Anda di halaman 1dari 19

“TIDAK PERLU WUDLU SETELAH MANDI”

Telaah terhadap Istidlal-Istinbath Hukum dari Fatwa Fiqh Persatuan Islam


(Persis): Studi Kasus Fatwa Toean Ahmad Hassan dalam Soal-Jawab dan KH.
Aceng Zakaria dalam Al-Hidayah tentang Wudlu Setelah Mandi

Muhammad Imam Asy-Syakir. S.Ud.


(Tulisan ini disampaikan dalam kajian bulanan el-Badr, Syawal 1444 H)

PENDAHULUAN

“Berusaha membuat semua orang setuju denganmu adalah perbuatan yang gila.”-
Anonim

Tulisan ini dibuka dengan kutipan di atas, sebagai isyarat bahwa dalam kajian fiqh
urusan setuju dan tidak setuju serta perbedaan ragam pendapat adalah sesuatu
keniscayaan dan hal yang lumrah. Maka merupakan suatu kenaifan jika mengharapkan
kesamaan dalam urusan ini, tetapi suatu kemuliaan jika mengharapkan kebersamaan
tetap selalu terjaga. Karena kemuliaan diraih dengan ketaqwaan, sebagaimana
termaktub dalam surat Al-Hujurat ayat 13, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara
kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa”, dan ketaqwaan beriringan dengan
persaudaran kaum Muslim sebagaimana diutarakan dalam sebuah hadits, Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda:

‫ التَّػ ْق َوى‬،ُ‫ َوََل ََْي ِق ُره‬،ُ‫ ََل يَظْلِ ُموُ َوََل ََيْ ُذلُو‬،‫َخو الْ ُم ْسلِِم‬ ِ ِ ِ
ُ ‫ َوُكونُوا عبَ َاد هللا إِ ْخ َو ًاًن الْ ُم ْسل ُم أ‬...
...‫اىنَا‬ُ ‫َى‬
“…dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang
satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara, tidak boleh menyakiti,
merendahkan, ataupun menghina. Taqwa itu ada di sini…” (HR. Muslim, no. 2564)1

Sebagaimana lumrahnya perbedaan pendapat dalam fiqh, tulisan ini akan


menghadirkan analisis yang berbeda, tetapi tidak dimaksudkan untuk mendekonstruksi
fatwa seputar fiqih, khususnya tidak wajib wudlu setelah mandi, dalam fatwa dan
praktik di Persatuan Islam. Tetapi lebih ke arah rekonstruksi terhadap istidlal atau
istinbath hukum dari fatwa tersebut. Karena penulis mendapati beberapa fakta yang
kurang dan tidak relevan dalam proses fatwa yang dikeluarkan oleh Persis dalam
konteks ini, Ahmad Hassan dan KH. Aceng Zakaria dalam tulisannya masing-masing,
yaitu Soal-Jawab dan Al-Hidayah.

Pembacaan dalam penelitian ini adalah perspektif hadits dengan analisis fiqh
melalui pendekatan studi pustaka terhadap sumber-sumber primer dan sekunder
terkait persoalan wudlu setelah mandi.

1
Muslim. Al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar bi Naqli ‘anil ‘Adli ‘anil ‘Adli ila Rasulillah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam (Shahih Muslim). Beirut. Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabiy. Jilid 4. Hal. 1986.

1
Sekalipun sebagai bagian dari internal jam‟iyyah Persatuan Islam, yaitu sebagai
kader Pemuda Persis, penulis berupaya untuk seobjekif mungkin dalam penelitian ini,
dengan menyertakan dan merujuk berbagai sumber dan perspektif lain di luar
Persatuan Islam.

ISI DAN PEMBAHASAN


A. Thaharah: Hukum Wudlu atau Mandi untuk Shalat
a. Makna Thaharah dalam Perspektif Fiqh

Wahbah az-Zuhailiy menjelaskan bahwa thaharah secara etimologi ialah


membersihkan dan memurnikan dari kotoran yang nampak seperti najis berupa air
kencing, dan lainnya, juga dari kotoran ma‟nawi, seperti aib dan ma‟shiat. Adapun
secara syara‟ membersihkan najis secara hakiki, yaitu khabats atau hukmi, yaitu hadats.2
Senada dengan itu, Abdurrahman Al-Mubarakfuriy juga menjelaskan thaharah ialah
bersuci dari hadats daan khabats, dan asalnya ialah membersihkan dan mensucikan dari
setiap aib (kotoran) yang nampak (hissiy) maupun ma‟nawi. Demikian juga menurut
Ubaidillah ar-Rahmaniy Al-Mubarakfuriy, thaharah secara etimologi membersihkan dan
mensucikan dari setiap aib (kotoran) yang nampak (hissiy) maupun ma‟nawi. Adapun
secara syara‟ ialah membersihkan badan dari najis hukmi, yaitu hadats besar dan kecil,
juga membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari najis hakiki, yaitu kotoran dan
ampas yang dikeluarkan oleh tubuh.3

Hakikat thaharah menurut Ash-Shan‟aniy ialah menggunakan dua alat bersuci,


yaitu air dan tanah atau salah satunya berdasar sifat yang disyari‟atkan dalam
menghilangkan najis dan hadats.4 Sedangkan secara tegas Asy-Syaukaniy
menyampaikan definisi thaharah secara syara` ialah kriteria hukum yang menetapkan
kepada yang disifatinya kebolehan shalat.5 Demikian halnya Abu Malik Kamal,
menerangkan bahwa secara syara‟ thaharah mengangkat atau menghilangkan sesuatu
yang dapat menghalangi shalat baik itu hadats maupun najis dengan menggunakan air
atau yang lainnya atau menghilangkannya secara hukum menggunakan debu.6

Maka konteks thaharah dalam fiqh ibadah ialah sebagai syarat sah shalat. Hal ini
didasarkan kepada dalil ayat dan hadits, seperti berikut:

2
Wahbah az-Zuhailiy. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. Damaskus. Darul Fikr. Jilid 1. Hal. 238.
3
Abdurrahman Al-Mubarakfuriy. Tuhfatul Ahwadziy bi Syarhi Jami’ at-Tirmidziy. Beirut. Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. Jilid 1. Hal. 18; Ubaidillah ar-Rahmaniy Al-Mubarakfuriy. 1984. Mir’athul Mafatih Syarh
Misykatil Mashabih. Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa ad-Da’wah wa al-Ifta` (Jami’ah as-Salafiah). Jilid 2.
Hal. 1.
4
Ash-Shan’aniy. Subulus Salam Syarh Bulugh al-Maram. Dar al-Hadits. Jilid 1. Hal. 18.
5
Asy-Syaukaniy. 1993. Nailul Authar Syarh Mnntaqal Akhbar. Mesir. Dar al-Hadits. Jilid 1. Hal. 28.
6
Abu Malik Kamal. 2016. Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh wa Taudlihu Madzahibil A`imah. Al-
Maktabah at-Taufiqiyah. Jilid 1. Hal. 70.

2
‫وى ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ ََل الْ َمَرافِ ِق َو ْام َس ُُوا‬ ِ ِ َّ ‫َي أَيػُّها الَّ ِذين آمنُوا إِذَا قُمتُم إِ ََل‬
َ ‫الص ََلة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬ ْْ َ َ َ َ
ِ ِ
‫ضى أ َْو َعلَى َس َف ٍر أ َْو‬ َ ‫ْي َوإِ ْن ُكْنػتُ ْم ُجنُػبًا فَاطَّ َّه ُروا َوإِ ْن ُكْنػتُ ْم َم ْر‬
ِ ْ ‫وس ُكم وأ َْر ُجلَ ُكم إِ ََل الْ َك ْعبَػ‬
ْ َ ْ ُ‫ب ُرء‬
‫يدا طَيِّبًا‬ ً ِ‫صع‬ ِ ِ ِِ
َ ‫َح ٌد مْن ُك ْم م َن الْغَائط أ َْو ََل َم ْستُ ُم النّ َساءَ فَػلَ ْم ََت ُدوا َماءً فَػتَػيَ َّم ُموا‬
ِ ِ ‫جاء أ‬
َ ََ
‫يد لِيُطَ ِّهَرُك ْم‬
ُ ‫اَّللُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِم ْن َحَرٍج َولَ ِك ْن يُِر‬ ُ ‫وى ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم ِمْنوُ َما يُِر‬
َّ ‫يد‬ ِ ‫فَامسُوا بِوج‬
ُُ ُ َ ْ
.‫َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَوُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma`idah: 6)

ِ ِ ٍ ِ ‫ص َع‬
ٌ ‫ودهُ َوُى َو َم ِر‬
‫يض‬ ُ ُ‫ َد َخ َل َعْب ُد هللا بْ ُن عُ َمَر َعلَى ابْ ِن َعام ٍر يَػع‬:‫ قَ َال‬،‫ب بْ ِن َس ْعد‬ ْ ‫َع ْن ُم‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ َ ‫ إِِّن ََِسعت رس‬:‫ أَََل تَ ْدعو هللا ِِل َي ابن عمر؟ قَ َال‬:‫فَػ َق َال‬
َ ‫ول هللا‬ َُ ُ ْ ّ ََ ُ َ ْ َ َ ُ
ٍ ُ‫ ََل تُػ ْقبل ص ََلةٌ بِغَ ِْْ طُهوٍر وََل ص َدقَ ٌ ِمن غُل‬:‫ول‬
.‫ول‬ ُ ‫يَػ ُق‬
ْ َ َ ُ َ َُ
Dari Mush'ab bin Sa'ad, dia berkata, Abdullah bin Umar ra. pernah masuk ke
rumah Ibnu Amir untuk menjenguknya ketika ia sakit, lalu ia bertanya, "Hai Ibnu
Umar! Mengapa ketika kamu berada di Bashrah tidak berdoa kepada Allah untuk
saya?" Abdullah bin Umar men jawab, "Sesungguhnya saya pernah mendengar
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, 'Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan tidak
menerima sedekah dari hasil penipuan." (HR. Muslim, bab wujubit thaharah lis
shalah, no. 224)7

