Anda di halaman 1dari 4

Cahaya sunnah :

Mut’ah haram sampai hari kiamat


: َ ‫س ْب َر َة ْب ِن َم ْع َب ٍد ا ْل ُج َهن ِِّي َقال‬َ ْ‫َعن‬
.‫هللا ِبا ْل ُم ْت َع ِة َعا َم ا ْل َف ْت ِح ِح ْينَ دَ َخ ْل َنا َم َّك َة ُث َّم َل ْم َي ْخ ُر ْج ِم ْن َها َح َّتى َن َها َنا َع ْن َها‬ ُ ‫َأ َم َر َنا َر‬
ِ ُ ‫س ْول‬
َّ‫هللا َقدْ َح َّر َم َذلِ َك ِإ َلى َي ْو ِم ا ْلقِ َيا َم ِة َف َمنْ َكانَ عِ ْندَ هُ ِم ْن ُهن‬ ‫َأ‬
َ َّ‫ساءِ َوِإن‬ َ ‫اع ف ِْي ال ِّن‬ ُ ‫ َياآ ُّي َها ال َّن‬:َ ‫ َقال‬:ٍ‫َوف ِْي ِر َوا َية‬
ِ ‫اس ِإ ِّن ْي َقدْ ُك ْنتُ ِذ ْنتُ َل ُك ْم ف ِْي االِ ْست ِْم َت‬
َ‫س ِب ْيل ُه‬ ْ َ
َ ِّ ‫ش ْي ٌء فل ُي َخل‬ َ
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani a berkata:
“Rasulullah memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada tahun fathu makkah saat kami masuk mekah
kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari mekah”.
Dan dalam riwayat lain: Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya dahulu
telah mengizinkan kaliam mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telang mangharamkannya sampai hari
kiamat, maka barang siapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah di ceraikan”.
(HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404, Thobroni dalam Al-Kabir 6536, Baihaqi 7/202, Darimi 2/140)

Dahulunya di awal masa islam, Rasulullah membolehkan seorang laki-laki yang sedang tidak bersama
istrinya, -misalkan saat seseorang melakukan safar lalu tidak mampu menahan syahwatnya- untuk
menikah dalam tempo tertentu, tentunya dengan memenuhi syarat dan rukun nikah lainnya, seperti
adanya wali, saksi, akad dan mahar. Pernikahan model inilah yang dikenal dengan istilah nikah mut’ah.
Namun kemudian pernikahan ini diharamkan secara mutlak oleh Allah dan Rasul Nya.
Tidaklah pernikahan dimaksudkan kecuali untuk kedamaian, kasih sayang dan cinta kasih selama hayat
masih dikandung badan.
Allah berfirman :
ً ‫َومِنْ آ َيا ِت ِه َأنْ َخ َلقَ َل ُك ْم مِنْ َأ ْنفُسِ ُك ْم َأ ْز َو‬
ٍ ‫اجا لِ َت ْس ُك ُنوا ِإ َل ْي َها َو َج َعل َ َب ْي َن ُك ْم َم َودَّ ًة َو َر ْح َم ًة ِإنَّ فِي َذلِ َك آَل َيا‬
َ‫ت لِ َق ْو ٍم َي َت َف َّك ُرون‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.” (QS. Ar Rum : 21)
Hal ini sangatlah gamblang dalam syariat islam, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah dalam
hadits diatas.
Namun ternyata ada diantara sebagian kalangan orang-orang yang berusaha untuk meracuni ummat
Islam dengan mut’ah, mereka membawa beberapa syubuhat untuk menjadi tameng dalam
mempertahankan tindakan keji mereka, tapi amat sangat disayangkan bahwa tameng itu terlalu rapuh.
Seandainya bukan karena ini sudah mengotori fikiran sebagian kaum muda ummat Islam maka kita tidak
usah bersusah payah untuk membantahnya.
Diantara syubuhat tersebut adalah:
1. Firman Allah Ta’ala
َ ‫آء َذالِ ُك ْم َأن َت ْب َت ُغوا ِبَأ ْم َوالِ ُك ْم ُم ْحصِ نِينَ َغ ْي َر ُم‬
‫سافِحِينَ َف َما‬ َ ‫هللا َع َل ْي ُك ْم َوُأ ِحل َّ َل ُكم َّم َاو َر‬ ِ ‫اب‬ َ ‫سآءِ ِإالَّ َما َم َل َكتْ َأ ْي َما ُن ُك ْم ِك َت‬َ ‫ص َناتُ مِنَ ال ِّن‬ َ ‫َوا ْل ُم ْح‬
‫هللا َكانَ َعلِي ًما َحكِي ًما‬ َ َّ‫يض ِة ِإن‬ َ ْ
َ ‫اض ْي ُتم ِب ِه مِن َب ْع ِد الف ِر‬ َ ‫اح َعل ْي ُك ْم فِي َما َت َر‬َ َ ‫يضة َوالَ ُج َن‬ ً َ
َ ‫ورهُنَّ ف ِر‬ ‫ُأ‬ َ
َ ‫اس َت ْم َت ْع ُتم ِب ِه ِم ْن ُهنَّ فَئ ا ُتوهُنَّ ُج‬
ْ
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284].
