Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
‘‘HUKUM PERKAWINAN ISLAM’’
Dosen Pengampu : H. Burhanudin, S Ag., M.Ag.,M.H

Disusun Oleh:
1. MUHAMMAD ALFARIZI (2102030037)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM (AS)


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

I
KATA PENGANTAR
Assalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh

Penyusun

Anjani, 19 Januari 2023

II
DAFTAR PUSTAKA
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................I
KATA PENGANTAR ......................................................................................................II
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
A. Dalil-dalil yang Berkaitan Dengan Pernikahan.......................................................2
B. Pengertian Perwalian...............................................................................................4
C. Definisi Persaksian..................................................................................................9
D. Pengertian Walimah................................................................................................10
E. Pandangan Masing-masing Mazhab........................................................................11
BAB III PENUTUP...........................................................................................................12
A. Kesimpulan..............................................................................................................12
B. Saran........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya bagiumat


islam. Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling agungdalam
memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan antar sesama manusiayang menjadi
sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih saying. Bahkan Nabi pernah melarang sahabat
yang berniat untuk meninggalkan nikah agar bisamempergunakan seluruh waktunya untuk
beribadah kepada Allah,karena hidupmembujang tidak disyariatkan dalam agama oleh karena
itu,manusia disyariatkanuntuk menikah.

Dibalik anjuran Nabi kepada umatnya untuk menikah, pastilah ada hikmah yang bisa
diambil. Diantaranya yaitu agar bisa menghalangi mata dari melihat hal-hal yang tidak di
ijinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari jatuh pada kerusakanseksual.Islam sangat
memberikan perhatian terhadap pembentukan keluarga hinggatercapai sakinah, mawaddah,
dan warahmah dalam pernikahan. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang
pernikahan baik dari segi pengertian, hukum,rukun, syarat, dan lain-lainnya berdasarkan
hadits Nabi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Dalil-dalil yang berkaitan dengan pernikahan?
2. Apa Pengertian Perwalian?
3. Apa Definisi Persaksian?
4. Apa Pengertian Walimah?
5. Apa Pandangan Masing-masing Mazhab?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Apa saja Dalil-dalil yang berkaitan dengan pernikahan.
2. Apa Pengertian Perwalian.
3. Apa Definisi Persaksian.
4. Apa Pengertian Walimah.
5. Apa Pandangan Masing-masing Mazhab.

1
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dalil-dalil yang berkaitan dengan pernikahan
1. Dalil Al-Qur’an
a. Allah SWT berfirman dalam surat An-nisa Ayat 3 berikut:
‫س ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل َث َو ُر ٰب َع ۚ فَاِنْ ِخ ْفتُ ْم‬
َ ِّ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ الن‬ َ َ‫سطُ ْوا فِى ا ْليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا] َما ط‬ ِ ‫َواِنْ ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق‬
ۗ‫ك اَد ْٰنٓى اَاَّل تَ ُع ْولُ ْوا‬
َ ِ‫اَاَّل تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َوا ِح َدةً اَ ْو َما َملَ َكتْ اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan
yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

b. Menurut Al-Qur’an, surat Al A’raaf ayat 189 yang berbunyi:


۞ ْ‫شى َها َح َملَت‬ ّ ٰ ‫س ُكنَ اِلَ ْي َه ۚا فَلَ َّما تَ َغ‬
ْ َ‫اح َد ٍة َّو َج َع َل ِم ْن َها ز َْو َج َها لِي‬ ٍ ‫ي َخلَقَ ُك ْم ِّمنْ نَّ ْف‬
ِ ‫س َّو‬ ْ ‫ه َُو الَّ ِذ‬
ّ ٰ ‫صالِ ًحا لَّنَ ُك ْونَنَّ ِمنَ ال‬ ‫هّٰللا‬
َ‫ش ِك ِريْن‬ َ ‫َح ْماًل َخفِ ْيفًا فَ َم َّرتْ بِ ٖه ۚفَلَ َّمٓا اَ ْثقَلَتْ َّد َع َوا َ َربَّ ُه َما لَ ِٕىنْ ٰاتَ ْيتَنَا‬
Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia
menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya
(suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan Mereka (seraya berkata), “Jika
Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur.”
2. Dalil As Sunnah

a. Hadis  Abu Hurairah tentang kategori pemilihan jodoh.