‫ َوقَ َال‬،‫يث ِمْنػ َها‬َ ‫َحاد‬


ِ ‫ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم فَ َذ َكر أ‬ ِ ‫ َعن ُُمَ َّم ٍد رس‬،‫عن أيب ىريػرَة‬
َ َ َ ََ َْ ُ َ َُ ْ َ َْ ُ
ِ ‫ ََل تُػ ْقبل ص ََلةُ أ‬:‫ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم‬
.َ‫ضأ‬
َّ ‫ث َح ََّّت يَػتَػ َو‬ ْ ‫َحد ُك ْم إِذَا أ‬
َ ‫َح َد‬ َ َ َُ َ ََ َْ ُ َ ُ ‫َر ُس‬
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Tidak akan diterima shhalat
seseorang di antara kalian apabila berhadats hingga ia berwudlu.” (HR. Muslim,
bab wujubit thaharah lis shalah, no. 225)8

7
Muslim. Shahih Muslim. Jilid 1. Hal. 204.
8
Ibid. hal. 204.

3
b. Jenis-Jenis Thaharah: Wudlu`, Ghuslu, dan Tayamum
1) Wudlu

‫ض ِاء‬ ٍ ُ ‫ الوضوء شرعا استِعم‬.ٌَُ‫ وِىي النَّظَاف‬،ِ‫الْوضوء ِمن الْوضاءة‬


َ ‫ال َماء طَ ُهوٍر ِِف ْاْل َْع‬ َ ْ ْ ً َْ َ َ َََ ْ ُُ
.ٌٍ ‫وص‬ ٍ ِ ِ ِ ‫الرأْس و‬ ِ ِ ِ
َ ‫ص‬ُ َْ‫ َعلَى ص َفٌ َم‬،‫الر ْج ََلن‬
ّ َ ُ َّ ‫ْاْل َْربَػ َعٌ َوى َي الْ َو ْجوُ َوالْيَ َدان َو‬
Wudlu berasal dari al-wadla`ah, yaitu kebersihan. Adapun menurut syara‟ ialah
mempergunakan air yang suci pada anggota yang empat, yaitu wajah, kedua
tangan, kepala, dan kedua kaki, berdasar sifat tertentu.9

2) Ghuslu

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam Shahih Fiqh Sunnah, menjelaskan
bahwa yang dimaksud al-ghuslu secara etimologi ialah mengalirkan air kepada sesuatu.
Sedangkan menurut syara‟ dengan mengutip Manshur bin Yunus al-Buhutiy al-
Hanbaliy, dalam Kasyaful Qina‟ an Matni al-Iqna‟, yaitu:

ٍ ِِ ِ ٍ ُ ‫استِ ْع َم‬
ٍ ‫ص‬
.‫وص‬ ُ َْ‫ال (إفاضٌ) َماء طَ ُهوٍر ِِف ََجي ِع بَ َدنو َعلَى َو ْجو َم‬ ْ ‫الْغُ ْس ُل َش ْر ًعا‬
Mempergunakan atau mencurahkan air yang suci di seluruh tubuh dengan cara
tertentu.10

3) Tayamum

ٍ ٍ ِ
ٍ ‫ص‬
.‫وص‬ ُ َْ‫ َو َش ْر ًعا َم ْس ُح الْ َو ْجو َوالْيَ َديْ ِن بِتُػَراب طَ ُهوٍر َعلَى َو ْجو َم‬.‫ص ُد‬
ْ ‫التػَّيَ ُّم ِم لُغًٌَ الْ َق‬
Tayamum secara etimologi berarti al-qashdu (maksud). Sedangkan secara syara‟
yaitu mengusap wajah dan kedua tangan dengan tanah (debu) yang suci menurut
cara tertentu.

Sebagaimana dijelaskan dalam definisi bahwa thaharah adalah bersuci dari


hadats besar dan kecil. Maka hadats besar disucikan dengan mandi (ghuslu), sedangkan
hadats kecil dengan wudlu. Adapun jika kondisi keduanya tidak memungkinkan karena
„illat syar‟i maka kedua jenis thaharah itu bisa diganti dengan tayamum.

Adapun dengan adanya batasan menggunakan cara atau sifat tertentu dalam
definisinya, menunjukkan bahwa kaifiyat dalam bersuci, baik itu wudlu, mandi, dan
tayamum harus mengikuti tuntunan syara‟ yang dalam hal ini dicontohkan oleh
Rasulullah ‫ﷺ‬.

Dalam konteks penelitian ini, fokus pembahasan adalah persoalan mandi.


Sehingga untuk menjadi landasan dan pokok masalah pada poin pembahasan

9
Al-Buhutiy. Kasyaful Qina’ an Matni al-Iqna’ . Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Jilid 1. Hal. 82.
10
Al-Buhutiy. Kasyaful Qina’. Jilid 1. Hal. 139; Abu Malik Kamal. Shahih Fiqh as-Sunnah. Jilid 1. Hal.
162.

4
selanjutnya akan dibahas secara lebih rinci, yaitu terkait mandi syar‟i dalam konteks ini
mandi janabat dengan kaifiyatnya yang khusus dan mandi biasa („urfi), beserta
persoalan yang berkaitan dengan pembahasan mandi yang dikaji di Persatuan Islam
sebagai objek dalam penelitian ini.

B. Mandi Biasa li Tabarud wa Tanadzhuf (’Urfi) dan Mandi Janabat (Syar’i)

a. Dikotomi Antara Mandi ’Urfi dan Mandi Syar’i

Dikotomi jenis mandi ini bisa jadi sesuatu yang penting untuk yang membedakan
antara keduanya, juga bisa tidak penting untuk yang tidak membedakan keduanya
selama diniatkan Ibadah kepada Allah. Karena konsekuensi logis dari dikotomi ini akan
berimbas hukum bagi yang menyepakatinya. Adapun untuk yang tidak, maka tidak
berdampak signifikan. Tetapi yang mesti menjadi perhatian adalah mandi wajib tata
caranya diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬, maka ketika ada kebebasan dan
keleluasaan dalam praktiknya lalu apa makna dari contoh tersebut? Apakah itu sekedar
standar yang tidak baku dan tidak wajib diikuti atau suatu opsi dan simplifikasi ketika
tidak mampu memenuhi standar yang dicontohkan?

Adanya dikotomi ini akan berdampak, salah satunya dalam masalah tidak wudlu
setelah mandi untuk shalat. Bagi yang membagi mandi kepada „urfi dan syar‟i, maka
mandi yang tidak perlu wudlu setelahnya untuk shalat adalah mandi syar‟i, yaitu mandi
janabat. Sedangkan bagi yang tidak membedakan jenis mandi, selama disertai niat
Ibadah, maka tidak ada bedanya antara mandi „urfi dan mandi syar‟i, mandi yang
manapun tidak perlu lagi wudlu untuk shalat.

Persatuan Islam berada pada posisi jenis kedua, yaitu tidak membedakan mandi
biasa dan wajib dalam praktik tidak wudlu setelah mandi.

Adapun dalam kalangan mazhab fiqh, ulama yang tidak membedakan jenis
mandi bahkan tanpa ada pembatasan dengan niat untuk ibadah ialah Abu Hanifah,
menurutnya:

ِ ُّ‫ضوء والْغُسل بِ ََل نِيٌٍَّ وبِنِيٌَِّ التَّػبػُّرِد والتػَّنَظ‬


.‫ف‬ ُ ‫ُُْي ِز‬
َ َ َ ُ ْ َ ُ ُ ‫ئ الْ ُو‬
“Wudlu dan mandi cukup dianggap sah walau dilakukan tanpa niat wudlu dan
mandi, bahkan tetap cukup dianggap sah meski dilakukan dengan niat
menyegarkan dan membersihkan badan.”11
Ibnu Hazm mengungkap bahwa hujjah Abu Hanifah ialah,

.‫ض ِاء فَػ َق ْد فَػ َع َل َما أ ُِمَر بِِو‬ ِِ ِ ِ ِ


َ ‫َّإَّنَا أُمَر بِغَ ْس ِل ج ْس ِمو أ َْو َىذه ْاْل َْع‬
Apa yang diperintahkan ialah hanya dengan membersihkan badan atau anggota
tubuh, maka (dengan hal itu) secara tidak langsung telah melakukan apa yang
diperintahkan (wudlu dan mandi).12

11
Ibnu Hazm. Al-Muhalla bi al-Atsar. Beirut. Darul Fikr. Jilid 1. Hal. 90.

5
Kemudian, As-Sindiy seorang faqih dari madzhab Hanafi dalam Hasyiah Sunan
Ibn Majah, menjelaskan:

‫ث فَػيَكْتَ ِفي‬
َ ‫اْلَ َد‬ ْ ‫اْلَنَابٌَِ َما ََلْ َُْي ِد‬
ْ ‫ث أ َْو ََلْ يَػَر‬ َّ ِ‫َي ل‬
ْ ‫لص ََلةِ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل ِم َن‬ ْ ‫ضأُ) أ‬
َّ ‫قَػ ْولُوُ َ(َل يَػتَػ َو‬
ِ ‫اْلناب ٌِ أَو ِِبلْوض‬
.‫وء الْ ُمتَػ َق ِّدِم َعلَى الْغُ ْس ِل َع َاد ًة‬ ِ ‫ِِبلْو‬
ُ ُ ْ َ ََْ ‫اص ِل ِِف ِض ْم ِن غُ ْس ِل‬ ِ ‫اْل‬
َْ ‫ضوء‬ ُُ
Sabdanya: (tidak berwudlu), yaitu untuk shalat setelah mandi janabah, selama
tidak berhadats atau mendapati hadats. Maka cukup baginya dengan wudlu yang
dilakukan pada mandi janabah atau wudlu yang mendahului mandi biasa.13
Dalam kesimpulan fatwa, Persatuan Islam memiliki kemiripan atau kesesuaian
dengan pendapat Madzhab Hanafi.
Sedangkan Syaikh al-„Utsaimin, berpendapat bahwa tidak perlu wudlu setelah
mandi bila itu mandi janabat atau mandi yang disyariatkan, sedangkan mandi yang
tidak disyariatkan tidak mencukupi dari wudlu. Sebagaimana termaktub di tanya-jawab
dalam kumpulan fatwa-fatwanya:

‫ ىل ُيزئ الغسل من اْلنابٌ عن الوضوء؟‬:‫وسئل الشيخ‬


ُ
‫ لقولو‬،‫ إذا كان على اإلنسان جنابٌ واغتسل فإن ذلك ُيزئو عن الوضوء‬:‫فأجاب بقولو‬
‫ إَل إذا حصل‬،‫وَل ُيب عليو إعادة الوضوء بعد الغسل‬. )‫(وإِ ْن ُكْنػتُ ْم ُجنُباً فَاطَّ َّه ُروا‬
َ :‫تعاَل‬
‫ وأما إذا َل‬،‫ فيجب عليو أن يتوضأ‬،‫ فأحدث بعد الغسل‬،‫ًنقض من نواقض الوضوء‬
‫ لكن‬،‫َيدث فإن غسلو من اْلنابٌ ُيزئ عن الوضوء سواء توضأ قبل الغسل أم َل يتوضأ‬
.‫ فإنو َلبد منهما ِف الوضوء والغسل‬،‫َلبد من مَلحظٌ املضمضٌ واَلستنشاؽ‬
‫ ىل ُيزئ الغسل غْ املشروع عن الوضوء؟‬:‫وسئل‬
ُ
.‫ ْلنو ليس بعبادة‬،‫ الغسل غْ املشروع َل ُيزئ عن الوضوء‬:‫فأجاب قائَل‬
Syaikh al-„Utsaimin ditanya: Apakah mandi janabah itu sudah mencukupi
dari wudlu?
Apabila orang-orang itu junub lalu mandi, maka itu mencukupi dari wudlu`
berdasar berfirman-Nya, “Dan jika kalian dalam keadaan junub maka mandilah.”
Dan tidak wajib mengulang wudlu setelah mandi, kecuali batal karena pembatal
wudlu, lalu ia berhadats setelah mandi, maka wajib ia berwudlu. Addapun jika
tidak berhadats maka mandi janabatnnya mencukupi dari wudlu ini berlaku
terlepas apakah yang bersangkutan itu sudah wudlu sebelum mandi ataupun
tidak.

12
Ibid. jilid 1. hal. 90. Sebagaimana firman-Nya: ‫“( َوإِ ْن ُكْنػتُ ْم ُجنُػبًا فَاطَّ َّهُروا‬...dan jika kalian junub maka
bersucilah...” QS. Al-Ma`idah: 6)
13
As-Sindiy. Hasyiah as-Sindiy ‘ala Sunan Ibn Majah (Kifayatul Hajah fi Syarhi Sunan Ibn Majah).
Beirut. Darul Jil. Jilid 1. Hal. 204.

6
Syaikh al-„Utsaimin ditanya: Apakah mandi ghair masyru‟ itu sudah
mencukupi dari wudlu?
Mandi yang tidak dituntun oleh syariat (ghair masyru‟) tidaklah mencukupi
dari wudlu, karena mandi tersebut bukanlah ibadah.”14
b. Pengertian Mandi dalam Risalah Shalat (Dewan Hisbah PP Persis)

Mandi (al-Guslu) adalah membersihkan seluruh tubuh dengan air untuk


menghilangkan hadats besar atau mandi pada hari Jum‟at bagi orang yang
berkewajiban melaksanakan kewajiban ibadah Jum‟at.15 Adapun Orang yang wajib
mandi untuk menghilangkan hadats besar disebut orang yang junub, mandinya disebut
mandi Janabat.16 Lalu mandi Jum‟at hukumnya wajib bagi orang yang berkewajiban
untuk melaksanakan shalat Jum‟at.17

Dalam Risalah Shalat Dewan Hisbah, persoalan wudlu setelah mandi tidak
dibahas sama sekali. Pembedaan antara mandi biasa dan syar‟i juga tidak ditekankan,
hanya kategori mandi janabat dan jum‟at yang dibahas, yang secara praktik, keduanya
sama saja.

c. Kaifiyat Mandi Janabat

Sebagaimana dijelaskan dalam definisi al-ghuslu secara syara‟, mandi janabat


memiliki cara tertentu ketika dilakukan, tidak asal mencurahkan air begitu saja,
meskipun merata. Tentu, jika kita mengikuti pendapat yang melonggarkan aspek
kaifiyat selama air merata dan disertai niat, maka sudah memenuhi maksud dari
perintah. Tetapi jika kita mengikuti pendapat yang tidak melonggarkan urusan kaifiyat,
dan mengikuti sebagaimana yang dicontohkan, maka tahapan dan batasan dalam
kaifiyatnya tidak bisa dihiraukan.

Kaifiyat mandi janabat Nabi ‫ ﷺ‬bersumber dari „Aisyah dan Maimunah ra., dengan
adanya perbedaan dan keragaman dari masing-masing keduanya. Sebagaimana dapat
dilihat dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy berikut:

‫ َكا َن إِ َذا‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫َن الن‬


َ ‫َّب‬ َّ ‫ أ‬:‫َّب صلّى هللا عليو وسلم‬ ِ ِ
ِّ ‫ َزْو ِج الن‬،ٌَ‫َع ْن َعائ َش‬
‫َصابِ َعوُ ِِف‬ ِ ِ َّ ِ‫ضأُ ل‬ َّ ‫ ُُثَّ يَػتَػ َو‬،‫ بَ َدأَ فَػغَ َس َل يَ َديْ ِو‬،ٌَِ‫ا ْغتَ َس َل ِم َن اْلَنَاب‬
َّ ‫ضأُ َك َما يػَتَػ َو‬
َ ‫ ُُثَّ يُ ْدخ ُل أ‬،‫لصَلَة‬
ِ ِ ٍ َ َ‫ب علَى رأْ ِس ِو ثََل‬ ِ ِ ِ
َ‫يض املَاء‬ ُ ‫ ُُثَّ يُف‬،‫ث غَُرؼ بِيَ َديْو‬ َ َ ُّ ‫ص‬ ُ َ‫ ُُثَّ ي‬،ِ‫ول َش َع ِره‬ َ ‫ُص‬ ُ ‫ فَػيُ َخلّ ُل ِبَا أ‬،‫املَاء‬
.‫َعلَى ِج ْل ِدهِ ُكلِّ ِو‬

14
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. 1998. Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadlilah Syaikh Muhammad
bin Shalih al-‘Utsaimin. Dar at-Tsaraya. Jilid 11. Hal. 228.
15
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam. 2005. Risalah Shalat. Bandung. Risalah Press. ed. A. Zakaria.
Hal. 17.
16
Ibid. hal. 18.
17
Ibid. hal. 20.

7
Dari 'Aisyah istri Nabi ‫ﷺ‬, “bahwa jika Nabi ‫ ﷺ‬mandi karena janabat, beliau
memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian berwudlu
sebagaimana wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya ke dalam air
lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas
kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian
beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. al-Bukhariy, no. 248)18

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ َِّ ‫ول‬ ِ


َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ضأَ َر ُس‬َّ ‫ تَػ َو‬:‫ت‬ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْيو َو َسلَّ َم قَال‬ َ ‫َّب‬ ِ
ِّ ‫َع ْن َمْي ُمونٌََ َزْو ِج الن‬
َّ‫ ُُث‬،َ‫اض َعلَْي ِو املاء‬ َ َ‫ ُُثَّ أَف‬،‫َصابَوُ ِم َن اْلَ َذى‬َ َّ ِ‫ضوءهُ ل‬
‫ َو َغ َس َل فَػ ْر َجوُ َوَما أ‬،‫ َغْيػَر ِر ْجلَْي ِو‬،ِ‫لصَلَة‬ ُ ‫ُو‬
َ
‫ رواه البخاري‬.ٌَِ‫ َى ِذهِ غُ ْسلُوُ ِم َن اْلَنَاب‬،‫ فَػغَ َسلَ ُه َما‬،‫َنََّى ِر ْجلَْي ِو‬
Dari Ibnu 'Abbas dari Maimunah istri Nabi ‫ﷺ‬, ia berkata, “Nabi ‫ ﷺ‬berwudlu
sebagaimana wudlunya untuk shalat, kecuali kedua kakinya. Beliau lalu mencuci
kemaluan dan apa yang terkena kotoran (mani), kemudian menyiramkan air ke
atasnya, kemudian mengakhirinya dengan menyela dan mencuci kedua kakinya.
Itulah cara beliau mandi dari janabat.” (HR. al-Bukhariy, no. 249)19
Sementara dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan dalam redaksi hadits
„Aisyah dari redaksi al-Bukhariy, yaitu mencuci kemaluan. Sedangkan dalam riwayat al-
Bukhariy mencuci kemaluan ada pada hadits Maimunah. Kemudian dalam redaksi
Muslim pada hadits maimunah juga ada tambahan dari al-Bukhariy yaitu mencurahkan
air ke kepala tiga kali. Sebagaimana hadits-hadits berikut:

ُ‫اْلَنَابٌَِ يَػْب َدأ‬


ْ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم إِ َذا ا ْغتَ َس َل ِم َن‬ ِ ُ ‫ َكا َن رس‬:‫ قَالَت‬،ٌَ‫عن عائِش‬
َ ‫ول هللا‬ َُ ْ َ َ َْ
َّ‫ ُُث‬.ِ‫لص ََلة‬َّ ِ‫ضوءَهُ ل‬
ُ ‫ضأُ ُو‬ َّ ‫ ُُثَّ يػَتَػ َو‬.ُ‫ ُُثَّ يػُ ْف ِرغُ بِيَ ِمينِ ِو َعلَى ِِشَالِِو فَػيَػ ْغ ِس ُل فَػ ْر َجو‬.‫فَػيَػ ْغ ِس ُل يَ َديْ ِو‬
ِ ‫َيْخ ُذ الْماء فَػي ْد ِخل أَصابِعو ِِف أُص‬
ْ ‫ َح ََّّت إِذَا َرأَى أَ ْن قَ ْد‬.‫َّع ِر‬
‫استَػْبػَرأَ َح َف َن َعلَى‬ ْ ‫ول الش‬ ُ َُ َ ُ ُ َ َ ُ َ
.‫ ُُثَّ َغ َس َل ِر ْجلَْي ِو‬.ِ‫اض َعلَى َسائِِر َج َس ِده‬ ٍ
َ َ‫ ُُثَّ أَف‬.‫ث َح َفنَات‬ َ ‫َرأْ ِس ِو ثَََل‬
Dari „Aisyah ra. dia berkata, "Adalah Rasulullah ‫ ﷺ‬apabila mandi karena junub,
maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan, lalu menuangkan air
dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan dan
berwudlu dengan wudlu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil
memasukkan jari ke pangkal rambut sehingga rata. Hingga ketika selesai, beliau
membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh seluruh tubuh dan
akhirnya membasuh kedua kaki.” (HR. Muslim, no. 316)

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو‬ ِ ِ ِ ‫ أَدنَػي‬:‫ قَالَت‬،ٌَُ‫ ح َّدثػَْت ِِن خالَِِت ميمون‬:‫ قَ َال‬،‫اس‬ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
َ ‫ت لَر ُسول هللا‬ ُْْ ْ ُ َْ َ َ
‫غ بِِو‬ َ ‫ ُُثَّ أَفْػَر‬،‫اإل ًَن ِء‬ ِ ْ ‫ فَػغَسل َكفَّْي ِو َمَّرتَػ‬،ٌَِ‫اْلَنَاب‬
ِْ ‫ ُُثَّ أ َْد َخل يَ َدهُ ِِف‬،‫ْي أ َْو ثَََل ًًث‬
َ ََ ْ ‫َو َسلَّ َم غُ ْسلَوُ ِم َن‬

18
Al-Bukhariy. 1422 H. Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi (Shahih al-Bukhariy). Beirut. Dar Thauq an-Najah.
Jilid 1. Hal. 59.
19
Ibid. hal. 59.

8
َ‫ضأ‬ ً ‫ فَ َدلَ َك َها َدلْ ًكا َش ِد‬،‫ض‬
َّ ‫ ُُثَّ تَػ َو‬،‫يدا‬ ِِ ِ ‫ ُُثَّ ضر‬،‫ و َغسلَو بِ ِشمالِِو‬،‫علَى فَػرِج ِو‬
َ ‫ب بِش َمالو ْاْل َْر‬ َ ََ َ َُ َ ْ َ
َّ‫ ُُث‬،ِ‫ ُُثَّ َغ َس َل َسائَِر َج َس ِده‬،‫ات ِم ْلءَ َك ِّف ِو‬ ٍ َ‫ث ح َفن‬ ِِ
َ َ ‫غ َعلَى َرأْسو ثَََل‬ َّ ِ‫ضوءَهُ ل‬
َ ‫ ُُثَّ أَفْػَر‬،ِ‫لص ََلة‬ ُ ‫ُو‬
.ُ‫ ُُثَّ أَتَػْيػتُوُ ِِبلْ ِمْن ِد ِيل فَػَرَّده‬،‫ فَػغَ َس َل ِر ْجلَْي ِو‬،‫ك‬ ِ
َ ‫تَػنَ َُّى َع ْن َم َق ِام ِو َذل‬
Dari Maimunah ra, istri Nabi ‫ ﷺ‬dia berkata, "Saya pernah berada di dekat
Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika beliau mandi junub. Beliau membasuh dua telapak tangannya
sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam
bejana (untuk mengambil air), lalu beliau menuangkan ke kemaluannya dan
membersihkannya dengan tangan kirinya, kemudian beliau menyentuhkan tangan
kirinya ke tanah dan menggosoknya berkali-kali, lalu berwudhu seperti wudhu
untuk shalat. Beliau menuangkan air ke atas kepalanya tiga kali cidukan. Masing-
masing cidukan sepenuh kedua telapak tangannya. Lalu beliau membasuh seluruh
tubuhnya dan bergeser dari tempatnya, kemudian membasuh kedua kakinya. Lalu
saya memberinya handuk, namun beliau menolaknya."
Persoalan redaksi hadits yang beragam, kemudian diakomodir dengan upaya
penggabungan kaifiyat dari „Aisyah dan Maimunah ra. Sehingga kaifiyat mandi janabat
adalah sebagai berikut: 1) Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali, 2) Mencuci
kemaluan dan kotoran disekitarnya, 3) Mencuci tangan setelah membersihkan
kemaluan (dengan tanah atau sabun), 4) Berwudlu seperti untuk shalat, 5) menyela-
nyela pangkal rambut, 6) menguyurkan air ke kepala tiga kali, 7) mengguyurkan air ke
seluruh tubuh, 8) Mencuci kedua kaki.

C. Hadits-Hadits Nabi ‫ ﷺ‬Tidak Wudlu Setelah Mandi Untuk Shalat


1. Hadits dengan Redaksi Muthlaq (Ikhtishar)

ٌَ‫ َع ْن َعائِ َش‬،‫َس َوِد‬


ْ ‫ َع ِن ْاْل‬،‫اؽ‬ َ َُ ‫ َع ْن أَِيب إِ ْس‬،‫يك‬ ٌ ‫ َح َّدثَػنَا َش ِر‬:‫َس َوُد بْ ُن َع ِام ٍر قَ َال‬
ْ ‫َح َّدثَػنَا أ‬
َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ََل يَػتَػ َو‬
.‫ضأُ بػَ ْع َد الْغُ ْس ِل‬ ِ ُ ‫ َكا َن رس‬:‫قَالَت‬
َ ‫ول هللا‬ َُ ْ
Dari al-Aswad, dari Aisyah ra., ia berkata: "Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berwudlu sesudah
mandi." (HR. Ahmad, dalam Musnad, Musnad an-Nisa`: Musnad ash-Shidiqah
„Aisyah binti ash-Shidiq radliallahu „anha, no. 24389. Hadits hasan bi-thuruqihi
menurut Al-Arna`uth dkk)20

Hadits ini diriwayatkan juga oleh at-Tirmidziy dalam Sunan at-Tirmidziy, bab fil
wudlu ba‟dal gusli nomor hadits 10721 dan an-Nasa`iy dalam Sunan an-Nasa`iy, bab
tarkil wudlu min ba‟dil gusli nomor hadits 25222. At-Tirmidziy berkata hadits ini hasan

20
Ahmad bin Hanbal. 2001. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut. Mu`asasah ar-Risalah. Jilid
40. Hal. 454.
21
At-Tirmidziy. 1975. Sunan at-Tirmidziy. Mesir. Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-
Babiy al-Halabiy. Jilid. 1. Hal. 179.
22
An-Nasa`iy. 1986. Sunan an-Nasa`iy (al-Mujtaba minas Sunan atau Sunan ash-Shugra). Halb.
Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah. Jillid 1. Hal. 137.

9
shahih, dan pernyataan “Bahwa Nabi tidak wudlu setelah mandi” ini, bukan dari satu
sahabat dan tabi‟in saja. Syaikh Albaniy menilai hadits ini shahih.

2. Hadits dengan Redaksi Muqayyad

َِّ ‫ول‬ ِ ِ ‫ ع ِن ْاْل‬،‫اؽ‬


‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ َكا َن َر ُس‬:‫ت‬
ْ َ‫ قَال‬،ٌَ‫ َع ْن َعائ َش‬،‫َس َود‬ ْ َ َ َُ ‫ َع ْن أَِيب إِ ْس‬،‫يك‬ ٌ ‫َح َّدثَػنَا َش ِر‬
.ٌَِ‫اْلَنَاب‬
ْ ‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل ِم َن‬
َّ ‫هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ََل يَػتَػ َو‬
Dari al-Aswad, dari Aisyah ra., ia berkata: "Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berwudlu sesudah
mandi karena junub." (HR. Ibnu Abi Syaibah, dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah,
Kitab Thaharah: fil Wudlu ba‟dal Ghusli minal Janabah, no. 744)23

،‫ي‬ ُّ ‫الس ِّد‬


ُّ ‫وسى‬ َ ‫يل بْ ُن ُم‬
ِ ِ ِِ َِّ ‫ وعب ُد‬،ٌَ‫ح َّدثػَنَا أَبو ب ْك ِر بن أَِيب َشيػب‬
ُ ‫ َوإ َْسَاع‬،َ‫اَّلل بْ ُن َعامر بْ ِن ُزَر َارة‬ َْ َ َ ْ ُْ َ ُ َ
ِ‫اَّلل‬ ِ ِ ‫ ع ِن ْاْل‬،‫اؽ‬
َّ ‫ول‬ ُ ‫ َكا َن َر ُس‬:‫ت‬ْ َ‫ قَال‬،ٌَ‫ َع ْن َعائ َش‬،‫َس َود‬ ْ َ َ َُ ‫ َع ْن أَِيب إِ ْس‬،‫يك‬ ٌ ‫ َح َّدثَػنَا َش ِر‬:‫قَالُوا‬
.ٌَِ‫اْلَنَاب‬
ْ ‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل ِم َن‬
َّ ‫ ََل يَػتَػ َو‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬
َ
Dari al-Aswad, dari Aisyah ra., ia berkata: "Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berwudlu sesudah
mandi karena junub." (HR. Ibnu Majah, dalam Sunan Ibn Majah, Kitab Thaharah
wa Sunannuha: Bab fil Wudlu ba‟dal Ghusli, no: 579. Hadits ini shahih menurut
Albaniy)24
3. Hadits dengan Redaksi dan Sumber Lain (I’tibar)

‫َس َوِد‬ َ َُ ‫ َح َّدثَػنَا أَبُو إِ ْس‬:‫ قَ َال‬،‫ َح َّدثَػنَا ُزَىْيػٌر‬:‫ قَ َال‬،‫ك‬ ِ ِ‫َْحَ ُد بن َعب ِد الْمل‬
ْ ‫ َع ْن ْاْل‬،‫اؽ‬ َ ْ ُ ْ ْ ‫َح َّدثَػنَا أ‬
ِ ْ ‫الرْك َعتَػ‬ ِ ‫ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم َكا َن يػ ْغت ِسل وي‬ َّ ‫ أ‬،ٌَ‫ َع ْن َعائِ َش‬،‫يد‬
،‫ْي‬ َّ ‫صلّي‬
َ َُ ُ َ َ َ ََ َْ ُ َ َ ‫َن َر ُس‬ َ ‫بْ ِن يَِز‬
.‫ضوءًا بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل‬ ِ
ُ ‫ث ُو‬
ُ ‫ََل أ َُراهُ َُْيد‬
‫ول‬ َّ ‫ أ‬:ٌَ‫ َع ْن َعائِ َش‬،‫َس َوِد‬
َ ‫َن َر ُس‬ ْ ‫ َع ِن ْاْل‬،‫اؽ‬ َ َُ ‫ َع ْن أَِيب إِ ْس‬،‫ َح َّدثػَنَا ُزَىْيػٌر‬،‫آد َم‬
َ ‫َح َّدثػَنَا ََْي ََي بْ ُن‬
ِ ِ ‫هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم َكا َن يػ ْغت ِسل وي‬
ُ ‫ ََل أ ََراهُ َُْيد‬،ِ‫ص ََلةَ الْغَ َداة‬
‫ث‬ َ ‫ْي َو‬ ِ ْ ‫الرْك َعتَػ‬
َّ ‫صلّي‬ َ َُ ُ َ َ َ ََ َْ ُ َ
.‫ضوءًا بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل‬
ُ ‫ُو‬
Dari al-Aswad bin Yazid, dari Aisyah ra., ia berkata: "Bahwasannya Rasulullah ‫ﷺ‬
mandi dan shalat dua rakaat (dalam riwayat kedua ada tambahan: dan shalat
ghadah, yaitu shubuh25), dan aku tidak melihatnya memperbaharui wudlu sesudah
mandi." (HR. Ahmad, dalam Musnad, Musnad an-Nisa`: Musnad ash-Shidiqah
„Aisyah binti ash-Shidiq radliallahu „anha, no. 24878 dan 25205. Kedau hadits itu
hasan bi-thuruqihi menurut Al-Arna`uth dkk)26

23
Ibnu Abi Syaibah. 1409 H. Mushannaf Ibn Abi Syaibah (Al-Kitab al-Mushannaf fil Ahadits wal Atsar).
Riyadl. Maktabah ar-Rusyd. Jilid 1. Hal. 69.
24
Ibnu Majah. Sunan Ibn Majah. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Jilid 1. Hal. 191.
25
Lihat, An-Nawawiy. 1392. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajaj. Beirut. Dar Ihya at-Turat al-
Arabiy. Jilid 12. Hal 163.
26
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Jilid 41. Hal. 317 & jilid 42. Hal. 115.

10
Hadits no. 25205 diriwayatkan juga oleh Abu Daud, dalam bab fil wudlu ba‟dal
gusli, nomor hadits 250 dan dinilai shahih oleh Syaikh Albaniy. 27

ٍ ‫ َع ْن غُنَػْي ِم بْ ِن قَػْي‬،‫َح َوِل‬ ِ


‫ َع ِن‬،‫س‬ ْ ‫ َع ْن َعاص ٍم ْاْل‬،ٌََ‫ َح َّدثػَنَا أَبُو ُم َعا ِوي‬:‫َح َّدثػَنَا أَبُو بَ ْك ٍر قَ َال‬
.‫َع ُّم ِم َن الْغُ ْس ِل‬ ٍ ‫َي و‬ ِ ‫ سئِل ع ِن الْو‬،‫اب ِن عمر‬
ُ َ ُّ ‫ َوأ‬:‫ فَػ َق َال‬،‫ضوء بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل‬
َ ‫ضوء أ‬ ُ ُ َ َ ُ ََ ُ ْ
Dari Ibnu „Umar ra., ia ditanya ditentang wudlu sesudah mandi, sabdanya: Wudlu
mana yang lebih rata dari pada mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf
Ibn Abi Syaibah, Kitab Thaharah: fil Wudlu ba‟dal Ghusli minal Janabah, no. 743)28
Hadits di atas ada yang diiriwayatkan secara mauquf ke Ibnu „Umar, dan ada juga
yang secara marfu‟ ke Nabi, seperti riwayat berikut:
ِ ‫َن النَِّب صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم سئِل ع ِن الْوض‬
،‫وء بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل‬ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ َّ ‫ أ‬،‫ َع ِن ابْ ِن عُ َمَر‬،‫عن ًنفع‬...
‫ض ُل ِم َن الْغُ ْس ِل؟‬ ٍ ‫َي و‬
َ ْ‫ضوء أَف‬
ُ ُ ُّ ‫ َوأ‬:‫فَػ َق َال‬
Hadits yang dimarfukan ini diriwayatkan oleh Ath-Thabraniy dan Al-Hakim dari
jalur Nafi‟, lalu Ibnu „Umar.29
Ada juga hadits ini yang menggunakan redaksi tambahan dan taqyid yaitu mandi
junub, seperti riwayat-riwayat berikut:

َّ‫ ُُث‬،‫ َكا َن أَِيب يَػ ْغتَ ِس ُل‬:‫ َع ْن َس ٍِاَل قَ َال‬،‫ي‬


ِّ ‫الزْى ِر‬
ُّ ‫ َع ِن‬،‫َخبَػَرًَن َم ْع َمٌر‬ ِ َّ ‫أَخبػرًَن عب ُد‬
ْ ‫ أ‬:‫الرزَّاؽ قَ َال‬ َْ َ َ ْ
ٍ ‫َي وض‬
‫وء أ َََتُّ ِم َن‬ ِ ٍ ‫َي و‬
ُ ُ ُّ ‫ َوأ‬:‫ضوء أ َََتُّ م َن الْغُ ْس ِل؟ قَ َال‬ ُ ُ ُّ ‫ َوأ‬،‫يك الْغُ ْس ُل‬ َ ‫ أ ََما ُُْي ِز‬:‫ول‬
ُ ُ‫ضأُ فَأَق‬
َّ ‫يَػتَػ َو‬
ِ ِ َّ ‫ِل أَنَّو ََيْرج ِمن ذَ َك ِري الشَّيء فَأَم ُّسو فَأَتَػو‬ ِ ِ ِ ُ‫الْغُس ِل لِْلجن‬
.‫ك‬َ ‫ضأُ ل َذل‬ َ ُ َ ُْ ْ ُ ُ ُ ََّ ‫ َولَكنَّوُ َُيَيَّ ُل إ‬،‫ب‬ ُ ْ
Dari Salim, ia berkata: “Ayahku (Ibnu „Umar) mandi, lalu ia berwudlu, maka aku
bertanya kepadanya : „bukankah mencukupimu untuk mandi, apakah wudhu lebih
sempurna dari mandi?‟, maka Ibnu Umar ra. menjawab : “Wudlu apa yang lebih
sempurna dari mandi junub?, namun aku terbayang bahwa telah keluar sesuatu
dari kemaluanku, maka aku merabanya, sehingga aku berwudlu kerena hal
tersebut.” (HR. Abdurrazaq ash-Shan‟aniy dalam al-Mushannaf, bab wudlu ba‟dal
ghusli, no. 1038)30

،‫ص ٍر‬ْ َ‫ أًن َس ْع َدا ُن بْ ُن ن‬،‫َّار‬ َّ ‫يل بْ ُن ُُمَ َّم ٍد‬


ُ ‫الصف‬
ِ ِ ِ
ُ ‫ أنبأ إ َْسَاع‬،‫اْلَ َس ِن أَ ْْحَ ُد بْ ُن ب ْشَرا َن‬
ْ ‫َخبَػَرًَن أَبُو‬
ْ‫أ‬
‫ أَنَّوُ َكا َن‬،‫ َع ْن أَبِ ِيو‬،‫ َع ْن َس ِاَل بْ ِن َعْب ِد هللاِ بْ ِن عُ َمَر‬،‫ي‬
ِّ ‫الزْى ِر‬
ُّ ‫ َع ِن‬،ٌََ‫ثنا ُس ْفيَا ُن بْ ُن عُيَػْيػن‬
.‫ب الْ َف ْر ُج‬ ِ ‫وء أ َََتُّ ِمن الْغُس ِل إِذَا‬ ٍ ‫َي وض‬
َ ‫اجتُن‬
ْ ْ َ ُ ُ ُّ ‫ َوأ‬:‫ول‬ ُ ‫يَػ ُق‬
27
Abu Daud as-Sijistaniy. Sunan Abi Daud. Beirut. Al-Maktabah al-Ashriyah. Jilid 1. Hal. 65.
28
Ibnu Abi Syaibah. Mushannaf Ibn Abi Syaibah. Jilid 1. Hal. 69
29
Ath-Thabraniy. Al-Mu’jam al-Kabir. Kairo. Maktabah Ibn Taimiyah. Jilid 12. Hal. 371. No.hadits:
13377; Al-Hakim. 1990. Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Jilid 1. Hal.
255. No. hadits: 548.
30
Abdurrazaq ash-Shan’aniy. 1403 H. Al-Mushannaf (Mushannaf Abddirrazaq). Beirut. Al-Maktab Al-
Islamiy. Jilid 1. Hal. 270.

11
Dari Salim bin „Abdillah bin „Umar dari ayahnya (Ibnu „Umar), ia berkata: “Wudlu
mana yang lebih rata dari pada mandi apabila farji (kemaluan) junub?” (HR. Al-
Baihaqiy dalam Sunan al-Kubra, bab dalil „ala dukhulil wudlu` fil ghusli wa suquthi
fardlil madlmadlah waal istinsyaq, no. 844)31
Riwayat lain yang sering digunakan untuk dasar tidak berwudlu setelah mandi
ialah pernyataan Ibnu „Umar bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang berlebihan.
Riwayat ini pun disampaikan secara muthlaq dan muqayyad dalam dua hadits berikut:

:‫اْلَ ِّي َِلبْ ِن عُ َمَر‬


ْ ‫ قَ َال َر ُج ٌل ِم َن‬:‫ قَ َال‬،‫اؽ‬
َ َُ ‫ َع ْن أَِيب إِ ْس‬،‫ َع ْن َس ََّلٍم‬،‫ص‬ ِ ‫َح َو‬ْ ‫َح َّدثَػنَا أَبُو ْاْل‬
َّ ‫إِِّّن أَتَػ َو‬
.‫ لََق ْد تَػ َع َّم ْقت‬:‫ قَ َال‬،‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل‬
Dari Abu Ishaq telah berkata seorang laki-laki kepada Ibnu Umar: Sesungguhnya
saya berwudlu sesudah mandi. Maka Ibnu Umar berkata: Engkau sungguh telah
berlebihan. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Kitab
Thaharah: fil Wudlu ba‟dal Ghusli minal Janabah, no. 745)32

ِ ٍ ِ َّ ‫عب ُد‬
:‫ت ابْ َن عُ َمَر قَ َال‬ُ ْ‫ َسأَل‬:‫ َع ْن َر ُج ٍل م ْن أَ ْش َج َع قَ َال‬،‫ َع ْن ُمطَِّرؼ‬،‫ي‬ ِّ ‫ َع ِن الثػ َّْوِر‬،‫الرزَّاؽ‬ َْ
.‫ت ََي َعْب َد أَ ْش َج َع‬ ِ ْ ‫ الْوضوء ِمن الْغُس ِل بػع َد‬:‫قُػ ْلت‬
َ ‫ لََق ْد تَػ َع َّم ْق‬:‫ فَػ َق َال‬،ٌَ‫اْلَنَاب‬ َْ ْ َ ُ ُ ُ ُ
Dari Mutharrif, dari seorang laki-laki Asyja‟, ia berkata: aku bertanya kepada Ibnu
Umar: Sesungguhnya saya berwudlu sesudah mandi jaanabah. Maka Ibnu Umar
berkata: Engkau sungguh telah berlebihan, wahai „Abda Asyja‟. HR. Abdurrazaq
ash-Shan‟aniy dalam al-Mushannaf, bab wudlu ba‟dal ghusli, no. 1041)33
4. Mafhum al-Ahadits

Pertama, hadits-hadits tentang Nabi ‫ ﷺ‬tidak memperbaharui berwudlu setelah


mandi (janabah) untuk shalat semuanya bersumber dari shahabat „Aisyah dari al-Aswad
bin Yazid, dari Abu Ishaq as-Sabi‟iy al-Hamadzaniy baik itu yang redaksinya muthlaq,
muqayyad, dan dengan tambahan „shalat ghadah (shubuh)‟. Artinya konteks hadits ini
sama, sekalipun redaksinya berbeda.

Kedua, dari sekian banyak hadits tentang wudlu setelah mandi, mandi tersebut
adalah konteks mandi janabah. Hal ini diperkuat dengan adanya taqyid „gusl minal
janabah‟ terhadap hadits yang disampaikan secara ringkas yang menyebut kata al-gusl
(mandi) saja dan penempatan hadits-hadits tersebut, baik yang muthlaq dan muqayyad
yang berada dalam bab wudlu setelah mandi janabat juga ada yang ringkas menyebut
bab wudlu setelah mandi. Perkataan yang muthlaq itu harus dibawa kepada yang
muqayyad (hamlul muthlaq „alal muqayyad)34, karena kemuthlaqan dalam hadits ini ada
taqyidnya dan juga dalam konteks ikhtishar. Sebagaimana diterangkan oleh as-

31
Al-Baihaqiy. 2003. Sunan al-Kubra. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Jilid 1. Hal. 275.
32
Ibnu Abi Syaibah. Mushannaf Ibn Abi Syaibah. Jilid 1. Hal. 69
33
Abdurrazaq ash-Shan’aniy. Mushannaf Abddirrazaq. Jilid 1. Hal. 271.
34
‫( إذا ورد ما يدل على تقييد المطلق وجب حمل المطلق على المقيد‬Apabila ada yang menunjukkan kepada taqyidul
muthlaq, maka yang muthlaq harus dibawa kepada yang muqayyad) lihat, ‘Iyadl as-Sulamiy. 2005. Ushul
Fiqh alladzi la Yasa’ al-Faqih Jahlahu. Riyadl. Dar at-Tadmuriyah. Hal. 368.

12
Suyuthiy terkait perkataan yang muthlaq, bahwa termasuk kebiasaan bangsa Arab
untuk mengatakan yang muthlaq, karena cukup dengan adanya perkataan lain yang
muqayyad dan untuk meringkas serta menyingkat pembicaraan (ijaz wal ikhtishar).35

Demikian juga dengan riwayat lain yang menyampaikan redaksi berbeda dari
sahabat selain „Aisyah ra., yaitu riwayat, mandi itu lebih umum atau utama dari wudlu,
dan riwayat, yang bebrwudlu stelah mandi telah berlebih-lebihan. Kedua riwayat ini
juga muthlaq dan taqyidnya adalah mandi janabat.

Ketiga, adanya redaksi lain yang mengungkap Nabi ‫ ﷺ‬mandi dan shalat shubuh
menjadi tanda tanya, apakah itu merupakan tambahan (ziyadah atau idraj) dari rawi
atau merupakan redaksi asli, sedangkan redaksi yang muthlaq dan muqayyad adalah
redaksi bil ma‟na, karena secara mafhum, bahwa mandi yang dilakukan sebelum
melaksanakan shalat pada waktu shubuh tentunya, tidak lain tidak bukan adalah mandi
janabah.

D. Analisis Istidlal-Istinbath Hukum Wudlu Setelah Mandi Untuk Shalat

a. Pendapat Ahmad Hassan

Dalam Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, A. Hassan menjawab dua


pertanyaan, yaitu:

Pertama, Soal: Wajibkah berwudlu sesudah mandi junub?

Jawab: Di Pembela Islam 37 : 39 dan 48 : 36, seudah kami terangkan beberapa


riwayat dari shahabat-shahabat Nabi:
1) „Aisyah berkata: Rasulullah saw tidak berwudlu sesudah mandi.
2) Waktu ada orang bertanya tentang berwudlu sesudah mandi, Rasulullah
berkata: Manakah wudlu yang lebih rata dari pada mandi?
3) Ketika ada orang khabarkan bahwa ia berwudlu sesudah mandi, Ibnu
Umar berkata: Sesungguhnya engkau melebih-lebihi.
4) Hudzaifah (seorang shahabat) berkata: Apakah karena tidak cukup dengan
mandi membasahkan dari atas kepala sampai kaki, maka kamu mau
berwudlu lagi?
Oleh sebab mandi tersebut di riwayat-riwayat itu, tidak membedakan antara
mandi junub dan mandi biasa, mka perlu kita umumkan, yaitu walaupun habis
mandi biasa, tidak perlu kita berwudlu lagi.
Kedua, Soal: Sesudah mandi, perlukah wudlu lagi?

Jawab: (lihat P.I. 37 : 39) telah berkata „Aisyah:

َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ََل يَػتَػ َو‬


.‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل‬ ِ ُ ‫َكا َن رس‬
َ ‫ول هللا‬ َُ

35
As-Suyuthiy. 1974. Al-Itqan fi Ulumil Qur`an. al-Hai`ah al-Mishriyah al-‘Amah lil Kitab. Jilid 3. Hal.
103.

13
Artinya: Adalah "Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berwudlu sesudah mandi." (HR. at-Tirmidziy
dan lainnya)
Telah berkata Ibnu Umar:
ٍ ‫َي وض‬
‫وء أَ َع ُّم ِم َن الغُ ْس ِل؟‬ ِ ‫لَ َّما سئِل النِّب ﷺ ع ِن الْغس ِل بػعد الْو‬
ُ ُ ُّ ‫ أ‬:‫ضوء قَ َال‬
ُ ُ َ َْ ْ ُ َ ُّ َ ُ
36

Artinya: Tatkala (ditanya akan Nabi ‫ )ﷺ‬tentang wudlu sesudah mandi, sabdanya:
Manakah wudlu yang lebih rata dari pada mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

َّ ‫ إِِّّن أَتَػ َو‬:‫قَ َال َر ُج ٌل ِإل بْ ِن عُ َمَر‬


َ ‫ لََق ْد تَػ َع َّم ْق‬:‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل فَػ َق َال‬
.‫ت‬
Artinya; telah berkata seorang laki-laki kepada Ibnu Umar: Sesungguhnya saya
berwudlu sesudah mandi. Maka kata Ibnu Umar: Sesungguhnya engkau melebih-
lebihi. (Naulul Authar)

َّ ‫َح َد ُك ْم أَ ْن يَػ ْغ ِس َل ِم ْن قَػ ْرنِِو َإَل قَ َد َمْي ِو َح ََّّت يَػتَػ َو‬


‫ضأَ؟‬ ِ
َ ‫ أ ََما يَكْفي أ‬:ٌ‫قَ َال ُح َذيْػ َف‬
Artinya: Telah berkata Hudzaifah : Apakah karena tidak cukup seorang dari pada
kamu mandi dari atas kepalanya hingga kakinya, dengan tidak berwudlu lagi?
(Naulul Authar)
Hadits dan riwayat-riwayat yang tersebut itu, dengan terang menunjukkan,
bahwa sesudah mandi tak perlu wudlu lagi.
Tetapi perkataan mandi yang tersebut di keterangan-keterangan itu boleh
dipahami mandi janabat, dan boleh juga sembarang mandi, karena riwayat-
riwayat dan hadits itu tidak menyebut mandi „janabat‟.
Menurut Kaidah bahwa perkataan yang umum (atau muthlaq) itu perlu
dipakai atas umumnya (atau ithlaqnya) selama tidak ada keterangan yang
membatasi keumumannya (atau ithlaqnya).
Jadi, pada pendapat saya, sesudah mandi, tidak perlu kita berwudlu lagi
untuk shalat.37
b. Pendapat KH. Aceng Zakariya

Dalam al-Hidayah, KH. Aceng Zakaria menulis tentang pembahasan „tidak mesti
wudlu setelah mandi‟ dengan mengajukan dua argumen yang pro dan kontra, lalu
menyajikan kesimpulannya, sebagai berikut:

Pertama, alasan orang yang menyatakan wajib wudlu setelah mandi:

ِ ‫ ََل تُػ ْقبل ص ََلةُ أ‬:‫ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم‬
‫ث‬ ْ ‫َحد ُك ْم إِذَا أ‬
َ ‫َح َد‬ َ َ َُ َ ََ َْ ُ َ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬،َ‫عن أ َُيب ُىَريْػَرة‬
.َ‫ضأ‬ َّ ‫َح ََّّت يَػتَػ َو‬
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Tidak akan diterima shhalat
seseorang di antara kalian apabila berhadats hingga ia berwudlu.” (HR. Muslim)

36
Teks hadits yang dikutip ini terbalik.
37
Ahmad Hassan, dkk. 1988. Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung. CV
Dipenegoro. Jilid 1. Hal. 413-414.

14
ِ َّ‫ال ِِبلنِّي‬
...‫ات‬ ُ ‫اْلعم‬
َ ‫إَّنَا‬: ‫قال رسول هللا ﷺ‬
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya...” (HR.
Al-Bukhariy)

.ً‫ضوء‬
ُ ‫ض ْوءُ غُ ْسَلً َوَلَ الغُ ْس ُل ُو‬
ُ ‫الو‬
ُ ‫س‬ َ ‫َو ْلي‬
Sedangkan wudlu itu bukan mandi dan mandi itu bukan wudlu.
Kedua, alasan orang yang menyatakan tidak wajib wudlu setelah mandi:

َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ََل يَػتَػ َو‬


.‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل‬ ِ ُ ‫ َكا َن رس‬:‫عن عائِشٌَ قَالَت‬
َ ‫ول هللا‬ َُ ْ َ َ َْ
Dari Aisyah ra., ia berkata: "Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berwudlu sesudah mandi." (HR. at-
Tirmidziy)
ٍ ‫َي وض‬ ِ ‫ع ِن بن عمر أَنَّو قَ َال لَ َّما سئِل ع ِن الْو‬
.‫وء أعم من الغسل‬ ُ ُ ُّ ‫ضوء بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل َوأ‬
ُُ َ َ ُ ُ ََ ُ َ
Dari Ibnu „Umar, sesungguhnya ia mengatakan ketika Nabi ditanya tentang wudlu
setelah mandi. Beliau menjawab: “wudlu yang mana yang lebih rata daripada
mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

.‫ت‬ َّ ‫ضا أَنَّوُ قَ َال لَِر ُج ٍل قَ َال لَوُ إِِّّن أَتَػ َو‬
َ ‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل فَػ َق َال لََق ْد تَػ َع َّم ْق‬ ً ْ‫وروى بن أَِيب َشْيػبٌََ أَي‬
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan, sesungguhnya Nabi38 telah mengatakan
kepada seseorang yang bertanya kepadanya: “Sesungguhnya aku suka wudlu
setelah mandi.” Maka Nabi mengatakan: “Sesungguhnya kau berlebih-lebihan.”
(Aunul Ma‟bud)

‫ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل ِم َن‬


َّ ‫ ََل يَػتَػ َو‬:‫َو َسلَّ َم‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو‬ َِّ ‫ول‬ ِ
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ َكا َن َر ُس‬:‫ت‬
ْ َ‫ قَال‬،ٌَ‫َع ْن َعائ َش‬
.ٌَِ‫اْلَنَاب‬
ْ
Dari Aisyah ra., ia berkata: "Adalah Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berwudlu lagi setelah mandi
junub." (HR. Ibnu Majah)
ِ ِ ‫اعيل بن موسى‬
ِ ِ ِِ ِ ِ
ٌ ‫ضعِْي‬
.‫ف‬ َ ‫السدى َوُى َو‬
ّ َ ُ ُ ْ ُ ْ َ‫ِف إ ْسنَاده إ َْس‬
Pada sanadnya terdapat rawi bernama Isma‟il bin Musa as-Siddiy, dia itu dlaif.

ٌِ ‫اع‬ ِ ‫ضأْ فَأَ ْكمل الْغسل أَجزأَه ِمن وض‬ َّ ‫ َولَ ْو بَ َدأَ فَا ْغتَ َس َل َوََلْ يَػتَػ َو‬: ‫قَ َال الشَّافِعِي‬
َ ‫الس‬
َّ ‫وء‬ ُ ُ ْ ُ َْ َ ْ ُ َ َ
ِ ‫ والطَّهارةُ ِِبلْغس ِل أَ ْكثػر ِمْنػها ِِبلْوض‬.ِ‫لص ََلة‬
.‫وء أ َْو ِمثْػلُ َها‬ ِ
ُ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َّ ‫ل‬
Menurut Imam asy-Syafi‟iy, kalaulah seseorang memulai mandi dan ttidak
berwudlu lagi lalu menyempurnakan mandinya, maka hal itu cukup sebagai

38
Dalam terjemah al-Hidayah, hadits ini dimarfukan kepada Nabi, padahal dalam riwayat Ibnu Abi
Syaibah ini merupakan perkataan Ibnu ‘Umar (mauquf):
.‫ت‬
ُ ‫ لَ َق ْد تَػ َع َّم ْق‬:‫ال‬ َّ ‫ إِِّّن أَتَػ َو‬:‫اْلَ ِّي َِلبْ ِن عُ َمَر‬
َ َ‫ ق‬،‫ضأُ بػَ ْع َد الْغُ ْس ِل‬ ْ ‫ال َر ُج ٌل ِم َن‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َُ ‫َع ْن أَِيب إِ ْس‬
َ َ‫ ق‬،‫اؽ‬

15
wudlu untuk shalat dan bersuci dengan mandi itu lebih sempurna daripada
wudlu. (Al-Umm)

Kesimpulan:

Mandi itu cukup sebagai pengganti wudlu untuk shalat, baik itu mandi junub atau
mandi lainnya, mengingat:

1. Nabi ‫ ﷺ‬tidak berwudlu lagi setelah mandi.


2. Nabi menyatakan: “Wudlu yang mana yang lebih rata daripada mandi?”
3. Al-Qur`an menyatakan: “Dan jika kamu hendak shalat dalam keadaan junub,
maka mandilah.” Ini berarti, cukup dengan mandi tidak mesti wudlu, karena -
memang- tidak ada perintah untuk berwudlu lagi.
4. Hadits yang membatasi dengan mandi junub saja, adalah dlaif, tidak dapat
dijadikan hujjah. Andaikata dibatasi dengan pengertian junub saja, maka
mandi di hari Jum‟at tidak dapat menggantikan wudlu, padahal di dalam
prakteknya sama dengan mandi junub.
5. Tidak semua mandi bisa dapat menggantikan wudlu, kecuali mandi yang
sempurna, yang merata dan ada niat dengan mandinya itu untuk
melaksanakan shalat.39

c. Analisis Pendapat A. Hassan dan KH. A. Zakaria

Titik tekan pendapat A. Hassan adalah pada hadits-hadits yang menurutnya


umum atau muthlaq dan tidak dibatasi atau di-taqyid. Padahal hadits-hadits riwayat
Ibnu Syaibah yang beliau sebutkan terletak dalam bab fil Wudlu ba‟dal Ghusli minal
Janabah nomor hadits 743, dan dalam bab itu ada hadits yang men-taqyid ke-muthlaq-
an yang dimaksud, yaitu hadits nomor 744, yaitu hadits setelahnya. Kemudian beliau
juga menyampaikan hadits yang dirujuk dari kitab Nailul Authar, yang bersumber dari
Ibnu „Umar dan Hudzaifah, dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
termasuk at-Tirmidziy juga termaktub dalam kitab ini. Jadi dalam pengutipan A. Hassan
terhadap hadits-hadits tersebut, kemungkinan besar merujuk kepada kitab sekunder,
yang dalam hal ini Nailul Authar Syarh Muntaqal Akhbar karya Asy-Syaukaniy, bukan
primer, yaitu kitab-kitab haditsnya langsung. Sehingga luput dari perhatiannya kepada
konteks hadits tersebut, dan dinilai sebagai hadits yang umum atau muthlaq.

Adapun KH. A Zakaria, secara garis besar mengutarakan argumentasi yang


kurang lebih sama. Pertama, hadits-hadits tentang tidak wudlu setelah mandi untuk
shalat adalah hadits yang muthlaq, yang tidak dibatasi (muqayyad). Status ke-muthlaq-
an hadits sudah dijelaskan bahwa ada hadits-hadits yang men-taqyid-nya. Bahkan
semua hadits yang disampaikan sebagai landasan hukum secara muthlaq, semua ada
taqyid-nya, seperti disebutkan dalam pembahasan hadits-hadits nabi ‫ ﷺ‬tidak wudlu
setelah mandi untuk shalat sebelumnya.

39
A. Zakariya. Al-Hidayah: Pembahasan Perbedaan-Perbedaan Pendapat dalam Fiqh beserta
Pemecehannya (edisi kompilasi). Garut. Ibn Azka. Jilid 1. Hal. 146-148.

16
Kedua, hadits yang membatasi (muqayyad) dinilai dlaif. Alasan dlaif-nya hadits ini
menurut KH. A Zakaria karena dalam sanadnya ada rawi Isma‟il bin Musa as-Siddiy.
Namun, beliau tidak menjelaskan ke-dlaif-an rawi tersebut.

Adapun Isma‟il bin Musa as-Siddiy menurut Abu Hatim, ia shaduq. Menurut an-
Nasa`iy, laisa bihi ba`sun, menurut Ibnu „Adiy, ankaru minhu ghuluwwan fit tasyayu‟
(riwayatnya diinkari karena berlebihan dalam tasyayu‟).40

Sekalipun ada Isma‟il bin Musa as-Siddiy dalam sanad hadits ini. Tetapi Ibnu
Majah dalam meriwayatkannya tidak hanya mengambil dari Isma‟il, melainkan dari dua
rawi lainnya, yaitu Abu Bakr Ibn Abi Syaibah dan Abdullah bin „Amir bin Zurarah,
sebagaimana bisa dilihat dalam sanad haditsnya. Maka penilaian dlaif pada hadits ini
kurang tepat jika ditinjau kepada rawi Isma‟il bin Musa as-Siddiy. Al-Arna`uth dkk,
dalam tahqiq Musnad Ahmad, menjelaskan bahwa jalur hadits ini yang bermasalah
adalah Syarik bin Abdilah al-Qadli. Tetapi karena adanya jalur lain, seperi Zuhair bin
Mu‟wiyah yang keduanya bersumber dari Abu Ishaq as-Sabi‟iy, maka saling
menguatkan. Sehingga Al-Arna`uth menilai jalur dari Syarik ini Hasan bi thuruqih.41
Adapun Albaniy menilai hadits ini shahih dari jalur Zuhair maupun Syarik, baik yang
redaksinya muthlaq maupun muqayyad.