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. An Nisa’: 24).
Mereka menafsirkan firman Allah : َّ‫ورهُن‬ َ ‫اس َت ْم َت ْع ُتم ِب ِه ِم ْن ُهنَّ َفَئ ا ُتوهُنَّ ُأ ُج‬ ْ ‫ َف َما‬dengan: “Maka apabila kalian
menikahi mut’ah diantara mereka (para wanita) maka berikanlah mahar mereka”.
Juga karena Rasulullah jelas pernah membolehkan nikah mut’ah, padahal beliau tidak mungkin berbicara
dengan dasar hawa nafsu tapi dengan wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang
berhubungan dengan mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya mut’ah. (Lihat Al-Mut’ah fil Islam
oleh Husain Al-Amili hal 9).
Jawab:
Memang sebagian ulama’ menafsirkan “istamta’tum” dengan nikah mut’ah, akan tetapi tafsir yang benar
dari ayat ini adalah apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka
berikanlah maharnya sebagai sebuah kewajiban atas kalian.
Berkata Imam Ath Thobari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: “Tafsir yang paling benar dari
ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah
maharnya, karena telah datang dalil dari Rasulullahakan haramnya nikah mut’ah.” (Lihat Tafsir
Ath-Thobari 8/175).
Berkata Imam Al-Qurthubi: “Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena
Rasulullahtelah mengharamkannya.” (Tafsir Al-Qurthubi 5/132)
Dan kalau toh kita terima bahwa ma’na dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di
awal Islam sebelum diharamkan. (Lihat Al-Qurthubi 5/133, Ibnu Katsir 1/474, Al-Mufashol Fi Ahkamil
Mar’ah 6/166 dan Roudloh Nadiyah 2/165).
2. Hadits Abdullah ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Akwa’ diatas menunjukkan bahwa
nikah mut’ah halal.
Jawab:
Semua hadits yang menunjukkan halalnya mut’ah telah di mansukh. (Lihat Ar-Roudhah An-Nadiyah oleh
Syaikh Shidiq Hasan Khon 2/165). Hal ini sangat jelas sekali dengan sabda Rasulullah : “Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya saya dahulu telah mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah
telang mengharamkannya sampai hari kiamat.”.
Berkata Imam Bukhari (5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan Salamah: “Ali telah menjelaskan dari
Rasulullah bahwa hadits tersebut di mansukh”.
3. Sebagian para sahabat masih melakukan mut’ah sepeninggal Rasulullah sampai Umar Melarangnya,
Sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat. Diantaranya:
ِ ‫اب ِر ْب ِن َع ْب ِد‬
‫هللا‬ ِ ‫ َعنْ َج‬a ‫هللا‬ ُ ‫ض ِة مِنَ ال َّت ْم ِر َوالدَّ قِ ْي ِق اَأل َّيا َم َع َلى َع ْه ِد َر‬
ِ ‫س ْو ِل‬ َ ‫ ُك َّنا َن ْس َت ْم ِت ُع ِبا ْل َق ْب‬: َ ‫ َقال‬n ‫َو َأ ِب ْي َب ْك ِر َح َّتى َن َهى َع ْن ُه ُع َم ُر‬
Dari Jabir bin Abdullah berkata: “Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau
tepung pada masa Rasulullahjuga Abu Bakar sampai Umar melarangnya”. (HR. Muslim 1023).
Jawab:
Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan mut’ah. Berkata
Imam Nawawi: “Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang masih melakukan mut’ah pada masa Abu
Bakar dan Umar belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut”. (Syarah Shahih Muslim 3/555, lihat
pula Fathul Bari , Zadul ma’ad 3/462, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/191).
4. Telah terjadi ijma’ bahwa nikah mut’ah dihalalkan di awal Islam, sedang apa yang telah terjadi ijma’
tidak mungkin di hapus dengan ijma’ baru.
Jawab:
Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Yang menghalalkan mut’ah di awal Islam adalah sunnah
Rasulullahdan kemudian diharamkan juga dengan sunnah Rasulullah n, jadi tidak ada hubungannya
antara ijma’ dengan penghalalan di awal Islam dan pengharamannya kemudian”. (Al-Mufashol 6/169).
5. Ali bin Abi Tholib berkata: “Seandainya Umar bin Khothob tidak mendahuluiku, pasti akan aku
perintahkan untuk mut’ah dan tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka”. (HR. Abdur
Rozzaq 14029).
