kesepakatan para ulama merupakan salah satu

syarat sahnya nikah.

Konsep tentang maskawin/mahar adalah bagian yang esensial dalam

pernikahan. Tanpa maskawin/mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan

pernikahan dengan benar. Maskawin/mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan

pernikahan, (Istibsyaroh, 2004: 101).

2. Dasar Hukum Mahar

Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara

pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, tetapi lambang

penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban

tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta

kasih sayang suami terhadap istri.

8
Berbeda dengan mahar, kata-kata yang disebut pertama (al- saduq, nihlah,

faridah, ajr) secara eksplisit diungkap di dalam Alquran seperti yang terdapat

didalam surat an-Nisa’ ayat 4:

‫ص ُد ٰقتِ ِه َّن حِن ْلَةً ۗ فَاِ ْن ِطنْب َ لَـ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّمْنهُ َن ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِْيۤـًئـا َّم ِریْۤـًئـا‬ َ ‫اٰ تُوا الن‬
َ َ‫ِّساء‬
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan
senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang
hati.”.

Maskawin dinamai oleh ayat ini shauduqat, bentuk jamak dari shaduqah,

yang terambil dari akar yang berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin itu

didahului oleh janji, maka pemberian itu merupakan bukti kebenaran dan janji.

Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan

kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan

hidup istrinya, tetapi lebih dari itu, ia adalah lambang dari janji untuk tidak

membuka rahasia kehidupan rumah tangga.

Menamai maskawin dengan nama tersebut di atas diperkuat oleh lanjutan

ayat yakni nihlat. Kata ini berarti “pemberian yang tulus tanpa mengharapkan

sedikitpun imbalan”. Ia juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga

maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati

sang suami yang diberikannya tanpa mengaharapkan imbalan.

Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan,

memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang

lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh

9
melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan

asas saling ridha, saling ikhlas.

Dalam sunnah Rasulullah SAW bersabda :

‫صـلَّى‬ َ َّ ‫ت النَّيِب‬ َ ‫اد َع ْن َأيِب َـحـا ِزٍم َع ْن َسـ ْه ِل بْ ِن َسـ ْع ٍد قَـ‬


ْ َ‫ـال َأت‬ ٌ َّ‫َـحـدَّثنَا َع ْـم ُـرو بْ ُن َعـ ْـو ٍن َـحـدَّثنَا مح‬
‫ص ـلَّى اللَّهُ َعلَْيـ ِـه َو َس ـلَّ َم‬ ِِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ت ن َف َس ـ َها للَّه َولَر ُس ـوله‬ ْ َ‫وهب‬َ ‫ت ِإهنَّا قَ ـ ْد‬
ْ َ‫اللَّهُ َعلَْيــه َو َس ـلَّ َم ْامـ َـرَأةٌ َف َقــال‬
‫ـال‬
َ ‫َأج ُد قَـ‬ ِ ‫ـال اَل‬ َ ‫َأع ِط َـهـا َثوبًــا قَـ‬
ْ ‫ـال‬ ‫ـل َز ِّو ْجنِ َـ‬
َ ‫يهـا قَـ‬ ٌ ‫ـال َر ُـج‬ ‫ـال َمــا يِل يِف النِّ َسـ ِاء ِم ْن َح َـ‬
َ ‫اج ٍـة َف َقـ‬ َ ‫َف َقـ‬
ِ ‫ـك ِمن الْ ُقــر‬ ٍِ
‫ـال َف َقـ ْد‬َ ‫ـال َـك َذا َو َـك َذا قَـ‬ َ ‫آن قَـ‬ ْ ْ َ ‫اعتَ َّل لَهُ َف َق َال َما َم َعـ‬ ْ َ‫َأع ِط َها َولَ ْو َخامَتًا ِم ْن َحديد ف‬ ْ
ِ ‫ك ِمن الْ ُقر‬
.‫آن‬ ‫مِب‬
ْ ْ َ ‫َز َّو ْجتُ َك َها َا َم َع‬
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Amru bin 'Aun Telah
menceritakan kepada kami Hammad dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd ia
berkata; Seorang wanita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan berkata bahwasanya, ia telah menyerahkan dirinya untuk Allah dan
Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau bersabda: "Aku
tidak berhasrat terhadap wanita itu." Tiba-tiba seorang laki-laki berkata,
"Nikahkanlah aku dengannya." Beliau bersabda: "Berikanlah mahar
(berupa) pakaian padanya." Laki-laki itu berkata, "Aku tidak punya."
Beliau pun bersabda kembali, "Berikanlah meskipun hanya berupa cincin
besi." Ternyata ia pun tak punya. Kemudian beliau bertanya, "Apakah
kamu memiliki hafalan Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, surat ini
dan ini." Maka beliau bersabda: "Aku telah menikahkanmu dengan wanita
itu, dengan mahar hafalan Al Qur`anmu." (HR. Bukhari)