Ketiga, mandi yang dimaksud dalam konteks masalah ini adalah mandi yang
merata (dari ujung kepala sampai kaki) dan ada niat untuk shalat pada mandi itu.

Maka berpegang pada ke-muthlaq-an hadits sudah tidak bisa dipertahankan,


karena adanya hadits yang muqayyad. Adapun jika tetap berpegang kepada penetapan
semua jenis mandi selama itu merata di seluruh tubuh dan ada niat untuk shalat, maka
ini adalah ijtihad dari Ulama Persatuan Islam, khususnya Ahmad Hassan dan KH. Aceng
Zakaria. Sedangkan ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang lain (al-ijtihad la
yunqadlu bil ijtihad). Hanya saja landasan ijtihad ini, setelah diteliti lagi terdapat
keganjilan. Maka lebih selamat, jika konteks tidak wudlu setelah mandi yang muthlaq
dikembalikan kepada yang muqayyad, yaitu mandi janabah.

KESIMPULAN

Pokok permasalahan tema ini, sekali lagi adalah terletak dalam pembedaan
antara mandi syar‟i dan „urfi. Mandi biasa atau mandi „urfi dalam praktiknya tentu lebih
bersih dari mandi janabat (syar‟i), karena tidak dibatasi dengan kaifiyat tertentu, bahkan
dengan adanya sabun, sampo, dan lainnya, menambah tegas kebersihan mandi secara
„urfi, tetapi apa yang dibersihkan oleh mandi „urfi adalah kotoran yang nampak,
sedangkan mandi syar`i membersihkan hadats, yaitu kotoran dalam arti hukmi dalam
kaitannya sebagai bersuci untuk syarat shalat.

40
Al-Mizziy. 1980. Tahdzibul Kamal fi Asma`ir Rijal. Beirut. Mu`asasah ar-Risalah. Jilid 3. Hal.211; adz-
Dzhabiy. 1963. Mizanul I’tidal fi Naqdir Rijal. Beirut. Dar al-Ma’rifah. Jilid. 1. Hal. 251-252.
41
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Jilid 40. Hal. 454

17
Kemudian jika dikatakan berlebihan ketika seseorang berwudlu setelah mandi
dalam konteks yang berpendapat mandi biasa telah mencukupi wudlu, maka secara
aspek sosial budaya, wilayah Arab ketika ungkapan tersebut terlontar, adalah wilayah di
mana air itu terbilang sedikit, karena wilayah padang pasir, sehingga penghematan
terhadap air sangat diperhatikan, demikian halnya dalam bersuci, dan lagi konteks
ucapan tersebut adalah mandi janabat. Maka tentunya, tidak dapat dikatakan
berlebihan ketika sudah mandi biasa, lalu berwudlu untuk shalat apalagi dalam konteks
wilayah di mana air melimpah, maka hal ini tidak bisa dikatakan berlebihan karena
standar berlebihannya berbeda. Adapun hikmah, kenapa dalam mandi janabat tidak
perlu wudlu sesudahnya, karena mandi janabat adalah cara bersuci dari hadats besar,
sehingga hadats kecil telah tercukupi darinya, ditambah lagi dalam kaifiyat mandi itu
ada wudlu di dalamnya.

Dari uraian diatas nampak dengan jelas ada kejanggalan istidlal hukum, sekalipun
secara fatwa itu, baik dari toean Ahmad Hassan dan KH. Aceng Zakaria, tidak berdiri
sendiri dan memberikan jawaban hukum sebagaimana dianut oleh madzhab fiqh,
seperti Abu Hanifah. Namun, Penarikan kesimpulan keduanya terkesan „tidak relevan
dan komprehensif‟ bila meninjau kembali dalil-dalil yang ada terkait masalah ini.

Kekeliruan bisa dialami siapa saja, bahkan sekaliber ulama sekalipun dalam
urusan keilmuan. Demikianlah adanya jarh wa ta‟dil dalam ilmu hadits dan dakhil dalam
ilmu tafsir. Sebab ilmu agama begitu luas, dan sangat mungkin ada yang luput dalam
beberapa hal, bisa jadi karena keterbatasan referensi atau waktu untuk mengkaji dan
menelaah atau faktor lainnya. Menutup kemungkinan ini pada diri manusia adalah
suatu keganjilan, karena penjagaan (ma‟shum) dari kesalahan dalam menyampaikan
urusan agama hanyalah hak Rasulullah ‫ﷺ‬.

Dalam urusan fiqh, aspek ijtihadi terbilang dominan, sehingga konsekuensinya


perbedaan pendapat menjadi suatu keniscayaan. Tetapi di balik itu semua, kehati-
hatian (ihtiyat) dalam mendasari suatu ibadah sehingga menjadi amal yang dikerjakan
mesti diperhatikan, sebagai menjaga upaya mendekati yang paling tepat dan selamat
dalam perkara ibadah. Karena ibadah bukan semata esensi dan substansi, tetapi juga
ada aspek formalnya. Demikianlah salah satu hikmah atau alasan Rasulullah ‫ ﷺ‬diutus,
yaitu untuk mengajarkan konsep sekaligus mencontohkan modelnya.

Wallahu A’lam

REFERENSI

Adz-Dzhabiy. 1963. Mizanul I‟tidal fi Naqdir Rijal. Beirut. Dar al-Ma‟rifah


Al-Baihaqiy. 2003. Sunan al-Kubra. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Bukhariy. 1422 H. Al-Jami‟ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar min Umuri
Rasulillah Shallallahu „alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi (Shahih al-
Bukhariy). Beirut. Dar Thauq an-Najah.
Al-Buhutiy. Kasyaful Qina‟ an Matni al-Iqna‟ . Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

18
Al-Hakim. 1990. Al-Mustadrak „ala ash-Shahihain. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mizziy. 1980. Tahdzibul Kamal fi Asma`ir Rijal. Beirut. Mu`asasah ar-Risalah.
Al-Mubarakfuriy, Abdurrahman. Tuhfatul Ahwadziy bi Syarhi Jami‟ at-Tirmidziy. Beirut.
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mubarakfuriy, Ubaidillah ar-Rahmaniy. 1984. Mir‟athul Mafatih Syarh Misykatil
Mashabih. Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa ad-Da‟wah wa al-Ifta` (Jami‟ah as-
Salafiah).
Al-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1998. Majmu‟ Fatawa wa Rasa`il Fadlilah Syaikh
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin. Dar at-Tsaraya.
An-Nasa`iy. 1986. Sunan an-Nasa`iy (al-Mujtaba minas Sunan atau Sunan ash-Shugra).
Halb. Maktabah al-Mathbu‟at al-Islamiyah.
An-Nawawiy. 1392. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajaj. Beirut. Dar Ihya at-
Turat al-Arabiy.
As-Sijistaniy, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut. Al-Maktabah al-Ashriyah.
As-Sulamiy, „Iyadl. 2005. Ushul Fiqh alladzi la Yasa‟ al-Faqih Jahlahu. Riyadl. Dar at-
Tadmuriyah.
As-Sindiy. Hasyiah as-Sindiy „ala Sunan Ibn Majah (Kifayatul Hajah fi Syarhi Sunan Ibn
Majah). Beirut. Darul Jil.
As-Suyuthiy. 1974. Al-Itqan fi Ulumil Qur`an. al-Hai`ah al-Mishriyah al-„Amah lil Kitab.
Ash-Shan‟aniy. Subulus Salam Syarh Bulugh al-Maram. Dar al-Hadits.
Ash-Shan‟aniy, Abdurrazaq. 1403 H. Al-Mushannaf (Mushannaf Abddirrazaq). Beirut. Al-
Maktab Al-Islamiy.
Asy-Syaukaniy. 1993. Nailul Authar Syarh Mnntaqal Akhbar. Mesir. Dar al-Hadits.
At-Tirmidziy. 1975. Sunan at-Tirmidziy. Mesir. Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah
Mushthafa al-Babiy al-Halabiy.
Ath-Thabraniy. Al-Mu‟jam al-Kabir. Kairo. Maktabah Ibn Taimiyah.
Az-Zuhailiy, Wahbah. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. Damaskus. Darul Fikr.
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam. 2005. Risalah Shalat. Bandung. Risalah Press. ed. A.
Zakaria.
Hanbal, Ahmad bin. 2001. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut. Mu`asasah ar-
Risalah.
Hassan, Ahmad, dkk. 1988. Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung. CV
Dipenegoro.
Hazm, Ibnu. Al-Muhalla bi al-Atsar. Beirut. Darul Fikr
Kamal, Abu Malik. 2016. Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh wa Taudlihu Madzahibil
A`imah. Al-Maktabah at-Taufiqiyah.
Majah, Ibnu. Sunan Ibn Majah. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
Muslim. Al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar bi Naqli „anil „Adli „anil „Adli ila Rasulillah
Shallallahu „alaihi wa Sallam (Shahih Muslim). Beirut. Dar Ihya` at-Turats al-
„Arabiy.
Syaibah, Ibnu Abi. 1409 H. Mushannaf Ibn Abi Syaibah (al-Mushannaf fi al-Ahadits wa
Al-Atsar). Riyadl. Maktabah ar-Ruysd.
Zakariya, Aceng. Al-Hidayah: Pembahasan Perbedaan-Perbedaan Pendapat dalam Fiqh
beserta Pemecehannya (edisi kompilasi). Garut. Ibn Azka.

19

Anda mungkin juga menyukai