Jawab:
Riwayat dari Ali ini lemah dari sisi sanad maupun matan, adapun sanad karena antara Ibnu Juraij dengan
Ali ada rowi yang mubham (tidak disebut namanya). Adapun dari sisi matan karena riwayat ini
bertentangan dengan riwayat dari Ali sendiri dalan Shahih Bukhari dan muslim bahwa nikah mut’ah telah
diharamkan. Kemudian ucapan Ali tersebut sangat tidak masuk akal karena bagaimana mungkin beliau
mendiamkan Umar bin khothob mengharamkan sesuatu yang halal? Demi Allah ini adalah pelecehan
terhadap kehormatan Ali bin Abi Tholib. Selanjutnya anggaplah Ali takut kepada Umar sehingga tidak
berani menegurnya dalam pengharaman mut’ah, lalu apa yang menghalangi beliau untuk
mengumumkan kembali kehalalan mut’ah pada saat beliau memegang tampuk kekholifahan? jawablah
wahai orang-orang yang berakal?!!. (Lihat Ensiklopedi Sunnah Syi’ah oleh DR. Ahmad Ali As-Salus 2/433).
6. Abdulloh bin Abbas membolehkan nikah mut’ah secara muthlak, sebagaimana riwayat Abdur Rozzaq
dalam Mushonnaf 14022 dengan sanad Shahih.
Jawab:
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas secara pribadi dan insya Allah beliau mendapatkan satu pahala dengan
ijtihadnya akan tetapi beliau salah dalam masalah ini karena telah datang dalil yang amat sangat jelas
tentang keharaman mut’ah dan kewajiban kita adalah taat kepada Allah dan Rasul Nya. Sebagaimana
firmanNya:
‫ول‬
ِ ‫س‬ ِ ‫ش ْىءٍ َف ُردُّوهُ ِإ َلى‬
َّ ‫هللا َو‬
ُ ‫الر‬ َ ‫از ْع ُت ْم فِي‬ َ ‫سول َ َوُأ ْولِى ْاَأل ْم ِر مِن ُك ْم َفِإن َت َن‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫هللا َوَأطِ ي ُعوا‬ َ ‫َياَأ ُّي َها ا َّلذِينَ َءا َم ُنوا َأطِ ي ُعوا‬
“Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul Nya
serta ulil amri diantara kalian, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah)”. (QS. An Nisa’: 59).
Tidak ada seorangpun yang ma’shum sebagaimana ucapan Imam Malik: “Semua orang bisa menolak dan
ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah n”. (Lihat masalah agung ini pada muqoddimah shifat sholat nabi
oleh Imam Al-Albani dan Rof’ul Malam oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Dan telah shahih bahwasannya Ibnu abbas meralat pendapatnya dan beliau akhirnya melarang nikah
mut’ah, sebagaimana dijelaskan dengan bagus oleh imam syaukani dalam nailul authar 6/169-170
7. Berkata salah seorang tokoh syi’ah kontemporer: “Tidak semua orang mampu untuk menikah untuk
selamanya terutama para pemuda karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa
puber dalam hal seksualnya, maka dengan banyaknya godaan pada saat ini sangat mungkin
menjerumuskan merka pada perbuatan zina, oleh karena itu mut’ah adalah solusi agar terhindar dari
perbuatan keji tersebut. (Lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh Husain Yusuf Al-Amili hal 12-14).
Jawab:
Ucapan ini salah dari pangkal sampai ujungnya, cukup bagi saya untuk mengatakan tiga hal:
Pertama: Bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram tidak pernah dijadikan oleh
Allah sebagai obat dan solusi.
Kedua: ucapan ini cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang menggejolak nafsunya tanpa
sedikitpun memalingkan pandangan kepada keadaan wanita yang dijadikan sebagai tempat pelampiasan
syahwat, lalu apa bedanya antara ini dengan pelacuran komersial?
Ketiga: Islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu dengan pernikahan yang
bersifat abadi kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana
sabda Rasulullah n:
‫االص ْو ِم َفِإ َّن ُه َل ُه ِو َجا ٌء‬ ِ ‫صنُ لِ ْل َف ْر‬
َّ ‫ج َو َمنْ َل ْم َي ْس َتطِ ْع َف َع َل ْي ِه ِب‬ َ ‫ص ِر َوَأ ْح‬ ُّ ‫اء َة َف ْل َي َت َز َّو ْج َفِإ َّن ُه َأ َغ‬
َ ‫ض لِ ْل َب‬ َ ‫اس َت َط‬
َ ‫اع ِم ْن ُك ْم ا ْل َب‬ ْ ‫ب َم ِن‬ َّ ‫ش َر ال‬
ِ ‫ش َبا‬ ْ ‫َيا َم‬
“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah dia menikah, karena itu
lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barang siapa yang tidak mampu maka
hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya”. (HR. Bukhari 5066, Muslim 1400)
Wallhu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai