Anda di halaman 1dari 15

KHULU’

Digunakan untuk memenuhi mata kuliah Fiqih Munakahah semester 3

Dosen pengampu : Muhammad Nuruddien, M.H

Disusun oleh :

1. E.Haikal Firdan El-hady (18240034)


2. Ahmad Faidly Romdloni (18240039)
3. Mahdi Afandi (18240040)

Program Studi Ilmu Al-Quran Tafsir

Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Maulama Malik Ibrahim Malang

Tahun 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dari kelompok delapan dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “KHULU’” dengan baik. Dan tidak pula lupa terima kasih kami
ucapkan kepada bapak Muhammad Nuruddien, M.H Sebagai dosen pengampu kami yang
telah membimbing dalam proses penyusunan makalah ini dan kepada rekan-rekan yang telah
berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentu makalah ini tidak luput dari kesalahan
kami sebagai penulis menginginkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk makalah
selanjutnya.

Malang, 13 November 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Perkawinan dan perceraian adalah dua hal yang sangat bertolak belakang.
Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri.
Ketika mendengar kata perceraian atau putusnya perkawinan, yang muncul
pertama kali dalam benak kita adalah sepasang suami istri yang tadinya bersama
menjadi berpisah satu sama lain, bahkan suami maupun istri bisa menikah dengan
orang lain setelah peristiwa tersebut terjadi. Itu yang terlihat secara dhohirnya.
Namun, islam mendefinisikan perceraian seimbang dengan kata putusnya perkawinan
yang dibenarkan keberadaannya dalaam keadaan tertentu jika terdapat hal-hal yang
akan menimbulkan kemudharatan jika hubungan perkawinan tetap dilanjutkan.
Islam telah memberi ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab
bagi suami istri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawadah dan
warahmah. Bila ada diantara suami istri berbuat diluar hak dan kewajibannya maka
islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya
kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah terjadi krisis yang tidak lagi dapat
diatasi, maka islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraian
itu merupakan perbuatan yang halal namun Allah sangat membenci perceraian
tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian khulu‟
2. Dasar Hukum & Dalil Khulu‟
3. Syarat & Lafadz Khulu‟
4. Sifat & Alat Khulu‟
5. Iddah & Gugat cerai menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang
C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui pengertian Khulu‟
2. Mengetahui hukum & dalil Khulu‟
3. Mengetahui syarat & lafadz Khulu‟
4. Mengetahui sifat & alat Khulu‟
5. Mengetahui Iddah & Gugat cerai menurut Hukum Islam & Undang-Undang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulu‟
Menurut Bahasa, khuluk berasal dari kata khulu‟ dibaca dhamah huruf kha yang
bertitik dan sukun lam dari kata khila‟ dengan dibaca fathah artinya naza‟ (mencabut),
karena masing-masing dari suami istri mencabut pakaian yang lain seperti halnya firman
Allah SWT dalam Al-quran: Mereka itu adalah pakaian ,dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka.” 1(QS. Al-Baqarah [2] : 187)

‫اب‬ َ ُ‫اّللُ أَََّ ُك ْى ُك ُْت ُ ْى ت َ ْختَاَُىٌَ أ َ َْف‬


َ َ ‫س ُك ْى فَت‬ َ ۗ ٍَُّ ‫سائِ ُك ْى ۚ ُه ٍَّ ِنثَاسٌ َن ُك ْى َوأ َ َْت ُ ْى ِنثَاسٌ نَه‬
َّ ‫ع ِه َى‬ ُ َ‫صٍَ ِاو انشَّ ف‬
َ َِ ‫ث ِإ َن ٰى‬ ّ ِ ‫أ ُ ِح َّم نَ ُك ْى نَ ٍْهَحَ ان‬
ُِْ ٍ‫ُْ ْاَْ ْت ٍَُُ ِيٍَ ْان َخ‬ ُ ٍ‫ش َشتُىا َحت َّ ٰى ٌَت َ َثٍٍََّ نَ ُك ُى ْان َخ‬ ْ ‫اّللُ نَ ُك ْى ۚ َو ُكهُىا َوا‬َّ ‫ة‬ َ َ ‫ش ُشو ُه ٍَّ َوا ْتتَغُىا َيا َكت‬ ِ ‫ع ُْ ُك ْى ۖ فَ ْاٌََ َتا‬ َ ‫ع َفا‬ َ ‫عهَ ٍْ ُك ْى َو‬ َ
َّ ُ‫اج ِذ ۗ ِت ْهكَ ُحذُود‬
ۗ ‫اّللِ فَ َ ت َ َْ َشتُى َها‬ ِ ‫س‬َ ًَ ‫ش ُشو ُه ٍَّ َوأ َ َْت ُ ْى عَا ِكفُىٌَ فًِ ْان‬ ّ ِ ‫ْاَْس َْى ِد ِيٍَ ْانفَجْ ِش ۖ ث ُ َّى أَتًُِّىا ان‬
ِ ‫صٍَا َو إِنَى انهَّ ٍْ ِم ۚ َو ََل تُثَا‬
ٌَ‫اس نَ َعهَّ ُه ْى ٌَتََُّى‬ َّ ٍُ ٍَِّ‫َك ٰزَ ِنكَ ٌُث‬
ِ َُّ‫اّللُ آ ٌَاتِ ِه ِنه‬