Disamping dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, dasar diwajibkannnya

mahar adalah Ijma’ (kesepakatan ulama’). Para ulama’ sepakat atas

diwajibkannya mahar dalam pernikahan. Sedangkan kewajibannya sebab akad

atau sebab wath’i (bersetubuh), (Azzam & Hawwas, 2009: 177).

Dari dasar hukum mahar tersebut jelaslah bahwa hukum memberi mahar

itu adalah wajib. Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan

mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar

10
kepada istri. Tidak ditemukan dalam literature ulama yang menempatkan sebagai

rukun.

3. Macam-Macam Mahar

Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam yaitu mahar

musamma dan mahar mitsil.

a. Mahar Musamma

Menurut Mujid (1995: 185) Mahar musamma yaitu mahar yang telah

disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang

dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah. Mahar musamma juga disebutkan

pemberian mahar yang ditentukan dengan tegas tentang jumlah dan jenis sesuatu

barang yang dijadikan mahar pada saat terjadinya akad nikah. Ulama fikih sepakat

bahwa dalam pelaksananya mahar musamma harus diberikan secara penuh

apabila:

1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang ketentuan ini disandarkan pada

Allah Swt surat An-Nisaa’ ayat 20 yaitu :

‫استِْب َدا َل َز ْو ٍج َّم َكا َن َز ْو ٍج   َّواَٰتْيتُ ْم اِ ْح ٰدٮ ُه َّن قِْنطَا ًرا‬ ِ
ْ ُ‫وا ْن اََر ْدمُّت‬
‫فَاَل تَْأ ُخ ُذ ْوا ِمْنهُ َشْي ـًئا ۗ اَ تَْأ ُخ ُذ ْونَه بُ ْهتَا نًا َّواِمْثًا ُّمبِْينًا‬
"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu
telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata?"(QS. An-Nisa' 4: Ayat 20)

Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila telah terjadi dukhul antara suami

istri, maka suami tidak dibolehkan lagi untuk mengambil kembali mahar yang

11
telah diberikan sedikitpun. Yang dimaksud dengan “mengganti istri dengan istri

yang lain” pada ayat diatas adalah menceraikan istri yang tidak disenangi dan

menikah lagi dengan istri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama

itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta dan mengambil kembali

pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.

2) Salah satu dari suami isteri meninggal

Pembayaran mahar musamma diwajibkan hukumya apabila telah terjadi

dukhul, apabila salah seorang suami atau isteri meninggal dunia sebagaimana

telah disepakati para ulama, apabila telah terjadi khalwat, suami wajib membayar

mahar, namun apabila suami telah meninggal sedangkan mahar belum

terbayarkan, maka pembayarannya diambilkan dari harta peninggalannya dan

dibayarkan oleh ahli warisnya, (Ghazali, 2010: 39).

3) Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur

dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti

ternyata istrinya mahramnya sendiri, (Ghazali, 2010: 92).

b. Mahar Mitsil

Menurut Mukhtar (1993: 89) Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya

ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena

pada waktu akad nikah jumlah mahar itu belum lagi ditetapkan bentuknya.

Apabila perceraian terjadi sebelum berhubungan (qabla dukhul) dan besarnya

mahar belum ditentukan, maka suami wajib membayar mahar mitsil, (Rofiq,

2003: 105).

Menentukan kadar dan besaran mahar mitsil, menurut para ulama fiqih, yaitu :

12
a. Mazhab Hanafi menetapkan standar mahar mitsil ditentukan melalui standar

atau pasaran keluarga ayahnya, seperti saudara perempuannya, bibinya dari

pihak ayah, anak pamannya dari pihak ayah, yang satu daerah dan satu masa

dengannya dan seterusnya. Mazhab ini tidak mengacu pada standar dari pihak

ibunya dan kerabat ibu.

b. Mazhab Hanbali menetapkan stadar mahar mitsil dari kedua belah pihak, baik

dari keluarga ayah atau keluarga ibu pengantin wanita dengan mengacu kepada

keluarga yang paling dekat seperti saudara perempuan, bibi dari pihak ayah,

anak bibi dari pihak ayah, ibu, bibi dari pihak ibudan selain mereka dari

kerabat yang ada.

c. Mazhab Maliki menetapkan standar mahar mistil melihatnya dari lingkungan

keluarga terdekatnya dengan memperhatikan beberapa kesamaan dan

kemiripan pada keunggulan yang dimiliki wanita.

d. Mazhab Syafi’i standar mahar mistil berpegangan pada keluarga terdekat

dengan memprioritaskan pada keluarga ayah, jika kemudian tidak ditemukan

maka beralih pada keluarga ibu, jika tidak ditemukan juga maka disetarakan

dengan wanita di lingkungannya atau daerahnya.

4. Syarat-Syarat Mahar

Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa,

harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Syarat lain

bagi mahar adalah, hendaknya yang dijadikan mahar itu barang yang halal dan

dinilai berharga dalam syari’at Islam. Jadi, kalau mahar musamma itu berupa

khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak bisa dimiliki secara

13
sah, maka maliki mengatakan bahwa bila belum terjadi percampuran, maka akad

dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar mitsil.

Sementara itu, Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan mayoritas ulama mazhab

Imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar

mitsil. Sebagian ulama mazhab Imamiyah memberi batasan bagi hak istri atas

mahar mitsil dengan adanya percampuran, sedangkan sebagian yang lain,

sependapat dengan empat mazhab, memutlakkannya (tidak memberi batasan),

(Mughniyah, 2000: 365).

Menurut Ghazali (2010: 88) Mahar yang diberikan kepada calon istri harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,

walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi

apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.

b. Barangnya suci dan bisa diambil mamfaat. Tidak sah mahar dengan khamar,

babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik

orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena

berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang

hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan

memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan

jenisnya.

14
5. Penentuan Mahar dalam Islam

Mahar (maskawin) bukanlah untuk menghargai atau menilai perempuan,

melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon

isterinya, sehingga dengan suka dan rela hati mengorbankan hartanya untuk

diserahkan kepada isterinya, sebagai tanda cinta sebagai pendahuluan, bahwa

suami akan terus- menerus memberi nafkah kepada isterinya, sebagai kewajiban

suami terhadap isterinya, (Sabiq, 1980: 53).

Adapun ketentuan mahar dalam Islam menurut para ulama yaitu:

a. Imam Malik mengatakan bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar

adalah seperempat dinar emas (Rp. 119.517,00) atau tiga dirham perak (Rp.

41.055,00).

b. Hanafiyah mengatakan bahwa yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar

adalah 10 dirham (Rp. 4.780.680,00).

c. Imam Syafi’i, Abu Tsaur, Ahmad, Ishaq dan kalangan tabai’in mengatakan

bahwa pemberian mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang

mempunyai harga dapat dijadikan mahar.

Menurut Mukhtar (1994: 82) Agama tidak menetapkan jumlah minimum

dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh

perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang

kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar

jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir

tidak mampu memberinya, oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut

kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing

15
pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Sebagaimana yang

terdapat dalam potongan firman Allah Swt surat An- Nisaa’ ayat 25 yaitu:

‫ت اَمْيَانُ ُك ْم ِّم ْن َفَتٰيتِ ُك ُم‬ ْ ‫ٰت فَ ِم ْن َّما َملَ َك‬ ِ ‫ٰت الْمْؤ ِمن‬
ُ ‫صن‬
ِ ‫ومن مَّل يستَ ِطع ِمْن ُكم طَواًل اَ ْن يَّْن ِكح الْمح‬
َ ُْ َ ْ ْ ْ ْ َ ْ ْ ََ
ِ ِ
‫ضۚ فَانْ ِك ُح ْو ُه َّن بِا ْذ ِن اَ ْهل ِه َّن َواٰتُ ْو ُه َّن اُ ُج ْو َر ُه َّن‬ ِ ِ ٰ ِ ‫الْم ِمن‬
ُ ‫ٰتۗ َواللّهُ اَ ْعلَ ُم بِامْيَان ُك ْم ۗ َب ْع‬
ٍ ‫ض ُك ْم ِّم ْنۢ َب ْع‬ ‫ُ ْؤ‬
‫اح َش ٍة َف َعلَْي ِه َّن‬ ِ
ِ ‫ص َّن فَا ْن اََت بَِف‬ ِ
ِ ‫ت اَخ َد ٍان ۚ فَاذَآ اُح‬ ِ ِ ٍ ِ ِ
ٍ ْ‫بِالْمعروف حُم‬
َ ‫نْي‬ ْ ْ ‫صنٰت َغْيَر ُم ٰسف ٰحت َّواَل ُمتَّخ ٰذ‬ َ ْ ُْ َ
ۗ ‫صرِب ُ ْوا َخْيٌر لَّ ُك ْم‬ ِ َ‫ك لمن خ ِشي الْعن‬ ِ ِ ِ ‫ٰت ِمن الْع َذ‬ ِ ‫نِصف ما علَى الْمح‬
ْ َ‫ت مْن ُك ْم ۗ َواَ ْن ت‬ َ َ َ َ ْ َ َ ‫ابۗ ٰذل‬ َ َ ‫صن‬ َ ُْ َ َ ُ ْ
‫َوال ٰلّهُ َغ ُف ْوٌر َّر ِحْي ٌم‬
Artinya: Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk
menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi
perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang
lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka
dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena
mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka
setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak
bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-
orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan
zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.

Mukhtar Kamal (1994: 82) menyebutkan, janganlah hendaknya

ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi

penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan, sesuai dengan sabda Nabi:

‫ول هللِّ صلى هلل علیھ وسلم َتَز َّو ْج َولَ ْوخِب َامِتٍ ِم ْن‬ ٍ ‫عن عب ِد هللِّ ب ِن مسع‬
ُ ‫ود قَ َال قَ َال َر ُس‬ُ ْ َ ْ َْ ْ َ
‫رواه البخارى‬. ‫َح ِدیْ ٍد‬
Artinya: Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi.

(HR.Bukhari).

16
Besar dan bentuk mahar hendaknya senantiasa berpedoman kepada sifat

kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan Islam, sehingga besar dan

bentuk mahar itu tidak sampai memberatkan calon mempelai pria. Maskawin yang

besar tidak makruh selama tidak untuk berbangga-bangga dan berlebih-lebihan,

dan pihak wanita hendaknya melihat situasi dan kondisi calon mempelai pria

dalam penentuan jumlah maskawin, agar tidak membebani pihak pria. Sehinga

proses perkawinan akan berjalan dengan lancar.

6. Kedudukan Mahar

Pada zaman jahiliyah hak wanita dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga

para wali dapat dengan semena-mena memamfaatkan hartanya dengan tidak

memberi kesempatan kepada wanita yang di bawah perwaliannya itu untuk

mengurus atau menggunakan hak miliknya sendiri. Kemudian datanglah Islam

yang membawah rahmat keseluruh alam, (Muhammad, 1938: 328)

Mahar diberikan langsung kepada perempuan yang dimaksudkan, bukan

kepada wali atau ayahnya atau kepada orang yang mempunyai hubungan terdekat

sekalipun. Selain dari perempuan tersebut, tidak ada yang boleh mengganggu

gugat maharnya itu, kecuali atas izin dan kerelaannya sendiri.

Mahar diwajibkan atas suami untuk diberikan kepada istri dengan

didahului oleh akad nikah yang sah. Baik mahar tersebut disebutkan ketika

terjadinya akad nikah maupun tidak disebutkan saat terjadinya akad nikah. Jika

mahar disebutkan saat terjadinya akad nikah, maka mahar tersebut secara

langsung dapat menjadi milik istri yang dapat ia mamfaatkan. Tetapi, jika tidak

disebutkan di dalam akad nikah maka suami wajib membayar mahar mitsil.

17
Rasulullah SAW menikah beberapa kali dan pernikahan beliau tidak

pernah terlepas dari kewajiban membayar mahar. (Asy-Syaukani, 1994: 614).

Dengan demikian sangat jelas bahwa kedudukan mahar sangat penting di dalam

suatu pernikahan. Mahar merupakan suatu pemberian dalam pernikahan dari

mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dan khusus menjadi harta

miliknya sendiri yang dapat ia manfaatkan.

7. Hikmah Mahar

Menurut Abdul Kohar (2016:49) adapun hikmah disyariatkannya mahar

adalah sebagai berikut:

a. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan

laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan

wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.

b. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena

maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an

diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan

sebagai pembayar harga wanita.

c. Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah

main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.

d. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan

memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas wanita dalam

kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila

suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung

jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap isterinya.

18

Anda mungkin juga menyukai