َ ‫سلَّ َم قَا َل تُ ْن َك ُح ا ْل َم ْر َأةُ ِالَ ْربَ ٍع لِ َما لِ َها َولِ َح‬


‫سبِ َها‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫عَنْ َأبِي ُه َر ْي َر ةَ َر‬
َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َع ِن النَّبِ ِّي‬
ِ َ ‫ب النِّكا‬
)‫ح‬ ِ ‫ي فِ ْي ِكتَا‬ ِ ‫ َولِ َج َمالِ َها َولِ ِد ْينِ َها فَ ْظفَ ْر ِب َذا‬ 
ُّ ‫ (اَ ْخ َر َجهُ ا ْلبُ َخا ِر‬ ‫ت ال ِّد ْي ِن تَ ِر بَتْ يَدَا َك‬

Artinya:Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu


'Alaihi Wa Sallama bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu:
harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat
beragama, maka engkau akan berbahagia. (H.R. Imam Bukhari).

3
b. Hadis  Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah Nabi.

‫س ِمنِّ ْي‬ َ ‫سنَّتِ ْي فَلَ ْي‬


ُ ‫ ِب‬ ‫سنَّتِ ْي فَ َمنْ لَ ْم َي ْع َم ْل‬
ُ ْ‫اح ِمن‬ ُ ‫سلَّ َم النِّ َك‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫عَنْ عَا ِئثَةَ قَالَتْ قَا َل َر‬
َّ ‫صيَ ِام فَِإ نَّ ال‬
ُ‫ص ْو َم لَه‬ ِّ ‫َوتَ َز َّو ُج ْوا فَِإ نِّ ْي ُم َكا ِئ ٌر بِ ُك ُم ْاالُ َم َم َو َمنْ َكانَ َذا طَ ْو ٍل فَ ْليَ ْن ِك ْح َو َمنْ لَ ْم يَ ِج ْد فَ َعلَ ْي ِه بِا ل‬
ِ ‫ (اَ ْخ َر َجهُ اِبْنُ َما َج ْه فِ ْي ِكتَا‬ ‫ ِو َجا ٌء‬  
ِ َ ‫ب النِّكا‬
)‫ح‬

Artinya: Dari Aisyah  berkata bahwa  Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallama


Bersabda: Menikah adalah sunnah-Ku, barang siapa tidak mengamalkan sunnah-
Ku berarti bukan dari golongan-Ku. Hendaklah kalian menikah sungguh dengan
jumlah kalian aku berbanyak-banyakan umat. Siapa memiliki kemampuan harta
hendaklah menikah, dan siapa yang tidak memiliki hendaknya puasa, karena
puasa itu merupakan perisai. (H.R. Ibnu Majah).

c. Hadis Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah.

‫ب َم ِن‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َّم يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬ َ ِ‫ع َْن َع ْب ِد الَّرحْ َم ِن ْب ِن يَ ِز ْي ِد ع َْن َع ْب ِد هللاِ قَا َل قَا َل لَنَا َرسُوْ ُل هللا‬
ِ ْ‫صنُ لِ ْلفَر‬
ُ‫لَه‬ ُ‫ج َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِا الصَّوْ ِم فَا ِء نَّه‬ َ َ‫ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ْم ْالبَا َءةَ فَ ْاليَتَ َز َّوجْ فَِئانَّهُ اَغَضُّ لِ ْلب‬
َ ْ‫ص ِر َواَح‬
ِ ‫ (اَ ْخ َر َجهُ ُم ْسلِ ٌم فِ ْي ِكتَا‬ ‫ ِو َجا ٌء‬   
ِ َ ‫ب النِّكا‬
)‫ح‬

Artinya: Dari Abdirrahman bin Yazid, Abdullah berkata: Rasulullah


Shallallaahu 'alaihi wa Sallama bersabda pada kami: "Wahai generasi muda,
barangsiapa diantara kamu telah mampu berkeluarga, maka hendaknya ia
menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab puasa dapat
mengendalikanmu." (H.R. Imam Muslim).

B. Pengertian Perwalian
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak
tersebut diatur walian.1

1
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1994. Hal.

4
Perwalian menurut KUH Perdata yaitu pada Pasal 330 ayat (3) menyatakan:
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian
ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan perwalian itu ada beberapa
pengertian diantaranya:
Menurut Prof. Subekti S.H mengatakan Perwalian (voogdij) adalah pengawasan
terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.
Menurut Riduan Syahrani bahwa perwalian itu sama halnya seperti orang-orang
yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele)
dalam melakukan perbuatan – perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, kecuali
atau pengampunya sedangkan penyelesain hutang – hutang piutang orang-orang yang
dinyatakan pailit dilakukan oleh balai harta peninggalan.
Sedangkan Abdul Kadir mengatakan, perwalian pada dasarnya adalah setiap orang
dewasa adalah cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum karena memenuhi
syarat umur menurut hukum. Akan tetapi, apabila orang dewasa itu dalam keadaan
sakit ingatan atau gila, tidak mampu mengurus
dirinya sendiri karena boros, dia disamakan dengan orang yang belum dewasa dan
oleh hukum dinyatakan tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum
diatur dalam hukum 330 KUH Perdata.2
Anak yang berada di bawah perwalian adalah :
Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua
Anak sah yang orang tuanya sudah bercerai
Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind)
Jika salah seorang tuanya meninggal, maka menurut undang-undang orang tua
yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anak-anaknya. Perwalian ini
disamakan perwalian menurut perwalian menurut undang-undang (wettelijke voogdij).
Seorang anak yang lahir di luar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang
mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan
salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya (datieve voogdij). Ada

2
https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata-2/

5
pula kemungkinan, seorang ayah atau ibu di dalam surat wasiatnya (testament)
mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan yang dimaksudkan akan
berlaku, jika orang tua yang lainnya karena suatu sebab tidak menjadi wali. Perwalian
semacam ini dinamakan perwalian menurut wasiat (testamentaire voogdij).3
Pada umumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja. Kecuali,
apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya
menjadi medevoogd.
Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali, harus menerima pengangkatan
itu, kecuali jika ia seorang isteri yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan
menurut undang-undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu.
Alasan-alasan itu antara lain jika ia, untuk kepentingan Negara harus berada di luar
Negeri, jika ia adalah seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jika ia sudah berusia
60 tahun, jika ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain atau jika ia sudah
mempunyai lima orang anak sah atau lebih.
Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu, ialah
orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang di bawah curatele, orang
yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jika pengangkatan sebagai wali itu
untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari itu, Kepala dan anggota-
anggota Balai Harta Peninggalan (weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali,
kecuali dari anak-anaknya sendiri.
Seorang wali diwajibkan mengurus kekayaan anak yang berada dibawah
pengawasannya dengan sebaik-baiknya dan ia bertanggungjawab tentang kerugian-
kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk. Dalam kekuasaannya, ia
dibatasi oleh Pasal 393 B.W. yang melarang seorang wali meminjam uang untuk si
anak. Ia tak diperkenankan pula menjual, menggadaikan benda-benda yang bergerak,
surat-surat sero dan surat-surat penagihan dengan tidak mendapat izin lebih dahulu
dari hakim. Selanjutnya seorang wali, diwajibkan, apabila tugasnya telah berakhir,
memberikan suatu penutupan pertanggungjawaban ini dilakukan pada si anak, apabila
ia telah menjadi dewasa atau pada warisnya jika anak itu telah meninggal.4
Semua wali kecuali perkumpulan-perkumpulan yang diangkat oleh hakim (hakim
berkuasa mengangkat suatu perkumpulan menjadi wali), jika dikehendaki oleh
Weeskamer, diharuskan memberikan jaminan berupa borgtocht atau hipotik

3
Subekti, Op.cit, hal.
4
Ibid, hal.

6
secukupnya menurut pendapat Weeskamer. Jika wali itu tidak suka memberikan
tanggungan itu, Weeskamer dapat menuntutnya di depan hakim, dan meminta pada
hakim supaya pengurusan kekayaan si anak serta diserahkan pada Weeskamer itu
sendiri.
Dalam tiap perwalian di Indonesia Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) menurut
undang-undang menjadi wali pengawas (toeziende voogd). Weeskamer itu berada di
Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar, sedangkan ditempat-tempat lain ia
mempunyai cabang (agen). Disamping tiap Weeskamer ada suatu “Dewan Perwalian”
(“Voogdijraad”) yang terdiri atas kepala dan anggota-anggota, Weeskamer itu
ditambah dengan beberapa anggota lainnya.
Agar Weeskamer dapat melakukan tugasnya, tiap orang tua yang menjadi wali
harus segera melaporkan tentang terjadinya perwalian pada Weeskamer. Begitu pula,
apabila hakim mengangkat seorang wali, Panitera Pengadilan harus segera
memberitahukan hal itu pada Weeskamer.5
Hukum positif tertulis, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa “ seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
menikah, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan
wali yang menyangkut pribadi anak tersebut maupun harta bendanya”.
Dengan demikian, perwalian secara sempit adalah menyangkut tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua. Tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dapat terjadi
karena, misalnya, meninggalkan kedua orang tua dari anak yang belum dewasa.
Menurut hukum adat, perceraian maupun meninggalkan salah satu dari kedua
orang tua, tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam
perceraian, anak-anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya.
Demikian juga pada situasi meninggalkan salah satu dari kedua orang tuanya. Dengan
demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya perwalian, adalah apabila kedua orang
tua dan anak (anak) tersebut meninggalkan dunia, dan anak (anak) yang 6 ditinggalkan
itu belum dewasa. Dengan meninggalkannya kedua orang tua, anak-anak menjadi
yatim piatu dan mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
Oleh karena dan sebagaimana telah dinyatakan dimuka bahwa dalam sistem
kekeluargaan bilateral, pemeliharaan anak yang ditinggalkan itu dilakukan oleh salah

5
Ibid, hal.

6
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Hal. 257

7
satu dari keluarga pihak bapak atau pihak itu yang terdekat, (yaitu, misalnya, peranan
atau bibik, nenek dan kakek dan di Indonesia lazim pemeliharaan anak itu diberikan
kepada kakek dan neneknya, itupun bila orang tua dari suami-isteri itu masih hidup
dan cukup mampu untuk melakukan pemeliharaan). Berdasarkan atas konsepsi di atas,
maka yang menjadi wali adalah mereka yang melakukan pemeliharaan terhadap anak
(anak) itu.
Pada masyarakat yang unitlateral matrilineal, maka yang memelihara anak (anak)
bila kedua orang tuanya meninggal dunia adalah mereka yang berasal dari pihak ibu,
sehingga perwalian juga berada di tangan mereka.
Sedangkan pada masyarakat yang unilateral patrilineal pemeliharaan anak yang
ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena meninggal dunia, berada ditangan
kerabat dari pihak ayah (laki-laki). Di Tapanuli misalnya, jika bapak yang meninggal
dunia, maka di ibu meneruskan pemeliharaan anak-anaknya. Jika, si ibu (janda) tidak
mau (menolak) kawin leviraat, dan ia berkeinginan untuk meninggalkan lingkungan
suaminya, maka ia dapat minta cerai kepada jabu asal suaminya, akan tetapi anak-
anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya.
Menelaah keterangan di atas ini, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan
perwalian pada dasarnya ada pada keluarga dari pihak ayah dari anak-anak itu.
Telah menjadi kelaziman di dalam masyarakat, apabila kedua orang tua telah
meninggal dunia, sedangkan ada anak yang telah dewasa (dan telah kawin), maka
kewajiban untuk memelihara adik-adiknya terletak7 di tangan kakaknya tersebut.
Dengan demikian dapat pula dikatakan, bahwa anak yang telah dewasa (dan telah
kawin) merupakan wali bagi adik-adiknya.
Oleh karena menurut hasil penelitian tak ada orang tua yang dicabut kekuasaannya
sebagai orang tua, walaupun berupa buruknya perilaku orang tua itu, ataupun sangat
melalaikan kewajiban terhadap anak, maka perwalian karena kedua hal tersebut di atas
kiranya belum muncul di dalam masyarakat.
Mahkamah Agung mempunyai pendapat yang tidak berbeda, oleh karena di dalam
keputusannya tertanggal 24 September 1958 Nomor 329K/Sip/1957 menyatakan
bahwa menurut hukum adat di Tapanuli Selatan, maka seorang ibu yang menjadi wali
daripada seorang anak yang masih di bawah umur kewajiban untuk memelihara hak di
anak sampai ia dewasa.8

7
Ibid, hal 258
8
Ibid, hal 259

8
C. Definisi Persaksian
Saksi menurut bahasa arab yang bersal dari kata ‫ ﺷﮭﺎدة–] ﯾﺸﮭﺪ –] ﺷﮭﺪ‬yang berarti
berita pasti9. Dalam kajian fiqih istilah kesaksian di ambil dari kata ‫ ﻣﺸﺎھﺪة‬yang artinya
melihat dengan mata kepala, karena lafaz ‫( ﺷﮭﺪ‬orang yang menyaksikan) itu
memberitahukan apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan
seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafaz ‫“اﺷﮭﺪ‬aku menyaksikan atau akau
telah menykasikannya”10.

Pengertian saksi secara bahasa yang dikemukakan beberapa ulama sebagai


berikut:
a. Menurut Muhammad Idris Al-Marbawi, saksi adalah orang melihat dengan
mata sendiri”.
b. W.J.S.Poedarwaminta mengemukakan bahwa saksi adalah sebuah kata benda
dalam bahasa Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengatur”.
Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa, saksi menurut bahasa adalah
orang yang hadir menyasikan dan menginformasikan suatu peristiwa yang telah
dilihat dengan mata kepala sendiri
Dari definisi saksi seperti yang dikemukakan diatas, penulis dapat
mengambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan saksi menurut istilah
adalah orang yang benar-benar melihat atau mengetahui suatu peristiwayang orang
lain tidak mengetahuinya, kemudian mempertanggungjawabkan kesaksian tersebut
kepada pihak yang berwenang dengan tujuan untuk menegakkan hak seseorang.

9
Louis Ma’luf al-yussu’i, al-Munjid fi al-lughah Wa al-‘Alam, Cet Ke-17 (Beirut: Daar al- Masyriq,1986), h.406
10
Ibid, h. 15.

9
D. Pengertian Walimah
Walimah berasal dari bahasa arab ( ‫ )الوليمة‬yang artinya adalah Al-Jam‟u
yaitu berkumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul, bahkan sanak saudara,
kerabat, dan para tetangga. Walimah juga berasal dari bahasa arab (‫ )الولم‬yang artinya
adalah makanan pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus
dalam acara pesta perkawinan, atau juga bisa diartikan sebagai makanan untuk para
tamu undangan atau yang lainnya.11

Ibnu Katsir, mengemukakan bahwa walimah adalah :

“Yaitu makanan yang dibuat untuk pesta perkawinan”12


Walimatul „ursy adalah makananyang dihidangkan berkaitan dengan
berlangsungnya akad nikah. Mayoritas ulama menganggapnya sebagai sunnah
muakkad (perbuatan yang sangat dianjurkan) berdasarkan sabda Nabi
Saw:”selenggarakanlah walimah walau (hanya) dengan seekor domba)
”(HR. Muslim).13 Dalam kamus hukum, walimatul „ursy adalah makanan pesta
pengantin atau setiap makanan untuk undangan dan lain sebagainya.14
Sedangkan definisi yang terkenal pada kebanyakan ulama, walimatul „ursy
diartikan dengan pesta pernikahan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah
terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan. Walimatul „ursy
dilaksanakan atau diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya,
atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Walimatul „ursy
juga bisa diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.15
Dari beberapa versi mengenai pengertian walimatul „ursy diatas maka jumhur
ulama‟ sepakat bahwa mengadakan walimatul „ursy itu hukumnya sunnah mu‟akkad,
bukan kategori perintah wajib, karena kandungan makna yang terpenting dari
walimatul urusy adalah memberikan hidangan makanan kepada masyarakat sebagai
wujud kebahagiaan yang diraihnya berupa terlaksananya sebuah pernikahan, dan
walimatul „ursy ini tidak berbeda ja uh dengan pesta-pesta lainnya.16
E. Pandangan Masing-masing Mazhab
11
Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009), hlm.131.
12
Tihami, Fikih Munakahat, … hlm.131.
13
Muhammad Bagir, fiqih praktis 2, (Banadung: Karisma, 2008), hlm.74.
14
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Al Ma‟arif, 1993), hlm. 166.
15
Tihami, Fikih Munakahat,…,hlm.131.
16
Tihami, Fikih Munakahat,…,hlm.131.

10
Madzhab Hanafi berpandangan bahwa seorang wali tidak boleh memaksa
menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa. Hal itu menunjukkan bahwa wali tidak
boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. Apabila hal itu dilakukan maka nikahnya
dihukumi mauquf (digantungkan keabsahannya). Oleh karena itu hak wali mujbir yang
dikenal dalam pandangan Abû Hanîfah adalah hanya bagi gadis atau janda yang masih
kecil (belum baligh) karena wanita yang telah dewasa dianggap telah mampu
menentukan pasangan hidupnya tanpa perlu persetujuan dari wali. Apabila anak gadis
yang telah baligh tersebut menolak dinikahkan maka akad pernikahan pun tidak
diperbolehkan.
Sementara mazhab Maliki, Syafi„i dan Hanbali melarang perempuan
menikahkan dirinya dan hanya laki-laki yang boleh menjadi wali nikah. Konsekuensi
lebih jauh dari hal tersebut, hanya Hanafîyah yang tidak mengharuskan adanya
persetujuan dari mempelai perempuan secara mutlak untuk menikah, sementara
mazhab Maliki, Syafi„i, dan Hanbalî, mengakui adanya hak ijbar wali, hak wali
menikahkan perempuan tanpa persetujuan dari perempuan tersebut. Hak ijbar disini
adalah hak memaksa seorang wali terhadap anak perempuannya, dalam hal ini orang
yang berhak tersebut diistilahkan dengan wali mujbir, yang dimaksudkan adalah ayah
atau kalau tidak ada, kakek.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan merupakan tempat untuk mempertemukan dua insan manusia
menjadi satu ikatan keluarga. Untuk memilih pasangan hidup tentunya setiap manusia
memiliki kriteria hati yang diinginkan. Agama islam memberikan ketentuan
bagaimana setiap manusia memilih pasangan untuk kehidupan selanjutnya yang
sesuai dengan ajaran agama Islam sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

Artinya: “dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. Bersabda: “Wanita dikawini
karena empat hal: karena harta bendanya, karena status sosialnya, karena keindahan
wajahnya, dan kerena ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada
agama, maka kamu akan bahagia.” (HR. Bukhari).

Pada dasarnya memilih pasangan hidup merupakan suatu hak setiap manusia,
serta memilih yang sesuai dengan kecocokan dan keinginan hatinya tanpa adanya
paksaan dari faktor luar ataupun dalam.

B. Saran

Demikian makalah ini kami buat, semoga apa yang kami diskusikan dapat
menambah rasa syukur kita kepada allah dan menambah pengetahuan kami. Adapun
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang masih perlu kami
sempurnakan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan kami ucapkan terimkasih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Cet. IV; Jakarta: CVAkademika,


2010.
Abi Dawud Sulaiman, Sunanu Abi Dawud, (Riyad : Dar al- Islam, t.t.), 1377.
Abu al-Husain, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim Juz III Cet.
I; Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1417 H./1996 M)
Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-
Syafi’i, Damaskus: Dar al-Qalam, Juz II, 1992
Ali Engineer, Hak-hak Perempaun dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi, (Bandung,
LSPPA, 1994)
Ali Jum’ah Muhammad, Al-Mar’ah Fi Hadarah al-Islamiyya baina Nusus al- Shar’i wa Turath
al-Fiqh wa al-Waqi al-Maish, Kairo: Dar as-Salam, 2006
Asy-Syekh Faishal bin Abdul Aziz Mubarak, Nailul Author, Jilid II,
Surabaya: PT.Bina Ilmu, 2009
Azizah al-Hibri dkk, Perempuan dalam Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2001
Bainar, Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan, Jakarta: PT. Pustaka 1998
Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogykarta: UII Press, 2004

13

Anda mungkin juga menyukai