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena
itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.”

Menurut syara‟, khulu‟ adalah sebagaimana yang di kemukakan oleh Asy-Syarbini


dan Al-Khatibadalah“ pemisahan antara suami istri dengan pengganti yang dimaksud
(iwadh) yang kembali kearah suami dengan lafal talak atau khulu‟.2
Menurut para fuqoha, khulu‟ dimaksudkan untuk makna umum, yaitu perceraian
dengan disertai sejumlah harta sebagai „iwadh yang diberi kan oleh istri kepada suami
untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan. Sedangkan untuk makna khusus,

1
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman berkeluarga dalam Islam (Jakarta: AMZAH, 2010), 346
2
Abdul Aziz, Muhammad Azzam. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2011),
297.
yaitu talak atas dasar „iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khuluk (pelepasan)
atau yang semakna seperti mubara‟ah (pembebasan).3
Khulu‟ hukumnya boleh, tetapi makruh seperti talak karena adanya pemutusan talak
yang diperintahkan syara‟. Khuluk diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti
hal nya suami cacat fisik atau cacat sedikit pada fisik atau karena suami tidak dapat
melaksanakan hak istri dan jika sang istri khawatir tidak dapat menjalankan kewajiban
hukum-hukum Allah. Maka dari itu, jika tidak ada sebab yang menuntut khuluk maka
terlarang hukumnya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa‟I
dari Abi Hurairah:

‫ فَاَتَى‬،ًّ َ‫ع ْث ِذ هللاِ ت ٍِْ اُت‬ ُ ُْ ‫س َش ٌَذَ َها َو ِه ًَ ج ًَِ ٍْهَحُ ِت‬
َ ‫ت‬ َ ‫ب اي َْشأَتَهُ فَ َك‬
َ ‫َّاس ض ََش‬
ٍ ً‫ش‬ َ ٍِْ ‫ْس ت‬ِ ٍَ‫ت ُيعَىّ ٍر ا َ ٌَّ ثَا ِتتَ تٍَْ ق‬
ِ ُْ ‫ع ٍَِ انشُّ تٍَ ِّع ِت‬
:َ‫ َقال‬.‫س ِث ٍْ َههَا‬
َ ‫ع َهٍْكَ َو َخ ّم‬َ ‫ِي َنهَا‬ ْ ‫ ُخ ِز ا َّنز‬:ُ‫ت َف ََا َل َنه‬ َ ْ‫ َفاَس‬:‫شت َ ِك ٍْ ِه اِنَى َسسُىْ ِل هللاِ ص‬
ٍ ‫س َم َسسُىْ ُل هللاِ ص اِ َنى ثَا ِت‬ ْ ٌَ ‫اَ ُخىْ َها‬
ِ ‫ فَا َ َي َش َها َسسُىْ ُل هللاِ ص ا َ ٌْ تَتَ َشتَّضَ َح ٍْضَحً َو‬.‫ََ َع ْى‬
َ ‫احذَجً َو ت َ ْه َح‬
‫ فى ٍَم‬،‫ انُسائى‬.‫ق ِتا َ ْه ِههَا‬

Artinya: “Dari Rubayyi‟ binti Mu‟awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas
memukul tangan istrinya yang bernama Jamilah binti „Abdullah bin Ubaiy sehingga
patah, kemudian saudaranya datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukannya, lalu
Rasulullah SAW mengutus (seseorang) kepada Tsabit, kemudian Nabi SAW bersabda
kepadanya, “Ambillah kembali apa yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan
lepaskanlah dia”. Tsabit menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar
menunggu satu kali haidl dan pulang kepada keluarganya”. [HR. Nasai, dalam Nailul
Authar juz 6, hal. 277]

Dari hadits tersebut dapat kita ambil hikmah yang terkandung diddalamnya, yang
mana seorang suami maupoun istri harus membarikan hak masing-masing agar tidak
terjadi terpecah-belah huungan keduanya.

B. Hukum khulu‟
Disunahkan bagi si suami untuk memberikan jawaban bagi khulu'yang diminta oleh
si istri berdasarkan kisah istri Tsabit bin Qais yang tadi telah disebutkan. Kecuali jika si
suami memiliki rasa kecenderungan dan rasa cinta kepada si istri, maka disunahkan si istri
untuk bersabar dan tidak menebus dirinya. Dimakruhkan khulu' bagi si istri dengan
lurusnya kondisi perkawinan, berdasarkan hadits riwayat Tsauban, bahwa Nabi saw
bersabda,

3
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), 220.
‫ فحزاو عهيٓب رائحت انجُت‬, ‫أيًب ايزأة سأنج سٔجٓب انطالق يٍ غيز بأس‬

Artinya: "Perempuan mana saja yang meminta talak kepada suaminya dengan tanpa
alasan, maka diharamkan kepadanya bau surga”

Karena ini adalah khulu' yang tidak memiliki alasan, maka menjadi makruh. Akan
tetapi, biar pun dimakruhkan, khulu' tetap terjadi, berdasarkan ayat yang tadi telah
disebutkan,"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya." (an-Nisaa': 4) Mazhab Hambali menyebutkan bahwa
khulu' batil, dan 'iwadh ditolak dan ikatan perkawinan dalam kondisinya yang seperti
semula dalam kondisi penghalangan wali atau paksaan untuk melakukan khulu'. Yaitu
dengan cara berlaku buruk kepadanya dengan pukulan dan menekannya. Atau mencegah
darinya berbagai hak-haknya yang berupa pembagian giliran dan nafkah, dan perkara
lain yang sejenis itu. Sebagaimana juga jika dikurangi haknya dengan secara zalim agar si
istri mau menebus dirinya berdasarkan firman Allah taa'ala, "Dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya." (an-Nisaa': 19) Karena istri yang dipaksa untuk membayar
'iwadh yang diambil dengan tanpa hak, maka 'iwadh tersebut tidak berhak untuk diambil
oleh si suami karena adanya larangan.

Larangan mengandung makna rusak kecuali khulu' jatuh dengan lafal talak atau niat
talak, maka jatuh talak raj'i. Si perempuan tidak tertalak ba'in dari suaminya akibat
rusaknya 'iwadh. Begitu juga halnya pendapat mazhab Syafi'i bahwa khulu' boleh
dilakukan untuk menghilangkan keburukan yang biasanya menimpa istri. Akan tetapi,
khulu'ini bersifat makruh karena mengandung makna memutus ikatan pernikahan yang
dituntut secara syariat. Berdasarkan sabda Rasulullah saw,

‫أبغض انحالل إنى هللا انطالق‬

Artinya; " Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak."

Kecuali dalam dua kondisi; pertama, keduanya atau salah satu dari keduanya merasa
khawatir jika keduanya tidak melaksanakan ketetapan Allah, maksudnya apa yang telah
ditetapkan oleh Allah dalam pernikahan. Kedua, bersumpah menjatuhkan talak tiga
terhadap perbuatan sesuatu yang harus dia lakukan, misalnya seperti makan, minum,
dan membuang hajat. Dia khulu' istrinya, kemudian dia lakukan perbuatan yang dia
jadikan sumpah. Setelah itu dia nikahi kembali istrinya, maka dia tidak langgar
sumpahnya, karena sumpahnya telah terlaksana dengan perbuatan yang pertama dan yang
dianggap hanyalah perbuatan yang pertama dan perkara yang dia jadikan sebagai
sumpah telah terjadi.

Mazhab Maliki mensyaratkan khulu' terjadi dengan kehendak dan keinginan si istri
untuk berpisah dengan suaminya dengan tanpa adanya paksaan dan tindakan buruk dari
si suami. Jika salah satu dari kedua syarat ini dilanggar maka terjadi talak dan tidak
terjadi khulu'. Sebagian ulama melarang khulu' secara mutlak. Hasan al-Bashri berkata,
"Tidak boleh dilakukan khulu' sampai si suami melihat si istri melakukan perbuatan
zina." Daud azh-Zhahiri berpendapat, tidak boleh dilakukan khulu' kecuali jika keduanya
merasa khawatir bahwa keduanya tidak melaksanakan ketetapan Allah. Apakah khulu'
membutuhkan qadhi? Khulu' tidak membutuhkan hakim, sebagaimana yang diielaskan
oleh mazhab Hambali. Ini adalah pendapat fuqaha yang lainnya. Berdasarkan pendapat
Umar r.a. dan Utsman r.a. karena ini adalah talak dengan 'iwadh, maka tidak
membutuhkan qadhi, seperti halnya jual-beli dan pernikahan, Karena ini adalah
4
pemutusan akad dengan rasa keridhaan, maka mirip dengan pemecatan .

C. Dalil Khulu‟
Khulu' boleh dan tidak apa-apa untuk dilakukan, menurut mayoritas ulama, karena
manusia membutuhkannya akibat adanya pertikaian dan persengketaan di antara suami-
istri, dan tidak ada keharmonisan pada pasangan suami-istri. Seorang istri bisa saja
membenci suaminya, dan membenci hidup bersamanya karena sebab fisik, akhlak,
agama, kesehatan, akibat usia tua, kelemahan, atau perkara lain yang sejenis. Si istri
merasa takut iika dia tidak melaksanakan hak Allah untuk menaati suaminya. Oleh karena
itu, Islam menetapkan jalan untuknya dalam upaya mengimbangi hak talak yang hanya
dimiliki oleh laki-laki untuk membuatnya terbebas dari ikatan perkawinan, untuk
menolak kesulitan dari si istri, dan menghilangkan keburukan darinya. Dengan cara
mengeluarkan hartanya untuk menebus dirinya dan membebaskannya dari ikatan
perkawinan. Dan dia ganti kepada si suami apa yang telah dia keluarkan untuk si istri
dalam upayanya untuk mengawininya dulu. Al-Qur'an dan hadits telah menunjukkan
pensyariatan khulu'. Sedangkan dalil dari Al-Qur'an adalah firman Allah SWT,

4
Wahbah az-Zauhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu (Damsyiq: Darul fikr), 483-485
}ّ‫{فال جُبح عهيًٓب فيًب افخدث ب‬

"Mako tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya." (al-Baqarahz 229)

}ً‫ فكهِٕ ُْيئب ً يزيئب‬،ً‫{فإٌ طبٍ نكى عٍ شيء يُّ َفسب‬

"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya." (an-Nisaa': 4)

}ً‫{فال جُبح عهيًٓب أٌ يصهحب بيًُٓب صهحب‬

"Maka tidakmengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya."


(an-Nisaa':129)

Sedangkan dalil dari hadits adalah hadits riwayat Ibnu Abbas;

‫ إَي يب أعيب عهيّ في خهُك ٔال‬، ‫ يب رسٕل هللا‬:‫ فمبنج‬، ‫أٌ ايزأة ثببج بٍ ليس جبءث إنى رسٕل هللا صهّى هللا عهيّ ٔسهى‬
‫ فمبل رسٕل هللا‬،‫ َعى‬:‫ أحزدّيٍ عهيّ حديمخّ؟ لبنج‬: ‫ فمبل رسٕل هللا صهّى هللا عهيّ ٔسهى‬،‫ ٔنكُي أكزِ انكفز في اإلسالو‬،ٍ‫دي‬
‫ ٔط ِّهّمٓب حطهيمت‬،‫ البم انحديمت‬: ‫صهّى هللا عهيّ ٔسهى‬

“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang menghadap Rasulullah saw, lantas dia
berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada akhlaknya dan agamanya yang
tercela menurut pendapatku, tetapi aku tidak suka melakukan kekafiran dalam
Islam."Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya, 'Apakah kamu mau mengembalikan
Iadangnya kepadanya?" Wanita tersebut menjawab, "mau." Maka Rasulullah saw.
bersabda, "Terimalah ladang dan talaklah dia dengan talak satu”

Si istri ingin berpisah dengan suaminya bukan karena keburukan akhlaknya, juga
bukan karena kekurangan dari segi agamanya. Hanya saja dia takut melakukan hal yang
dilarang agama dalam berintraksi dengan suaminya, dan lalai untuk melakukan apa yang
harus dia lakukan untuk suaminya, akibat besar rasa bencinya kepadanya. Oleh karena
itu, Rasulullah saw memerintahkannya dengan perintah yang bersifat arahan dan
perbaikan, bukannya bersifat wajib, untuk mengembalikan ladangnya yang dia berikan
sebagai mahar untuk istrinya. Ini adalah khulu' petama yang terjadi dalam Islam. Dalam
khulu' ini ada makna pemberian 'iwadh.
Abu Bakar bin Abdullah al-Muzini memiliki pendapat yang menyimpang dari
pendapat jumhur fuqaha. Dia berpendapat, si suami tidak boleh mengambil sesuatu dari
istrinya. Dia mengklaim bahwa firman Allah SWT yang berbunyi,

}ّ‫{فال جُبح عهيًٓب فيًب افخدث ب‬

"Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya." (al-Baqarah ; 229)

dinasakh dengan firman-Nya SWT,

}ً‫ فال حأخذٔا يُّ شيئب‬،ً‫ ٔآحيخى إحداٍْ لُطبرا‬،‫{ٔإٌ أردحى اسخبدال سٔج يكبٌ سٔج‬

"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istriyang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyalg maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun." (an-Nisaa': 20).

Menurut jumhur fuqaha, ayat ini memiliki makna mengambil dengan tanpa keridhaan
si istri, sedangkan jika si istri merasa ridha maka boleh5
.
D. Syarat Khulu‟
Ada beberapa syarat bagi pasangan suami istri untuk bisa melakukan khulu‟6 yaitu
1. Seorang istri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu‟ , jika tampak
adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa takut tidak akan menegakkan hukum
Allah S.W.T
2. Khulu‟ itu hendaknya dilakukan sampai selesai tanpa dibarengi dengan tindakan
penganiayaan yang dilakukan oleh suami. Jika ihak suami melakukan penganiayaan ,
maka ia tidak boleh mengambil sesuatupun dari istrinya.
3. Khulu‟ itu berasal dari pihak istri bukan dari pihak suami.
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang berhak meminta khulu‟. Jumhur
ulama berpendapat bahwa perempuan yang berakal berhak melakukan khulu‟ untuk
dirinya sendiri. Dan suaminya tidak boleh kembali lagi kepadanya, karena sang istri telah
memberikan sejumlah harta untuk membebaskan dirinya. Sedangkan jika ia budak wanita
maka ia tidak bisa melakukannya, kecuali dengan izin tuannya. Said bin al-Musayyib dan
al zuhri berpendapat bahwa seorang suami yang melakukan khulu‟ boleh kembali lagi

5
Wahbah az-Zauhaili, 481-482
6
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah,Terj. Abdul Ghaffar ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), 309.
kepada sang istri selama ia dalam asa iddah, yaitu dengan mengembalikan kompensasi
yang diterimanya dan disaksikan oleh para saksi. Adapun imam Malik berpendapat bahwa
seorang bapak dapat meminta khulu‟ bagi anak perempuannya yang masih kecil.7

E. Lafadz Khulu‟
Lafad khulu‟ terbagi menjadi dua yaitu sharih dan kiasan atau sindiran. Khulu‟
sharih sendiri terdiri dari tiga lafadz yaitu khala‟ tuki (aku mengkhulu‟mu), Mufadah
(Tebusan), Fasakhtu Nikahaki. Dan selain ketiga lafad diatas misalnya “aku bebaskan
kamu” atau “aku lepaskan kamu” maka yang demikian disebut lafad kiasan. Jika pihak
wanita menuntut khulu‟ dan bersedia membayar ganti rugi, lalu suami memberikan
jawaban dengan khulu‟ sharih ataupun kiasan , maka khulu‟nya sah meskipun tanpa
disertai niat.8
Sementara itu Khulu‟ dapat dilakukan kapan saja, baik dalam masa suci maupun
dalam masa haid. Hal tersebut dikarenakan ayat yang menjelaskan tentang khulu‟ yang
disebutkan sebelumnya tidak menjelaskan mengenai batasan waktunya, sehingga
kapanpun boleh melakukan khulu‟.

