PENDAHULUAN
“Berusaha membuat semua orang setuju denganmu adalah perbuatan yang gila.”-
Anonim
Tulisan ini dibuka dengan kutipan di atas, sebagai isyarat bahwa dalam kajian fiqh
urusan setuju dan tidak setuju serta perbedaan ragam pendapat adalah sesuatu
keniscayaan dan hal yang lumrah. Maka merupakan suatu kenaifan jika mengharapkan
kesamaan dalam urusan ini, tetapi suatu kemuliaan jika mengharapkan kebersamaan
tetap selalu terjaga. Karena kemuliaan diraih dengan ketaqwaan, sebagaimana
termaktub dalam surat Al-Hujurat ayat 13, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara
kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa”, dan ketaqwaan beriringan dengan
persaudaran kaum Muslim sebagaimana diutarakan dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ
bersabda:
التَّػ ْق َوى،ُ َوََل ََْي ِق ُره،ُ ََل يَظْلِ ُموُ َوََل ََيْ ُذلُو،َخو الْ ُم ْسلِِم ِ ِ ِ
ُ َوُكونُوا عبَ َاد هللا إِ ْخ َو ًاًن الْ ُم ْسل ُم أ...
...اىنَاُ َى
“…dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang
satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara, tidak boleh menyakiti,
merendahkan, ataupun menghina. Taqwa itu ada di sini…” (HR. Muslim, no. 2564)1
Pembacaan dalam penelitian ini adalah perspektif hadits dengan analisis fiqh
melalui pendekatan studi pustaka terhadap sumber-sumber primer dan sekunder
terkait persoalan wudlu setelah mandi.
1
Muslim. Al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar bi Naqli ‘anil ‘Adli ‘anil ‘Adli ila Rasulillah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam (Shahih Muslim). Beirut. Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabiy. Jilid 4. Hal. 1986.
1
Sekalipun sebagai bagian dari internal jam‟iyyah Persatuan Islam, yaitu sebagai
kader Pemuda Persis, penulis berupaya untuk seobjekif mungkin dalam penelitian ini,
dengan menyertakan dan merujuk berbagai sumber dan perspektif lain di luar
Persatuan Islam.
Maka konteks thaharah dalam fiqh ibadah ialah sebagai syarat sah shalat. Hal ini
didasarkan kepada dalil ayat dan hadits, seperti berikut:
2
Wahbah az-Zuhailiy. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. Damaskus. Darul Fikr. Jilid 1. Hal. 238.
3
Abdurrahman Al-Mubarakfuriy. Tuhfatul Ahwadziy bi Syarhi Jami’ at-Tirmidziy. Beirut. Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. Jilid 1. Hal. 18; Ubaidillah ar-Rahmaniy Al-Mubarakfuriy. 1984. Mir’athul Mafatih Syarh
Misykatil Mashabih. Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa ad-Da’wah wa al-Ifta` (Jami’ah as-Salafiah). Jilid 2.
Hal. 1.
4
Ash-Shan’aniy. Subulus Salam Syarh Bulugh al-Maram. Dar al-Hadits. Jilid 1. Hal. 18.
5
Asy-Syaukaniy. 1993. Nailul Authar Syarh Mnntaqal Akhbar. Mesir. Dar al-Hadits. Jilid 1. Hal. 28.
6
Abu Malik Kamal. 2016. Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh wa Taudlihu Madzahibil A`imah. Al-
Maktabah at-Taufiqiyah. Jilid 1. Hal. 70.
2
وى ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ ََل الْ َمَرافِ ِق َو ْام َس ُُوا ِ ِ َّ َي أَيػُّها الَّ ِذين آمنُوا إِذَا قُمتُم إِ ََل
َ الص ََلة فَا ْغسلُوا ُو ُج ْْ َ َ َ َ
ِ ِ
ضى أ َْو َعلَى َس َف ٍر أ َْو َ ْي َوإِ ْن ُكْنػتُ ْم ُجنُػبًا فَاطَّ َّه ُروا َوإِ ْن ُكْنػتُ ْم َم ْر
ِ ْ وس ُكم وأ َْر ُجلَ ُكم إِ ََل الْ َك ْعبَػ
ْ َ ْ ُب ُرء
يدا طَيِّبًا ً ِصع ِ ِ ِِ
َ َح ٌد مْن ُك ْم م َن الْغَائط أ َْو ََل َم ْستُ ُم النّ َساءَ فَػلَ ْم ََت ُدوا َماءً فَػتَػيَ َّم ُموا
ِ ِ جاء أ
َ ََ
يد لِيُطَ ِّهَرُك ْم
ُ اَّللُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِم ْن َحَرٍج َولَ ِك ْن يُِر ُ وى ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم ِمْنوُ َما يُِر
َّ يد ِ فَامسُوا بِوج
ُُ ُ َ ْ
.َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَوُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma`idah: 6)
ِ ِ ٍ ِ ص َع
ٌ ودهُ َوُى َو َم ِر
يض ُ ُ َد َخ َل َعْب ُد هللا بْ ُن عُ َمَر َعلَى ابْ ِن َعام ٍر يَػع: قَ َال،ب بْ ِن َس ْعد ْ َع ْن ُم
صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِ َ إِِّن ََِسعت رس: أَََل تَ ْدعو هللا ِِل َي ابن عمر؟ قَ َال:فَػ َق َال
َ ول هللا َُ ُ ْ ّ ََ ُ َ ْ َ َ ُ
ٍ ُ ََل تُػ ْقبل ص ََلةٌ بِغَ ِْْ طُهوٍر وََل ص َدقَ ٌ ِمن غُل:ول
.ول ُ يَػ ُق
ْ َ َ ُ َ َُ
Dari Mush'ab bin Sa'ad, dia berkata, Abdullah bin Umar ra. pernah masuk ke
rumah Ibnu Amir untuk menjenguknya ketika ia sakit, lalu ia bertanya, "Hai Ibnu
Umar! Mengapa ketika kamu berada di Bashrah tidak berdoa kepada Allah untuk
saya?" Abdullah bin Umar men jawab, "Sesungguhnya saya pernah mendengar
Rasulullah ﷺbersabda, 'Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan tidak
menerima sedekah dari hasil penipuan." (HR. Muslim, bab wujubit thaharah lis
shalah, no. 224)7
7
Muslim. Shahih Muslim. Jilid 1. Hal. 204.
8
Ibid. hal. 204.
3
b. Jenis-Jenis Thaharah: Wudlu`, Ghuslu, dan Tayamum
1) Wudlu
2) Ghuslu
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam Shahih Fiqh Sunnah, menjelaskan
bahwa yang dimaksud al-ghuslu secara etimologi ialah mengalirkan air kepada sesuatu.
Sedangkan menurut syara‟ dengan mengutip Manshur bin Yunus al-Buhutiy al-
Hanbaliy, dalam Kasyaful Qina‟ an Matni al-Iqna‟, yaitu:
ٍ ِِ ِ ٍ ُ استِ ْع َم
ٍ ص
.وص ُ َْال (إفاضٌ) َماء طَ ُهوٍر ِِف ََجي ِع بَ َدنو َعلَى َو ْجو َم ْ الْغُ ْس ُل َش ْر ًعا
Mempergunakan atau mencurahkan air yang suci di seluruh tubuh dengan cara
tertentu.10
3) Tayamum
ٍ ٍ ِ
ٍ ص
.وص ُ َْ َو َش ْر ًعا َم ْس ُح الْ َو ْجو َوالْيَ َديْ ِن بِتُػَراب طَ ُهوٍر َعلَى َو ْجو َم.ص ُد
ْ التػَّيَ ُّم ِم لُغًٌَ الْ َق
Tayamum secara etimologi berarti al-qashdu (maksud). Sedangkan secara syara‟
yaitu mengusap wajah dan kedua tangan dengan tanah (debu) yang suci menurut
cara tertentu.
Adapun dengan adanya batasan menggunakan cara atau sifat tertentu dalam
definisinya, menunjukkan bahwa kaifiyat dalam bersuci, baik itu wudlu, mandi, dan
tayamum harus mengikuti tuntunan syara‟ yang dalam hal ini dicontohkan oleh
Rasulullah ﷺ.
9
Al-Buhutiy. Kasyaful Qina’ an Matni al-Iqna’ . Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Jilid 1. Hal. 82.
10
Al-Buhutiy. Kasyaful Qina’. Jilid 1. Hal. 139; Abu Malik Kamal. Shahih Fiqh as-Sunnah. Jilid 1. Hal.
162.
4
selanjutnya akan dibahas secara lebih rinci, yaitu terkait mandi syar‟i dalam konteks ini
mandi janabat dengan kaifiyatnya yang khusus dan mandi biasa („urfi), beserta
persoalan yang berkaitan dengan pembahasan mandi yang dikaji di Persatuan Islam
sebagai objek dalam penelitian ini.
Dikotomi jenis mandi ini bisa jadi sesuatu yang penting untuk yang membedakan
antara keduanya, juga bisa tidak penting untuk yang tidak membedakan keduanya
selama diniatkan Ibadah kepada Allah. Karena konsekuensi logis dari dikotomi ini akan
berimbas hukum bagi yang menyepakatinya. Adapun untuk yang tidak, maka tidak
berdampak signifikan. Tetapi yang mesti menjadi perhatian adalah mandi wajib tata
caranya diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ, maka ketika ada kebebasan dan
keleluasaan dalam praktiknya lalu apa makna dari contoh tersebut? Apakah itu sekedar
standar yang tidak baku dan tidak wajib diikuti atau suatu opsi dan simplifikasi ketika
tidak mampu memenuhi standar yang dicontohkan?
Adanya dikotomi ini akan berdampak, salah satunya dalam masalah tidak wudlu
setelah mandi untuk shalat. Bagi yang membagi mandi kepada „urfi dan syar‟i, maka
mandi yang tidak perlu wudlu setelahnya untuk shalat adalah mandi syar‟i, yaitu mandi
janabat. Sedangkan bagi yang tidak membedakan jenis mandi, selama disertai niat
Ibadah, maka tidak ada bedanya antara mandi „urfi dan mandi syar‟i, mandi yang
manapun tidak perlu lagi wudlu untuk shalat.
Persatuan Islam berada pada posisi jenis kedua, yaitu tidak membedakan mandi
biasa dan wajib dalam praktik tidak wudlu setelah mandi.
Adapun dalam kalangan mazhab fiqh, ulama yang tidak membedakan jenis
mandi bahkan tanpa ada pembatasan dengan niat untuk ibadah ialah Abu Hanifah,
menurutnya:
11
Ibnu Hazm. Al-Muhalla bi al-Atsar. Beirut. Darul Fikr. Jilid 1. Hal. 90.
5
Kemudian, As-Sindiy seorang faqih dari madzhab Hanafi dalam Hasyiah Sunan
Ibn Majah, menjelaskan:
ث فَػيَكْتَ ِفي
َ اْلَ َد ْ اْلَنَابٌَِ َما ََلْ َُْي ِد
ْ ث أ َْو ََلْ يَػَر َّ َِي ل
ْ لص ََلةِ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل ِم َن ْ ضأُ) أ
َّ قَػ ْولُوُ َ(َل يَػتَػ َو
ِ اْلناب ٌِ أَو ِِبلْوض
.وء الْ ُمتَػ َق ِّدِم َعلَى الْغُ ْس ِل َع َاد ًة ِ ِِبلْو
ُ ُ ْ َ ََْ اص ِل ِِف ِض ْم ِن غُ ْس ِل ِ اْل
َْ ضوء ُُ
Sabdanya: (tidak berwudlu), yaitu untuk shalat setelah mandi janabah, selama
tidak berhadats atau mendapati hadats. Maka cukup baginya dengan wudlu yang
dilakukan pada mandi janabah atau wudlu yang mendahului mandi biasa.13
Dalam kesimpulan fatwa, Persatuan Islam memiliki kemiripan atau kesesuaian
dengan pendapat Madzhab Hanafi.
Sedangkan Syaikh al-„Utsaimin, berpendapat bahwa tidak perlu wudlu setelah
mandi bila itu mandi janabat atau mandi yang disyariatkan, sedangkan mandi yang
tidak disyariatkan tidak mencukupi dari wudlu. Sebagaimana termaktub di tanya-jawab
dalam kumpulan fatwa-fatwanya:
12
Ibid. jilid 1. hal. 90. Sebagaimana firman-Nya: “( َوإِ ْن ُكْنػتُ ْم ُجنُػبًا فَاطَّ َّهُروا...dan jika kalian junub maka
bersucilah...” QS. Al-Ma`idah: 6)
13
As-Sindiy. Hasyiah as-Sindiy ‘ala Sunan Ibn Majah (Kifayatul Hajah fi Syarhi Sunan Ibn Majah).
Beirut. Darul Jil. Jilid 1. Hal. 204.
6
Syaikh al-„Utsaimin ditanya: Apakah mandi ghair masyru‟ itu sudah
mencukupi dari wudlu?
Mandi yang tidak dituntun oleh syariat (ghair masyru‟) tidaklah mencukupi
dari wudlu, karena mandi tersebut bukanlah ibadah.”14
b. Pengertian Mandi dalam Risalah Shalat (Dewan Hisbah PP Persis)
Dalam Risalah Shalat Dewan Hisbah, persoalan wudlu setelah mandi tidak
dibahas sama sekali. Pembedaan antara mandi biasa dan syar‟i juga tidak ditekankan,
hanya kategori mandi janabat dan jum‟at yang dibahas, yang secara praktik, keduanya
sama saja.
Kaifiyat mandi janabat Nabi ﷺbersumber dari „Aisyah dan Maimunah ra., dengan
adanya perbedaan dan keragaman dari masing-masing keduanya. Sebagaimana dapat
dilihat dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy berikut:
14
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. 1998. Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadlilah Syaikh Muhammad
bin Shalih al-‘Utsaimin. Dar at-Tsaraya. Jilid 11. Hal. 228.
15
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam. 2005. Risalah Shalat. Bandung. Risalah Press. ed. A. Zakaria.
Hal. 17.
16
Ibid. hal. 18.
17
Ibid. hal. 20.
7
Dari 'Aisyah istri Nabi ﷺ, “bahwa jika Nabi ﷺmandi karena janabat, beliau
memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian berwudlu
sebagaimana wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya ke dalam air
lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas
kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian
beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. al-Bukhariy, no. 248)18
صلَّى هللاُ َعلَْي ِو ِ ِ ِ أَدنَػي: قَالَت،ٌَُ ح َّدثػَْت ِِن خالَِِت ميمون: قَ َال،اس ٍ ََّع ِن ابْ ِن َعب
َ ت لَر ُسول هللا ُْْ ْ ُ َْ َ َ
غ بِِو َ ُُثَّ أَفْػَر،اإل ًَن ِء ِ ْ فَػغَسل َكفَّْي ِو َمَّرتَػ،ٌَِاْلَنَاب
ِْ ُُثَّ أ َْد َخل يَ َدهُ ِِف،ْي أ َْو ثَََل ًًث
َ ََ ْ َو َسلَّ َم غُ ْسلَوُ ِم َن
18
Al-Bukhariy. 1422 H. Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi (Shahih al-Bukhariy). Beirut. Dar Thauq an-Najah.
Jilid 1. Hal. 59.
19
Ibid. hal. 59.
8
َضأ ً فَ َدلَ َك َها َدلْ ًكا َش ِد،ض
َّ ُُثَّ تَػ َو،يدا ِِ ِ ُُثَّ ضر، و َغسلَو بِ ِشمالِِو،علَى فَػرِج ِو
َ ب بِش َمالو ْاْل َْر َ ََ َ َُ َ ْ َ
َّ ُُث،ِ ُُثَّ َغ َس َل َسائَِر َج َس ِده،ات ِم ْلءَ َك ِّف ِو ٍ َث ح َفن ِِ
َ َ غ َعلَى َرأْسو ثَََل َّ ِضوءَهُ ل
َ ُُثَّ أَفْػَر،ِلص ََلة ُ ُو
.ُ ُُثَّ أَتَػْيػتُوُ ِِبلْ ِمْن ِد ِيل فَػَرَّده، فَػغَ َس َل ِر ْجلَْي ِو،ك ِ
َ تَػنَ َُّى َع ْن َم َق ِام ِو َذل
Dari Maimunah ra, istri Nabi ﷺdia berkata, "Saya pernah berada di dekat
Rasulullah ﷺketika beliau mandi junub. Beliau membasuh dua telapak tangannya
sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam
bejana (untuk mengambil air), lalu beliau menuangkan ke kemaluannya dan
membersihkannya dengan tangan kirinya, kemudian beliau menyentuhkan tangan
kirinya ke tanah dan menggosoknya berkali-kali, lalu berwudhu seperti wudhu
untuk shalat. Beliau menuangkan air ke atas kepalanya tiga kali cidukan. Masing-
masing cidukan sepenuh kedua telapak tangannya. Lalu beliau membasuh seluruh
tubuhnya dan bergeser dari tempatnya, kemudian membasuh kedua kakinya. Lalu
saya memberinya handuk, namun beliau menolaknya."
Persoalan redaksi hadits yang beragam, kemudian diakomodir dengan upaya
penggabungan kaifiyat dari „Aisyah dan Maimunah ra. Sehingga kaifiyat mandi janabat
adalah sebagai berikut: 1) Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali, 2) Mencuci
kemaluan dan kotoran disekitarnya, 3) Mencuci tangan setelah membersihkan
kemaluan (dengan tanah atau sabun), 4) Berwudlu seperti untuk shalat, 5) menyela-
nyela pangkal rambut, 6) menguyurkan air ke kepala tiga kali, 7) mengguyurkan air ke
seluruh tubuh, 8) Mencuci kedua kaki.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh at-Tirmidziy dalam Sunan at-Tirmidziy, bab fil
wudlu ba‟dal gusli nomor hadits 10721 dan an-Nasa`iy dalam Sunan an-Nasa`iy, bab
tarkil wudlu min ba‟dil gusli nomor hadits 25222. At-Tirmidziy berkata hadits ini hasan
20
Ahmad bin Hanbal. 2001. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut. Mu`asasah ar-Risalah. Jilid
40. Hal. 454.
21
At-Tirmidziy. 1975. Sunan at-Tirmidziy. Mesir. Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-
Babiy al-Halabiy. Jilid. 1. Hal. 179.
22
An-Nasa`iy. 1986. Sunan an-Nasa`iy (al-Mujtaba minas Sunan atau Sunan ash-Shugra). Halb.
Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah. Jillid 1. Hal. 137.
9
shahih, dan pernyataan “Bahwa Nabi tidak wudlu setelah mandi” ini, bukan dari satu
sahabat dan tabi‟in saja. Syaikh Albaniy menilai hadits ini shahih.
َس َوِد َ َُ َح َّدثَػنَا أَبُو إِ ْس: قَ َال، َح َّدثَػنَا ُزَىْيػٌر: قَ َال،ك ِ َِْحَ ُد بن َعب ِد الْمل
ْ َع ْن ْاْل،اؽ َ ْ ُ ْ ْ َح َّدثَػنَا أ
ِ ْ الرْك َعتَػ ِ ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم َكا َن يػ ْغت ِسل وي َّ أ،ٌَ َع ْن َعائِ َش،يد
،ْي َّ صلّي
َ َُ ُ َ َ َ ََ َْ ُ َ َ َن َر ُس َ بْ ِن يَِز
.ضوءًا بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل ِ
ُ ث ُو
ُ ََل أ َُراهُ َُْيد
ول َّ أ:ٌَ َع ْن َعائِ َش،َس َوِد
َ َن َر ُس ْ َع ِن ْاْل،اؽ َ َُ َع ْن أَِيب إِ ْس، َح َّدثػَنَا ُزَىْيػٌر،آد َم
َ َح َّدثػَنَا ََْي ََي بْ ُن
ِ ِ هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم َكا َن يػ ْغت ِسل وي
ُ ََل أ ََراهُ َُْيد،ِص ََلةَ الْغَ َداة
ث َ ْي َو ِ ْ الرْك َعتَػ
َّ صلّي َ َُ ُ َ َ َ ََ َْ ُ َ
.ضوءًا بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل
ُ ُو
Dari al-Aswad bin Yazid, dari Aisyah ra., ia berkata: "Bahwasannya Rasulullah ﷺ
mandi dan shalat dua rakaat (dalam riwayat kedua ada tambahan: dan shalat
ghadah, yaitu shubuh25), dan aku tidak melihatnya memperbaharui wudlu sesudah
mandi." (HR. Ahmad, dalam Musnad, Musnad an-Nisa`: Musnad ash-Shidiqah
„Aisyah binti ash-Shidiq radliallahu „anha, no. 24878 dan 25205. Kedau hadits itu
hasan bi-thuruqihi menurut Al-Arna`uth dkk)26
23
Ibnu Abi Syaibah. 1409 H. Mushannaf Ibn Abi Syaibah (Al-Kitab al-Mushannaf fil Ahadits wal Atsar).
Riyadl. Maktabah ar-Rusyd. Jilid 1. Hal. 69.
24
Ibnu Majah. Sunan Ibn Majah. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Jilid 1. Hal. 191.
25
Lihat, An-Nawawiy. 1392. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajaj. Beirut. Dar Ihya at-Turat al-
Arabiy. Jilid 12. Hal 163.
26
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Jilid 41. Hal. 317 & jilid 42. Hal. 115.
10
Hadits no. 25205 diriwayatkan juga oleh Abu Daud, dalam bab fil wudlu ba‟dal
gusli, nomor hadits 250 dan dinilai shahih oleh Syaikh Albaniy. 27
11
Dari Salim bin „Abdillah bin „Umar dari ayahnya (Ibnu „Umar), ia berkata: “Wudlu
mana yang lebih rata dari pada mandi apabila farji (kemaluan) junub?” (HR. Al-
Baihaqiy dalam Sunan al-Kubra, bab dalil „ala dukhulil wudlu` fil ghusli wa suquthi
fardlil madlmadlah waal istinsyaq, no. 844)31
Riwayat lain yang sering digunakan untuk dasar tidak berwudlu setelah mandi
ialah pernyataan Ibnu „Umar bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang berlebihan.
Riwayat ini pun disampaikan secara muthlaq dan muqayyad dalam dua hadits berikut:
ِ ٍ ِ َّ عب ُد
:ت ابْ َن عُ َمَر قَ َالُ ْ َسأَل: َع ْن َر ُج ٍل م ْن أَ ْش َج َع قَ َال، َع ْن ُمطَِّرؼ،ي ِّ َع ِن الثػ َّْوِر،الرزَّاؽ َْ
.ت ََي َعْب َد أَ ْش َج َع ِ ْ الْوضوء ِمن الْغُس ِل بػع َد:قُػ ْلت
َ لََق ْد تَػ َع َّم ْق: فَػ َق َال،ٌَاْلَنَاب َْ ْ َ ُ ُ ُ ُ
Dari Mutharrif, dari seorang laki-laki Asyja‟, ia berkata: aku bertanya kepada Ibnu
Umar: Sesungguhnya saya berwudlu sesudah mandi jaanabah. Maka Ibnu Umar
berkata: Engkau sungguh telah berlebihan, wahai „Abda Asyja‟. HR. Abdurrazaq
ash-Shan‟aniy dalam al-Mushannaf, bab wudlu ba‟dal ghusli, no. 1041)33
4. Mafhum al-Ahadits
Kedua, dari sekian banyak hadits tentang wudlu setelah mandi, mandi tersebut
adalah konteks mandi janabah. Hal ini diperkuat dengan adanya taqyid „gusl minal
janabah‟ terhadap hadits yang disampaikan secara ringkas yang menyebut kata al-gusl
(mandi) saja dan penempatan hadits-hadits tersebut, baik yang muthlaq dan muqayyad
yang berada dalam bab wudlu setelah mandi janabat juga ada yang ringkas menyebut
bab wudlu setelah mandi. Perkataan yang muthlaq itu harus dibawa kepada yang
muqayyad (hamlul muthlaq „alal muqayyad)34, karena kemuthlaqan dalam hadits ini ada
taqyidnya dan juga dalam konteks ikhtishar. Sebagaimana diterangkan oleh as-
31
Al-Baihaqiy. 2003. Sunan al-Kubra. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Jilid 1. Hal. 275.
32
Ibnu Abi Syaibah. Mushannaf Ibn Abi Syaibah. Jilid 1. Hal. 69
33
Abdurrazaq ash-Shan’aniy. Mushannaf Abddirrazaq. Jilid 1. Hal. 271.
34
( إذا ورد ما يدل على تقييد المطلق وجب حمل المطلق على المقيدApabila ada yang menunjukkan kepada taqyidul
muthlaq, maka yang muthlaq harus dibawa kepada yang muqayyad) lihat, ‘Iyadl as-Sulamiy. 2005. Ushul
Fiqh alladzi la Yasa’ al-Faqih Jahlahu. Riyadl. Dar at-Tadmuriyah. Hal. 368.
12
Suyuthiy terkait perkataan yang muthlaq, bahwa termasuk kebiasaan bangsa Arab
untuk mengatakan yang muthlaq, karena cukup dengan adanya perkataan lain yang
muqayyad dan untuk meringkas serta menyingkat pembicaraan (ijaz wal ikhtishar).35
Demikian juga dengan riwayat lain yang menyampaikan redaksi berbeda dari
sahabat selain „Aisyah ra., yaitu riwayat, mandi itu lebih umum atau utama dari wudlu,
dan riwayat, yang bebrwudlu stelah mandi telah berlebih-lebihan. Kedua riwayat ini
juga muthlaq dan taqyidnya adalah mandi janabat.
Ketiga, adanya redaksi lain yang mengungkap Nabi ﷺmandi dan shalat shubuh
menjadi tanda tanya, apakah itu merupakan tambahan (ziyadah atau idraj) dari rawi
atau merupakan redaksi asli, sedangkan redaksi yang muthlaq dan muqayyad adalah
redaksi bil ma‟na, karena secara mafhum, bahwa mandi yang dilakukan sebelum
melaksanakan shalat pada waktu shubuh tentunya, tidak lain tidak bukan adalah mandi
janabah.
35
As-Suyuthiy. 1974. Al-Itqan fi Ulumil Qur`an. al-Hai`ah al-Mishriyah al-‘Amah lil Kitab. Jilid 3. Hal.
103.
13
Artinya: Adalah "Rasulullah ﷺtidak berwudlu sesudah mandi." (HR. at-Tirmidziy
dan lainnya)
Telah berkata Ibnu Umar:
ٍ َي وض
وء أَ َع ُّم ِم َن الغُ ْس ِل؟ ِ لَ َّما سئِل النِّب ﷺ ع ِن الْغس ِل بػعد الْو
ُ ُ ُّ أ:ضوء قَ َال
ُ ُ َ َْ ْ ُ َ ُّ َ ُ
36
Artinya: Tatkala (ditanya akan Nabi )ﷺtentang wudlu sesudah mandi, sabdanya:
Manakah wudlu yang lebih rata dari pada mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Dalam al-Hidayah, KH. Aceng Zakaria menulis tentang pembahasan „tidak mesti
wudlu setelah mandi‟ dengan mengajukan dua argumen yang pro dan kontra, lalu
menyajikan kesimpulannya, sebagai berikut:
ِ ََل تُػ ْقبل ص ََلةُ أ:ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم
ث ْ َحد ُك ْم إِذَا أ
َ َح َد َ َ َُ َ ََ َْ ُ َ ُ قَ َال َر ُس،َعن أ َُيب ُىَريْػَرة
.َضأ َّ َح ََّّت يَػتَػ َو
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah ﷺbersabda: “Tidak akan diterima shhalat
seseorang di antara kalian apabila berhadats hingga ia berwudlu.” (HR. Muslim)
36
Teks hadits yang dikutip ini terbalik.
37
Ahmad Hassan, dkk. 1988. Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung. CV
Dipenegoro. Jilid 1. Hal. 413-414.
14
ِ َّال ِِبلنِّي
...ات ُ اْلعم
َ إَّنَا: قال رسول هللا ﷺ
Rasulullah ﷺbersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya...” (HR.
Al-Bukhariy)
.ًضوء
ُ ض ْوءُ غُ ْسَلً َوَلَ الغُ ْس ُل ُو
ُ الو
ُ س َ َو ْلي
Sedangkan wudlu itu bukan mandi dan mandi itu bukan wudlu.
Kedua, alasan orang yang menyatakan tidak wajib wudlu setelah mandi:
.ت َّ ضا أَنَّوُ قَ َال لَِر ُج ٍل قَ َال لَوُ إِِّّن أَتَػ َو
َ ضأُ بَػ ْع َد الْغُ ْس ِل فَػ َق َال لََق ْد تَػ َع َّم ْق ً ْوروى بن أَِيب َشْيػبٌََ أَي
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan, sesungguhnya Nabi38 telah mengatakan
kepada seseorang yang bertanya kepadanya: “Sesungguhnya aku suka wudlu
setelah mandi.” Maka Nabi mengatakan: “Sesungguhnya kau berlebih-lebihan.”
(Aunul Ma‟bud)
ٌِ اع ِ ضأْ فَأَ ْكمل الْغسل أَجزأَه ِمن وض َّ َولَ ْو بَ َدأَ فَا ْغتَ َس َل َوََلْ يَػتَػ َو: قَ َال الشَّافِعِي
َ الس
َّ وء ُ ُ ْ ُ َْ َ ْ ُ َ َ
ِ والطَّهارةُ ِِبلْغس ِل أَ ْكثػر ِمْنػها ِِبلْوض.ِلص ََلة
.وء أ َْو ِمثْػلُ َها ِ
ُ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َّ ل
Menurut Imam asy-Syafi‟iy, kalaulah seseorang memulai mandi dan ttidak
berwudlu lagi lalu menyempurnakan mandinya, maka hal itu cukup sebagai
38
Dalam terjemah al-Hidayah, hadits ini dimarfukan kepada Nabi, padahal dalam riwayat Ibnu Abi
Syaibah ini merupakan perkataan Ibnu ‘Umar (mauquf):
.ت
ُ لَ َق ْد تَػ َع َّم ْق:ال َّ إِِّّن أَتَػ َو:اْلَ ِّي َِلبْ ِن عُ َمَر
َ َ ق،ضأُ بػَ ْع َد الْغُ ْس ِل ْ ال َر ُج ٌل ِم َن
َ َ ق:ال َ َُ َع ْن أَِيب إِ ْس
َ َ ق،اؽ
15
wudlu untuk shalat dan bersuci dengan mandi itu lebih sempurna daripada
wudlu. (Al-Umm)
Kesimpulan:
Mandi itu cukup sebagai pengganti wudlu untuk shalat, baik itu mandi junub atau
mandi lainnya, mengingat:
39
A. Zakariya. Al-Hidayah: Pembahasan Perbedaan-Perbedaan Pendapat dalam Fiqh beserta
Pemecehannya (edisi kompilasi). Garut. Ibn Azka. Jilid 1. Hal. 146-148.
16
Kedua, hadits yang membatasi (muqayyad) dinilai dlaif. Alasan dlaif-nya hadits ini
menurut KH. A Zakaria karena dalam sanadnya ada rawi Isma‟il bin Musa as-Siddiy.
Namun, beliau tidak menjelaskan ke-dlaif-an rawi tersebut.
Adapun Isma‟il bin Musa as-Siddiy menurut Abu Hatim, ia shaduq. Menurut an-
Nasa`iy, laisa bihi ba`sun, menurut Ibnu „Adiy, ankaru minhu ghuluwwan fit tasyayu‟
(riwayatnya diinkari karena berlebihan dalam tasyayu‟).40
Sekalipun ada Isma‟il bin Musa as-Siddiy dalam sanad hadits ini. Tetapi Ibnu
Majah dalam meriwayatkannya tidak hanya mengambil dari Isma‟il, melainkan dari dua
rawi lainnya, yaitu Abu Bakr Ibn Abi Syaibah dan Abdullah bin „Amir bin Zurarah,
sebagaimana bisa dilihat dalam sanad haditsnya. Maka penilaian dlaif pada hadits ini
kurang tepat jika ditinjau kepada rawi Isma‟il bin Musa as-Siddiy. Al-Arna`uth dkk,
dalam tahqiq Musnad Ahmad, menjelaskan bahwa jalur hadits ini yang bermasalah
adalah Syarik bin Abdilah al-Qadli. Tetapi karena adanya jalur lain, seperi Zuhair bin
Mu‟wiyah yang keduanya bersumber dari Abu Ishaq as-Sabi‟iy, maka saling
menguatkan. Sehingga Al-Arna`uth menilai jalur dari Syarik ini Hasan bi thuruqih.41
Adapun Albaniy menilai hadits ini shahih dari jalur Zuhair maupun Syarik, baik yang
redaksinya muthlaq maupun muqayyad.
Ketiga, mandi yang dimaksud dalam konteks masalah ini adalah mandi yang
merata (dari ujung kepala sampai kaki) dan ada niat untuk shalat pada mandi itu.
KESIMPULAN
Pokok permasalahan tema ini, sekali lagi adalah terletak dalam pembedaan
antara mandi syar‟i dan „urfi. Mandi biasa atau mandi „urfi dalam praktiknya tentu lebih
bersih dari mandi janabat (syar‟i), karena tidak dibatasi dengan kaifiyat tertentu, bahkan
dengan adanya sabun, sampo, dan lainnya, menambah tegas kebersihan mandi secara
„urfi, tetapi apa yang dibersihkan oleh mandi „urfi adalah kotoran yang nampak,
sedangkan mandi syar`i membersihkan hadats, yaitu kotoran dalam arti hukmi dalam
kaitannya sebagai bersuci untuk syarat shalat.
40
Al-Mizziy. 1980. Tahdzibul Kamal fi Asma`ir Rijal. Beirut. Mu`asasah ar-Risalah. Jilid 3. Hal.211; adz-
Dzhabiy. 1963. Mizanul I’tidal fi Naqdir Rijal. Beirut. Dar al-Ma’rifah. Jilid. 1. Hal. 251-252.
41
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Jilid 40. Hal. 454
17
Kemudian jika dikatakan berlebihan ketika seseorang berwudlu setelah mandi
dalam konteks yang berpendapat mandi biasa telah mencukupi wudlu, maka secara
aspek sosial budaya, wilayah Arab ketika ungkapan tersebut terlontar, adalah wilayah di
mana air itu terbilang sedikit, karena wilayah padang pasir, sehingga penghematan
terhadap air sangat diperhatikan, demikian halnya dalam bersuci, dan lagi konteks
ucapan tersebut adalah mandi janabat. Maka tentunya, tidak dapat dikatakan
berlebihan ketika sudah mandi biasa, lalu berwudlu untuk shalat apalagi dalam konteks
wilayah di mana air melimpah, maka hal ini tidak bisa dikatakan berlebihan karena
standar berlebihannya berbeda. Adapun hikmah, kenapa dalam mandi janabat tidak
perlu wudlu sesudahnya, karena mandi janabat adalah cara bersuci dari hadats besar,
sehingga hadats kecil telah tercukupi darinya, ditambah lagi dalam kaifiyat mandi itu
ada wudlu di dalamnya.
Dari uraian diatas nampak dengan jelas ada kejanggalan istidlal hukum, sekalipun
secara fatwa itu, baik dari toean Ahmad Hassan dan KH. Aceng Zakaria, tidak berdiri
sendiri dan memberikan jawaban hukum sebagaimana dianut oleh madzhab fiqh,
seperti Abu Hanifah. Namun, Penarikan kesimpulan keduanya terkesan „tidak relevan
dan komprehensif‟ bila meninjau kembali dalil-dalil yang ada terkait masalah ini.
Kekeliruan bisa dialami siapa saja, bahkan sekaliber ulama sekalipun dalam
urusan keilmuan. Demikianlah adanya jarh wa ta‟dil dalam ilmu hadits dan dakhil dalam
ilmu tafsir. Sebab ilmu agama begitu luas, dan sangat mungkin ada yang luput dalam
beberapa hal, bisa jadi karena keterbatasan referensi atau waktu untuk mengkaji dan
menelaah atau faktor lainnya. Menutup kemungkinan ini pada diri manusia adalah
suatu keganjilan, karena penjagaan (ma‟shum) dari kesalahan dalam menyampaikan
urusan agama hanyalah hak Rasulullah ﷺ.
Wallahu A’lam
REFERENSI
18
Al-Hakim. 1990. Al-Mustadrak „ala ash-Shahihain. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mizziy. 1980. Tahdzibul Kamal fi Asma`ir Rijal. Beirut. Mu`asasah ar-Risalah.
Al-Mubarakfuriy, Abdurrahman. Tuhfatul Ahwadziy bi Syarhi Jami‟ at-Tirmidziy. Beirut.
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mubarakfuriy, Ubaidillah ar-Rahmaniy. 1984. Mir‟athul Mafatih Syarh Misykatil
Mashabih. Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa ad-Da‟wah wa al-Ifta` (Jami‟ah as-
Salafiah).
Al-„Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1998. Majmu‟ Fatawa wa Rasa`il Fadlilah Syaikh
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin. Dar at-Tsaraya.
An-Nasa`iy. 1986. Sunan an-Nasa`iy (al-Mujtaba minas Sunan atau Sunan ash-Shugra).
Halb. Maktabah al-Mathbu‟at al-Islamiyah.
An-Nawawiy. 1392. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajaj. Beirut. Dar Ihya at-
Turat al-Arabiy.
As-Sijistaniy, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut. Al-Maktabah al-Ashriyah.
As-Sulamiy, „Iyadl. 2005. Ushul Fiqh alladzi la Yasa‟ al-Faqih Jahlahu. Riyadl. Dar at-
Tadmuriyah.
As-Sindiy. Hasyiah as-Sindiy „ala Sunan Ibn Majah (Kifayatul Hajah fi Syarhi Sunan Ibn
Majah). Beirut. Darul Jil.
As-Suyuthiy. 1974. Al-Itqan fi Ulumil Qur`an. al-Hai`ah al-Mishriyah al-„Amah lil Kitab.
Ash-Shan‟aniy. Subulus Salam Syarh Bulugh al-Maram. Dar al-Hadits.
Ash-Shan‟aniy, Abdurrazaq. 1403 H. Al-Mushannaf (Mushannaf Abddirrazaq). Beirut. Al-
Maktab Al-Islamiy.
Asy-Syaukaniy. 1993. Nailul Authar Syarh Mnntaqal Akhbar. Mesir. Dar al-Hadits.
At-Tirmidziy. 1975. Sunan at-Tirmidziy. Mesir. Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah
Mushthafa al-Babiy al-Halabiy.
Ath-Thabraniy. Al-Mu‟jam al-Kabir. Kairo. Maktabah Ibn Taimiyah.
Az-Zuhailiy, Wahbah. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. Damaskus. Darul Fikr.
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam. 2005. Risalah Shalat. Bandung. Risalah Press. ed. A.
Zakaria.
Hanbal, Ahmad bin. 2001. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut. Mu`asasah ar-
Risalah.
Hassan, Ahmad, dkk. 1988. Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung. CV
Dipenegoro.
Hazm, Ibnu. Al-Muhalla bi al-Atsar. Beirut. Darul Fikr
Kamal, Abu Malik. 2016. Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh wa Taudlihu Madzahibil
A`imah. Al-Maktabah at-Taufiqiyah.
Majah, Ibnu. Sunan Ibn Majah. Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
Muslim. Al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar bi Naqli „anil „Adli „anil „Adli ila Rasulillah
Shallallahu „alaihi wa Sallam (Shahih Muslim). Beirut. Dar Ihya` at-Turats al-
„Arabiy.
Syaibah, Ibnu Abi. 1409 H. Mushannaf Ibn Abi Syaibah (al-Mushannaf fi al-Ahadits wa
Al-Atsar). Riyadl. Maktabah ar-Ruysd.
Zakariya, Aceng. Al-Hidayah: Pembahasan Perbedaan-Perbedaan Pendapat dalam Fiqh
beserta Pemecehannya (edisi kompilasi). Garut. Ibn Azka.
19