F. Sifat Khulu‟
Perceraian melalui jalan khulu‟, sepintas terlihat bahwa konotasi khulu‟dipandang
oleh sebagian orang sebagai suatu akal-akalan atau permainan pihak suami terhadap
istri atas hak talak yang dimilikinya, sehingga syari‟at khulu‟ tidak banyak dipahami dan
dipraktekkan. Padahal bila dicermati dan dianalisa secara mendalam syariat khulu
‟merupakan solusi kemelut batin yang dialami oleh istri dalam mahligai rumah tangga
yang terlanjur dijalaninya. Pada dasarnya Al-Qur‟an menggantungkan kebolehan
membayar tebusan terhadap kekhawatiran terjadinya kemaksiatan (tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah)manakala perkawinan dipertahankan.
Menurut Sayid Sabiq, ketetapan suami menerima tebusan dalam
khulu‟merupakan hukum yang adil dan tepat, karena jika sebelumnya suami yang
memberikan mahar, biaya perkawinan dan nafkah kepada isterinya. Keadaan isteri yang
ingkar dan meminta pisah darinya merupakan hukum yang pantas dan adil jika isteri
diharuskan mengembalikan apa yang pernah diterimanya. Keadilan ini lahir kaidah yang

7
Pakih Sati,Panduan Lengkap Pernikahan Fiqh Munakahat Terkini ( Yogyakarta: BENING, 2011), 250.
8
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-usrah al-Muslimah, terj. Abdul Ghaffar (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001),
320.
menyatakan hukum Islam dalam prakteknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan
waktu,yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan.
Sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, maka perkara yang sempit dapat menjadi luas.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai hal ini sebagai prinsip toleransi, yaitu penerapan
ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga
seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at
ketentuan hukum Islam.
Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi
mencakup seluruh ketentuan hukumIslam, baik muamalah sipil, hukum pidana,
ketetapan peradilan dan lainsebagainya. Hasan Bisri mengungkapkan bahwa hal
tersebut merupakan kegiatan reaktualisas iIslam, dimana secara garis besarnya adalah
menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasisumber hukum
Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini sebagai
paradigmanya.

G. Alat Khulu‟
Para ulama berbeda pendapat mengenai kadar harta yang dijadikan kompensasi dalam
khulu'. Imam Malik bin Anas, imam syafi‟i, dan para ulama lainnya menyatakan bahwa
seorang istri boleh memberikan kompensasi yang lebih atau sama, bahkan lebih sedikit
dari mahar yang diterima. Hal ini sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 229 dimana dalam
ayat tersebut tidak disebutkan mengenai batas atau kadar kompensasi dala khulu‟.
Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah komensasi itu tidak boleh lebih dari besarnya
mahar. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullaah S.a.w ang berkata kepada seorang
perempuan “Apakah kau ingin mengebalikan kebun yang diberikannya kepadamu?” Ia
menjawab “Ya saya juga akan menambahnya,” beliau menjawab “ Tambahannya tidak
perlu dan yang penting adalah kebunnya.” Kemudian perempuan itu menjawab “iya”
(H.R Daruquthni).
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai sifat kompensasi harta yang harus
diberikan keada suami oleh sang istri dalam khulu‟. Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah
bahwa kompensasi harta tersebut harus jelas, baik sifatnya maupun bentuknya. Imam
Malik mengatakan bahwa kompensasi dalam khulu‟ boleh tidak jelas sifat, kadar, dan
keberadaannya.9

9
Pakih Sati,Panduan Lengkap Pernikahan Fiqh Munakahat Terkini ( Yogyakarta: BENING, 2011), 248.
H. Iddah wanita ber-Khulu‟
Dalam sunnah dijelaskan bahwa iddah wanita ter-khulu‟ adalah satu kali haidh. Dalam
kisah Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya: “Ambilah sesuatu yang ada bagi
wanita atasmu dan lepaskan jalan.” Ia menjawab: “Ya.” Kemudian Rasulullah SAW
perintahkan kepada wanita itu agar ber-iddah sekali haidh dan kembali kepada ahlinya.
(HR. An-Nasa‟i dengan isnad yang shahih)
Ini adalah madzhab Utsman dan Ibnu Abbas. Riwayat yang paling shahih dari Ahmad,
yaitu madzhab Ishak bin Rahawaih dan yang dipilih oleh Syeikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Barangsiapa yang melihat pendapat ini menemukan tuntutan kaidah-kaidah
syariah, bahwa iddah dijadikan tiga kali haidh agar longgar waktu rujuk dan suami dapat
berfikir mempertimbangkan kemungkinan rujuk pada masa iddah tersebut. Jika tidak ada
kesempatan untuk rujuk, maka bermaksud membebaskan rahimnya kehamilan. Demikian
itu cukup sekali haidh untuk pembebasan”
Ibnu Al-Qayyim menyatakan, ini adalah madzhab Amir Al-Mukminin Utsman bin
Affan, Abdullah bin Umar, Ar-Rabi‟ binti Mu‟awwadz dan pamannya R.A, ia tergolong
sahabat senior. Dari mereka empat orang sahabat tidak diketahui yang berbeda di antara
mereka sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Laits bin Saad dari Nafi‟ maula Ibnu
Umar bahwa ia mendengar Ar-Rabi‟ binti Mu‟awwadz bin „afra, ia memberitakan kepada
Abdullah bin Umar bahwa ia Khulu‟ suaminya pada masa Utsman bin Affan kemudian
datanglah pamannyakepada Utsman bin Affan dan berkata: “bahwa putri Mu‟awwadz di-
khulu‟ suaminya pada hari ini apakah ia harus pindah? Utsman menjawab: “Hendaklah ia
pindah, tidak ada hak waris antara mereka berdua, dan tidak ada iddah kecuali ia tidak
boleh dinikahi hingga sekali haidh karena khawatir ada kehamilan.” Ibnu Amir berkata:
Utsman telah memilihkan dan memberi tahu kepada kita.” Dan dinukil dari Abi Ja‟far An-
Nuhas dalam kitab An-Nasikh wa Al-Mansukh bahwa ini ijma‟ para sahabat. Sedangkan
madzhab jumhur ulama wanita ter-khulu‟ masa iddah-nya tiga kali haidh jika masih
haidh.10
G. Gugat cerai menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang
Dalam kompilasi hukum Islam ada beberapa poin sebagai berikut;

Dalam bab XII tentang hak dan kewajiban seorang istri pasal 77 nomer 05 jika suami
atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada

10
Abdul Aziz, Muhammad Azzam. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh munakahat, (Jakarta: AMZAH,
2011), 315
Pengadilan Agama. Pada bab XVI tentang putusnya perkawinan Pasal 114 Putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Pada bagian kedua tentang cara perceraian pada pasal 148
terdapat poin-point sebagai berikut;

1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk,


menyanpaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya.

2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya


untuk didengar keterangannya masing-masing.

3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang


akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.

4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka
Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan
talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat
dilakukan upaya banding dan kasasi.

5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)

6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl


Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan terdapat poin-poin sebagai berikut; Bab VI hak dan kewajiban suami istri
Pasal 34 nomor (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB III
PENUTUP

Menurut syara‟, khulu‟ adalah sebagaimana yang di kemukakan oleh Asy-Syarbini


dan Al-Khatib adalah“ pemisahan antara suami istri dengan pengganti yang dimaksud
(iwadh) yang kembali kearah suami dengan lafal talak atau khulu‟. Khulu‟ hukumnya
boleh, tetapi makruh seperti talak karena adanya pemutusan talak yang diperintahkan
syara‟. Lafad khulu‟ terbagi menjadi dua yaitu sharih dan kiasan atau sindiran. Jumhur
Ulama menyatakan bahwa seorang istri boleh memberikan kompensasi yang lebih atau
sama, bahkan lebih sedikit dari mahar yang diterima.
DAFTAR PUSTAKA

Ayyub, S. H. (2001). Fiqh al-Usrah al-muslimah. (A. Ghaffar, Penerj.) Jakarta: Pustaka Al
Kautsar.

Aziz, A., & Muhammad Azam. (2011). Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH.

Ghazali, A. R. (2003). Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media Group.

Muhammad, S. K. (2016). Fiqh Wanita. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.

Sati, P. (2011). Panduan Lengkap Pernikahan. Yogyakarta: BENING.

Subki, A. Y. (2010). Fiqh Keluarga. Jakarta: AMZAH.

Zuhaili, W. (2010). Fiqh Islam Wa Adillatuhu. (A. H. Kattani, Penerj.) Jakarta: Gema Insani.

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqhul Islami Wa Adillatuh. Dimsyiq: Darul Fikr. 1985

Malik, al-Muwaththa‟. Darul ihya‟ turats arabi.1985

Anda mungkin juga menyukai